Ch. 20

11 0 0
                                    

Apa yang sudah ia katakan?

Harga dirinya lagi-lagi menjerumuskannya. Alden merasa sangat kesal kepada dirinya sendiri sejak kemarin ia mengatakan kalimat menyakitkan pada Aurel. Ia menjadi sangat kesal dan menyesal terutama saat melihat Aurel dan perempuan itu tidak menatapnya dengan pandangan benci, melainkan hanya menunduk seolah takut padanya. Alden lebih baik dibenci Aurel daripada ditakuti Aurel.

Dengan benci, setidaknya Aurel masih menatapnya meskipun hanya tatapan tajam, dingin dan penuh kebencian. Tapi Aurel yang takut padanya—Alden tidak pernah memikirkan itu. Firasatnya benar saat Aurel melangkah masuk lapangan basket indoor itu dan saat tatapannya tertumbuk Alden, perempuan itu langsung menunduk dan berjalan cepat. Seolah Alden adalah serigala yang bisa mencabik-cabiknya.

Ya, ia sudah mencabik-cabik Aurel—perasaannya.

Bagaimana ia bisa mengatakan kalimat sekejam itu? Bagaimana caranya meminta maaf? Aurel pasti sangat membencinya sekarang. Jika skala kebencian perempuan itu 100 maka dia berada di level tepat 100.

"Lo kelihatan merana." Komentar Fero ketika mereka istirahat berlatih. Ia masih memandangi Aurel dan Ryan yang sedang berbincang-bincang di bangku penonton—pemandangan yang ia lihat setiap hari. Alden berpikir apa yang kurang darinya dibandingkan Ryan? Kenapa Aurel bisa senyaman itu bergaul dengan Ryan padahal mereka baru bertemu beberapa bulan lalu? Kenapa Aurel tidak pernah mau memandangnya sedikit pun?

Alden sakit hati.

"Udah Al, lupakan saja Aurel. Kesempatan lo nggak akan pernah ada lagi. Terutama setelah lo mengatakan kalimat kejam kemarin—"

Kesempatan tidak akan pernah ada lagi? Alden mengulangi kalimat Fero dalam benaknya. Bukannya tidak akan pernah ada lagi, tapi Aurel memang tidak pernah membuka kesempatan untuknya. Kali ini—sepertinya Alden memang mengaku kalah. Tatapan Aurel pada Ryan penuh pemujaan—ia tidak bisa mengalahkan Ryan. Ryan terlalu sempurna untuk ia kalahkan.

Meski laki-laki itu tidak sekaya dirinya, tapi Ryan juga tampan, baik hati, murah senyum, ramah, kapten basket yang berarti ia bertanggung jawab. Tentu saja tipe lelaki idaman Aurel yang seperti itu. Alden tidak akan bisa mengalahkan Ryan terutama bagian murah senyum. Ia bukan orang yang murah senyum—bahkan orang-orang memanggilnya judes dan dingin.

Tapi sama Aurel ia tidak pernah bersikap dingin. Ia merendahkan harga dirinya hanya untuk Aurel. Tapi Aurel bahkan tidak pernah menganggap perjuangannya, kado-kado darinya, ucapannya—

"Lo mau cari pacar? Cewek cantik di sini banyak—santai saja. Ada Angela—yang kemarin sama kamu. Terus Farah, Amanda, Natasha—" Fero berpikir. "Tapi jangan Natasha deh—"

"Natasha itu ketua Cheerleader?" Tanya Alden. Ia mengenali Natasha karena perempuan itu selalu di dekat Ryan selain Aurel.

"Iya, yang rambutnya berombak."

"Apa hubungan dia sama Ryan?"

Fero meringis. "Jadi sebelum Ryan pacaran sama Aurel, Ryan itu deket banget sama Natasha. Semua orang berpikir mereka bakal pacaran. Tapi setelah liburan semester Ryan justru bilang kalau dia pacaran sama Aurel— Yah gimana lagi. Aurel memang pintar dan cantik sih. Sempurna gitu. Sampai lo aja ngejar-ngejar dia sampai ke sini." ledek Fero.

"Sialan lo."

Fero tertawa.

Alden kembali berpikir. Tapi kedekatan Ryan dan Natasha memang terlihat lebih dari sekedar teman. Sesaat kemudian ponsel Alden berdering. Ia melihat siapa nama pemanggilnya dan Alden mendesah.

Renata Alexie Kiehl adalah peneleponnya.

*****

Ryan tak nyaman. Ia merasa tak nyaman setiap kali berlatih basket dan tatapan Alden padanya adalah tatapan penuh analisis. Tentu saja dirinya tahu kalau laki-laki itu membandingkan dirinya dengan diri laki-laki itu sendiri. Mungkin Alden juga bertanya-tanya bagaimana bisa orang sebiasa dirinya bisa menjadi pacar Aurel. Ryan juga menanyakan itu pada dirinya sendiri.

Apa jadinya jika ia bertemu Aurel dalam kesempatan lain? Bukan saat perempuan itu penuh ketakutan, depresi dan kehilangan? Apa perempuan itu akan tetap memandangnya—menganggap dirinya orang spesial? Ryan selalu saja ingin menanyakan bagaimana perasaan perempuan itu pada dirinya, tapi Ryan selalu takut. Apalagi melihat raut ragu-ragu di wajah perempuan itu saat ia menanyakan siapakah dirinya bagi Aurel.

Ryan selalu berpikir, bagaimana jika Aurel sudah sembuh dari traumanya dan akhirnya memutuskan jalan hidupnya sendiri? Apakah dia akan tetap memilih Ryan? Atau kembali ke kehidupan lamanya? Alden?

Ryan mendesah. Ia tidak merasa setidakpasti ini dalam hidupnya.

"Performa lo hari ini jelek. Lo nggak fokus. Ada apa?" tanya Adit.

Ryan menggeleng. Bingung dengan perasaannya sendiri. Aurel berada dalam genggamannya. Selalu bersamanya. Menemuinya. Membuatkan makan untuknya. Tapi kenapa ia seperti tidak bisa menahannya? Kenapa semuanya terlihat begitu samar? Apa ia takut? Apa yang ia takutkan? Kalau Aurel kembali normal dan sembuh dari traumanya, harusnya ia bahagia, kan?

"Lo nggak bisa bohong sama gue, Yan. Gue tahu lo banyak pikiran."

Ryan mendesah. "Gue— gue nggak ngerti, Dit."

"Nggak ngerti apa?"

"Aurel, Alden, diri gue sendiri—semuanya. Rasanya berkecamuk di otak gue, sampai gue nggak bisa berpikir jernih."

Adit menatap Ryan bingung. "Perasaan lo?"

Ryan mengangguk.

"Ini terjadi karena semuanya terlalu cepat, Yan."

Ryan berpikir ucapan Adit benar. Ia dan Aurel berjalan terlalu cepat hingga ia tidak bisa menelisik perasaannya terlalu jauh. Ia dibayang-bayangi kenyataan Aurel yang memegang pisau dan hampir bunuh diri. Yang ada dalam pikirannya hanyalah bagaimana menyelamatkan Aurel, bagaimana membuat Aurel kembali bersemangat hidup. Ryan bahkan tidak terlalu memprioritaskan dirinya sejak Aurel datang ke hidupnya. Hidupnya hanya tentang Aurel, Aurel dan Aurel. Ibu selalu menasihatinya—saat dirinya sedang tidak bersama Aurel—bahwa Ryan tidak perlu berusaha terlalu keras untuk Aurel. Bagaimana pun Ryan masih anak SMA yang seharusnya tidak terlalu bertanggung jawab penuh seperti layaknya seorang suami. Ibu menganggapnya masih terlalu muda untuk bertanggung jawab. Ryan tidak pernah memikirkan hal itu, namun sekarang ia memikirkannya.

Apa perasaannya untuk Aurel? Kasihan? Khawatir? Atau memang cinta?

Ryan seperti tidak bisa bernafas. Apalagi sejak Alden datang—calon tunangan yang tidak disukai Aurel datang, ia tidak berhenti membandingkan dirinya sendiri dengan orang itu. Alden sempurna—sedangkan dirinya? Rasanya tidak mungkin jika Aurel dalam keadaan normal perempuan itu akan memilihnya. Iya, kan?

Ryan ingin berteriak rasanya memecahkan kebingungan dalam pikirannya.

"Yan, Ryan." panggil Natasha berlari ke arahnya sambil tersenyum lebar—sepertinya membawa kabar baik. Namun saat itu ia melihat seseorang tak sengaja menangkis ke arah Natasha. Ryan segera menarik pergelangan Natasha agar tidak terkena bola itu. Namun Natasha kehilangan keseimbangan sehingga mau tidak mau Ryan harus merengkuhnya. Semua terjadi begitu cepat, Natasha pun sama terkejutnya.

Ryan melepas pelukannya dan bertanya. "Lo baik-baik aja, Nat?"

Natasha mengangguk. Masih syok dan tak menyangka. Ryan menghela nafas lega. Namun saat ia mengangkat tatapannya, ia melihat seorang perempuan berdiri di depan pintu lapangan sambil memandangnya aneh. Aurel melihatnya memeluk Natasha. Apa perempuan itu melihat seluruh kejadian atau hanya saat ia memeluk Natasha?

Jantung Ryan berdenyut nyeri.

*****

A Little Time Where stories live. Discover now