Ch. 23

16 0 0
                                    

Ryan bangun pagi itu dengan keadaan linglung. Apa cerita semalam hanya mimpi? Tidak, memang ada riwayat panggilan antara dirinya dan Aurel. Ryan tak menyangka—tidak pernah menyangka—kalau Aurel adalah anak korban kekerasan. Dia terlihat anggun, bersahaja, seperti seorang Putri yang disayang. Ia awalnya berpikir kehidupan Aurel yang seperti Rapunzel itu karena keluarganya memanjakannya. Tapi ternyata Papanya sendiri—

Ryan masih ingat cerita Ibunya kalau Papanya Aurel adalah seorang koruptor—

Astaga.

Ryan segera mandi, memakai seragam, kemudian siap berangkat sekolah. Tetapi ia ingin ke asrama Aurel dulu—menemui perempuan itu. Perasaannya gelisah, ingin memastikan apa Aurel baik-baik saja. Aurel baik-baik saja, kan?

Ia menunggu di depan pintu asrama, tanpa mengetuk karena khawatir perempuan itu jadi tergesa-gesa. Selang hampir 10 menit kemudian, barulah pintu itu terbuka. Aurel terkejut melihat Ryan di depan asramanya.

"Kamu udah di sini dari tadi?"

Ryan mengangguk.

"Kenapa tidak mengetuk pintu?"

"Aku hanya ingin duduk di sini." katanya sambil tersenyum simpul.

Aurel memandangnya aneh. Ryan segera meraih tangan Aurel yang dingin seperti baru saja memegang es dan mengernyit. Sesaat kemudian dia menyadari kalau wajah Aurel terlihat pucat. "Kamu sakit?"

Aurel menggeleng. "Tidak."

"Tangan kamu dingin." Ryan berhenti berjalan kemudian memegang dahi Aurel. Aurel berusaha mundur agar Ryan tidak memegang dahinya tapi refleksnya terlambat. "Kamu demam. Kenapa tangan kamu dingin? Kamu baru saja menyentuh es di kulkas?"

"Aku tidak kenapa-napa." kata Aurel. "Everything's okay."

Tapi Ryan tidak mendengarkan. "Kalau kamu sakit harusnya kamu tidak berangkat sekolah."

"I'm fine, Yan." jelas Aurel. "Aku hanya begadang semalam."

"Karena aku telepon?"

"Tidak. Aku tidak bisa tidur sampai jam 2–"

"Astaga, Aurel." Ryan meraih tubuh Aurel dan memeluknya erat. "Jangan pernah sakit, okay. Untuk aku."

Aurel hanya diam, tidak mengangguk ataupun menggeleng.

Ryan melepaskan pelukannya dan bertanya, "Kamu sudah makan?"

Aurel menggeleng.

"Ayo makan bubur."

Aurel memandang jam tangannya sebelum akhirnya mengangguk. Ryan menggenggam tangan Aurel, kali ini lebih erat. Rasa khawatir dan panik menyerangnya tiba-tiba. Ketika mereka menuju Abang bubur gerobak yang jadi langganan, Ryan bertanya,

"Apa karena semalam kamu bercerita soal Papa kamu jadi kamu tidak bisa tidur?"

"Aku—tiba-tiba saja teringat semuanya. Aku jadi tidak bisa tidur. Maafkan aku."

"Kenapa minta maaf?"

"Membuat kamu khawatir—"

"Bagaimana caranya?" tanya Ryan ambigu. Aurel mengerutkan kening. "Bagaimana caranya membuat semua kenangan buruk kamu soal Papa kamu hilang?"

Aurel menggeleng. "—tidak bisa. Kenangan itu seperti mendarah daging. Aku tidak sanggup mengingatnya—"

"Jangan diingat-ingat kalau begitu. Aku tidak akan membuat kamu mengingatnya lagi."

A Little Time Where stories live. Discover now