Ch. 12

8 0 0
                                    

Tiga bulan kemudian.

"Kamu dengar kabarnya?"

"Kabar apa?"

"Aurel memenangkan lomba cerdas cermat, lagi. Padahal harusnya anak kelas 2 yang ikut."

"Gila, tuh anak. Sejak dia masuk sekolah ini, guru-guru maraton daftarin sekolah ke segala macam lomba, bahkan Olimpiade. Kemarin ada Olimpiade yang diadakan Universitas, kan? Dia juga menang."

"Heran gue. Kenapa tuh anak bisa sepintar itu ya?"

"Dia udah nyumbang berapa piala ke sekolah coba? Hanya dalam beberapa bulan."

"Dan dia tidak kelihatan tertekan—"

"Masih tetap cantik."

"Astaga, gue ngefans banget sama dia."

"Ryan beruntung banget—Pantes aja dia rela ngelepasin Natasha demi dapetin Aurel."

"Tapi—sifatnya, emm, agak dingin. Nggak banyak yang bisa jadi temennya. Bahkan nggak ada yang berteman sama dia, kecuali Ryan dan Manda!"

"Iya, sih. Dia kelihatan sombong gitu nggak sih—"

"Tapi tetap aja gue ngefans sama dia."

Berita itu tersiar di seluruh penjuru sekolah. Semua anak dari kelas satu sampai kelas 3 mengenal Aurel dari yang awalnya hanya sebatas perempuan cantik menjadi perempuan cantik dan sangat pintar! Aurel kerap menerima ucapan selamat dari orang yang bahkan tidak ia kenal, tapi tanggapannya hanya sebuah anggukan kepala dan kata 'thanks'.

Sore ini Aurel ke lapangan basket, menemui Ryan—seperti yang biasanya ia lakukan. Ketika ia datang membawa makanan—ia belajar masak selama berbulan-bulan agar bisa memenuhi kebutuhan nutrisi Ryan. Tidak mungkin Ryan makan mie ayam setiap selesai latihan kan?

"Hai, Aurel. Mau ketemu Ryan, yah?" tanya Candra meledek setiap Aurel datang. Tentu saja Aurel datang untuk Ryan—memangnya untuk siapa lagi?

Aurel hanya mengangguk. Candra sudah terbiasa dengan sikap Aurel yang dingin. Aurel mengamati lapangan indoor itu dan menemukan Ryan sedang ngobrol dengan Adit dan Natasha—anak cheers. Aurel agak terganggu dengan posisi Natasha sebagai ketua Cheerleader. Haruskah ia menjadi Cheerleader juga agar selalu bisa bertemu Ryan—tanpa alasan apapun?

Aurel tidak suka—

Tidak suka apa? Apa kamu sudah gila Aurel? Cheerleader? Konyol.

Ada mungkin sekitar 5 menit, Aurel mengamati mereka hingga akhirnya Ryan menoleh dan—tersenyum. Aurel balas tersenyum tipis—senyum yang hanya ia tujukan untuk Ryan. Ryan terlihat mengakhiri pembicaraannya dengan Adit dan Natasha kemudian berjalan menghampiri Aurel.

"Selamat ya." ucapnya begitu berdiri di depan Aurel.

Aurel hanya mengangguk. "Thanks. Aku bawa makanan buat kamu."

Mata Ryan berkilat. "Yuk ke sana."

Mereka duduk di tempat duduk penonton. Aurel membuka rantang makanannya saat Ryan bertanya, "Gimana lombanya?"

"Nothing's special."

"Oh." Apa mungkin karena Aurel sudah terlalu sering ikut lomba jadi dia biasa aja?

"Kapan lomba basket kamu?"

"Diundur. Sebulan lagi." kata Ryan.

Aurel terlihat kecewa. Tapi Ryan tidak menangkap kekecewaan itu karena dia sibuk berpikir sendiri. Sampai akhirnya bau makanan membuatnya menatap rantang makanan. Perutnya tiba-tiba berbunyi saat melihat oseng daging yang dibuat Aurel—sejauh ini itu favoritnya dari semua makanan yang dibuat Aurel.

"Kukira kamu nggak bisa masak loh Rel."

"Tentu saja karena aku belajar."

"Ya—" Kemudian Ryan teringat bagaimana responnya saat Aurel bilang mau belajar masak. Yang ada dalam pikirannya hanyalah ketakutan—bagaimana jika Aurel memegang pisau dan berniat mengiris tangannya lagi? Ryan sangat ketakutan. Bahkan saat pertama kali, kedua kali, ketiga kali, keempat kali—ia selalu datang setiap Aurel mencoba masak. Sampai akhirnya ia yakin Aurel tidak akan berbuat aneh-aneh dengan pisaunya. Ketakutannya perlahan memudar. "Kamu bisa jadi chef profesional."

Aurel tertawa kecil.

"That's not what I want."

"So what do you want?"

Aurel terdiam sesaat. "Aku—nggak tahu." Karena yang ada dalam pikirannya hanyalah soal penyakitnya—jangan lupakan soal itu. Aurel sering check up diam-diam tanpa Ryan tahu. Dokter Tomy selalu bilang ke dia kalau infeksinya sudah menyebar luas—diagnosanya beralih ke liver failure dalam beberapa bulan. Terlambat ditangani. Satu-satunya cara hanya mencari donor hati untuknya. Tapi Aurel tidak bodoh—donor hati tidaklah mudah—meskipun Dokter itu selalu memberinya kalimat-kalimat positif.

Ia tahu hidupnya segera berakhir.

Aurel memandang Ryan. Tapi bersama laki-laki ini—ia tidak ingin berakhir. Ia ingin tumbuh bersama dan menua bersama Ryan. Bisakah?

"Kamu bisa melakukan semuanya, Rel—tidak seperti aku. Kamu harus mulai memikirkannya mulai sekarang. Sebentar lagi kita masuk universitas."

Kuliah? Aurel tak berpikir ia akan kuliah.

"Kamu? Kamu ingin kuliah jurusan apa?"

"Entahlah aku juga masih memikirkannya. Natasha bilang aku handal dalam manajemen. Tapi semua hal yang kusuka selama ini hanya basket. Tapi untuk kuliah bidang olahraga? Rasanya juga belum benar."

Aurel mengangguk-angguk. Raut wajahnya berubah terutama sejak Ryan menyebut nama Natasha.

"Aku juga harus memikirkannya. Aku tidak ingin Ibu kecewa jika aku belum tahu mau masuk jurusan apa. Iya kan, Rel?"

Aurel mengangguk—ragu. "Iya, tentu saja."

*****

"Yan, Ryan." kata guru olahraga—sekaligus pelatih basketnya memanggil. "Ada anak baru yang mau masuk klub basket kita."

"Oh iya? Anak kelas berapa?"

"Anak kelas 3."

Kening Ryan mengernyit. "Kukira anak kelas 1. Kenapa dia mau masuk basket saat kelas 3–kita aja setelah pertandingan mau fokus belajar."

"Dia anak baru—tapi kayaknya belum masuk kelas."

"What?"

"Dia—menelepon aku, Yan. Dia kayaknya punya privillege yang bagus."

"Maksudnya?"

"Kepala sekolah yang minta aku buat nerima dia. Dia ingin dunia SMA-nya seru dengan pindah ke sini dan masuk basket."

Ryan tak mengerti ternyata ada orang seperti itu.

"Pindahan darimana?"

"Jakarta."

"Jadi kita cuma biarin dia main di basket aja? Tak peduli apa posisinya?"

"Exactly."

Ryan menggeleng-gelengkan kepala, benar-benar tak mengerti.

"Anak orang kaya memang selalu seenaknya."

"Dia akan ke sini besok—barangkali."

Ryan menghela nafas—memutuskan tak peduli motif apapun orang itu.

*****

A Little Time Where stories live. Discover now