Biasakan untuk vote dan komen, ya, maniez-!
Reva menatap Nathan kesal saat pemuda itu tak mau mendegarkannya dan malah memainkan ponsel.
Tak mau menyerah, Reva kembali menguncang bahu Nathan, bahkan kali ini guncangannya lebih kuat dari sebelumnya.
Nathan yang tengah sibuk dengan aplikasi TTS memilih mengabaikan gadis itu. Beberapa saat Reva masih tahan, namun detik berikutnya, Reva berhasil membuat Nathan berteriak kencang saat ia merasakan rambutnya nyaris terlepas dari kulitnya.
Nathan menatap Reva garang. "Jahat banget lo jadi manusia, Re. Pala gue nyut-nyutan nih," ujarnya seraya mengelus kepalanya sendiri.
Reva balas memelototi Nathan, tangannya dia lipat di depan dada. "Lo tuh, ya! Disuruh anterin kue ke tante Mae aja susahnya minta ampun, deh. Anterin buru!"
Nathan malah menaikan satu alisnya, ekspresi lelaki itu benar-benar memicu ledakan emosi Reva. "Punya kaki, kan? Pake dong, Re. Gitu aja ribet lo," balas Nathan yang kembali fokus pada TTS.
Sudah cukup! Reva emosi tingkat tinggi sekarang. Reva mulai beralih posisi ke hadapan Nathan. Berdiri tegak dengan raut yang dibuat semenyeramkan mungkin. Reva menarik kuat napasnya, hingga... "NATHANIEL MUHAMMAD GANEFO ANDREAS! BISA NGGAK SIH LO NURUT SEKALI AJA SAMA GUE?!"
Nathan terkesiap, ponsel yang digenggamannya dengan segera ia lepas ke kursi. Kini tangannya itu ia gunakan untuk menutupi kedua telinga, menyelamatkan indra berharga Nathan dari sosok Reva yang berteriak tepat di depan wajahnya.
"REVA, KALAU TERIAK ITU JANGAN KELEWATAN DONG! IKAN-IKAN MAMA JADI NYELEM KE DASAR TAU!"
Reva memilih mengabaikan teriakan Kirana yang muncul dari halaman belakang. Dia masih tetap menatap Nathan penuh dendam. Ayolah, dia sangat kesal saat Nathan mengabaikan permintaannya dan malah fokus dengan ponsel. Belum lagi tatapan menyebalkan Nathan yang membuat Reva semakin emosi dengannya. Kalau saja Nathan menuruti Reva saat gadis itu masih meminta dengan suara lembut dan bersahabat, pasti emosi Reva tak'kan seperti ini.
Setelah dirasa aman, Nathan mulai menurunkan tangannya, menatap Reva kembali. Kali ini dengan ekspresi datar miliknya. "Kasihan telinga gue, kena serangan nenek sihir mulu," ucapnya.
"Anterin atau gue teriakin lo sampe demam?" tawar Reva.
Nathan yang sudah lelah dan juga puas dengan kemarahan Reva, memilih bangkit dan segera mengambil keresek berisi kue titipan tetangga mereka.
Dengan wajah datarnya, Nathan berjalan ke arah pintu utama, meninggalkan Reva yang kini tersenyum puas karena dirinya berhasil menghindari guguknya tante Mae yang super menyeramkan.
"Yang disuruh siapa, yang lakuin siapa. Dasar cewek," gumam Nathan di sela-sela langkahnya.
=====
Nathan mengerutkan kening saat teman sebangkunya dari tadi menatapnya. Merasa ngeri sendiri, Nathan memilih bertanya.
"Den, kenapa? Ada yang salah?"
Raden tampak menggeleng, sorotnya kemudian beralih pada Reva yang duduk di bangku tak jauh darinya. "Lo sama Reva tuh ada hubungan apa, sih? Kok gue lihat lo berangkat sama pulang bareng dia? Dan juga lo sama dia sering ribut hal nggak penting mulu kalau di kelas. Kalian pacaran, ya?
Nathan tersedak ludahnya sendiri saat Raden bertanya demikian dengan ekspresi serius. Setelahnya Nathan tertawa singkat, membuat Raden mengerutkan keningnya tak mengerti.
"Dia adik gue, Den. Nggak usah ngadi-ngadi," ucap Nathan.
Raden masih tampak bingung, dia bahkan menggaruk kepalanya yang sama sekali tak gatal. "Adik? Berarti lo nggak naik kelas, Nat?"
Nathan shock seketika. Baru kali ini ada orang yang menanyakan hal seperti itu.
"Kok kaget? Lo beneran nggak naik kelas?" tanya Raden. Kali ini suaranya cukup keras, hingga mengundang beberapa tatapan teman sekelas mereka.
"Enggak. Gue sama Reva cuma beda 3 bulan. Gue tinggal di rumah dia, makannya gue anggap dia adik gue. Kami sama sekali nggak sedarah," jelas Nathan yang membuat Raden menganggukan kepala dengan mulut yang terbuka membentuk huruf 'O'.
"Btw, Nat, lo kenapa pindah? Bukannya Kesatuan lebih maju daripada Kebaktian?" tanya Raden. Sepertinya pemuda itu adalah orang yang senang mengetahui hidup seseorang. Baguslah, Nathan jadi tak kesulitan untuk berkomunikasi dengannya.
"Karena suatu alasan aja. Gue emang harus pindah kesini, sih. Walau gue berat ninggalin Kesatuan. Teman-teman gue disana semua soalnya," jawab Nathan.
Raden kembali mengangguk. "Tenang. Disini juga lo bisa dapetin banyak teman, kok. Gue contohnya. Raden Laraya Pratama, pria tampan dan juga kaya raya," ujar Raden di akhiri dengan kerlingan genit ke arah Nathan.
Nathan bergidik. "Ketimbang ganteng, lo lebih kelihatan cantik tau, Den," ucap Nathan.
Memang benar apa kata Nathan. Paras Raden memang sempurna, kulit wajahnya putih dan mulus. Alisnya tipis, matanya cukup sipit dengan netra berwarna coklat. Hidungnya cukup mancung untuk ukuran orang Indonesia, dan bibirnya berwarna pink alami. Tampan hingga bisa dibilang 'cantik'.
Raden menimpuk kepala Nathan, membuat Nathan terkekeh karenanya. "Lo sama aja sama mereka semua, ah. Bilang gue cantik mulu," ucap Raden.
"Kan emang bener, Den."
"Gapapa, deh. Muka gue udah cukup kok buat memikat cewek cantik Korea," ujar Raden. Senyumnya timbul, membuat matanya hanya sisa segaris saja.
"Lo suka Korea?" tanya Nathan penasaran.
Raden menoleh. "Iya. Tapi gue cuma suka musiknya aja. Gue kagum sama idol-idol Korea yang bisa apa aja. Dan impian gue pengen kayak mereka," tutur Raden.
Nathan terdiam, baru kali ini dia mengenal seorang pria yang menyukai idol Korea. Teman-temannya dulu, kebanyakan tak suka dengan idol-idol itu. Nathan juga cukup kaget mendengar kalimat terakhir Raden, ia merasa Raden memang benar-benar ingin melakukannya. Tekadnya kuat dan berhasil Nathan rasakan.
"REVA, ADA YANG NYARI LO, NIH. DEGEM JURUSAN SEBELAH."
Mendengar teriakan itu, Nathan yang akan kembali mengobrol dengan Raden tak jadi melakukannya. Ia memilih untuk melihat ke arah pintu, dimana disana terlihat Andre yang sedang selonjoran menghalangi jalan dan juga seorang gadis yang terdiam di luar dengan sebuah kotak kado di tangannya.
Beberapa detik kemudian, mata Nathan menangkap Reva menghampiri gadis itu. Bisa Nathan lihat Reva mengeluarkan raut bingung lalu setelahnya gadis itu tertawa kecil sambil mengambil kotak kado yang diberikan gadis asing itu.
Setelah gadis asing itu pergi, Reva segera berbalik, berjalan pelan ke arah bangkunya yang penuh dengan buku-buku tugas sebagai wakil guru yang tak bisa hadir di pembelajaran kali ini.
Nathan bangkit dari duduknya, berjalan menghampiri Reva yang sedang berusaha membuka kotak kado itu.
Setelah sampai, Nathan segera merebut kotak itu. Menciptakan pekikan Reva akibat kaget karenanya.
Nathan membuka kotak itu, melempar tutupnya ke meja Reva dan mulai melihat isinya.
Nathan mengernyit saat dia melihat 2 buah coklat bermerek yang beralaskan potongan bunga mawar merah. Nathan meneliti kotak itu, mencari tahu siapa orang yang mengirim Reva hal manis seperti ini. Namun nihil, tak ada nama pengirimnya disini.
Nathan menaruh kotak itu di hadapan Reva, membuat Reva melotot saat melihatnya. Nathan kemudian berbalik arah, pergi menuju bangkunya sendiri.
"OMOOOO, PWINCESS DAPET KIRIMAN MANIS. HEU HEU HEU, TERHARU, DEH," Teriak Reva cukup kencang. Kedua tangannya ia gunakan untuk menangkup pipinya yang sedikit merona.
Nasya, gadis itu mencondongkan tubuhnya ke depan, melihat isi kotak yang Reva dapatkan. "Dari Kak Varo, Re?" tanyanya.
Reva berhenti merona saat Nasya menyakan itu. Pikirannya kini melayang pada sosok Alvaro. Reva menggelengkan kepalanya, mana mungkin ini dari lelaki brengsek itu. Dia bahkan tak pernah bertemu Alvaro lagi setelah kejadian menyeramkan itu.
Reva berusaha mengusir pikiran buruknya. Gadis itu tersenyum manis, kemudian mengambil salah satu coklat itu dan memberikannya pada Nasya. "Berdua sama Udara. Berbagi biar berkah," ujarnya.
=====
Sksmsksks, pa kabar masyarakat? Semoga baik yak.
Emms, bagaimana dengan part ini? Aneh kah? Vote sama krisar selalu saya nanti loh yah.
----------∆TBC∆----------