RAJAWALI

By Mutiarrada

7.9K 798 1.3K

Rajawali Ken Ahansa, cowok tampan yang menjadi buronan para cewek di SMA Perwira. Jabatannya sebagai ketua ge... More

1. Rajawali Ken Ahansa
2. Salwa Mauliya
3. Menyesal
4. Lawan Balik
5. Jumpa
6. Heboh
7. Melindungi
8. Damai
9. Tidak Peduli
10. Pagar Sekolah
11. Tamu Tak Diundang
12. Upacara
13. Selesai Upacara
14. Kata Biaana Aneswara
15. Sang Pemimpin Bridal
16. Rumah
17. Kotak P3K
19. Halo Alita
20. Makan Bareng
21. Ajakan Salwa
22. I Need You
23. Misi
24. Ditembak Ketua Regaz
25. Yes or No
26. Awal Bersamamu
27. First Kiss

18. Hai Salwa

188 21 25
By Mutiarrada

Sekitar lima menit Rajawali berdiri di depan pintu, mengumpulkan keberanian untuk menghampiri cewek yang sedang duduk sendirian di kelas, sibuk membaca buku. Rajawali sedari tadi mengetuk-ngetuk jarinya di pintu sambil memandangi cewek itu. Sampai akhirnya, memutuskan untuk masuk ke dalam.

"Hai," sapa Rajawali membuat orang yang disapa mendongak terkejut melihat kehadirannya pagi-pagi begini. "Gue ganggu enggak?" tanya Rajawali ketika tidak mendapat respons.

"Enggak kok," balas Salwa kikuk. "Ada apa, ya?"

"Ikut gue sebentar bisa?"

"Bi-bisa sih. Tapi mau ke mana?"

Tangan Salwa langsung ditarik Rajawali keluar kelas. Sekolah masih sangat sepi, baru beberapa murid yang berangkat, mempermudah Rajawali membawa Salwa ke taman SMA Perwira.

Siswa berandal yang biasanya terlamat, tetapi hari ini pukul enam sudah stay di sekolah. Lumayan mengejutkan, seharusnya Rajawali mendapat penghargaan atas kerja kerasnya masuk sepagi ini.

Sesampainya di taman, Rajawali dan Salwa berdiri di depan pohon besar yang sangat subur. Entah sudah beberapa tahun pohon itu hidup, tapi jelas sudah lama, umurnya pun pasti sudah tua.

Udara pagi yang berhembus, membuat suasana lebih nyaman. Salwa hanya diam memperhatikan cowok yang akhir-akhir ini bersikap baik padanya. Beda dengan pertemuan awal-awal, ketika hari ini bersikap manis pasti esok akan bersikap seperti orang yang tidak kenal—lebih tepatnya seperti orang asing. Tetapi, semenjak permintaan maaf saat selesai upacara, Rajawali benar-benar baik pada Salwa. Membuat ada rasa bahagia yang menyelinap di hatinya.

Salwa mengernyit bingung ketika Rajawali mengukir nama sendiri di pohon dengan penggaris besi. Buat apa coba? Kurang kerjaan banget.

"Bagus enggak, Sal?" tanya Rajawali sembari merapikan hasil karyanya.

"Bagus kok."

"Suatu saat tinggal nama lo yang gue ukir di sini." Rajawali menunjuk pohon—tepat di samping ukiran namanya yang masih kosong. "Mungkin sekarang lo enggak mau, tapi gue yakin kapan-kapan mau. Bantu, ya, Sal?"

"Bantu apa?"

"Bantu wujudin biar nama lo ada di pohon ini bareng gue," balas Rajawali tersenyum lebar.

Rajawali berlalu dari hadapan Salwa yang masih diam mematung. Tidak selang lama Salwa mengikuti Rajawali duduk di kursi taman.

"Waktu itu, Bia balik ke kelas keliatannya seneng banget. Padahal aku kira kalian habis berantem," ujar Salwa mengawali pembicaraan. "Kok bisa gitu?"

"Pesona gue kan bikin cewek enggak bisa marah sama gue."

"Masa, iya?"

"Nyatanya lo enggak bisa marah kan sama gue? Meski udah diketusin."

Salwa diam. Memang benar Salwa tidak bisa marah sama Rajawali, tapi sebenarnya pada semua orang pun seperti itu. Cowok di depannya saja yang terlalu pede.

"Luka kamu udah sembuh?" tanya Salwa mengalihkan pembicaraan.

Rajawali menggenggam tangan mungil Salwa yang hendak menyentuh wajahnya, mungkin ingin mengecek luka kemarin. "Jangan disentuh. Ini masih sakit, Sal."

"Maaf," cicit Salwa merasa bersalah sekaligus malu karena refleks tangannya akan menyentuh.

"Nanti kalau udah sembuh mah, mau dipegangin tiap hari juga enggak pa-pa, Sal," ujar Rajawali terkekeh.

"Kok bekasnya udah ilang?"

"Rahasia. Cuma Regaz yang tau."

Salwa menggangguk paham tanpa kembali bertanya.

"Nanti pulang bareng gue, Sal." Rajawali berdiri lebih dulu. "Gue tunggu di parkiran," tambah cowok itu sebelum berjalan pergi.

Belum juga mendapat jawaban, tetapi sudah pergi. Padahal belum tentu Salwa mau. Salwa hanya menghela napas sabar, lalu kembali menuju kelas.

Ketika Rajawali masuk ke dalam kelas, suasana sudah ramai. Teman-temannya juga sudah berangkat. Aneh! Kenapa mereka juga ikut dateng sepagi ini?

"Asyiknya yang habis apel pagi-pagi. Berduaan, bercanda tawa di bawah pohon. Ah, bikin iri aja," cerocos Billi pada Rajawali.

"Mpok Nori makan kedondong. Biar gak iri, cari dong," ujar Ucup dengan pantun-pantun miliknya. "Masa, iya, playboy jomlo. Udah gak laku lo?"

"Sekate-kate kalau ngomong," balas Billi memicingkan mata. "Bukannya gak laku, Cup, tapi emang gak ada yang mau," tambahnya berkata jujur.

Gelak tawa teman-temannya langsung terdengar jelas di kelas XI IPA 3.

"Semuanya lo deketin terus di-php-in, mana ada yang mau sama lo," celetuk Anwar ikut nimbrung.

"Kalau ngomong suka gak ngaca, Mas!" balas Billi ngegas.

Anwar tertawa tanpa merasa berdosa. "Main cantik kayak gue dong. Kadang taktik gerilya dalam hubungan itu perlu, Bil."

"Hubungan perselingkuhan?"

"Astagfirullah. Pagi-pagi bahas perselingkuhan. Masih kecil saja sudah selingkuh, apa kabar kalau sudah besar?"

Sontak seisi kelas menengok ke sumber suara yang terdengar tidak asing bagi mereka, siapa lagi jika bukan guru tua berambut hitam putih bernama Pak Wahyu.

Kedatang Pak Wahyu yang secara tiba-tiba membuat muridnya kicep. Pak Wahyu berjalan masuk ke dalam kelas dengan menggeleng-gelengkan kepala.

"Bener-bener enggak habis pikir sama anak zaman sekarang. Beda banget sama anak zaman dulu," komentar Pak Wahyu menatap murid-murid.

"Hidup kan harus ada perubahan, Pak," balas Galen. "Memangnya anak zaman dulu gimana?" tanyanya berani. Karena Galen sudah tahu karakter Pak Wahyu.

"Iya, tapi perubahannya harus yang ke lebih baik. Kalau makin buruk, hancur nanti." Pak Wahyu menjawabnya dengan tegas—tidak seperti biasanya dibuat bercanda. "Zaman dulu mah anaknya baik-baik. Cukup satu untuk selamanya. Bukan banyak di waktu yang sama." Pak Wahyu memberi jeda sebentar untuk menarik napas. "Contohnya seperti saya," sambung Pak Wahyu percaya diri.

"Udah gue duga, berujung memuji diri sendiri," celetuk Ansel sembari terkekeh lirih.

Pak Wahyu menaruh barang bawaannya di meja. Sampai akhirnya, netra pria itu fokus pada meja Rajawali.

"Kamu lagi Rajawali, pagi-pagi meja sudah seperti kuburan baru," ujar Pak Wahyu ketika melihat bunga-bunga cantik menghiasi meja muridnya.

Setiap hari meja Rajawali memang selalu dipenuhi cokelat dan buket dari siswi SMA Perwira. Mereka rajin memberikan dengan suka rela. Terkadang ada pula yang membawakan makanan seperti nasi goreng. Sayangnya pasukan Rajawali yang menjadi penadahnya.

"Dari siapa semua ini?" tanya Pak Wahyu sembari mengambil satu buket mawar merah yang indah.

"Siswi Perwira, Pak."

"Enggak kaget, dulu waktu muda saya juga begitu. Jadi orang ganteng mah gini yah, Raj," balas Pak Wahyu yang masih menghirup wangi bunga mawar.

"Serius demi apa Pak Yu waktu muda juga dipuja-puja banyak wanita?" tanya Anwar kurang ajar.

"Jangan salah. Waktu muda saya itu sangat tampan, tapi entah kenapa semakin tua ketampanannya luntur. Dulu saya juga sering dikasih barang-barang kayak Rajawali, bahkan lebih mahal seperti televisi, kulkas, dan masih banyak lagi."

"Cewek zaman dulu emang gitu, Pak? Suka kasih perabotan rumah?" Sekarang Billi yang bertanya pada Pak Wahyu.

"Enggak, Bill."

"Terus?"

"Kerjaan saya kan dulu jadi kurir," balas Pak Wahyu santai sambil terkekeh ringan.

Otomatis siswa-siswi XI IPA 3 menyoraki Pak Wahyu secara bersamaan.

"Sudah-sudah, diam. Saya akan mulai pelajaran." Pak Wahyu berjalan ke meja guru dengan membawa satu buket. "Untuk Rajawali bereskan dulu bunga-bunga sama cokelatnya. Ini saya minta satu, ya?"

"Buat Bu Aida yah, Pak?" tebak Tino.

"Ya, buat siapa lagi kalau bukan dia."

"Wooo ...," seloroh Ansel dibarengi tepuk tangan teman-temannya. "Ternyata Bapak pantang menyerah."

"Selama janur kuning belum melengkung, berjuang masih diperbolehkan," tukas Pak Wahyu membuat kelas kembali ramai karena murid-muridnya bersorak dan tepuk tangan.

"Harusnya gini, Pak. Selama janur kuning belum melengkung, tikung-menikung masih diperbolehkan," teriak Anwar mendapat sautan ramai dari teman-temannya.

"Jelas. Saya tikung di sepertiga malam."

°°°°

Sepulang sekolah Rajawali benar-benar menunggu Salwa di parkiran. Entah sengaja atau tidak cewek itu lama sekali keluar dari kelas. Padahal bel pulang sudah berbunyi lima menit yang lalu. Cukup lama menunggu, tapi Salwa belum terlihat batang hidungnya sama sekali.

"Nunggu siapa, Bos?" tanya anak Regaz pada Rajawali.

"Kepo. Mau pulang lo?"

Cowok itu terkekeh mendengar jawaban Rajawali. "Iya, ini mau ke BR. Hayo bareng?"

"Duluan aja."

Anak buah Rajawali menggangguk patuh lalu berlalu menjauhi parkiran. Teman-teman Rajawali juga sudah pulang lebih dulu, karena diusir olehnya.

Netra Rajawali fokus menatap cewek yang sedang bersembunyi pada siswa-siswi yang berjalan ke arah gerbang. Seketika senyum Rajawali terbit di bibir. Dengan cepat cowok itu berlari mengejarnya.

"Lagi ngapain? Mau coba kabur dari gue?" tanya Rajawali ketika sudah mencekal pergelangan tangan Salwa.

"Eh, Raja," ujar Salwa menyengir kuda. Demi apa pun sekarang Salwa sangat malu karena ketahuan. Rasanya ingin bersembunyi saja di lubang semut. "Maksud kamu apa?" tanyanya pura-pura bingung.

"Lupa kalau gue ngajak pulang bareng?"

Salwa menampilkan rentetan gigi putihnya. "Oh, iya."

"Sekarang udah enggak lupa kan, cepet ikut gue."

Salwa menghela napas pasrah. Mau tidak mau dia mengikuti Rajawali di belakang menuju motor.

Sepanjang jalan Salwa tenang-tenang saja, tetapi ketika tahu Rajawali bukan membawanya pulang, malah membawanya ke gudang cowok tampan, tiba-tiba jantungnya berpacu lebih cepat.

Saat sudah turun dari motor, Salwa bak pantung—sama sekali tidak bergerak. Cewek itu panik, melihat anak-anak Regaz yang berada di warung Bang Joy sedang menatapnya dan Rajawali.

"Enggak usah tenggang kali, kayak liat setan aja."

"Kok kita malah ke sini sih?"

"Tiba-tiba gue laper," balas Rajawali berjalan lebih dulu ke warung Bang Joy. Salwa otomatis berjalan mengikutinya di belakang.

Ucup seketika pura-pura batuk, saat Rajawali datang membawa cewek. "Keselek biji salak gue," ujar cowok itu menatap Rajawali.

"Ehem. Gercep amat, Bos," timpal Ansel yang sedang memakan kacang.

"Enggak cepat enggak dapat," ujar Galen tersenyum jahil pada Rajawali.

"Enggak cepat keburu diembat," sambung Anwar.

"Salwa, enggak usah umpetan di belakang Rajawali atuh, kita manusia kok enggak bakal makan lo," ujar Billi terkekeh pelan. "Kecuali Tino, ati-ati, ya! Dia mah pemakan segalanya."

"Sembarangan! Tapi gue enggak makan manusia juga kali," balas Tino misuh-misuh.

"Burung Gelatik makan pepaya. Salwa cantik siapa yang punya?"

"Belum ada, Cup," balas Anwar mencoba menggoda sang pemimpin Regaz.

"Boleh dipepet nih?"

"Jelas."

"Tangan gue gatel nih, kayaknya perlu baku hantam."

"Kalau gatel mah digaruk atuh, Bos. Buk—"

"Berisik," tukas Rajawali emosi. Cowok itu menarik Salwa ke meja pojok di ruangan itu.

Sontak anak-anak Regaz tertawa melihat kesensitifan Rajawali.

Ketika Rajawali sudah duduk Salwa masih berdiri di belakangnya. Refleks cowok itu menarik tangan Salwa untuk duduk di kursi seberangnya. "Mereka asyik juga enggak berbahaya, jadi jangan takut," bisik Rajawali yang dijawab anggukkan kepala oleh Salwa.

"Bang Joy, nasi goreng dua, satu enggak pedes."

Bang Joy yang mendengar mendapat pesanan dari Rajawali, cepat-cepat membuat nasi goreng dengan semangat. Karena memang sudah mahir, Bang Joy tidak butuh waktu lama membuatnya.

"Aduh, aduh. Saha ieu, Ja? Geulis pisan atuh si Eneng." Bang Joy meletakan nasi goreng sambil terus menatap Salwa.

"Namanya Salwa, Bang."

"Namina geulis atuh, sami kayak orangnya," ujar Bang Joy jujur.

"Kalau ngomong suka jujur banget, Bang," kekeh Rajawali membuat Salwa semakin tersipu.

"Sok atuh mangga dimakan. Abang ke belakang dulu."

Rajawali dan Salwa kompak menggagukkan kepala, dan tidak lupa mengucapkan terima kasih.

Saat Salwa akan meraih sendoknya, tiba-tiba Rajawali menarik piringnya lalu memilah bawang dan ditaruh di pinggiran piring.

"Nih, tinggal dimakan," ujar Rajawali menyodorkan piring nasi goreng Salwa.

Salwa mengernyit bingung. "Kok kamu tau aku enggak suka pedes sama bawang?"

"Gue juga tau alasan lo waktu itu pulang malem."

"Serius?" tanya Salwa lumayan terkejut.

"Ya. Bahkan gue tau orang yang lo suka."

"Siapa?"

"Gue," balas Rajawali percaya diri.

Boleh egois gak sih? Hari ini waktu berhenti aja. Karena aku takut, hari esok tidak bisa mengulangi lagi kebahagiaan bersamanya.

****

Continue Reading

You'll Also Like

424K 32.6K 27
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...
815K 61.7K 30
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
1.2M 90.3K 43
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
2.9M 142K 19
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...