1 Hati 2 Raga [Selesai]√

By fitryylaraswatinf

21.1K 939 57

[FOLLOW SEBELUM BACA!] √ "Kamu selalu berhasil membuat aku terluka. Tapi aku selalu gagal membencimu." ______... More

Prolog
1•|Kekacauan
2•| Rasa yang Pernah Ada
CAST
3•| Ibu Peri
4•| Larangan
5•| Malam Minggu
6•| Kawasan Cowok
7•| Berhenti Hina Aku!
8•| Happy Birthday
9•| Lelucon Murahan
10|• Reflesh
11|• Vitalia Fahreza?
12|• Permainan Hidup
13|• Untuk Pacar
14|•Satu Kebenaran
15|• Satu Sama Lain
16|• Jealous!
17|• Dialah Orangnya
18|• Lupakan Sejenak Lalu Ingat Lagi
19|• Salah Server
20|• Siapa Yang Salah?
21|• Ku Lepas Dengan Ikhlas
Open PO 1 Hati 2 Raga
22|• Kita Pacaran
23|• Tujuan Yang Sebenarnya
24|• Gibran Memang Segalanya
25|• Malam Pertama|Failed
26|• Vina Hamil?
27|• They are everything
28|• Surat Skors
30|• Failed
31|• Cerai
32|• Mama?
33|• Efek Bumil
34|• Leon?
35|• Suara Hati Seorang Laki-laki
36|• Ancaman Iren
37|• Kabar Gembira?
38•| Menjelang Pernikahan
39•|Hari Pernikahan
Epilog
Pengumuman!

29|• Aborsi?

304 12 0
By fitryylaraswatinf

Vina berjalan pelan ke arah tempat duduknya. Saat melangkahkan kaki pun, dirinya disambut dengan kertas-kertas yang dilemparkan teman sekelasnya. Dirinya hanya mampu menunduk karena malu. Vina yang pemarah dan penuh keberanian sudah lenyap bersamaan dengan kehamilannya.

"Udah lahir sebagai anak haram, eh sekarang dia juga lagi ngandung anak haram," ejek orang di belakang sana.

"Gayanya aja selangit, padahal kenyataannya cuma di bawah bumi!"

"Cewek murahan kayak dia gak layak ada di sini!" ucap orang yang duduk di depan.

Vina diam dan tidak memberontak. Dia tahu kalau dirinya akan diperlakukan seperti orang yang hina, tetapi dirinya tidak habis pikir pada Mona dan Siska yang hanya diam menyaksikan. Mungkin benar jika mereka membenci dirinya saat ini.

"Ayo keluar lo!" seru orang yang tiba-tiba datang dan menariknya keluar secara kasar.

"Aw!" Vina hanya bisa merintihnya.

Tiba-tiba orang itu mendorong tubuhnya cukup kencang ke depan. Tak lama seseorang menahan tubuhnya agar tidak jatuh ke lantai. Vina pun bangkit dari dada bilang laki-laki itu.

"Lo bisa gak usah kasar sama Vina gak?" tanya Reon yang baru datang dan melihat banyak orang mendorong Vina karena pemberitaan itu.

"Ngapain lo belain cewek songong kayak dia?!" tanya salah satu cowok dengan menunjuk Vina.

Gadis itu diam seribu bahasa, berkali-kali ia mencoba membela dirinya, tetapi tak ada pembelaan dan bahkan dirinya sendiri tahu bahwa ia salah. Tak lama Siska dan Mona datang dengan diberi jalan oleh orang-orang yang menariknya keluar tadi. Mereka saling melempar pandangan, tetapi Siska dan Mona diam karena tidak tahu pembelaan apa yang benar dan tidak mengetahui nama mereka.

"Bubar lo semua!" teriak Gibran yang datang dan mengusir semua orang dengan amarah.

Reon berpindah posisi tak lagi di samping Vina karena ia tahu jika Gibran lebih pantas berdiri di samping gadis malang ini.

"Ada apa, sih ini?" tanya Rian dengan setengah otaknya yang masih berkerja normal.

"Yan, gue mohon untuk mengulangi kesalahan yang lalu atau resikonya adalah penyesalan," ceramah Azio.

Rian menoleh ke arah Azio, cowok yang ganteng, tetapi kadang sok bijak. "Lo gak usah sok bijak. Biasanya yang ceramahin gue itu Rifky, bukan lo!" cemoohnya.

Plak!

Satu pukulan mendarat tepat di kepala Rian, tak lain dan tak bukan pelakunya adalah Reon, lelaki yang banyak perbuat daripada berbicara kini melayangkan tangannya diwaktu yang tepat. Rian melongo saat mendapat pukulan itu, bukan hal pertama baginya kena pukulan atau semprotan dari teman-temannya.

"Mampus!" ejek Rifky dengan nada dinginnya.

Semua orang diam setelahnya. Seketika hening dan tak ada yang berani membuka topik karena mereka takut salah bicara setelah itu. Reon kembali pindah dan berdiri di samping Mona.

"Kamu kenapa diem aja liat Vina dibully?" tanya Reon pelan pada Mona dengan berbisik.

"Aku ..... Aku gak papa" jawabnya.

Reon kembali berdiri dengan tegak dan menatap ke arah Gibran. Ia melihat lelaki itu penuh rasa yang tidak bisa dijelaskan. Dirinya paham pada hati lelaki itu. Satu sisi kekecewaan, sisi lain adalah cinta. Cintanya telah menutup mata hingga dengan seenaknya ia menjerumuskan diri sendiri pada jalan yang salah.

"Lo gak papa, Vin?" tanya Siska kali ini.

Vina mengangkat kepalanya menatap Siska sebelum menjawab. Namun, jika boleh jujur dirinya sempat merasa kesal pada dua sahabatnya yang tidak ikut berpartisipasi membelanya di ruangan guru tadi. Akan tetapi, hal ini tidak perlu diperbesar. Dirinya bukan gadis yang suka terbawa perasaan, masa bodoh dengan tanggapan Siska tadi, yang jelas dirinya ingin segera pergi dari sana dan membeli buah nanas.

Wait! Nanas?

Ya! Tentu saja. Tak ada jalan lain dalam pikiran Vina selain menggugurkan kandungannya. Bayinya mungkin tidak berdosa, tetapi dirinya tidak rela jika anaknya tumbuh tanpa sosok seorang ayah seperti dirinya.

Vina menggeleng. "Gue gak papa ....... Gue mau pulang aja," sahutnya.

Vina melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam kelas dan mengambil tasnya. Itu niatnya, tetapi Rian menghalangi langkahnya. "Lo mau ambil tas, 'kan?" tanya Rian.

Vina manggut-manggut.

"Sebentar, biar gue yang ambilin," sosor Rian mengajukan dirinya.

Vina mengangguk kecil dan menghargai usaha Rian. Ia diam menunggu Rian kembali.

"Gue anter, mau?" tanya Gibran.

Vina menjawab tanpa membalikkan badan. "Gak usah, gue bisa pulang sendiri," timpalnya.

"Kalo lo diapa-apain sama bang Leon gimana?" tanya Siska dengan khawatir.

Mona manggut-manggut tanda setuju dengan apa yang disarankan Siska. Untuk kesekian kalinya Vina selalu menyembunyikan banyak hal, tetapi kali ini Mona tidak akan membiarkan sesuatu terjadi pada Vina. Dirinya sudah membaca jika Vina akan aborsi.

"Siska bener," sahut Mona.

Rian datang dengan tas Vina dan juga tas miliknya. "Ini, Vin tas lo," ucap Rian memberikan tasnya.

Vina tersenyum tipis. "Makasih."

Rian tersenyum bahagia seraya menggendong tasnya. Semua temannya memperhatikan gelagat Rian. "Sama-sama."

"Lo mau kemana gendong tas?" tanya Rifky.

"Mau anter Vina," jawabnya cepat.

"Anter Vina? Emang orangnya mau dianter sama lo?!" sindir Siska.

Kali ini Rian menatap Siska yang ia rasa sedang cemburu, dengan penuh gairah ia tersenyum sumringah.

Di lain sisi, Rifky yang melihat lelaki itu tersenyum kala disindir oleh Siska tertarik memegang dahi Rian dan membuatnya tak tersenyum, hingga menampilkan tatapan sinis.

"Lo kenapa?" tanya Rifky.

"Minggir tangan lo!" tepis Rian.

"Lo kenapa?" tanya Rifky mengulang.

"Yayang Siska gue barusan cemburu," ungkapnya dengan menatap manja pada Siska.

Namun berbeda dengan Siska yang merasa geli dengan tatapan lelaki buaya macam Rian. "Idih! ....... Siapa juga yang cemburu sama buaya buntung kayak lo?!" cibir Siska.

"Kalo gitu, gue duluan," pamit Vina yang meninggalkan perdebatan itu.

Semua mata menatap kepergian Vina. Rian adalah orang yang paling merasa kecewa dengan kepergian Vina. "Ini semua gara-gara kalian. Vina pulang tanpa gue," keluhnya membuat semua orang menatapnya.

Tak ada yang menanggapi ocehan Rian. Kini, Mona tertarik untuk menatap Gibran yang ternyata lelaki itu juga menatapnya. Ia mempunyai firasat yang kuat mengenai isi pikiran Gibran. Sepertinya lelaki itu memikirkan hal yang sama.

"Aborsi!" seru Gibran dan Mona bersamaan.

****
Vina pulang dengan perasaan penuh kecewa. Semua temannya di sekolah menghinanya. Ia merasa sangat terhina. Kehamilannya adalah malapetaka bagi dirinya. Sekarang kebencian mamanya semakin besar. Jarak diantara mereka seluas samudra, dan satu kesalahan membuatnya harus pergi jauh dari rumahnya.

Vina mengusap air matanya dan membuka pintu.

"Vin." Leon datang menyapanya.

Vina membalikkan badannya. "Kamu mau apa lagi ke sini?"

"Cari tahu keadaan kamu," jawab Leon duduk di samping Vina.

"Buat apa kamu perduliin keadaan aku?" Tanyanya.

"Aku perduli sama kamu, Vina. Aku akan tanggung jawab," ucapnya.

Vina menepis tangan Leon yang hendak menyentuhnya. "Jangan sentuh aku!"

"Aku benci kamu sejak kamu menolak anak ini! Aku gak butuh tanggung jawab kamu!"

"Vin," lirih Leon mencoba meminta kesempatan kedua.

Vina lagi-lagi menepis tangan Leon. "Jangan pernah temuin aku lagi," ucapnya.

"Gak gitu Vina maksud aku," cegah Leon yang kali ini berhasil menggenggam tangan Vina. Namun, lagi dan lagi Vina tak bosan menepis tangannya.

"Jangan pernah dateng lagi ke sini. Anak aku lebih baik lahir tanpa seorang ayah daripada dia tahu kebenaran bahwa ayahnya sebrengsek kamu Anjello Leonder Abercio," ucap Vina.

Leon diam.

"Aku udah anggap kamu mati. Atas semua cinta yang aku berikan dan dengan bahagianya kamu kasih aku penderitaan yang begitu luar biasa. Kamu harus ingat. Tidak ada ikatan lain selain kebencian diantara kita. Aku gak mau liat muka kamu lagi, Yon. Mending sekarang kamu pergi," ucap Vina masuk dan menutup pintunya.

Leon mengejar Vina dan mengetuk pintu Vina. Namun Leon tidak berhasil. Ia mengetuk pintu beberapa kali agar gadis itu mau keluar, tetapi hasilnya nihil.

"Vin maafin aku. Oke, aku terima kalau itu anak aku. Please buka pintunya," ucap Leon.

Vina menangis dibalik pintu. Percuma saja jika Leon mengakuinya. Sampai kapanpun mamanya tidak akan menyetujui kebersamaannya dengan Leon. Mamanya malah akan lebih membencinya. Vina tidak ingin semua itu terjadi. Vina tidak ingin kehilangan harapan satu-satunya. Mamanya adalah orang yang akan menerima Vina disaat Vina seperti ini.

"Vina, tolong beri aku satu kesempatan. Aku tahu kamu juga punya rasa cinta yang sama. Tolong buka pintunya," pinta Leon.

"Mending kamu pulang," titah Vina.

"Gak ada gunanya lagi kamu bujuk aku. Rasa ini sudah mati. Hanya ada kebencian didalam hati aku.Aku gak cinta sama kamu Leon." Vina melanjutkan ucapannya dengan suara yang gemetar.

"Tolong Vina. Aku tahu itu hanya mulut kamu yang berbicara. Aku tahu hati kamu gak seperti itu," ucap Leon.

Vina memukul pintu dengan keras. "AKU BILANG PERGI!"

Leon terkejut dan menjauh dari pintu. "Kalau itu yang kamu mau. Aku akan ikutin mau kamu. Aku janji gak akan ganggu kamu lagi dan gak akan pernah akui kalau yang kamu kandung itu anak aku. Jaga diri baik-baik. Aku sayang kamu dan juga anak kita," ucap Leon lalu pergi.

Vina jatuh perlahan ke lantai dan bersandar pada pintu. Vina menangisi takdirnya yang begitu buruk. Untuk terakhirk kalinya Leon benar-benar pergi meninggalkannya. Vina tahu besar cinta Leon kepadanya melebihi apapun. Dan begitu pun cinta Vina pada Leon. Namun, takdir tidak pernah memihak pada Vina. Dan sekarang, Vina tidak tahu apa yang akan ia lakukan. Entah bagaimana pandangan orang lain terhadapnya.

"Ayah."

Continue Reading

You'll Also Like

Tomfoolery By nuni

Teen Fiction

6.1M 395K 44
•Completed• Devano Michiavelly. Cowok cuek yang ternyata bisa memasak dan hobi menulis diary. Apapun rela dilakukannya agar rahasianya aman, termasu...
8.1M 87.3K 10
Young-adult | TAMAT 🐳 [I need you, because I love you] Barrabas Mahesa. Lelaki itu kerap disapa dengan sebutan Barra. Ia berkarisma, lebih dari seka...
7.1M 137K 14
Sudah diterbitkan oleh Grasindo. Tersedia di toko buku seluruh Indonesia. Untuk pembelian secara online, klik link di bio instagram : gal.gia Ini ada...
725 186 32
-Mereka lupa, kalau syarat suatu hubungan itu saling menerima kekurangan- ---------------------------------------------------- Kisah klise tentang ci...