Win-Ka-Win

By diaparamita

1M 148K 15.1K

Win, kawin! Winka Winata terjebak dalam dilema ketika harus memilih antara kawin dengan pria pilihan bapaknya... More

1. Masih Harus Sepupuan
2. Misteri Mahasiswi Yang Bikin Gagal Move On
3. Spesies Manusia Kelainan
4. Sesuatu Yang Nggak Pernah Terduga Sebelumnya
5. Gadis Eksentrik Berambut Aneh
6. Pemikiran-Pemikiran Yang Tiba-Tiba Datang
7. Dia Nyeleneh, Tapi Baik
8.1 Mau Aku Kasih Tahu Satu Rahasia?
9. Pembicaraan Dua Orang Dewasa
10. Modus Pria Matang
11. Bagi Denganku, Jangan Dengan Orang Lain
PO Pesona Rasa Toko Buku Online, Shopee, dan Tokopedia
12. Seseorang Yang Saya Usahakan Sebagai Saya
13. Perasaan Manusia, Memangnya Bisa Ditebak?
14. Diputuskan
15. Kalau Minta Restu Itu Mudah
16. Lamaran
17. Seni Menahan Diri
18. Saya Berhak
19. Terkuaknya Misteri Mahasiswi Yang Buat Gagal Move On - Part 1
19. 2 Terkuaknya Misteri Mahasiswi Yang Buat Gagal Move On - Part 2
POV GALIH 1 - Satu Tahun Sebelum Hari Ini: Risau
Pesona Rasa After Marriage
20. Winkanya
POV Galih 2 - Mulai Bisa Menebak
Bab 21 dan Baca Duluan
21. Tujuan Hidup: Berada di Sisinya
22. Hari Ketika Aku Mengecewakanmu Kembali
23. Win, Please!
24. Win Ka Win
25. Sibling
26. Tanpa Terkecuali
Menjemput Pesona Rasa
27. Malapetaka (Part 1)
27. Malapetaka (Part 2)
28. Tidak Sadar
29. Kenapa Nggak Coba Kenalan Dulu?
30. Gemes Banget Calon Bapak-Bapak
31. Timbal Balik
Wedding Invitation
32. Cara Laki-Laki Bertransaksi
33. Adalah Takdir (Part 1)
34. Kontroversial
35. Menemukan Kedamaian
36. Cinta Pertama dan Patah Hati Pertama
37. Renata Dwita (1)

8.2. Mau Aku Kasih Tahu Satu Rahasia?

33.9K 5.8K 936
By diaparamita

Cerita Ola, Hala yg tadi gue up di storial, gue unpub dulu soalnya sistem mereka eror. Maaf ya, Beb. Besok kalau udah oke gue publish lagi.

Btw, maciw yg udah berpartisipasi di game uwe. Bukan apa2. W stuck, terus kayak mikir nih cerita bakal lanjut nggak sih.

Soal karakter, hehehehe, gue emang muridnya Budhe Dewi, kalau ada yg ribet, ngapain dibikin mudah? Wkwkwkwkwk... Biasanya emang gue jelasin di narai atau antar dialog tokohnya. Asli, gue belajar lagi bikin cerita dg POV org ketiga setelah kebiasaan nulis dg POV org pertama. Menggali lagi. Seringnya eror, tapi seru juga mengerjakan sesuatu diluar zona nyaman.

Udah, gitu aja.

Btw lagi, PO pesona rasa udah mau buka. Siap2 ya. Kira2 tgl 10 Juni.

Maciw semua atas atensi dan apresiasinya.

Luvvv ❤️❤️❤️❤️

Enjoy

.
.
.
.
.

"Lo mau gue kasih tahu satu rahasia, nggak?" kata Adrian tiba-tiba. Winka dan Galih langsung menatap Adrian yang duduk di tengah-tengah mereka. Adrian menatap Winka lamat-lamat. "Jani suka sama Surya."

"Hah?"

Adrian mengangguk, membenarkan keterkejutan kakaknya.

Pikiran gadis itu langsung terarah pada sang ayah. "Papa tahu?"

"Kayaknya," kata Adrian antara yakin dan nggak yakin. Namun, Adrian kemudian meralat. "Harusnya tahu." Dia menambahkan. "Jani sering banget kok keluar sama Surya. Dia juga beberapa kali nyamperin Surya di kantornya."

"Terus ngapain Papa malah jodohin gue sama si Surya? Kenapa nggak sama Jani aja?"

"Mbak." Adrian menghela nafas. Setengah gemas dengan sikap Winka yang nggak peka. "Emangnya lo pernah lihat Papa nganggep Jani sama Juna sebagai anaknya?"

Winka melayangkan pandangan serius. "Gue pikir setelah Papa masukin Juna ke perusahaan, hubungan mereka menjadi lebih baik."

"Juna cuma dimanfaatin Papa, karena gue nggak mau ikut campur di sana."

Winka mengigit bibir bawahnya. Gadis itu sama sekali nggak habis pikir dengan sikap Bram Winata. "Kalau Papa nggak bisa nerima kakak-kakak lo, dia nggak seharusnya nikahin Emak lo."

"Mereka berdua manusia egois, Mbak. Gue nggak yakin Papa beneran cinta sama Mama." Winka terdiam, kemudian Adrian melanjutkan. "Papa cuma tersesat dan mengira perasaannya selama ini ke Mama itu cinta. Saat akhirnya dia kehilangan nyokap lo, Papa baru sadar kalau ternyata dia udah menyia-nyiakan waktunya buat Mama. Sayangnya," Wajah Adrian terlihat sedih. "Mama sebucin itu ke Papa. Dia bahkan nggak peduli, meskipun harus menyakiti nyokap lo, menyakiti mantan suaminya, dan menyakiti lo.

Nyokap gue berlindung atas nama cinta. Padahal, bukan cintanya yang salah, cuma mereka saja yang nggak bisa meredam hawa nafsu. Dan saat Mama sadar kalau ternyata Papa menyesali semuanya, dia udah nggak bisa berbuat apa-apa lagi." Adrian menghela nafas. "Gue dari dulu ingin ngomong ini ke lo, tapi momennya ngga pernah pas."

Winka menggenggam jemari Adrian. "Gue udah nggak peduli, Dri. Bagi gue, semua itu cuma masa lalu. Sekarang, gue sama nyokap udah bahagia. Kami punya ayah Trias dan Mas Agam, sebagai kakak gue. Mereka berdua udah lebih dari cukup untuk menghapus semua masa lalu itu."

"Lo," Adrian membalas genggaman tangan kakaknya, "pernah nggak sekali aja benci sama gue?"

Winka tersenyum. "Nggak cuma sekali, tapi berkali-kali. Semua itu perasaan manusiawi, 'kan?" Dia memandangi wajah adiknya. Wajah itu duplikat Bram Winata. Setiap bentuk, tarikan garis, dan proporsinya adalah milik Bram Winata. "Butuh waktu lama buat gue sampai pada tahap menerima. Sekarang, gue benar-benar nggak mau mengingat-ingat masa lalu." Winka memperhatikan jemari mereka yang saling menggenggam. "Lo juga harus gitu." Dia mendongak, menatap mata Adrian dengan sungguh-sungguh.

"Setelah nyokap gue hancurin perasaan lo?"

"Nyokap lo nggak sendirian. Papa juga ikut andil di sana. Mereka goblognya berdua, dan mereka berdua juga yang seharusnya menanggung perasaan bersalah itu. Bukan lo."

"Peluk gue dong, Mbak!"

Mereka berdua tertawa, lantas Winka memeluk erat-erat tubuh adiknya. Saat itu juga ia langsung bertatapan dengan mata Galih yang terlihat begitu dalam. Intens. Mereka bertatapan selama sekian detik, sebelum akhirnya Winka memutuskan tatapan itu saat dia melepaskan pelukannya pada Adrian.

Surya datang menghampiri mereka. "Adrian, kamu ikut saya sebentar untuk tanda tangan surat pernyataan." Adrian bangkit dari duduknya, lantas mengikuti Surya untuk masuk ke dalam ruang pemeriksaan.

Winka menggosok tengkuknya dengan canggung. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke mana saja untuk menghindari tatapan Galih. Mereka sama-sama terdiam hingga Surya dan Adrian kembali.

"Gimana?" tanya Winka pada Surya.

"Adrian bisa pulang malam ini, tetapi dia dikenai wajib lapor. Saya sudah urus masalah pelaporan. Pihak terlapor sedang mempertimbangkan untuk mengambil jalan damai."

Winka sama sekali nggak heran. Jika Bram Winata sudah turun tangan, maka kejadian seperti ini adalah sebuah kewajaran.

Surya menatap arloji di pergelangan tangan kirinya. Kemudian dia menatap Winka kembali. "Kamu sebaiknya bawa Adrian pulang. Saya akan tagih janji minum kopi kita besok."

Winka mengangguk tanpa pertimbangan. "Makasih," katanya sembari menggenggam jemari tangan kanan Adrian.

Surya tersenyum. Dia lalu berpamitan pada Galih dan Adrian sebelum berlalu pergi.

"Mbak, gue nggak bisa pulang ke rumah sekarang."

"Terus lo mau ke mana?"

Adrian memberikan tatapan memelasnya. Winka menghela nafas. "Gue nggak bisa ajak lo pulang ke rumahnya Ayah. Bakal canggung banget kalau lo sampai ketemu Mama. Lagian, gue juga nggak enak sama Ayah," kata Winka jujur.

"Nggak apa-apa. Gue bisa pulang ke kosan temen gue."

Winka langsung nggak setuju. "Nggak!" Dia memandangi Adrian penuh peringatan. "Lo, sebaiknya nggak bikin Papa marah lagi."

"Adrian bisa menginap di apartemenku." Galih memberi tawaran.

"Eh, nggak usah, Pak," tolak Adrian nggak enak. Gila saja! Melihat Winka datang bersama Galih saja Adrian sudah kicep. Apalagi melihat tatapan pria itu padanya tadi.

"Apartemen saya kosong. Lagipula, saya perlu bicara sama kamu."

Winka mengernyit. "Pak Gal, kenal Adrian?" tanyanya.

"Dia mahasiswa saya yang skripsinya ngaret hampir dua tahun. Tahun ini, kalau sampai Adrian nggak bisa menyelesaikan skripsinya, dia terpaksa harus saya DO."

Winka langsung beralih pada Adrian dengan tatapan bertanya sekaligus terkejut. "Kenapa lo nggak pernah bilang?"

"Ya, gimana?" Adrian menggaruk tengkuknya sambil cengengesan. "Gue juga udah lama nggak bimbingan."

"Saya sudah kasih kamu surat teguran," kata Galih.

Wah! Winka semakin murka. "Lo benar-benar!" katanya gemas. Adrian masih cengengesan.

Galih menghela nafas. "Ayo!" katanya.

#

Apartemen yang Galih tempati adalah jenis apartemen dua kamar dengan konsep minimalis. Ukurannya sekitar 36 meter persegi. Hunian yang cukup lumayan untuk ditempati pria lajang.

Sejak pertama kali masuk, Winka sudah merasakan penataan bergaya Jepang dengan perabotan yang serba minimalis dan berwarna netral. Selain penataan apartemen, Winka juga cukup melihat betapa bersihnya apartemen Galih. Nggak heran sih, karena pria itu 'kan memang agak-agak OCD.

"Kamu bisa mandi di sana." Galih menunjukkan letak kamar mandinya pada Adrian. Adrian meletakkan tasnya ke atas sofa, sebelum berjalan menuju kamar mandi yang ditunjukkan oleh Galih tadi. Sementara, pria itu berlalu menuju sebuah kamar. Nggak lama kemudian pria itu keluar sembari menenteng pakaian di tangan kanannya. "Kasih ini ke Adrian!"

Winka menerima pakaian tersebut. "Makasih, Pak Gal." Gadis itu lalu beranjak menuju kamar mandi. Winka mengetuk pelan daun pintu kamar mandi tersebut.

"Ya!" sahut Adrian.

"Nih, baju ganti but lo."

Pintu itu dibuka sedikit. Adrian mengulurkan tangannya dari celah yang terbuka tersebut untuk menerima uluran pakaian yang diberikan kakaknya. "Makasih."

"Hmmm...." Winka melangkah pergi dari sana. Dia lalu menghampiri Galih yang tengah sibuk merebus air di pantry. Winka berdiri di sebelah pria itu sembari membuka lemari penyimpanan. Gadis itu menemukan beberapa jenis mie instan dan sebuah bungkus teh yang masih tersegel.

"Kopinya habis," kata Galih.

"Teh nggak masalah." Winka mengambil teh dan satu bungkus mie instan. Gadis itu membiarkan Galih yang membuatkan teh, sedangkan ia memasak mie rebus untuk Adrian.

Winka meletakkan semangkuk mie rebus itu ke atas meja makan kecil berbentuk bundar dengan tiga kursi, nggak lama setelah Adrian menyelesaikan kegiatan membersihkan tubuhnya.

"Polosan? Nggak ada telurnya, nih?" tanya Adrian yang sedang mengeringkan rambutnya menggunakan handuk sembari menyeret kursi.

"Nggak usah kebanyakan nawar. Bersyukur, Nak! Makan aja yang ada!" kata Winka pedas. Adrian nyengir. Pria itu mulai memakan mienya dengan lahap.

Galih menyusul kakak beradik tersebut. Dia meletakkan nampan berisi tiga cangkir teh manis hangat.

"Mbak Win, gimana bisa kenal Pak Galih?" tanya Adrian disela-sela makannya.

"Pak Gal sepupu gue."

Adrian tersedak. Pria itu buru-buru meminum tehnya. "Serius? Kok gue nggak pernah tahu?" cecarnya dengan nada terkejut.

Selama ini, Winka memang nggak pernah menceritakan mengenai keluarga Mahendra pada Adrian. Dia pikir, nggak ada pentingnya juga. Gadis itu juga nggak menaruh curiga apa-apa pada hubungan Galih dan Adrian. Padahal jelas-jelas bahwa Adrian kuliah ditempat Galih mengajar dan mengambil jurusan yang diampu oleh pria tersebut.

"Saya juga." Kakak beradik itu menatap Galih. "Nggak pernah tahu kalau kalian bersaudara. Padahal nama belakang kalian sama," katanya sembari menyesap tehnya.

"Nama Winata itu pasaran, Pak. Di kampus yang pakai nama itu ada lebih dari satu orang," balas Adrian enteng.

"Tapi dijurusan kita hanya ada satu orang." Galih mulai tampak serius. "Saya sudah hubungi Bu Naima. Besok, kamu bisa datang ke kampus untuk mulai bimbingan lagi."

Adrian menghentikan gerakan tangannya seketika. Pria itu menatap mienya yang tinggal tersisa setengah dengan pandangan hambar. "Saya belum bisa, Pak," katanya kemudian.

"Kenapa?" Galih meletakkan cangkir tehnya ke atas meja, kemudian menyatukan kesepuluh jarinya. Sikap tubuh pria itu terlihat begitu mengintimidasi. Winka diam-diam menelan ludahnya gugup. Galih Mahendra bahkan terlihat lebih seram dari rektor universitasnya dulu.

"Saya masih harus mengurus beberapa kasus di LSM."

"Adrian," mulainya dengan nada suara yang terdengar begitu dalam. "Saya nggak menghakimi kegiatan kamu dengan anak-anak LSM. Toh, saya dulu juga melakukannya. Tapi kamu nggak bisa dengan serta merta menjadikan LSM sebagai pembenaran untuk nggak menyelesaikan skripsimu."

"Pak, saya sudah kehilangan ritme menulis."

"Karena kamu sudah terlalu lama berhenti." Galih terlihat nggak mau kalah. "Mulai lagi. temukan ritmenya, dan selesaikan skripsimu tepat waktu." Galih menghela nafas. "Setidaknya, lakukan itu untuk Winka." Galih menghabiskan tehnya. "Kita pulang," kata pria itu pada Winka.

"Adrian?"

Galih menatap Adrian yang sedang menundukkan kepala. "Biarkan dia sendiri. Anak itu perlu waktu untuk berpikir."

Winka menyetujui ucapan pria itu. Gadis itu membelai kepala Adrian, membuat pria itu mendongak untuk menatapnya. "Gue pulang dulu. Lo, kalau udah selesai makan, langsung tidur. Baju lo udah gue cuci dan jemur. Besok, lo ngampus, ya! Rampungin skripsinya kalau mau pindah ke jurusan hukum."

Galih memperhatikan interaksi kakak beradik itu sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Gadis itu terlihat menyayangi Adrian. Tulus.

Dan tiba-tiba saja, semua tentang gadis itu menjadi terasa membingungkan.

Empat belas tahun nggak memberinya cukup banyak informasi mengenai gadis itu. Galih nggak benar-benar mengenal Winka. Sama sekali nggak mengenalnya. Dia hanya tahu sebatas kebiasaan gadis itu yang suka bergonta-ganti warna rambut, dan pekerjaannya sebagai desainer furnitur. Atau bagaimana cara gadis itu tertawa, dan kesukaannya pada kucing. Selebihnya? Nol besar.

Galih nggak pernah tahu kalau ternyata gadis itu menyimpan kesakitan yang begitu dalam. Pria itu juga nggak pernah tahu, bahwa Winka harus berdamai dengan keadaan. Menghadapi begitu banyak tekanan, dan masih harus mencari celah untuk membuat dirinya sendiri waras.

Galih memperhatikan gadis itu yang tengah memeluk bahu Adrian, kemudian berdiri dari kursinya sebelum melangkah mendekati Galih. "Ayo!" Gadis itu mengajaknya keluar. Galih mengekori gadis tersebut. Menatap punggungnya yang kecil, lalu ke rambut medium ashnya, dan berlama-lama di sana.

Galih sengaja menunggu sampai Winka memakai sabuk pengamannya sebelum menyalakan mesin mobil. Mereka berkendara dalam diam. Winka terlihat memejamkan matanya. Tubuhnya bersandar nyaman di kursi penumpang.

Suara Taylor Swift dan Ed Sheeran menyanyikan lagu Everything Has Changed terdengar dari radio yang Galih nyalakan begitu mereka memasuki kompleks rumah orang tua Galih.

Galih turun untuk membuka pintu gerbang. Saat pria itu masuk kembali ke dalam mobil, Winka terbangun. Galih memarkirkan mobilnya di carport. Pria itu lalu mematikan mesin, melepas sabuk pengaman, tetapi nggak berniat untuk cepat-cepat keluar dari dalam mobil.

Winka juga melakukan hal yang sama. Mereka hanya menatap lurus ke depan. Menikmati lagu yang hampir usai.

Galih terlihat berpikir. Jemarinya mengetuk-ngetuk pelan setir mobil. Beberapa detik berlalu, Galih akhirnya membuka suara.

"Setelah besok," katanya. Winka menoleh ke arah Galih. Pria itu menghentikan gerakan jemarinya, menoleh untuk membalas tatapan gadis itu. "Jangan temui Surya lagi."

All I know since yesterday is everything has changed.

#

Continue Reading

You'll Also Like

137K 6.4K 29
π™π™Šπ™‡π™‡π™Šπ™’ π™Žπ™€π˜½π™€π™‡π™π™ˆ 𝘽𝘼𝘾𝘼~ ____________πŸ•³οΈ____________ Jika ditanya apakah perpindahan jiwa keraga lain, kalian percaya? Menurut saya perc...
98.1K 17.7K 31
COMING SOON...
766K 77.3K 35
Pernikahan Rhea dan Starky hanya berlangsung selama tiga tahun. Meskipun mereka telah dikaruniai seorang putra, ternyata Starky belum juga bisa usai...
46.7K 5K 27
Juwita pernah menaruh hati pada Jeremy, namun terpaksa ia pendam karena sahabatnya Serena memiliki perasaan yang sama dan berbalas. Bertahun-tahun ia...