Unpredictable Journey [Tamat]

sskwtsptr tarafından

7.2M 452K 20.5K

Mentari tergila-gila pada Baskara, sedangkan Baskara setengah mati menghindari Mentari. Arti namanya mungkin... Daha Fazla

Mentari dan Mataharinya
Sakit
Cinderella KW seribu
Bukan budak cinta
Ceroboh level 99
Perjanjian 127 juta
Ancaman manis
Mochi dan sumber kesakitan Mentari
Penolakan dan keputusan
Terpaksa profesional
Selangkah lebih jauh
Mas Fajar
Terasa sukar
Baskara sakit?
Sesuatu dibalik celana
Akibat COVID-19
Terbongkar
Ini akhirnya
Kecupan tengah malam
Mimpi buruk Mentari
Pupus
Kisah lain
Baik-baik saja
Berakhirnya perang saudara
Sudah sah
Cerai?
Menjemput restu
Hidup baru
Memulai dari awal
Seseorang mulai tertarik
Setelah malam pertama
Masalah rumah tangga
Restu bunda
Bahagia
Ratapan singa betina
Kejutan
Adegan kamar mandi
Rencana sedot lemak
(Bukan) keluarga harmonis
Ternyata ...
Mencari
Hilang kendali
Trauma
Mansion Raharja
Mengambil alih
Mentari pembunuh?
Pelengkap
Epilog
Extra part

Kehadiran Mereka

112K 7.9K 516
sskwtsptr tarafından

[Tiga puluh sembilan]

Alvino datang dengan senang hati ke rumah Baskara saat lelaki itu meminta untuk dipinjami mobil. Apalagi alasannya kalau bukan karena gadis belia bernama Safira.

Gebetan Alvino yang tidak menyukai lelaki itu karena menjadi orang kaya. Lucu memang, Safira berkali-kali menolak Alvino karena anti dengan lelaki kaya. Katanya, tidak ada lekaki kaya yang benar-benar tertarik dengan gadis biasa seperti dirinya, dan mungkin Alvino mendekatinya karena hanya ingin mempermainkan perasaannya saja.

"Bang Baskara? Kok dia ke sini terus, sih? Aku jadi gak bisa main lagi ke rumah Abang!" Safira merengek di belakang Mentari, menatap Baskara yang sudah rapi dengan pandangan protes.

Alvino yang berdiri di depan teras menghela napas pelan. "Beiby, aku serius sama kamu. Aku cinta sama kamu pada pandangan pertama, dan sedikitpun gak punya niat buat permainin kamu."

"Bohong! Safira gak percaya sama muka playboy kayak kamu. Safira maunya yang sederhana aja kayak bang Baskara. Iya, kan, Bang?"

Safira tersenyum manis pada Baskara setelah sebelumnya menatap Alvino dengan sinis.

Lo belum tau aja sekaya apa bang Baskara, batin Alvino sambil geleng-geleng kepala.

"Aku orangnya sederhana, kok, beib. Itu semua cuma harta orang tuaku aja. Aku bahkan gak punya rumah sendiri, ini sudah cukup sederhana gak menurut kamu? Terima aku, ya?" Alvino memandang Safira memelas.

Baskara yang merasa jengah melihat drama percintaan remaja itu mendengus, menarik pelan tangan isterinya dan Safira keluar rumah dan mengunci pintu dengan cepat.

"Kita pergi, Tar. Gue takut muntah lihat yang beginian. Jijik," komentar Baskara geli.

Bagaimana bisa ia memiliki saudara sepupu seperti Alvino? Merayu gadis dengan kalimat menjijikan seperti itu, memangnya dia tidak malu?

Mentari dan Baskara sudah berada diluar pagar, Safira berlari mengikuti.

"Tunggu ... Safira juga mau pulang. Gak betah lihat muka Vino."

"Loh, beib? Aku gimana? Aku sudah sesederhana ini, kamu masih gak mau? Memangnya aku harus semiskin apa dulu baru kamu terima?" Alvino mengikuti langkah Safira keluar halaman rumah Baskara.

Melihat Safira yang sudah masuk ke halaman rumahnya sendiri dan mengunci pintu pagar.

"Aku gak mau punya pacar miskin kaya kamu, rumah aja gak punya! Aku maunya yang kayak bang Baskara. Punya rumah sendiri, mandiri dan bertanggung jawab!" teriak Safira kemudian masuk ke dalam rumah.

Alvino mendesah lelah. "Terlalu kaya, salah. Terlalu miskin, juga salah. Maunya apa coba?"

Mentari tertawa kecil melihat pertunjukan yang dilakoni oleh Alvino dan Safira dari dalam mobil. Sedangkan Baskara, berjalan mendekati Alvino dan menepuk bahunya pelan.

"Gue ngerti perasaan lo. Cewek emang sesulit itu buat dimengerti," ucap Baskara prihatin, berjalan mendekati mobil dan membuka pintu. "Gue pergi dulu. Kalau lo masih mau usaha, gue bisa kasih nomernya pak RT buat lo," kata Baskara lagi, kemudian masuk menyusul isterinya.

Baskara sudah membuat janji dengan dokter bedah plastik sejak dua hari lalu untuk berkonsultasi masalah sedot lemak yang akan dilakukan isterinya. Ia melajukan mobil menuju rumah sakit ternama yang ada ditengah kota, rumah sakit besar yang memiliki dokter-dokter yang terkenal hebat dan profesional.

Mentari yang ada di sampingnya tak berhenti tersenyum memikirkan akan memiliki tubuh langsing bak model-model yang ada dimajalah.

"Seneng banget, nih, kayaknya yang mau sedot lemak?" goda Baskara tersenyum geli.

"Iya dong. Ini, kan juga demi Kakak, biar bisa pegang-pegang tanpa terhalang lemak membandel." Mentari tertawa di akhir kalimatnya.

"Tapi nanti jangan takut ya kalau lihat suntikan."

Mentari terdiam, memangnya kalau sedot lemak harus menyertakan benda tajam itu? Mentari bergidik pelan, menatap suaminya yang fokus menyetir, dengan takut-takut.

Sepanjang jalan Mentari mencoba menutupi kegugupannya agar suaminya tak berubah pikiran untuk membiayai sedot lemaknya.

Dan ketika kakinya sudah menapak diarea rumah sakit, tubuhnya mulai terasa panas dingin. Mentari memaksakan senyumnya saat Baskara meliriknya dengan penasaran.

"Ayo, Kak. Di mana tempatnya?" ujar Mentari berpura-pura girang, padahal dalam hati sudah berdebar tak karuan.

Baskara menuntun Mentari untuk masuk, naik ke lantai lima untuk bertemu dengan dokter Wanda, dokter spesialis bedah plastik yang bekerja di rumah sakit besar itu.

"Tangan lo dingin. Lo gugup?" Baskara meremas pelan jemari Mentari yang berubah dingin sejak mereka turun dari mobil.

"Gak, kok! Ini, ini karena aku terlalu antusias aja. Udah gak sabar banget," ujar Mentari dengan cengiran lebarnya. Baskara mengangguk pelan seolah-olah mengerti.

Mereka duduk sebentar dikursi tunggu, sebelum dipanggil oleh asisten dokter Wanda untuk memasuki ruangannya.

Mereka bercakap-cakap sebentar, Mentari tersenyum kaku selama obrolan berlangsung antara Baskara dan dokter Wanda. Bukan karena dokter yang akan menanganinya galak, dokter Wanda adalah wanita lembut dengan senyum manis yang tak lepas sejak mereka masuk.

Namun lebih karena suasana ruangan yang terasa mencekam, bisa ia lihat segala peralatan yang akan singgah ditubuhnya. Pisau bedah, suntikan, selang panjang yang terlihat mengerikan dan mungkin juga akan masuk melewati kulitnya.

Mentari meneguk ludah berkali-kali saat dokter Wanda menanyakan tentang riwayat medisnya. Semuanya normal dan memenuhi syarat.

Mentari dituntun mendekati ranjang pasien dan diminta untuk membuka pakaian untuk menandai bagian mana saja yang harus dibedah.

"Kaak," bisik Mentari, enggan melepas genggaman tangan Baskara.

"Kenapa, lo berubah pikiran?" tanya Baskara geli, sudah menduga ini akan terjadi.

"Bukaan," geram Mentari pelan, tersenyum kaku saat dokter Wanda dan beberapa rekannya menatapnya dengan senyum maklum.

Baskara tidak keberatan saat Mentari diminta untuk membuka pakaian, karena memang sejak awal ini memang hal yang Mentari inginkan dan ia pun sudah menyampaikan permintaan khususnya pada dokter Wanda untuk hanya melibatkan dokter-dokter wanita.

"Kakak harus tetep temenin aku," pinta Mentari, Baskara mengangguk tanpa bantahan. Dokterpun memang menyarankan agar Mentari tetap ditemani, jadi sejauh ini tidak ada masalah berarti.

Mentari dengan ragu-ragu mulai membuka pakaian longgar yang sengaja ia pakai untuk menutupi tubuhnya. Setelah pakaiannya lepas dan hanya menyisakan pakaian dalam, beberapa dokter berbisik dengan dokter Wanda.

"Ah, mungkin saya melewatkan sesuatu." Wanda tersenyum simpul. "Ibu Mentari boleh memakai lagi pakaiannya, kita bicara di ruangan saya."

"Hah? Kok?" Mentari bingung, pun dengan Baskara. Memangnya ada masalah apa?

Rekan-rekan dokter Wanda tersenyum geli melihat pasangan itu. Memangnya keadaan Mentari yang sejelas itu sama sekali tidak ada yang menyadari?

Mentari kembali memasang pakaiannya, masih dengan wajah bingung. Mereka berdua kembali ke tempat mereka konsultasi tadi, dan dokter Wanda sudah menunggu di sana dengan senyum manisnya.

"Ini ada apa ya, Dok? Apa ada yang salah?" Baskara mewakili pertanyaan yang terus saja berputar-putar diotak Mentari.

"Tidak perlu khawatir. Hanya ada sedikit kesalahpahaman. Saya sudah menghubungi dokter Fania, dia spesialis dokter kandungan di rumah sakit ini. Ruangannya ada di sayap kanan, lantai dua. Silahkan, saya antar keluar."

Dokter Wanda menuntun pasangan dengan wajah bingung itu sampai ke depan pintu. Mereka berdua terbengong-bengong saat dokter Wanda memberinya ucapan selamat dan kembali masuk ke dalam ruangannya.

"Ngapain kita harus ke dokter kandungan?" Mentari bertanya pada Baskara yang berjalan di sampingnya.

Baskara menatap Mentari sejenak, kemudian mengangguk pelan.

"Ooh, mungkin itu salah satu syarat buat sedot lemak yang bakalan lo jalani," jelasnya dengan yakin. Mentari mengangguk mengerti.

"Ooh, gitu."

Langkah kaki mereka sampai pada ruangan dokter kandungan sesuai arahan dokter Wanda. Baskara mengetuk pintu, dan masuk saat mendengar suara dari dalam.

"Kalian akhirnya sampai juga, saya sudah menunggu sejak tadi," ujar dokter Fania tak kalah ramah dari dokter Wanda.

"Bapak Baskara dan Ibu Mentari, benar?" Dokter Fania memastikan lagi.

Baskara dan Mentari mengangguk, tersenyum simpul. "Benar, itu kami. Hm, kalau boleh saya tau, kenapa dokter Wanda menyarankan kami untuk menemui Dokter? Apa ada masalah serius?" Baskara bertanya ragu. Apa ini memang prosedurnya?

"Saya rasa ini jauh dari kata masalah. Mungkin saja ini malah menjadi kabar bahagia untuk kalian berdua," jelas dokter Fania dengan senyum manisnya. Dan tanpa menunggu lebih lama lagi ia mulai dengan pemeriksaan awal.

"Baik, Bapak bisa tunggu dulu di sini. Dan Ibu, mari ikut saya untuk pemeriksaan lebih lanjut."

Dokter Fania mengambil sampel darah dan urine Mentari. Memeriksanya hingga kurang lebih sepuluh menit, kemudian kembali menemui pasangan itu.

"Kalian pengantin baru?" tanya dokter Fania saat kembali dari pemeriksaannya.

"Bu-bukan. Kami sudah menikah 3 bulan lebih," jelas Mentari tergagap. Mentari rasa itu sudah tergolong lama, jadi tidak salah jika ia mengaku bukan pengantin baru lagi.

Baskara mengangguk setuju. "Iya, benar."

"Saya mengerti. Ibu Mentari, kapan terakhir kali Ibu Menstruasi?"

Mentari mengingat-ingat kembali, selama 3 bulan lebih tinggal bersama Baskara, ia hanya sekali membeli pembalut. Itu artinya terakhir kali ia datang bulan adalah tiga minggu setelah ia menikah dengan Baskara.

Berarti ... ia sudah telat, satu bulan lebih? Dan parahnya ia sama sekali tidak sadar selama ini. Wow.

"Itu, em, saya rasa ... lebih dari dua bulan lalu."

Baskara memandang isterinya tak mengerti, apa mengingat hari terakhir menstruasi sepenting itu? Ia jelas tidak akan mengerti, jadi ia hanya mengangkat bahu cuek.

Dokter Fania membuka kertas hasil pemeriksaannya. "Kalau begitu sudah jelas. Dari hasil yang saya dapatkan, Ibu Mentari dinyatakan positif tengah mengandung. Selamat, sebentar lagi kalian akan menjadi seorang ayah dan ibu."

Baskara terpaku, membiarkan tangannya dijabat oleh dokter Fania bergantian dengan tangan Mentari.

Itu ... maksudnya apa?

"Ayo kita lakukan usg, kita bisa melihat usia kandungan juga ukuran janin yang Ibu Mentari kandung. Ini juga bisa sebagai pencegahan untuk menghindari hal-hal buruk yang mungkin bisa saja terjadi pada calon bayi kalian." Dokter Fania menjelaskan dengan wajah berseri. Ikut merasa senang dengan kehadiran jiwa baru diantara pasangan yang saling mencintai.

Dokter Fania menuntun Mentari untuk berbaring diranjang pasien, alat-alat yang akan digunakan berada disamping kepala ranjang. Sedangkan Baskara yang masih tidak menyangka dan setengah percaya duduk dikursi di samping isterinya.

Mulutnya terkunci rapat, begitu juga dengan Mentari. Dokter Fania tersenyum maklum dengan itu, sudah terbiasa dengan berbagai respon calon orang tua baru.

"Oke, mari kita mulai." Dokter Fania melumuri semacam gel pada permukaan bawah pusar Mentari yang membuncit, kemudian melakukan scanning dengan alat yang sangat asing bagi Baskara dan Mentari.

Muncul gambar hitam putih disertai tulisan-tulisan kecil disekelilingnya pada monitor yang ada di samping ranjang, Baskara memandang itu dengan dahi berkerut.

"Itu apa?" tunjuk Baskara pada dua benda hitam putih dalam lingkaran kecil berbeda.

Dokter Fania ikut terperangah, sangat terkejut juga takjub. "Ini sungguh kejutan. Ternyata kalian akan menjadi orang tua dari dua bayi sekaligus. Selamat sekali lagi."

Belum selesai keterkejutan Baskara sebelumnya, kini ia kembali dibuat membatu dengan kabar lainnya. Dua anak? Benar-benar dua?

"Ini adalah kantung ketubannya, janinnya masih seukuran biji kacang tanah. Umurnya sekitar 6 minggu."

"Saya, saya--- apa yang harus saya lakukan?" tanya Baskara bodoh, menatap dokter Fania tidak yakin.

Apa dia benar-benar akan mempunyai anak kembar?

"Mungkin Bapak bisa memberikan perhatian lebih untuk ibu Mentari. Kalian memiliki dua janin untuk di jaga, sebaiknya lebih berhati-hati dan makan makanan yang lebih sehat. Ibu Mentari bisa memeriksakan kehamilan minimal sebulan sekali. Jaga pola makan, dan jangan kerjakan hal-hal yang berat. Terutama kondisi psikis ibu, sebaiknya jangan pikirkan sesuatu yang bisa membuat ibu stres."

Dokter Fania menjelaskan dengan panjang lebar, sebenarnya masih banyak himbauan-himbauan untuk ibu hamil, terutama jika mengandung bayi kembar. Tapi sesi pertemuan mereka hampir habis dan masih cukup banyak yang perlu ia sampaikan untuk menutup pertemuan mereka saat ini.

Mentari mengangguk ragu, ia masih tertegun karena mengetahui bahwa ia memiliki dua janin dalam perutnya. Bagaimana bisa? Pikirnya tidak menyangka. Jadi itu bukan lemak?

Mereka selesai setengah jam kemudian. Keduanya terdiam sepanjang jalan menuju parkiran. Tidak ada pegangan tangan atau godaan-godaan yang membuat Mentari jengkel seperti biasa.

Keduanya masuk ke dalam mobil, setelah itu diam. Baskara dan Mentari saling pandang dengan canggung.

"Kak, kata dokter aku hamil, bayinya kembar." Mentari mengeluarkan suara setelah terdiam sejak menerima kabar kehamilannya.

"Gue, gue juga denger itu tadi. Mereka ... punya detak jantung sendiri," ucap Baskara dengan suara bergetar.

Jantungnya ikut bertalu-talu saat mendengar alunan detak jantung anaknya yang saling bersahutan. Entah alat apa yang dokter Fania gunakan, namun suara detak jantung kedua anaknya begemuruh dan berdengung ditelinganya, berdetak tidak beraturan seperti pacuan kuda.

"Gue bakalan jadi ayah, Tar. Gue ... gak tau harus ngomong apa."

Mentaripun begitu. Tidak pernah menyangka akan mempunyai anak secepat ini. Dua anak sekaligus dari Baskara, lelaki yang ia cintai.

"Aku yakin Kakak bakalan jadi ayah yang hebat." Mentari menatap lekat mata Baskara yang memerah.

"Gue--- tunggu gue di sini, Tar. Gue kayaknya bakalan nangis," ujar Baskara cepat, keluar dari mobil dan menutup pintu. Berjongkok dengan bahu bergetar hebat di sisi mobil.

Menjadi ayah dari dua orang anak sekaligus. Sedikitpun tak pernah terbayang dibenaknya. Dan sekarang mereka sudah hadir dan hidup dirahim perempuan yang ia cintai.

Tbc ...

Selamat jadi bapak dan emak baru kaliaan 😚 Tidak menyangka babang Baskara setokcer ituh! Baru kawin tiga bulan aja udah langsung punya dua debay~

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

83.7K 7.5K 34
(COMPLETED- TELAH TERBIT) Chris sang bintang layar lebar dan pewaris kerajaan bisnis keluarganya harus rela tinggal di sebuah desa terpencil dalam me...
2.6M 21.1K 43
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
1.4M 20.2K 39
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
2.6M 279K 48
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...