"Mengapa ada yang pergi bahkan saat hatinya menyuruh untuk menetap? Jawabannya simpel, Karena saat dia ingin menetap, kamu mendorongnya untuk pergi sejauh mungkin"
~Faeza Langit Dermantara~
***
Kelas kembali tenang, tampak semua murid terlihat lega sebagian. Sebagiannya lagi terlihat gelisah. Para pengurus osis yang bertugas memang sudah keluar sejak tadi, namun yang meresahkan mereka adalah pengurus osis yang sangat teliti dan jujur. Banyak dari teman Nayla yang terciduk membawa peralatan make-up.
"Kenapa selalu dadakan? Untung gue ga bawa rokok" ucap Rey lirih. Nayla mendengar namun dia tidak membuka suara karena Nayla tau jika perkataan Rey tadi bukan untuk dirinya. Namun untuk Rey sendiri.
Nayla bersyukur, ternyata hari ini bukan hari sial nya. Kalau bukan berkat Langit, mungkin dia juga akan masuk dalam jejeran murid yang tengah gelisah saat ini. Nayla sedikit tersentuh hati nya karena perilaku Langit yang datang dengan menawarkan bantuan pada nya tadi.
Tidak bisa kah Langit bersikap biasa saja? Tidak terlalu mengistimewakan dirinya? Tidak bisa kah Langit membuat jantungnya tidak berdegup kencang seperti ini? Memikirkannya saja membuat Nayla tersenyum senang. 5 tahun dia mengenal Langit dan baru kali ini Langit bersikap manis.
"Nay" sejak tadi Langit berusaha menyadarkan Nayla dari lamunan tidak jelas nya.
"NAYLA" teriak Langit keras didekat telinga Nayla yang membuat Nayla tersadar dari kehaluannya. Dengan segera Nayla menggelengkan pemikiran yang tersangkut di otak nya barusan.
"Sadar Nay. Sadar" ucap Nayla bahkan sampai tidak terdengar suaranya. Nayla berbicara sangat lirih bahkan terdengar seperti gumaman.
"Sakit Nay?" Mendengar pertanyaan itu membuat Nayla berhenti merapalkan kata sakral nya dan menoleh ke arah Rey setelah berhasil mengatur emosinya.
"Jangan bilang lo sariawan?" Terlihat kerutan didahi Nayla dan matanya yang semakin menyipit. Nayla tidak mengerti arah pembicaraan Rey kali ini.
"Apa jangan jangan lo kesurupan Nay?" Terlihat dari gelagat nya bahwa Rey saat ini sedang khawatir akan suatu hal. Rey benar benar orang yang suka ceplas ceplos saat berbicara.
"Bilang sesuatu Nay" perintah Rey dengan menggoyangkan pundak Nayla cepat.
"Lepas"
"Syukurlah Nay. Ternyata lo baik-baik aja"
"Hm"
"Kenapa gue bisa khawatir sama lo" gumam Rey saat melihat Nayla keluar dari dalam kelas.
Rey tersenyum mengingat ekspresi nya yang terlihat begitu khawatir, eh yang dikhawatirkan malah bersikap cuek. Lucu emang. Tiba tiba saja nama Nayla itu terlintas dikepala Rey, bukan Nayla teman sebangkunya. Tapi Nayla adik kesayangannya.
"Dek"
"Apa kak?"
"Abang Nay" ralat Rey pada gadis berusia sekitar 8 tahunan itu.
"Emang harus abang? Kenapa manggilnya ga kakak aja?"
"Tidak mau. Maunya dipanggil abang"
"Kan sama aja"
"Beda lah. Abang tidak mau samaan sama Ryan"
"Tap--"
"Pokoknya abang"
"Iya abang" mendengar hal itu, sontak saja Rey yang usia nya satu tahun lebih diatasnya itu tersenyum senang.
"Ayla sayang abang. Abang jangan pergi kemana mana ya"
"Ayla tidak punya teman disini"
"Iya adeknya abang" ucap Rey dengan mengusap rambut adiknya itu.
"Nay" panggil Rey.
"Kok Nay si bang? Ayla abang!"
"Kan nama kamu emang Nayla"
"Tapi aku tidak mau dipanggil Nayla! Maunya Ayla"
"Iya Nayla"
"ABANG....."
"Hahaha"
Rey jadi teringat pada masa lalunya, yang ia yakini masih ada didunia ini. Rey sangat berharap, bisa bertemu dengan adik kesayangannya.
Bolehkah Rey berharap lebih?
***
"Ma. Aku tidak mau dijodohin apalagi sama anak teman mama yang aku sendiri tidak kenal. Please Ma, ngertiin aku kali ini. Tidak semua yang Mama minta harus aku turutin kan? Pokoknya aku menolak"
Langit memutuskan panggilannya sepihak. Langit tidak peduli seberapa cantik nya perempuan yang akan dijodohkan Mama nya untuk dirinya. Langit tidak peduli seberapa pintarnya perempuan yang dikatakan Mama nya tadi. Langit tidak peduli jika harus keluar dari rumahnya karena tidak menuruti kemauan mamanya.
Yang Langit ingin saat ini adalah kehadiran seseorang yang mau mengerti keadaannya nya. Apapun. Langit mengacak acak rambutnya kesal. Dia bingung harus bagaimana kali ini bersikap pada Mama nya.
Suara deheman kecil mampu membuat Langit mengalihkan pandangannya. Dia terkejut, sejak kapan perempuan ini berada dibelakang nya? Saat ini Langit tengah berada ditaman belakang sekolah nya.
"Gue mau bicara"
"Hm" mendengar respon Langit yang hanya berdehem membuat Nayla ragu untuk menanyakan sesuatu yang menurut Nayla tidak penting namun mampu mengganggu pikirannya.
"Gue mau mengembalikan ikat pinggang" ucap Nayla dengan menyerahkan ikat pinggang yang Langit pinjamkan padanya tadi pagi.
"Makasih" setelah nya Nayla pergi dari hadapan Langit yang membuat Langit semakin mengacak-acak rambutnya. Dia kesal, mengapa tidak ada tempat untuk nya mencurahkan perasaannya kali ini? Padahal tiga tahun lalu seorang perempuan selalu ada untuk nya, memberikan nya tempat untuk sekedar berkeluh kesal.
Tiga tahun lalu dia selalu punya tempat untuk mengadukan jika perasaan sedang tidak baik-baik saja. Namun kali ini, kemana tempat nya berkeluh kesal menghilang? Langit sadar, jika dulu Ayla hanya dia jadikan sebagai tempat berkeluh kesal. Hanya itu. Bahkan dia tidak pernah datang pada Ayla saat dia sedang bahagia.
Langit lelah menghadapi dunia yang semakin rumit untuk dia jelajahi. Temannya pernah bertanya padanya 'mengapa ada yang pergi saat hati nya menginginkan untuk menetap?' ternyata jawabannya simpel, bahkan untuk ukuran Langit yang tidak pintar pun dia bisa menjawabnya.
'Karena saat dia ingin menetap, kita mendorongnya untuk pergi sejauh mungkin'
Langit sadar jika pertanyaan temannya beberapa tahun lalu ternyata benar adanya. Tidak semua orang bisa menetap disamping kita, tidak semua orang memiliki izin untuk menetap disamping orang yang dia sayang. Langit tersenyum kecut, ternyata sebodoh itu dia di masa lalu.
Dia menyesal. Tidak bisakah Ayla kembali jika dia mengatakan bahwa dirinya menyesal?
***
Nayla berjalan menyusuri koridor dengan raut wajah yang tidak mendukung. Entah mengapa hari ini dia merasa tidak menyenangkan. Hari hari sebelumnya memang tidak pernah terasa membahagiakan tapi hari ini ada rasa tidak nyaman yang bersarang dihati nya.
Pikirannya tertuju pada seorang laki laki yang seharusnya sudah dia lupakan sejak dulu. Dia mendengar semuanya hari ini, kenyataan bahwa Langit akan dijodohkan oleh orang tuanya. Ini memang bukan zaman Siti Nurbaya, namun bukankah tidak baik jika kita menolak keinginan orang tua kita?
Mengapa rasanya begitu sesak? Nayla menggelengkan kepala nya pelan sambil memejamkan mata nya. Sampai jidat nya terasa menabrak dada bidang seseorang. Dia mendongak menatap siapa yang baru saja menghalangi jalannya.
"Kalau jalan pake mata Nay" suara Radit terdengar nyaring ditelinga Nayla. Nayla menatap kedua mata milik Radit, dia seperti teringat akan sesuatu tapi pertanyaannya apa yang tidak dia ingat? Nayla memejamkan mata sejenak mencari jawaban atas pertanyaan nya namun yang ia dapat malah sakit kepala.
"Lo kenapa Nay?" Tanya Radit cemas saat melihat Nayla memegang kepalannya dengan kedua tangannya semakin lama dia semakin merasa sakit pada titik tertentu dibagian kepalanya. Tubuhnya terperosot kebawah sampai pada posisi jongkok.
"Nay lo kenapa? Apa yang sakit?" Tanya Radit sambil ikut jongkok didepan Nayla. Radit semakin panik saat Nayla tiba tiba saja pingsan dihadapannya. Tidak butuh waktu lama, Radit langsung menggendong Nayla menuju ke UKS sekolahnya.
"Lo kenapa Nay?"
***
Matanya mengerjap pelan, jari jari tangannya terlihat sedikit bergerak. Saat matanya terbuka sempurna, dia mengernyit bingung dimana dia berada sekarang?
Aroma obat obatan tercium dihidungnya membuatnya mengerti dimana ia berada sekarang. Saat Nayla mengangkat kepalanya, tiba tiba saja sakit itu terasa membuatnya mengurungkan niat untuk duduk.
"Lo udah sadar ?" Tanya seseorang dibalik gorden yang tidak dibalas oleh Nayla. Nayla hanya meliriknya sebentar lalu menoleh kearah lain.
"Panggil Kaka" perintah Nayla setelah lama bungkam.
"Buat apa?"
"Panggil aja apa susahnya si"
"Jawab aja, apa susahnya si"
Melihat Nayla yang tidak berniat membalas ucapannya, dengan berat hati Langit melakukan apa yang diperintahkan Nayla.
"Lo kenapa Nay disini?"tanya Kaka sesaat setelah pintu UKS terbuka.
"Makan"
"Kantin kalik"
"Mau pulang" ucapan Nayla membuat kedua laki laki itu menatapnya.
"Lo masih sakit"ucapan Langit tidak dipedulikan oleh Nayla. Nayla menatap Kaka dengan tatapan memohon sampai Kaka akan mengabulkan permintaannya barusan.
"Iya" Nayla tersenyum dalam hati nya, memang tidak sulit untuk mendapatkan jawaban yes dari sahabatnya.
"Bisa jalan?"
"Pusing"
"Tau pusing, lebih baik disini dulu aja" Nayla menggeleng sebagai jawaban penolakannya.
"Ya udah. Naik" ucap Kaka dengan berjongkok didepan Nayla. Nayla pergi tanpa ucapan permisi ataupun terimakasih nya. Langit hanya bisa tersenyum sinis. Tangannya dia kepal sekuat mungkin lalu menonjok tembok yang tidak bersalah itu untuk melampiaskan kekesalannya.
Mengapa Nayla terlihat sedang menjauh dari nya?
Mengapa sulit sekali menaklukan hati seorang Nayla? Apa ini karma dari perbuatan dimasa lalunya? Mungkin, Langit memang harus lebih berjuang atau Langit harus menerima perjodohan yang Mama nya bilang tadi?
Tbc.
***
Purworejo♡,