Kedai Cinderella

By dianafebi_

2.3M 297K 32.7K

Hidup Sabella Hasyim yang bak Cinderella itu jungkir balik ketika bertemu dengan Arshaka Shabiru, pria yang i... More

Prolog
1. Di kala Hujan turun...
2. Bertahan Meski Sakit
3. Bukan Sepatu Kaca
4. Aku bersedia
5. Kesepakatan
6. Air Mata Jatuh Saat Hujan
7. Alisa Shabiru
8 : Maju atau Menyerah?
9. Royal Wedding Day
10. Royal Wedding Day (2)
11. Labirin
12. Menaklukkan Hati Alisa
13. Panggilan
14. Sisi Lain Duda Gila
15. Kedai Cinderella
16. Aktor Ulung
17. Alisa, Please!
18. Bayangan Hitammu
19. Girls Power
20. Pelukan Manis
21. Sebuah Rasa
22. Terluka
23. See Your Heart
24. Roma, hari pertama.
25. Roma, Red Queen
26. Roma, The Show
27. Misi Menaklukkan Hati Alisa (2)
28. Like Real Family (Lavender's Blue)
29. Something in Your Eyes
31. Deep Condolence
32. After That Touch
33. Miss him? No! maybe?
34. Because Of Him
35 : Nightware
36: His hands and My ears
37: I feel fool
38: Staring at Me
39 : Alisa and Her Past
40: Malaikat Putih Berjubah Merah
41: Pintu Labirin
42 : Turun Dari Panggung Impian
43: Hirkai Serif Odasi
44 : Hagia Sophia and Him
45 : Cappadocia
46 : Sunset Point
46 : Last Part (Crash Landing On You)
EXTRAPART 1
EXTRAPART 2
EXTRAPART 3
EPILOG
PASCA END DAN INFO VERSI HAPPY ENDING

30. Seorang Pria di Kedai

46.8K 6.6K 1.2K
By dianafebi_

Benjamin Franklin pernah berkata, "You may delay, but time is not." Yang artinya mungkin kamu bisa menunda, tetapi waktu tidak karena waktu terus berjalan. Aku selalu menunda mencari buku diary Kim yang hilang di kamar Alisa beberapa waktu yang lalu, tepatnya ada saja urusan yang membuatku menunda mencari buku itu.

Dan malam ini aku baru berniat mencarinya, itu alasan kenapa aku datang ke kamar Alisa. Sayangnya, pada malam ini juga duda gila itu sadar bahwa ada yang hilang dari kamarnya. Kupikir dia tidak akan sadar karena buku itu sudah lama kuambil, aku terlalu menyepelekan untuk sesuatu yang seharusnya tidak boleh disepelekan.

"Katakan, Sabella!"

Jantungku berdentum kuat, kala melihat manik amarah yang jelas di matanya. Aku pernah melihatnya kilatan amarah itu, waktu di mana aku baru saja tertembak.

"Kau melanggar pasal 5!" tukasnya.

Aku tersentak kaget saat mendengar tekanan nada di kata terakhir yang dia ucap. Saat ini aku benar-benar habis, tidak bisa mengelak.

"I- i don't know what you mean."--terjemah: aku tidak tahu apa maksudmu.

"Bulshit!" umpatnya sambil melepas kasar dasi di kerahnya, tatapannya semakin menajam. Seperti singa yang ingin menerkam mangsa. Aku benar-benar tidak berkutik, bahkan tak berani menatap mata Pak Shaka.

"Heh!" Pak Shaka mengangkat daguku, "katakan di mana?"

"Aku sudah bilang, aku tidak tahu apa yang kau maksud!" Aku menepis tangannya dari daguku.

"Jangan berpura-pura, Sabella! Jelas sekali malam itu kau menggeledah kamarku! Apa saja yang kau temukan selain benda itu?"

Sekeras mungkin aku berusaha untuk tidak mengaku, pada kenyataanya buku itu tidak ada padaku.

"Benda apa? Aku beneran tidak tau apa yang kau maksud. Aku sudah bilang, kan malam itu aku belum sempat menggeledah kamarmu, kau sudah datang. Dan kau sendiri juga melihat aku tidak membawa apa pun dari kamarmu!"

Pak Shaka tersenyum kecut, tiba-tiba dia mencengkeram dua bahuku mendekatkan wajahnya dengan wajahku, semakin jelas amarah yang terpancar di matanya, "Kau pikir aku bodoh?"

"Lepasin!" Aku mencoba berontak.

"Apa yang ingin kau tau dariku? Apa yang kau ingin cari tau? Tugasmu hanya menjaga anakku, bukan mencampuri urusan pribadi apalagi masa laluku!?" ucapnya tepat beberapa centi di wajahku.

Bibirku bergetar, aku benar-benar ketakutan, "Kau sendiri bilang untuk mencari tau cara meluluhkan hati Alisa, aku cuma ingin mencari tau penyebab traumanya!" kataku dengan nada bergetar.

"Jangan jadikan Alisa sebagai tamengmu!" Dia semakin mengeratkan cengkeram tangan di dua bahuku, aku sampai meringis kesakitan, "Kau pikir karena Alisa sekarang sudah luluh kepadamu, kau bisa menjadikannya alasan?"

"Sa—kit," rintihku.

"Aku memintamu untuk meluluhkan hati Alisa, bukan mencaritau semua tentang masa lalunya. Dia sendiri yang akan bilang semua kalau kau sudah berhasil meluluhkannya. Itu bukan sama artinya kau bebas menggeledah! Apalagi itu menyangkut privasiku! Aku sangat membenci orang yang merusak privasiku! Kau tau!?"

Semakin panjang dia terus berkata, semakin keras cengkeraman tangannya di bahuku.

"Le—pas, sa—kit..." rintihku lagi.

"Katakan sekarang, apa saja yang kau ketahui selain benda itu! Katakan, Sabella! Katakan! Biar aku bisa mengakhiri kontrak sekarang juga!"

Air mataku jatuh, bukan karena kalimatnya. Tetapi karena cengkeram kuat tangannya yang membuatku sangat kesakitan. Aku bisa membayangkan menjadi Oriana Kim lima tahun silam. Apakah setiap harinya dia selalu menyaksikan iblis ini menyakitinya? Hingga Kim begitu membenci pria gila ini.

"Le—pas, sa—kit,..." Aku terisak.

Detik itu juga mata Pak Shaka seolah tersadar, beliakan matanya mengendur bersamaan dengan cengkeram tangannya juga mengendur. Aku menarik diri mundur satu langkah. Menatapnya dengan perasaan benci.

"Papa!"

Aku dan Pak Shaka menoleh kearah tangga, terlihat Alisa berdiri di sana dengan membawa benda seperti buku bersampul hitam dengan coretan emas. Di tengah isakan tangisku, mataku terbeliak kaget.

Buku diary itu ada di tangan Alisa!

"Alisa?" Pak Shaka juga terlihat terkejut.

"Apa Papa mencari ini?" Alisa menenteng buku diary itu setelah sampai di depan anak tangga terakhir.

Pak Shaka tak lantas menjawab, pria itu seolah kehilangan kata-kata. Dia terpaku di tempatnya. Tiba-tiba Alisa melempar buku itu dan jatuh tepat di dekat kaki Pak Shaka, "Kenapa Papa masih menyimpannya? Kenapa Papa tidak membuang semua benda yang menyangkut perempuan gila itu?" teriak Alisa.

Pak Shaka masih bungkam, gerak gerik matanya menunjukan bahwa dia tertangkap basah masih menyimpan benda peninggalan mendiang istrinya.

"Papa bilang Papa sayang sama Alisa. Papa bilang Alisa adalah segalanya buat Papa. Tapi apa ini, Pa? Katakan..."

Seolah terbalik, kini giliran Pak Shaka yang dipaksa memberikan pengakuan. Aku sendiri memilih tidak ikut campur, hanya diam menatap Alisa yang terlihat sangat marah.

"Alisa benci menjadi anak yang tak dianggap! Kenapa Papa menambah rasa benci Alisa sudah dilahirkan oleh orang tua seperti kalian! Kalian egois! Kenapa kalian tidak membunuh Alisa saja!" teriak Alisa sekuat tenaganya.

Aku tercengang mendengar kalimat Alisa. Pada detik ini aku tahu bahwa trauma Alisa memang karena perbuatan orang tuanya sendiri, terutama mamanya.

"Alisa..." Pak Shaka mendekat dan berlutut di depan gadis itu, "Papa tidak bermaksud untuk menyakiti hatimu lagi, Papa hanya menyesal karena dulu menjadi penyebab mama Alisa pergi," kata Pak Shaka di depan Alisa yang menangis tersedu-sedu.

"Papa, minta maaf, ya. Papa janji akan membuang semua kenangan mama, Papa juga berjanji akan melupakan mama Alisa. Maafin, Papa, ya?"

Alisa tidak merespon, dia masih menangis tersedu-sedu hingga bahunya tersengal-sengal. Aku tahu hatinya pasti sakit karena merasa terhianati papanya sendiri.

"Papa minta maaf. Alisa jangan nangis lagi ya." Perlahan Pak Shaka memeluk Alisa, mengelus-elus rambut panjang gadis itu. Tidak lama, tangisan Alisa kembali pecah sembari memeluk balik papanya.

"Mama jahat sama Alisa," katanya di tengah tangisan, berulang-ulang.

"Iya, Papa tau. Kita ke kamar ya? Alisa mau tidur sama Papa, nggak, malam ini?" bujuk Pak Shaka.

Alisa mengangguk kecil, gadis itu menenggelamkan wajah di pundak papanya, tak lama setelah itu Pak Shaka menggendong Alisa untuk pergi ke kamar.

Perlahan misteri keluarga Shabiru sedikit terkuak. Meski masih menyimpan teka-teki, jika memang Alisa adalah anak yang tak dianggap, kenapa di buku diary itu Kim menuliskan seolah dia sangat bahagia memiliki Alisa sebagai putrinya?

Aku kembali dijatuhkan ke dalam labirin, yang kian rumit untuk terpecahkan. Meski begitu, aku bersyukur bisa tau sedikit kenapa Alisa memiliki trauma. Aku jadi merasa bersalah, gara-gara aku yang teledor menghilangkan buku itu di kamar Alisa. Alisa jadi tahu buku diary itu. Besok, aku harus meminta maaf kepadanya.

•••

Aku berjalan masuk ke ruangan dapur, mulai menyiapkan sarapan untuk Alisa, sembari melihat bahuku yang kemerahan gara-gara cengkeram Pak Shaka tadi malam. Pada detik itu, aku tidak melihat sosok Pak Shaka sebagai manusia melainkan sosok yang lebih menyeramkan dari iblis. Aku benar-benar membenci duda gila itu.

"Sssh..." desisku kesakitan saat menyentuh lebam itu, "psikopat gila sinting!" umpatku kesal.

Aku tidak penasaran kenapa Kim menjadi benci setengah mati kepada duda gila itu. Selain karena sikap egoisnya, pria itu juga psikopat gila. Apa yang membuat Kim bisa jatuh cinta kepada iblis itu, apa yang telah iblis itu lakukan sehingga Kim mau-mau saja menjadi istrinya. Padahal aku mulai menilai baik pria itu, karena dia rajin salat lima waktu bahkan sunnah, papa yang baik, dia juga bersikap lembut pada orang yang sudah dianggap orang tua. Bahkan aku sempat berpikir bahwa pria itu sebenarnya hanya bertopeng otoriter dibalik sikap lembutnya.

Aku salah.

Pria itu memang iblis.

Aku mendengar pintu lemari es dibuka, mataku sempat melirik. Tau siapa yang berada di sana, aku tak acuh dan fokus membuat Lasagna mengiris bawang Bombay dan bawang putih untuk ditumis. Di tengah aku mengiris bawang Bombay, tiba-tiba aku merasakan dua bahuku dingin. Aku sedikit berjingkat karena terkejut.

Pria yang sedari malam kuumpati dalam hati itu menempelkan es batu yang dibungkus dengan handuk kecil. Aku menghentikan aktivitas mengiris dan meletakkan pisau itu diatas telenan. Aku mematung sejenak, penasaran dengan apa yang akan dilakukan iblis berkulit manusia ini.

"Maaf," ucapnya.

Mendadak ada rasa yang mengalir deras diantara perut dan dada. Sekujur tubuhku mendadak kaku dan merinding. Sedekat apa pria itu denganku sehingga napasnya sangat terasa di tengkukku? Aku menahan napas sejenak.

"Bella, Maaf," ucapnya sekali lagi, dan sekali lagi rasa yang kurasakan tadi kembali terasa. Aku menelan air ludah kuat-kuat, kembali menahan napas.

"Aku tidak bermaksud, aku hanya--," Oke, stop, aku tidak tahan dengan rasa aneh yang baru kurasakan itu. Aku langsung menarik tubuh untuk menghadapnya.

Mataku membulat ketika melihat mata pria itu benar-benar dekat dengan wajahku, dia menatapku dengan sendu. Tuhan, jantungku rasanya ingin meloncat dari tempatnya.

"IYA! AKU MAAFIN!" teriakku sembari mendorongnya menjauh. Aku pernah melihat matanya sedekat itu, saat dia akan menciumku di pesta pernikahan lalu. Aku tidak mau berpikiran berlebih, hanya saja ... shit! Kenapa aku jadi salah tingkah!

"Beneran?"

"I---i—iya! Aku juga pasti bakal marah kalau privasiku dicampuri. Hanya saja kau harus belajar untuk menguasai dirimu. Kau terlihat menyeramkan ketika marah." Aku membalikkan badan, tidak kuat menatap wajahnya. Aku meraih pisau dan melanjutkan mengiris bawang.

"Kau sangat ketakutan ya tadi malam?"

"Hm."

"Maaf ya, aku benar-benar menyesal. Maaf juga karena sudah salah menuduhmu."

"Kalau belajar agama itu jangan setengah-setengah, harusnya kamu bisa berpikir dulu dan belajar berprasangka baik," ocehku. Padahal ilmu agamaku juga nol, sok sekali menceramahinya.

"Iya."

Kenapa dadaku masih berdebar? Apalagi ketika mendengar nada suara duda gila itu yang jauh sekali dari kata otoriter. Seperti nada bicara ketika dia berhadapan dengan Alisa. Atau hanya perasaanku saja yang berlebihan, telingaku kali yang salah.

Tiba-tiba dua bahuku kembali merasakan dingin, aku terkejut dan tak sengaja menggoreskan pisau di jari telunjuk kiriku. "Aw!" darah mengalir beberapa detik setelah aku meletakkan pisau.

"Kenapa? Terluka?"

Pak Shaka meletakkan dua bungkus es batu di meja, kemudian dengan cepat menarik tanganku kearah wastafel. Dia memutar kran dan mengelucurkan air di jariku yang terluka. Meski rasanya perih dan ngilu, rasa itu tiba-tiba lenyap saat aku melihat kembali wajah kekhawatiran Pak Shaka.

"Tunggu sebentar, ya, aku mau ambil P3K," katanya setelah membalut lukaku dengan tisu. Tanpa menunggu jawabanku, pria itu sudah berlari keluar dapur.

Aku duduk di kursi meja makan dan memandangi jariku yang terluka. Sebenarnya aku tidak mau salah paham, tetapi kenapa sikap Pak Shaka membuatku semakin mengartikan lain. Aku sudah berusaha menepis dan mengingat kembali pasal 7 dalam isi perjanjian kontrak kita, namun tetap saja... aku mengartikan lain.

Pak Shaka kembali membawa kotak P3K, membuka kotak itu dan mengambil salep antibiotic kemudian mengoleskan salep itu pada jariku yang terluka. Dia membuang tisu yang menutupi lukaku terlebih dahulu. Setelah itu, dia mengambil hansaplast berwarna coklat terang lalu melingkarkan benda lengket itu di jariku.

"Maafin aku ya, gara-gara aku kau terluka lagi." Aku mengangguk sambil tersenyum tipis.

"Kau tidak usah memasak lagi, biar ART yang memasak."

"Tapi---,"

"Sampai lukamu sembuh," lanjutnya. Aku kembali mengangguk.

"Hari ini kita sarapan di luar," kata Pak Shaka sambil membereskan kotak P3K.

"Di luar? Di mana? Nggak keburu, nanti Alisa tidak sempat sarapan, telat sekolahnya."

Tak menjawab pertanyaanku, Pak Shaka malah merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. Setelah menggulir layar sebentar, dia menempelkan benda pipih itu di telinga kanannya.

"Vid, tolong bookingkan restaurant di dekat sekolah Alisa. Bilang setengah jam lagi kita sampai di sana untuk sarapan."

Aku membulatkan mata terkejut, pria ini kenapa mudah sekali berkata 'booking' tempat tanpa berpikir panjang?

"Hm, oke. Thank you." Pak Shaka memutus sambungan lalu kembali meletakkan ponsel di saku kemejanya, "lima menit lagi kita berangkat."

"Hah?"

"Aku tunggu di mobil." Pria itu pergi, meninggalkan aku yang terperangah karena masih tidak percaya dia membooking restaurant sepagi ini.

***

Aku memakai sweater longneck hitam dengan celana jeans telor asin. Karena tidak diberi waktu banyak, aku hanya memoles wajah seadanya dan juga menguncir rambut dengan sederhana. Topi hitam dan masker menjadi komponen wajibku jika bepergian ke tempat yang tidak resmi.

Wajah Alisa terlihat murung, mungkin karena kejadian tadi malam. Dia hanya memakan roti yang diolesi selai kacang dan meminum susu. Aku tidak selera sarapan karena melihat wajah murungnya lagi.

"Pa, Alisa mau pindah sekolah."

Aku langsung tersedak mendengar Alisa berkata itu tiba-tiba, dengan cepat aku meraih gelas dan meneguknya habis. Roti kering yang kulahap tadi masih terasa nyangkut di tenggorokan.

"Kenapa, Sayang?"

"Hanya saja ingin."

Aku melirik Pak Shaka, dia menatap putrinya dengan wajah datar, namun aku yakin dia juga terkejut mendengar permintaan Alisa yang tanpa tedengaling.

"Pindah ke sekolah mana?"

"Ke sekolahannya bunda." Alisa menujukku. Aku menelan paksa roti yang baru saja kukunyah, lalu melirik Pak Shaka yang kini juga melirikku. Aku mengisyaratkan ketidakterlibatanku dengan menaikan bahu.

"Oke, Papa akan segera mengurusnya."

Bibir Alisa terulum senyum, "Bunda, besok temani Alisa ya!"

Aku mengangguk sembari membalas senyumannya. Wajah murung yang tadi terlihat mendadak lenyap. Aku senang karena dia kembali tersenyum, meski hatiku masih tidak enak soal diary itu. Semoga ada kesempatan, aku meminta maaf kepadanya.

Beberapa hari kemudian, Alisa resmi pindah ke sekolahku dulu. Alasan Alisa ingin pindah ke sekolah karena dia ingin mempunyai masa menyenangkan tanpa mengenal kasta, di sekolah dasar yang tak terkenal itu dia akhirnya menemukan teman yang sesungguhnya.

Letak sekolahnya dekat dengan kedai, jadi aku bisa sekalian mampir ke sana, bertemu dengan Nania dan menceritakan semua yang telah terjadi, kecuali perubahan sikap Pak Shaka yang tiba-tiba membuatku mengartikan lain karena perhatiannya.

"Nania!!!" Aku mendorong pintu kedai, lalu masuk. Karena masih pagi, kedai masih tutup dan akan dibuka dalam beberapa jam lagi. Aku tidak sendiri, ada empat bodyguard berjaga di luar.

Langkahku terhenti, saat menatap punggung pria yang duduk di depan counter. Pria yang selama ini hilang entah ke mana, pria yang kadang membuatku berpikir semalaman tentang bagaimana kabarnya, di mana dia berada dan kenapa dia menghilang.

Saat pria itu menoleh, jantungku seolah berhenti berdetak. Lebih lagi kala melihat dua mata sipitnya, aku seperti jatuh ke dimensi di mana hanya ada aku dan dia, saling bertatap dengan perasaan yang tak menentu. Ada rasa sakit, canggung, dan juga rindu.

"Eh, Sabella?" Nania keluar dari balik pintu counter. Perempuan itu tiba-tiba kikuk saat menyadari jika Antoni dan aku bertemu lagi setelah sekian lama.

***

Continue Reading

You'll Also Like

9.5K 1.4K 33
Pernikahan itu bagaikan sebuah anugerah bagi seorang Kwon Yuri. Ia tidak pernah menyangka akan menikah dengan sosok pria tampan dan kaya raya yang be...
62.9K 8.3K 26
Nggak muluk-muluk sebetulnya, Vanilla hanya ingin lulus kuliah tepat waktu. Tapi, akibat pesan typo yang tak sengaja dia kirimkan pada Dosen Kulkas T...
2.8M 141K 61
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _π‡πžπ₯𝐞𝐧𝐚 π€ππžπ₯𝐚𝐒𝐝𝐞
693K 39.3K 56
Highest rank #5 Romance Aika, Gadis cantik yang dulu memiliki sifat yang ceria, percaya diri, berasal dari keluarga kaya dan populer di sekolahnya ki...