Unpredictable Journey [Tamat]

By sskwtsptr

7.2M 452K 20.5K

Mentari tergila-gila pada Baskara, sedangkan Baskara setengah mati menghindari Mentari. Arti namanya mungkin... More

Mentari dan Mataharinya
Sakit
Cinderella KW seribu
Bukan budak cinta
Ceroboh level 99
Perjanjian 127 juta
Ancaman manis
Mochi dan sumber kesakitan Mentari
Penolakan dan keputusan
Terpaksa profesional
Mas Fajar
Terasa sukar
Baskara sakit?
Sesuatu dibalik celana
Akibat COVID-19
Terbongkar
Ini akhirnya
Kecupan tengah malam
Mimpi buruk Mentari
Pupus
Kisah lain
Baik-baik saja
Berakhirnya perang saudara
Sudah sah
Cerai?
Menjemput restu
Hidup baru
Memulai dari awal
Seseorang mulai tertarik
Setelah malam pertama
Masalah rumah tangga
Restu bunda
Bahagia
Ratapan singa betina
Kejutan
Adegan kamar mandi
Rencana sedot lemak
Kehadiran Mereka
(Bukan) keluarga harmonis
Ternyata ...
Mencari
Hilang kendali
Trauma
Mansion Raharja
Mengambil alih
Mentari pembunuh?
Pelengkap
Epilog
Extra part

Selangkah lebih jauh

120K 10.3K 283
By sskwtsptr

[Sebelas]

Sejak pagi-pagi buta Mentari menyiapkan tas yang berisi pakaian dan juga oleh-oleh kecil yang sengaja ia beli untuk kedua orang tuanya. Sekarang jam masih menunjukkan pukul enam pagi namun bibi Nolan sudah bertandang di kamar Mentari.

Bibi Nolan berkali-kali menghapus air matanya, terisak kecil dengan tangan Mentari yang mengusap punggung gemuknya pelan.

"Mentari gak pa pa, Bi. Bibi seharusnya lebih tenang karena nanti Mentari gak sendiri lagi, mas Fajar orang baik, pasti mas Fajar bakalan selalu jagain aku." ucap Mentari dengan senyum menenangkan, namun tidak cukup untuk membuat bibi Nolan tenang dan memberhentikan tangisnya.

"Iya, Bibi tau. Tapi tidak harus secepat ini, kamu masih harus belajar dan mengejar cita-cita kamu. Ibu sama ayahmu itu sama aja, udah lari dari tanggung jawab membesarkan kamu sekarang masih juga gak tau malu nyuruh kamu nikah buat bayar hutang. Bibi sakit hati sama mereka, bibi yang ngurus kamu di sini sampe sebesar ini, bibi yang perjuangin sekolah kamu sampe kuliah, pokoknya bibi gak sudi kalau kuliah kamu putus. Bibi gak rela." ujar Bibi Nolan menggebu, menyusut cairan yang keluar dari hidung juga matanya dengan lengan baju yang ia gunakan.

Mentari hanya bisa tersenyum maklum, tahu betul kalau bibi Nolan memang sangat berjasa dihidupnya semenjak tinggal di kota besar ini. "Mentari akan berusaha menjelaskan masalah kuliah Mentari sama Mas Fajar nanti, Bi. Dia pasti mengerti karena dia kan juga dari keluarga terpelajar."

Bibi Nolan mengangguk pelan menyetujui, kemudian menggandeng Mentari yang sudah menjinjing tasnya. "Bibi anterin sampe ke pangkalan ojek ya, Neng."

"Uuhh, Mentari sendiri aja, Bi. Bibi cukup anterin sampe di sini aja, jalan kaki juga gak bakalan lama kok." Mentari memeluk erat badan tambun milik bibi Nolan, terbesit dipikirannya tentang badannya yang mungkin akan sebesar ini jika sudah tua nanti, saat ini saja ia kadang-kadang kesusahan dengan ukuran dada juga tubuh yang lainnya.

"Nanti kalau sudah naik kereta telpon Bibi ya! Kamu ada pulsa kan?"

"Iya dong, kan Bibi udah isiin sepuluh ribu." ujar Mentari terkekeh, dibalas cubitan gemas oleh bibi Nolan dipipinya.

Mentari mengulurkan tangan untuk membuka pintu pagar besi bagian belakang mansion Adhyasta, namun menoleh kebelakang saat terdengar suara yang memanggilnya.

"Mentari! Kok buru-buru sekali sih? Ayo sini, biar Baskara yang nganterin kamu." Sintya berjalan cepat dan menarik tangan Mentari untuk masuk kembali ke dalam mansion.

"Eh, Nyonya, gak perlu. Mentari bisa sendiri kok."

"Gak papa, nanti kalau kamu sendiri terus kenapa-napa di jalan kan gak ada yang tau. Sama Baskara aja biar dia ada gunanya." sahut Sintya cuek.

Mentari menoleh ke arah bibi Nolan yang hanya menatapnya sambil mengedikkan bahu. Ia menelan ludah kasar. "Nyonya, Tari beneran deh bisa berangkat sendiri. Gak enak kalau ngerepotin tuan Baskara." kata Mentari takut-takut.

"Udah kamu tenang aja." Sintya melepas lengan Mentari dan mendorong pintu kamar Baskara, "Bas!! Bangun kamu!"

Mentari mengurut dada kaget, terkejut dengan tindakan Sintya yang kini menepuk keras bokong Baskara. Antara ingin tertawa dan takut, Mentari memutuskan untuk terdiam. Sudah yakin kalau Baskara akan menolak mentah-mentah usulan Sintya untuk mengantarnya ke stasiun.

"Bunda apaan sih pagi-pagi buta udah kdrt, aku masih ngantuk." Baskara mengerang kemudian menjauh dan menutup tubuhnya dengan selimut di sisi lain kasur besarnya.

Sintya menatap Mentari dan meringis pelan. "Mentari tunggu sebentar ya, ini sebentar lagi juga bangun kok." kata Sintya lembut. Ia kemudian berjalan ke sisi kasur dan menarik paksa selimut Baskara. "Bas bangun gak kamu! Anterin Mentari ke stasiun sekalian ambilin kue Bunda di tante Silvia!"

"Suruh Alvin kan bisa Buun." Baskara beralih memeluk gulingnya. Diam sejenak setelah menyadari sesuatu dan mengerjap cepat.

Silvia adalah adik kandung Sintya yang juga ibu dari Alvino, kebetulan Silvia mempunyai toko kue legendaris yang disukai semua kalangan, termasuk Sintya.

"Mentari sebaiknya pergi sendiri aja, Nyonya. Tuan Baskara juga kelihatan masih ngantuk banget, kalau dipaksa nganterin Tari nanti bahaya di jalan." ujar Mentari pelan dengan kaki bergerak gelisah.

Mentari juga tidak bisa memikirkan bagaimana nasibnya jika harus bersama Baskara yang jelas-jelas hatinya inginkan namun sulit untuk dimenangkan. Bernapas ditempat dan waktu yang sama namun memiliki keinginan dan hati yang berbeda.

Mentari sudah berusaha semampunya untuk menjauhi Baskara selama berada di mansion dan kampus, dan kini saat otak dan takdir membawanya untuk pergi dan memulai awal baru, justru Baskara yang akan mengantarnya, dan Mentari yakin ia tidak akan tetap baik-baik saja setelahnya. Perasaannya akan terus berkembang dan segar seperti baru, dan itu akan sangat menyakitkan karena hanya ia yang merasakannya.

Baskara bangun seketika saat suara Mentari masuk digendang telinganya, membuat kepalanya sakit karena gerakan tiba-tiba itu. Ia kemudian memukul-mukul pelan kepalanya dengan pandangan sinis ke arah Mentari. "Mau ngapain lo ke stasiun? Gue gak mau nganterin."

Jantung Mentari berdegup keras, tidak nyaman dengan pandangan tajam yang Baskara layangkan padanya. Ingin sekali Mentari meneriaki Baskara menyuruhnya bersikap biasa saja padanya, berbicara dengan biasa layaknya sesama. Bukan dengan nada angkuh penuh arogansi.

"Kamu ini kenapa sih bangun bangun langsung galak gitu?! Bunda yang suruh kamu! Kamu mau nolak?!" Sintya menatap Baskara tajam dengan kedua tangan bertolak pinggang. Baskara menganggap angin lalu bentakan Sintya, tatapannya tetap menghunus pada Mentari yang bergerak gelisah di ambang pintu kamarnya.

Mentari menunduk dengan mata memanas dan tenggorokan tercekat menyakitkan. "Maaf Tuan, Mentari bisa pergi sendiri. Permisi Nyonya." Dengan langkah cepat Mentari berjalan menuruni tangga, melewati dapur dan sampai kepintu belakang.

Mentari melihat bibi Nolan menyapu di bawah pohon mangga, lumayan jauh dari tempatnya berdiri, kemudian berteriak. "Mentari pergi dulu ya, Bi! Mentari bakal hati-hati kok. Dadahh!" Mentari melambaikan tangannya pada bibi Nolan dan menutup pintu cepat.

Secepat pintu itu tertutup secepat itu pula air matanya terjun, mata dan alisnya memerah karena menahan tangis sejak tadi. Mentari mengembuskan napas sesaknya perlahan, tersenyum kecil saat memandang mansion megah Adhyasta dari belakang bangunan itu.

Tempat ia tinggal sudah hampir empat tahun lamanya, tempat ia tinggal bersama cintanya yang tidak lama lagi akan kandas setelah pria lain mengucapkan ijab qabul atas dirinya.

"Semuanya bakalan baik-baik aja." ucap Mentari dengan senyum lebar. Kakinya melangkah ringan menuju pangkalan ojek diujung gang komplek ini. Hanya perlu berjalan lima menit, kemudian sampai.

"Ke stasiun, Bang!" Mentari menepuk pundak salah satu tukang ojek yang sedang asik bercengkrama dengan temannya.

"Eh! Siap, Neng." ujar tukang ojek itu dengan sikap hormat, mengambil alih tas jinjing Mentari kemudian menyerahkan helm.

"Mau pulang kampung ya, Neng?"

"Iya, Bang."

"Kan belom lebaran, kok udah mau pulang kampung, Neng."

"Yee si Abang! Emang harus lebaran dulu baru boleh pulang kampung." Mentari menepuk pundak tukang ojek itu seraya terkekeh pelan yang diikuti teman-teman tukang ojek yang lainnya.

"Duluan gaes!" Tukang ojek itu berseru dengan tangan melambai setelah Mentari menaiki motornya, melajukannya pelan kemudian cepat setelah memasuki jalan raya.

"Nengnya disini sekolah atau kerja?" Tukang ojek itu kembali bersuara setelah sepuluh menit penuh keheningan.

"Dua-duanya, Bang." jawab Mentari singkat.

"Wah hebat ya. Kalau saya di sini cuma kerja aja, soalnya udah tamat SMP dua puluh tiga tahun lalu." ujar tukang ojek itu lagi.

Mentari mengangguk sekilas sebagai respon kemudian menghela napas pelan, tanpa diberitahupun Mentari juga sudah tahu. Mentari akhirnya memilih mengabaikan saja hingga sampai dengan selamat di stasiun tiga puluh menit kemudian.

"Berapa, Bang?" tanya Mentari setelah turun dan mengambil tasnya.

"30 rebu doang, Neng."

"Kok mahal?" Mentari bertanya dengan alis berkerut.

Tukang ojek itu mengangkat alisnya heran. "Biasanya juga begitu, Neng amnemsia ya?"

"Amnesia." ralat Mentari, "Tapi masa sih?" lanjutnya

"Yang nganterin Neng kan biasanya juga saya. Ongkosnya juga begitu, kagak berubah-berubah."

Mentari kemudian memandang tukang ojek itu datar. Demi celana kotak Spongebob ya! Tukang ojek itu sadar kalau dirinya adalah langganan Mentari ketika pulang kampung, tapi masih saja memulai obrolan dengan kalimat yang sama persis.

"Ya terus Bang Topan ngapain nanya-nanya tadi padahal udah tau! Ini ah! Bang Topan bikin bete aja." Mentari memberikan ongkosnya dan berlalu dengan wajah ditekuk, kakinya menghentak kesal kemudian berjalan semakin dalam ke stasiun meninggalkan bang Topan yang hanya bisa menatapnya heran.

Mentari duduk di kursi tunggu setelah membeli tiket, meletakkan tasnya di samping kakinya yang tak berhenti menepuk-nepuk lantai. Kepalanya menunduk membiarkan rambutnya yang tergerai menutup wajahnya, pikirannya melayang kemana-mana, memikirkan kuliah, asmara, dan semua yang tidak mengenakkan. Termasuk Baskara.

Baskara yang sinis. Baskara yang galak. Baskara yang bossy. Baskara yang tidak menyukainya. Baskara yang mencintai gadis lain. Baskara yang bukan miliknya.

Mata Mentari terpejam erat saat menghirup aroma seksi milik Baskara, tersenyum miring karena indera penciumannya bahkan berhalusinasi. Mentari kemudian mengusap wajah polos tanpa make upnya kasar setelah mendengar pemberitahuan kereta yang akan ia tumpangi sudah tiba dan akan berangkat dua puluh menit lagi.

Tangannya meraih tali tasnya, namun terdiam saat melihat sepasang kaki bersepatu hitam berdiri dihadapannya. Jantungnya menggila, membayangkan jika itu adalah Baskara yang datang karena mengkhawatirkannya yang pergi seorang diri.

Kepalanya mendongak, menatap lurus pada lelaki tinggi yang memang benar adalah Baskara. Mentari tersenyum manis tanpa ia sadari, berdiri kemudian berbisik lirih. "Tuan menyusulku?" tanyanya tak percaya.

Dan nyatanya Baskara peduli padanya. Baskara tidak benar-benar mengabaikannya.

"Jangan geer!" sentak Baskara kasar membuat Mentari refleks terpejam karena terkejut, juga sebagian calon penumpang yang menatapnya tak suka.

Sial! Baskara merutuk pelan dalam hati, mengatur napas sesaat kemudian kembali bersuara. "Bunda yang nyuruh gue buat mastiin lo sampe dengan selamat ke stasiun. Jadi jangan geer." kata Baskara berusaha datar.

Sungguh berbicara dengan Mentari dalam suasana ini membuat emosinya meluap-luap. Apalagi setelah sebelumnya berkendara ugal-ugalan dan berlari mengelilingi stasiun hanya untuk mencari gadis yang membuatnya berantakan ini. Ingin sekali Baskara menyeretnya pulang saat ini juga.

Senyum Mentari menipis, tangannya yang berkeringat meremas kuat tali tasnya. "Terimakasih, Tuan." ucap Mentari sambil menunduk.

Baskara seharusnya tidak perlu menjelaskan sesedetail itu untuk membuat Mentari percaya. Mentari tahu Baskara tidak mungkin memiliki perasaan entah kasihan ataupun khawatir kepadanya. Yang Mentari butuhkan hanya Baskara tetap diam, membiarkannya bahagia memikirkan kemungkinan-kemungkinan tidak jelas soal Baskara yang peduli padanya.

Tapi ya sudahlah, Baskara juga sudah memberitahunya. Perlakuannya itu hanya amanat dari Sintya yang khawatir pada salah satu pelayannya. Hanya itu.

"Aku- saya, saya harus segera naik." Mentari menatap Baskara dengan senyum tipis. Bagaimanapun juga Mentari harus tetap sopan dengan Baskara, rasanya tidak pantas saja jika harus berwajah datar saat sedang berhadapan dengan majikannya ini.

"Permisi, Tuan." Mentari melewati Baskara sambil menjinjing tasnya.

"Mentari." panggil Baskara membuat Mentari menoleh cepat. "Ada apa?" tanyanya pelan.

"I-itu ada sesuatu di rambut lo." ujar Baskara menunjuk kepala Mentari.

"Apa?" Mentari menyisir rambutnya menggunakan jari dengan panik.

"Itu."

Baskara maju menghampiri Mentari, berdiri berhadapan dengan jarak super dekat. Jarinya meraih sejumput rambut Mentari, menunduk kemudian menghirup aromanya dalam-dalam dengan memejamkan mata. Jantungnya bertalu-talu menyakitkan, sedangkan rongga dadanya membesar menyimpan aroma manis yang menguar dari tubuh dan rambut Mentari.

"Bunda bilang cuma tiga hari. Jadi setelah tiga hari lo harus sudah ada di mansion!" tegas Baskara di atas kepala Mentari, mundur perlahan dengan tangan kosong.

Mentari hanya mengangguk sembari merapikan rambutnya, matanya melirik tangan Baskara yang tadi meraih sesuatu dirambutnya, namun tidak ada apa-apa. Mungkin Baskara salah lihat.

Mentari menatap Baskara dengan mata berkedip polos, melanjutkan langkahnya menuju kereta api sesekali menoleh ke belakang melihat Baskara yang masih berdiri memperhatikannya.

"Sampai jumpa." ucap Mentari pelan dengan senyum kecil mengangkat sebelah tangannya singkat ke arah Baskara.

Sampai jumpa dengan takdir yang sudah berbeda.

Tbc ...

Continue Reading

You'll Also Like

83.7K 7.5K 34
(COMPLETED- TELAH TERBIT) Chris sang bintang layar lebar dan pewaris kerajaan bisnis keluarganya harus rela tinggal di sebuah desa terpencil dalam me...
1.4M 27.1K 10
Judul awal : Possessive Husband Raka Mahendra terlalu percaya diri dengan pilihannya tanpa bertanya lebih dulu. Hingga dia membawa orangtuanya untuk...
5.5M 293K 56
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
3.5M 365K 38
Satu tahun tinggal di apartemen, Almira tidak pernah berinteraksi dengan tetangga kanan dan kirinya. meskipun tidak berinteraksi, bukan berarti ia ti...