Beautifulove

By DayDreamProject10

181K 28.1K 13.8K

°Tentang gadis biasa saja yang menginginkan hal luar biasa.° --- Namanya Yona. Gadis penuh rahasia yang menda... More

0 :: Prolog.
1 :: Yona Faresta Ivory.
2 :: Dave.
3 :: Memulai.
4 :: Mengikat.
5 :: Melunak.
6 :: Menjadi.
7 :: Mengetahui.
8 :: Melekat.
9 :: Menguat.
10 :: Menenangkan.
11 :: Menyenangkan.
12 :: Melawan.
13 :: Mengungkapkan.
14 :: Memalukan.
16 : Mengecewakan.
17 :: Melegakan.
18 :: Menjanjikan.
19 :: Mengacaukan.
20 :: Menyembunyikan.
21 :: Mengertikan.
22 :: Mengejutkan.
23 :: Menegaskan.
24 :: Mengupayakan.
25 :: Meresahkan.
26 :: Menyesalkan.
27 :: Membahagiakan.
28 :: Menggelisahkan.
29 :: Menjengkelkan.
30 :: Menyedihkan.
31 :: Merencanakan.
32 :: Menghentikan.
33 :: Mengalihkan.
34 :: Menyudutkan.

15 :: Melelahkan.

4.2K 771 687
By DayDreamProject10


Sebelum baca aku mau nanya, aku kepo. Dijawab ya!

*Apa penyesalan terbesar kamu?*

*jika kamu bisa mengulang waktu, apa yang ingin kamu perbaiki?*

"Kamu tipe orang yang suka mendem sendirian, atau terbuka aja?*

*Kalian punya nggak teman yang bisa diajak curhat tanpa harus merasa ragu sedikitpun?*

*Apa harapan kamu kedepannya?*

*Menurut kamu, cara apa yang paling ampuh untuk meredakan kesedihan?*

Apapun itu, guys. Jangan pernah menyerah. Tetap kuat untuk diri kamu sendiri. U're not alone, i'm with you❤

***

Teruntuk kalian semua yang klik cerita ini, baca cerita ini, selalu vote, komen banyak-banyak, dan tetap setia nungguin aku update. I love u more than words❤

Terima kasih untuk kalian semua yang hebat-hebat❤

Sblm baca jangan lupa vote dlu, dan komen banyak-banyak. Aku butuh kalian❤

*****

🍃🍃🍃🍃🍃

"Pada awalnya, ada banyak luka yang ingin diungkapkan, tetapi rasa ragu mengurungkan. Dan berakhir, aku baik-baik saja—meski nyatanya—aku lelah dengan semuanya."

🍃🍃🍃🍃🍃

Ketika mengetahui pintu kamar Yona tidak terkunci, bibir Herman lantas tersenyum miring penuh kemenangan. Jika diingat-ingat, sudah lama juga ia tidak mengeledah kamar Yona lagi untuk mencari sesuatu yang bisa diuangkan. Herman yakin, gadis itu pasti memiliki banyak barang berharga yang selama ini disembunyikan dengan selalu mengunci pintu kamarnya rapat-rapat.

Sebenarnya, saat pertama kali melakukan, Herman tidak pernah merencanakan ini sebelumnya. Semua berawal saat ia melewati kamar Yona yang sedang terbuka bebas, karena merasa penasaran kakinya pun mencoba melangkah masuk. Dan tanpa Herman sangka, keadaan kamar Yona ternyata lebih berharga dibandingkan setiap sudut ruangan lain yang ada di rumah sederhana ini. Bahkan ponsel Yona yang pernah ia ambil paksa kemarin pun memiliki nilai jual yang tinggi. Herman kadang bingung sendiri, dari mana Yona bisa mendapatkan itu semua? Sedangkan keadaan mereka sekarang sangat tidak memungkinkan?

Herman menggeleng, berupaya untuk tidak memikirkan dan peduli pada apapun yang berurusan dengan Yona. Sebelum alarm pagi gadis itu memekakkan telinga, Herman buru-buru melangkah masuk. Tangannya meraba dinding, berniat ingin menyalakan lampu tanpa takut jika Yona akan terbangun dan memergokinya.

Saat lampu kamar menyala, hal pertama yang Herman lihat adalah Yona yang sedang terbaring di atas kasur tipis seadanya. Ia mengalihkan pandang, memperhatikan sekeliling kamar yang tertata dengan rapi. Namun saat ingin melangkah lagi untuk mendekati meja belajar Yona, sebuah seruan memilukan tiba-tiba terdengar. Refleks, Herman melihat ke bawah. Ia berdecak, pantas saja ia merasa sedang menginjak sesuatu yang keras. Ternyata itu adalah kaki Yona.

"Ck! makanya naro kaki jangan sembarangan! Keinjak kan, lo!" ucap Herman jengkel. "Tapi nggak apa-apalah, hitung-hitungan gue bantuin alarm sialan lo itu biar nggak perlu bunyi lagi," lanjutnya tanpa merasa bersalah. Menatap Yona kesal sesaat, ia kembali berjalan.

Yona tidak menjawab. Ia menggigit bibir bawahnya kuat menahan sakit luar biasa pada pergelangan kakinya. Dibangunkan dengan cara seperti ini sangat cukup membuat mata gadis itu berkaca-kaca.

"Ayah ngapain?" tanya Yona bergetar pelan. Prasangka buruknya perlahan menguap. Masuknya Herman ke dalam kamarnya bukanlah sesuatu yang baik, bahkan sangat buruk. Yona melirik jam kecil itu, sedikit lagi menunjukkan pukul lima pagi. Ia yakin, Herman baru saja pulang ke rumah.

"Barang-barang lo semua ke mana? Sini, kasih ke gue," pinta Herman langsung. Ia menoleh, mengadahkan tangan ketika sesuatu yang ia cari tidak ada di meja belajar Yona.

"Barang apa?"

"Lo nggak usah banyak tanya, cepet kasih ke gue barang-barang lo itu!" Herman berdecak jengkel lagi.

"Aku nggak ngerti maksud Ayah apa," balas Yona menatap yakin Ayahnya. Diam-diam tangannya berusaha menyembunyikan sesuatu.

"Barang-barang lo itu bego! Yang bisa gue jual! Laptop, tas, jam tangan, hape, atau apapun itu! Sini cepet! Gue buru-buru!" Nada suara Herman kian meninggi, membuat Yona menggeserkan tubuhnya takut.

"Aku nggak punya itu lagi. Bukannya Ayah udah ambil semua?" jawab Yona cepat.

"Lo bener-bener pengen gue habisin, ya?! Sini, cepet! Nggak usah bohong lo! Gue lagi butuh modal untuk usaha!" teriak Herman marah, tanpa peduli dengan keadaan. Yona menggeleng-gelengkan kepalanya menolak. Tetapi detik kemudian ia harus memekik kesakitan karena Herman mencengkram rambutnya kuat.

"Mana barang lo anak, sialan! Cepet bilang sebelum kulit kepala lo gue robek sekarang!" Herman semakin menguatkan tenaganya. Yona tetap menggeleng, air matanya menetes begitu saja. Ia mengetatkan rahang, mencoba menahan rasa sakit luar biasa pada kepalanya.

"A-ku nggak boh-ong. ak-u b-eneran ngg-a punya it-u la-gi, Yah." Dengan susah payah Yona menjawab. Meski wajah gadis itu kini memerah menahan sakit, tetapi Herman belum juga melepaskan cengkeramannya.

Herman tersenyum miring, melihat Yona seperti ini sangat menyenangkan untuknya. Merasakan tubuh Yona bergetar hebat, ia melepaskan cengkeramannya kasar hingga Yona terjauh mencium lantai.

Buru-buru Yona mengambil napas dalam-dalam. Dadanya terasa sesak, ia hampir tidak bisa bernapas. Mengusap air matanya, ia harus lekas berbalik saat Herman membongkar lemarinya brutal.

"Yah! Jangan!" cegah Yona berniat berdiri, namun saat bergerak ia seketika meringis kesakitan. Yona memijat pelan kakinya, berupaya meredakan denyutan menyakitkan itu. Melihat Herman hampir membongkar sebagian lemarinya, Yona buru-buru menyeret tubuh mendekat. Ia menarik kaki Ayahnya untuk menjauh. Tetapi justru Herman menepisnya kuat.

"Yah! Aku mohon jangan!" Yona memohon. Ia kembali menarik kaki Ayahnya, namun Herman terus menepis dan terus membongkar semuanya.

"Yah!" panggilnya. Kali ini ia memegang kaki Herman lebih erat. Baju-bajunya sudah berserakan di mana-mana. Rasa sakit pada kakinya benar-benar membuat Yona tidak mampu bergerak banyak.

"Jangan sentuh gue, sialan!" sentak Herman menepis lebih kuat hingga tubuh Yona kembali terjatuh.

Herman menghela napas kasar. Ia sudah jengkel setengah mati karena belum mendapatkan apapun. "Lo sembunyiin barang lo di mana?! Sini kasih ke gue sekarang!"

"Aku nggak punya apa-apa, Yah," balas Yona bergetar takut. "Aku nggak bohong."

"Awas, ya, lo! Kalau sampai gue dapat sesuatu! Lo bakal habis di tangan gue!" ujar Herman terlampau kesal. Ia kembali menatap sekeliling, mencari di setiap sudut kamar Yona. Sedangkan Yona hanya bisa terdiam menyaksikan, ia tidak mampu lagi menghentikan Ayahnya.

"Minggir!" pinta Herman mengusir Yona dengan kakinya.

"Di sini nggak ada apa-apa, Yah!" ucap Yona cepat. Ia mempertahankan posisinya, enggan bergeser sedikitpun.

"Minggir gue bilang! Cepet!"

"Aku nggak bohong, Yah. Di sini nggak ada apa-apa. Ini cuma tempat tidur aku. Aku nggak sembunyiin apa-apa. Ayah bisa cari di tempat lain. Jangan di sini." pinta Yona menggeleng. Ia merapatkan tubuh, tetap berusaha mempertahankan.

Herman mengepalkan tangannya emosi. "Minggir anak sialan!" Dengan sekali dorongan kuat tubuh lemah Yona seketika bergeser jauh. Herman langsung menyibak kasur dan selimut Yona. Membongkar semuanya hingga sebuah dompet putih yang terlihat menghentikan pergerakan Herman.

Yona membulatkan mata, tanpa memikirkan kakinya ia langsung bergerak cepat ingin mengambil kembali dompet itu.

"Yah! Jangan! Aku mohon jangan diambil! Itu bukan punya aku, Yah! Aku mohon Ayah balikin sekarang! Aku mohon tolong dibalikin! Aku mohon itu beneran bukan punya aku!" Yona histeris saat dompet Dave sudah ada di tangan Herman. Sakit luar biasa pada kakinya sudah tidak dipedulikan lagi. Ia terus berusaha berdiri, dan menarik baju Ayahnya yang tertawa kesenangan.

"Jadi lo sembunyiin ini daritadi?!" Herman memperlihatkan dompet itu. "Dasar pembohong!" Lalu tanpa aba-aba ia melayangkan tangannya menampar pipi Yona kuat.

Rasa perih itu seketika menyebar cepat. Yona menunduk sesaat, memegangi pipinya dengan sebelah tangan mengepal erat.

"Kenapa? Sakit? Makanya lo jangan coba-coba nipu gue. Lo masih beruntung karena gue lagi buru-buru." Herman memukul sejenak kepala Yona dengan dompet itu, lalu berniat berbalik pergi, tetapi kakinya mendadak ditahan lagi oleh Yona.

"Aku mohon banget sama Ayah tolong dibalikin dompet itu! Itu bukan punya aku! Aku mohon sama Ayah. Aku mohon!" Yona menangis kuat di bawah kaki Herman, ia bersujud penuh harap.

"Lo mau gue balikin ini?" Herman memancing Yona. Yona dengan cepat mengangguk lalu berusaha menggapai dompet Dave lagi. Herman tertawa mengejek. "Enak aja! Ini dompet tebal udah jadi milik gue!

"Yah!" Yona menyatukan kedua telapak tangannya. "Aku belum pernah memohon sama Ayah. Kali ini aku mohon jangan diambil. Itu punya temen aku. Aku harus bilang apa nanti sama dia? Dia udah baik banget sama aku. Aku mohon jangan diambil. Aku mohon, Yah. Aku mohon, aku mohon. Aku mohon tolong jangan." Tubuh Yona bergetar hebat. Tangisnya kian menjadi. Tetapi Herman yang melihat sama sekali tidak peduli.

"Punya temen lo? Gimana bisa temen lo ngasih dompet dia? Lo nggak usah bohong lagi, bilang aja dompet ini punya om-om yang sewa lo permalam itu, kan? Pantas aja lo sering pulang malam banget. Nggak heran lagi gue."

"Itu beneran punya temen aku! Aku nggak bohong!" seru Yona kuat, tidak terima dengan perkataan Ayahnya. Melihat Herman ingin membuka dompet Dave, Yona menarik baju Ayahnya berupaya berdiri.

"Yah, jangan!"

"Pantas aja lo umpetin. Ternyata isinya banyak." Herman tersenyum kemenangan. "Pasti om-om lo itu kaya. Bagus. Banyak-banyakin rayu dia, biar dia ngasih lebih banyak lagi."

"Ini nggak seperti apa yang Ayah pikirin! Itu punya temen sekolah aku!"

"Lepas nggak?! Berhenti tarik-tarik baju gue!" perintah Herman muak. Ia mendorong Yona hingga tarikan gadis itu terlepas.

"Lin, bangun, Lin! Sini cepet! Liat anak yatim piatu ini! Dia pintar nyari duit banyak!" Panggil Herman. Linda yang kebetulan terbangun karena keributan itu lantas berjalan mendekat. Ia kaget saat memasuki kamar Yona yang sangat berantakan.

"Lin, liat. Banyak, kan? Ini duit dia. Bayaran dari om-om yang permalam dia layani," ujar Herman menunjukkan uang dari dompet Dave itu.

"Bayaran dari om-om?!" seru Linda tidak percaya. Ia menatap Yona marah. "Jadi selama ini kamu kerja jadi pelacur?!" tanyanya langsung. Yona menggeleng berkali-kali merespon.

"Enggak, Ma! Aku nggak pernah kerja seperti itu!" bantah Yona tegas.

"Terus ini uang dari siapa?! Siapa yang mau ngasih kamu uang sebanyak ini?!" Linda berteriak kuat.

"Udalah, Lin. Nggak usah buang-buang tenaga. Dia nggak akan mau mengaku. Walau jelas-jelas dia udah ketahuan abis jual diri." Herman memasukkan uang itu kedalam kantong celananya, kemudian melempar dompet kosong Dave ke Yona. "Besok-besok minta lagi yang banyak sama om-om lo itu."

"Gue cabut dulu," pamitnya melangkah keluar. Tetapi baru selangkah ia berhasil, Yona langsung menyeret tubuh dan memeluk kaki Herman kuat.

"Yah, aku mohon tolong dibalikin. Jangan diambil. Aku mohon. Ayah bisa pukul aku sepuasnya tapi aku mohon jangan diambil uangnya. Itu bukan punya aku," pinta Yona mengeratkan pelukannya pada kaki Herman. Ia benar-benar tidak tahu cara menghadapi Dave nanti jika seluruh sisa uangnya diambil begitu saja oleh Ayahnya.

"Jangan sentuh gue, Sialan! Gue nggak sudi disentuh sama anak kotor seperti lo!" bentak Herman menendang tubuh Yona kuat, pelukan gadis itu langsung terlepas dan terpental beberapa langkah. Yona seketika meringis kesakitan, pandangannya lantas mengabur saat kepalanya terbentur pada sudut lemarinya.

Herman menghela napas lelah. "Lo urus dia. Gue ada urusan." Setelahnya, ia berjalan keluar.

Selepas Herman pergi, Linda berjalan menghampiri Yona yang sulit bergerak lagi. Gadis itu hanya bisa menangis, melampiaskan seluruh kesakitan yang ia rasa.

"Jawab Mama dengan jujur! Kamu beneran kerja jadi pelacur?!"

"Enggak, Mah. Aku nggak bohong," jawab Yona bergetar hebat.

"Terus dari mana kamu bisa dapat uang sebanyak itu?! Kamu nggak usah bohong! Jelas-jelas dompet itu juga punya cowok!" bentak Linda emosi. "Mama nggak adopsi kamu untuk jadi pelacur, ya! Kamu bisa nggak, sih, tau diri dikit! Kami udah besarin kamu bertahun-tahun! Tapi ini balasan kamu?!"

Yona diam, ia menggigit bibirnya kuat, menahan isakan hebatnya. Seperti ada sesuatu yang menghimpit keras dadanya, membuat napasnya sesak, hampir menyerah untuk bernapas.

"Berhenti kerja seperti itu! Atau Mama bakal benar-benar usir kamu dari rumah! Mama mohon kamu berhenti berulah! Jangan nambah kesengsaraan kita lagi! Apa jadi pembawa pembawa sial di kehidupan kita selama ini belum cukup, hah?!"

Mendengar itu Yona menutup matanya rapat-rapat. Ia berusaha melawan rasa sakit hatinya yang semakin mencoba mengusai.

"Denger, nggak?!" sentak Linda. Yona seketika mengangguk kuat. "Mama nggak pernah peduli kamu lakuin apa. Kamu jual diri seperti ini Mama juga bodo amat. Tapi kalau orang-orang tau gimana?! Mau taro dimana muka Mama?! Kamu jangan salah paham. Mama suruh kamu berhenti bukan berarti Mama peduli! Itu nggak akan pernah terjadi lagi!" lanjutnya tajam. Kemudian ia keluar, dan menutup pintu kamar dengan kasar. Meninggalkan Yona yang menenggelamkan wajahnya, menangis kuat-kuat bersama bahu yang terguncang hebat.

🍃🍃🍃

Dave memandangi ponselnya hampa, sudah banyak pesan yang ia kirim pada Yona tetapi gadis itu tidak membalas sama sekali, bahkan telponnya pun tidak dijawab. Melirik sekali lagi ke arah pintu kelas, ia sangat mengharapkan kedatangan Yona. Entah mengapa, perasaannya saat ini tidak mengenakkan, ada banyak kegelisahan yang memenuhi hingga Dave tidak bisa tenang ditempat. Ia terus mencoba mengirimkan Yona pesan singkat, dan menelpon gadis itu berungkali. Tetapi sambungannya selalu saja berakhir pada suara operator.

Lelaki itu menghela napas. Ini tidak seperti biasanya, Yona tidak pernah terlambat. Lalu mengapa gadis itu tidak kunjung datang-datang padahal sebentar lagi upacara pagi akan dimulai?

Dengan pikiran bercabang ke mana-mana, Dave berusaha tenang. Mungkin saja Yona sedang terjebak macet, atau mungkin saja Yona akan segera sampai. Dave menunduk, masih berupaya menahan diri. Meski ia hanya diam di bangkunya dengan sikap seolah-olah tak memiliki beban hidup, tetapi batin Dave acak-acakan. Ia sangat butuh melihat Yona yang baik-baik saja sekarang.

Berbalik memandangi jam tangannya, Dave akan menunggu sebentar lagi. Ia menatap menatap sekeliling. Hari ini terasa lebih menyesakkan, tetapi ia mencoba menjadi manusia normal tanpa bergantung pada earphone. Tatapannya mendadak terhenti pada Cinta yang duduk di depan sana. Dave ingin sekali bertanya mengenai Yona, namun bagaimana cara ia bisa bertanya jika membuka mulutnya saja saat ini sangat sulit ia lakukan?

Dave menghela napas lagi. Ia merasa tidak akan mendapatkan jalan keluar jika terus seperti ini. Daripada terus diam dengan kegelisahan yang tak berujung, lelaki itu bangkit dari duduknya, berniat keluar kelas untuk mencari Yona—atau mungkin menuju gerbang menunggu Yona datang.

"Dave!" panggil Cinta tiba-tiba. Menghentikan langkah Dave tepat di sampingnya.

Kepala Dave menoleh, menatap Cinta dengan ekspresi seperti biasa—yang membuat gadis itu lantas cemberut. "Denger-denger, lo abis nembak Yona, ya? Serius? Kok, bisa?"

Alih-alih menjawab, Dave hanya diam berdiri tegak di posisinya. Mata lelaki itu berkedip-kedip, berpikir. Mencoba mencari cara agar ia bisa menjawab pertanyaan Cinta.

"Jadi beneran? Gosip kalian udah menyebar satu sekolah. Atau jangan-jangan lo udah jadian aja sama Yona?!"

Karena Cinta adalah teman Yona, Dave terus berusaha agar bisa merespon. Tetapi selanjutnya, ia masih saja seperti itu tanpa perubahan sama sekali. Dave kini terlihat seperti anak ayam yang kebingungan mencari induknya. Tidak tahu harus bagaimana.

"Hello, Dave?" Cinta melambaikan tangan, menuntut jawaban.

Dave mulai berniat bersuara, tetapi keraguan seakan-akan menjahit mulutnya. Rasanya sangat berat mengeluarkan suara pada orang lain.

"Lah! Apaan, sih, itu cowok?!" gerutu Cinta dalam hati ketika Dave berbalik meninggalkannya begitu saja. "Enggak Dave, enggak semua cowok Dhs, semuanya mau aja diperbudak sama Yona! Emang Yona sehebat apa, sih?! Ngeselin banget!"

Tentu Dave masih sempat mendengar itu sebelum telinganya disumbat dua-dua oleh earphone. Jika saja sekarang ia memilih tidak menutup diri sejenak, mungkin selaput tipis telinganya bisa pecah akibat bisikan-bisikan tajam yang menyebut-nyebut namanya dengan Yona. Suasana kini benar-benar terasa lebih menyesakkan. Semua pasang mata terus melirik padanya yang baru saja keluar dari kelas. Entah apa yang telah terjadi, hingga saat ini Dave masih kebingungan.

Tanpa memperdulikan keramaian yang ada, Dave mengambil langkah. Namum sayang, beberapa murid lelaki tiba-tiba mendekatinya, menghadang jalan Dave hingga terpaksa terhenti di tempat.

"Jadi ini yang namanya Dave?" Seseorang itu tertawa. "Kok, cewek-cewek pada bilang dia ganteng, ya? Padahal jelas-jelas muka dia mirip plastik!"

"Makanya gue heran. Mata mereka pada katarak kali. Gantengan juga gue ke mana-mana." Satunya ikut bersuara. Memandang Dave remeh.

"Lo bener-bener punya nyali yang tinggi. Jadi kemarin pelajaran gue belum bikin lo sadar juga? Terus sekarang lo malah tiba-tiba berani banget nembak Yona. Emang lo punya apa?" Ziko—lelaki yang pernah menghajar Dave karena aduan Yona beberapa saat lalu berjalan mendekat. Tangannya mengepal.

Meski Dave mengenali mereka semua, tetapi ia tidak merasa takut sedikitpun. Ia juga tidak mengerti arah pembicaraan orang-orang yang ada di depannya sekarang. Daripada membuang-buang waktu, ia lebih baik kembali berjalan mencari Yona.

"Eits! Mau ke mana? Mending ikut kita semua. Kebetulan kita lagi mau seneng-seneng," tawar teman Ziko merangkul Dave paksa. Sedikit kesusahan karena Dave lebih tinggi darinya. "Mau nggak? Bolos upacara sesekali nggak apa-apalah."

"Ikut aja. Dijamin seru. Udah lama, nih, tangan gue nggak dikasih asupan," ucap Ziko meniup kepalan tangannya. Beberapa saat ia menatap Dave sinis.

"Kuy. Langsung aja kita meluncur ke gudang belakang sekolah!" lanjutnya memimpin jalan. Membiarkan temannya menyeret Dave ikut.

Dave memberontak, tetapi teman-teman Ziko memegangnya kuat. Sementara orang-orang yang melihat tak kuasa menolong. Dave terus berusaha meloloskan diri, ia harus pergi dari sini untuk menunggu Yona. Namun ia gagal dan terus diseret paksa tanpa tahu ia akan dibawa kemana.

"Tenang aja kali, bro. Permainan kita bakal seru, kok. Bahkan seru banget sampai lo nggak berani lagi dekatin Yona," ucap Ziko tersenyum miring. Dalam hati ia bersorak kemenangan. Ziko benar-benar sudah tidak sabar membuat lelaki itu tidak berdaya ditangannya.



2862 words, done!!!😭😭😭

Akhirnya bisa menyelesaikan setelah berputar-putar tak menentu:( Gimana part kali ini ini? Coba dong dikomen😭❤

Coba kasi juga emot apa yang cocok untuk part ini apa?😭😭😭

Btw ada yang bisa nebak nasib Dave akan seperti apa? Kira-kira respon Yona bakal gimana ya? Kasi saran, kritik, dan pesan dong❤


Btw geng jangan lupa follow ig khusus cerita aku ya 👇👇👇
- daydreamproject10
- astories.e
- asmahafaaf
- yonafarestaivory
-dave_saja

SPAM KOMEN NEXT DISINI DONG SBLM PERGI❤❤❤

revisi;09/08/2020


See u soon! AsmahAfaaf❤❤❤

Continue Reading

You'll Also Like

488K 2.6K 17
Cerita ini bagian dari @fantasibersama
549K 44.4K 46
Rifki yang masuk pesantren, gara-gara kepergok lagi nonton film humu sama emak dia. Akhirnya Rifki pasrah di masukin ke pesantren, tapi kok malah?.. ...
274K 335 4
21+
196K 17.2K 43
𝘽𝙐𝙈𝙄 𝙋𝙍𝘼𝙆𝘼𝙎𝘼 atau bisa di sebut Bumi, merupakan seorang pemuda yang masih duduk di bangku Smp. Walaupun umur belum menginjak 16 tahun tet...