Waktu menunjukkan pukul 8 malam. Daven kini terlihat tengah sibuk membereskan pakaian-pakaiannya ke dalam koper karena lusa dia akan pergi menuju Jerman untuk mengikuti tes seleksi masuk ke universitas yang dia idamkan.
Ceklek...
Suara knop pintu yang terbuka.
"Eh, Papa..." ucap Daven saat melihat ke arah pintu yang memperlihatkan sosok Tuan Jeff disana.
Tuan Jeff tersenyum ke arah Daven. "Besok kamu jangan sekolah dulu ya? Nanti Papa izinin..." katanya sembari mulai duduk mendekati sang anak.
"Kenapa emangnya, Pa?" Daven bertanya keheranan, melirik sekali Tuan Jeff lalu kembali melanjutkan aktivitasnya.
"Ke rumah Kakakmu, Ven. Papa lupa kalo paspor sama visa milik Alan ada sama Nasya."
"Emang Kak Nasya gak bisa nganterin kesini, Pa?" Tanya Daven lagi memastikan, barangkali sang Kakak bisa mengantarkannya karena sudah dari seminggu yang lalu Daven meniatkan dirinya untuk masuk sekolah pada esok hari. Daven berniat untuk bertemu dengan Anza karena selama persiapan ujiannya ini, dia tidak bertemu dengannya. Dia juga berniat akan menghabiskan waktu seharian dengan Anza sebelum dia pergi ke Jerman untuk mengikuti tes seleksi esok lusa, tetapi ini...
"Kamu ini... kalo Kakakmu bisa nganterin kesini Papa gak akan ngajak kamu kesana, Ven." Sahut Tuan Jeff heran.
"Daven gak ikut deh, Pa. Mau sekolah aja..." kata Daven menolak dengan halus.
"Kamu gak mau main ke rumah Kakakmu di Bandung. Kita belum pernah sama sekali lho kesana, ngunjungin rumah baru Kakak kamu saat Kakak kamu pindah dari dua bulan yang lalu. Kamu gak inget Nasya pengen banget kamu berkunjung ke sana, gak kasian sama dia?"
Daven meneguk salivanya. Terdiam, mencerna baik-baik ucapan dari Tuan Jeff itu yang memang benar adanya.
"Udah, Abang... ayo ikut ke lumah Kak Nasya kasian lho Kak Nasya nungguin..." Arland juga ikut berbicara.
"Iya... Daven ikut," ucap Daven dengan mantap setelah terdiam beberapa saat.
"Yeay!" Sorak Arland antusias.
***
"Za, Kak Daven sama temen-temennya pada sekolah?" Tanya Zara memastikan saat mereka sedang duduk dikursi tempat duduknya.
Anza menghela nafasnya sekali lalu menghembuskannya. "Kak Daven sih bilangnya ke gue sehari sebelum dia berangkat, dia bakal temuin gue, ya gue berharapnya dia sekolah. Udah lama banget lagian gue gak ketemu sama dia..." katanya.
"Kak Daven gak ngabarin lo emang, Za?" Tanya Debi.
Anza menggeleng.
"Aelah... lo gengsi banget si ngabarin Kak Daven duluan. Kabarin, Za. Kalo lo diem doang nunggu Kak Daven yang ngabarin duluan mah lama. Lo bisa mati keheranan yang ada. Sekarang aja cepetan!" Titah Vanya yang sudah dibuat kesal oleh Anza.
"Gue gak berani, gue gak mau ganggu Kak Daven." Sahut Anza.
"Cih... bilang aja kalo lo gengsi ngabarin Kak Daven duluan!" kata Vanya lagi.
"Iya udah, Za. Mending lo chat Kak Daven sekarang biar gak penasaran. Takutnya lo nungguin Kak Daven tapi nanti Kak Davennya gak bisa kesini kan..." kata Zara juga menyuruh.
"Iya, iya... bawel banget si lo semua, oke gue kabarin Kak Daven." kata Anza sembari mulai mengeluarkan ponsel dari saku seragamnya. Dia langsung membuka lockscreen dan langsung mencari nama kontak Daven untuk dia hubungi.
Daven
Call...
Anza menatap pasrah ke arah para sahabatnya, lalu kemudian menggeleng. Seakan sudah tahu jika Daven memang tidak ingin dihubungi.
Beberapa detik setelahnya...
"Halo..." ucap sang penerima telepon dari seberang sana.
Anza yang mendengarnya langsung terkejut. Suara yang dirindukannya selama beberapa hari ini akhirnya kembali terdengar.
"Halo..." ucap Daven lagi dari sambungan telepon.
"Euh... iya halo, Kak..." sahut Anza sedikit gugup.
"Iya kenapa?" Tanya Daven langsung.
"Kakak hari ini sekolah atau nggak ya?" Anza balik bertanya.
"Kan gue udah ngirim chat lewat whatsapp ke elo semalem, Za. Emang gak nyampe?" Daven juga malah balik bertanya.
"Hah? Chat aku? Perasaan nggak ada tuh, Kak. Coba bentar aku cek lagi ya..." kata Anza sambil keluar dan membuka chat diaplikasi whatsapp. Seperti yang sudah dikatakan Anza sebelumnya, chat yang dikatakan Daven itu tidak ada.
Drt... drttt...
Satu chat masuk. Anza langsung membukanya.
Kak Daven
Za, maaf gue baru sempet hubungin lo sekarang. Maaf juga soal omongan gue yang bakal nemuin lo sehari sebelum gue berangkat ke Amerika, itu gak jadi. Gue terpaksa harus ikut Papa ke rumah Kak Nasya di Bandung besok buat ambil paspor sama visa milik Alan. Gue tadi udah coba nolak, tapi Papa tetep kekeh nyuruh gue ikut. Maaf ya, Za.
Setelah membacanya ekspresi Anza langsung berubah.
"Chat Kakak baru sampe barusan," ucap Anza memberitahu Daven disambungan telepon.
"Gimana bisa? Gue udah ngirim ke elo ko pas malem cuman emang nggak lo bales aja pas itu. Coba bentar gue cek..." kata Daven.
Beberapa detik kemudian.
"Oh, iya maaf lagi, Za. Ternyata chat nya belum ke kirim pas malem, gue gak nyalain data. Lo gak marah kan sama gue?" kata Daven lagi sembari bertanya.
"Nggak kok," sahut Anza dengan langsung.
"Ah syukurlah..." ucap Daven lega.
"Udah dulu ya, Kak. Mau masuk," pamit Anza.
"Tapi, Za..." ucap Daven belum selesai namun sambungan telepon itu langsung diputuskan sepihak oleh Anza.
***
Daven yang sedang ada dalam perjalanan menuju rumah sang Kakak, keheranan sendiri. Dia terdiam sembari menatap layar ponselnya yang masih hidup setelah barusan mendapati telepon dari Anza, kekasihnya.
"Apa Anza marah ya sama gue? Lagian gue juga kenapa bego begini si, pantesan aja Anza gak terima chat gue semalem, orang gue gak nyalain data." Batin Daven bergerutu sendiri, tak jelas. "Apa gue telpon dia balik ya?" Tanya setelahnya.
Baru akan menekan tombol telepon pada Anza, tiba-tiba...
"Ven, tolong anterin Alan ke supermarket sebentar. Dia pengen beli snack katanya. Papa tunggu dimobil," kata Tuan Jeff menyuruh.
"Iya, Pa..." sahut Daven sambil menghela nafasnya lalu kembali memasukkan ponsel miliknya itu ke dalam saku celananya.
***
Bel istirahat telah berbunyi sejak 5 menit yang lalu.
"Za, lo jangan diem terus dong. Bingung gue jadinya," kata Vanya yang sedari tadi sedang makan batagor kesukaannya.
"Namanya juga lagi galau, maklumin lah Nya..." kata Zara yang menyahuti.
"Ya tapi, Zar. Gue yang liatnya pusing sendiri dari tadi pagi diem terus, ditanya jawabnya singkat-singkat, sekarang disuruh makan malah gamau. Maunya apa si?" Kata Vanya lagi.
Bruk...
Suara tangan yang menggebrakan meja.
"Tuh kan elo sih, Nya. Liat si Anza pergi kan!" Kesal Debi.
"Gue mau susul Anza dulu deh..." ucap Vanya sembari mulai beranjak dari posisinya.
Zara mencekal lengan Vanya agar tidak pergi dan berdiam diri disini. "Jangan dikejar. Biarin aja dia perlu waktu buat sendiri..." katanya.
Vanya diam, apa yang dikatakan Zara ada benarnya. Dia langsung kembali duduk ke posisi semula. "Kalo gitu tadi gue gak ngomong aja daripada malah bikin si Anza badmood," katanya.
"Gapapa, Nya. Udah kejadian juga kan gak usah disesalin..." kata Debi.
Vanya mengangguk.
***
Ditengah perjalanan menuju kelas.
"Eh, Anza. Apa kabar?" Sapa Abay saat melihat Anza sedang berjalan sendirian dari arah kantin.
"Za..." sapa Ravis juga.
Namun bukannya menjawab sapaan dari kedua jenis spesies ini, Anza malah tersenyum kecut lalu langsung kembali melanjutkan langkahnya.
Setelah kepergian Anza dari hadapan mereka...
"Kenapa tuh anak?" Tanya Abay keheranan sendiri dengan sikap Anza karena tak biasanya Anza cuek. Anza sendiri dikenal dikalangan para murid sebagai orang yang humble dan ramah senyum, tetapi ini...
"Mana gue tau lo nanya ke gue, kan daritadi gue sama elo setan!" Kesal Ravis.
"Ya biasa aja dong, jing." Kesal Abay juga.
"Mending ke kantin lah gue laper, males nemenin lo yang gobloknya sampe ke DNA haha..." ledek Ravis yang mulai melangkahkan kaki terlebih dahulu.
"Sialan lo, Nyet. Nggak lo nggak Daven semuanya sama aja. Seneng banget bully gue..." kata Abay yang mulai mengikuti Ravis. "Eh, btw. Gue jadi kangen si Kang Bucin deh..." katanya lagi yang merasa rindu pada sosok sahabatnya, Daven.