I'M ALONE

By sphprmtsr

86.7K 4K 47

Self Injury, antisosial, dan trauma masa lalu semua itu Aluna miliki. Begitu banyak hal yang ia lupakan perih... More

Prolog
How to read the new version
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua belas
Tiga belas
Empat belas
Lima belas
Enam belas
Tujuh belas
Delapan belas
Sembilan belas
Dua puluh
Dua puluh satu
Dua puluh dua
Dua puluh tiga
Dua puluh empat
Dua puluh lima
Dua puluh enam
Dua puluh tujuh
Dua puluh delapan
Dua puluh sembilan
Tiga puluh
Tiga puluh satu
Tiga puluh tiga
End: Season 1
Tiga puluh lima
Tiga puluh enam
Tiga puluh tujuh
Tiga puluh delapan
Tiga puluh sembilan
Empat puluh
Empat puluh satu
Empat puluh dua
Empat puluh tiga
Empat puluh empat
Empat puluh lima
Empat puluh enam
Empat puluh tujuh
Empat puluh delapan
Empat puluh sembilan
Lima puluh [End]

Tiga puluh dua

1.6K 70 0
By sphprmtsr

"Saya tidak bisa berjanji soal siapa yang akan Tuan Rudi temui."

Rudi menghela napas panjang. Sejak mengetahui bahwa Aluna mempunyai kepribadian ganda, kegagalan terus terpikir di kepalanya. Bukan. Bukan gagal karena mempunyai anak seperti Aluna melainkan merasa gagal karena tidak bisa menjadi Ayah yang baik untuk Aluna. Apalagi setelah kesulitan yang mengiringi hal itu membuat Rudi semakin merasa bersalah pada Aluna. Perasaan inilah yang dulu mengakibatkan dirinya enggan untuk sering bertemu dengan Aluna.

Kendati demikian, sudah tidak ada lagi waktu untuk menghindar. Aluna telah banyak kehilangan orang-orang berharga dalam hidupnya. Paling tidak, jangan sampai Aluna pun merasa kehilangan dirinya sebagai satu-satunya keluarganya yang tersisa. Bila bukan Rudi, tidak ada lagi tempat Aluna bersandar pada keluarganya sekalipun Bi Nah mampu melakukan itu.

"Tidak masalah. Siapapun itu, baik Aluna maupun kepribadian gandanya, tetaplah anak saya."

Bi Nah sempat tertegun sejenak mendengar jawaban dari Rudi. Pasalnya, sejak dulu bila dirinya mengatakan hal itu pada Rudi, ia pasti memilih pergi dan membatalkan niatnya untuk menemui Aluna. Bi Nah turut merasa senang bila memang tuan besarnya sudah mulai merentangkan tangannya untuk menerima Aluna.

"Sebentar saya panggilkan Nona Aluna," sahut Bi Nah yang kemudian beranjak dari hadapan Rudi untuk meniti tangga menuju kamar Aluna. Harap-harap, yang ia temui selepas mengetuk pintu nanti adalah kepribadian Aluna yang asli. Tidak seperti hari-hari sebelumnya.

Tok,

tok,

tok.

Sebuah kebiasaan untuk Bi Nah mengetuk pintu Aluna tiga kali sekaligus sebelum memasuki kamarnya agar Aluna mengenali kedatangannya melalui caranya mengetuk pintu. Melalui cara itu pula Bi Nah mengetahui apakah orang yang di dalam kamar tersebut kepribadian Aluna yang asli atau bukan. Sebab bila iya, Aluna pasti akan menjawabnya ataupun membuka pintunya tanpa bertanya lagi. Hanya Aluna lah yang secara tidak langsung mengetahui kebiasaan yang tidak pernah dirundingkan dulu itu.

Klek!

Rasanya lega sewaktu menaruh harapan tinggi lalu terwujud dengan cepat. Perasaan seperti itulah yang kini mendominasi Bi Nah sewaktu pintu kamar Aluna perlahan-lahan ditarik pemiliknya ke dalam hingga sosoknya langsung tertangkap oleh netra Bi Nah.

"Bibi."

Aluna memang bukan anak Bi Nah. Bi Nah pun bukan bagian dari keluarga Aluna. Namun setelah sekian lama menemani Aluna dan membantunya dalam banyak hal, membuat Bi Nah menyayanginya sebagaimana menyayangi anaknya sendiri.

Contohnya seperti saat ini. Kala penampilan Aluna yang nampak begitu kusut berantakan karena keterpurukan yang ia rasakan, hati Bi Nah ikut mencelos. Tangannya yang terasa hangat seolah menyimpan kasih sayang seorang ibu, pelan-pelan merapihkan rambut Aluna. Lalu tanpa diduga, Aluna lebih dulu menghambur ke pelukannya bersamaan dengan Bi Nah yang kembali mendengar isak tangis pilu dari Aluna.

"Aluna capek, Bi," ungkap Aluna. Ia lalu melanjutkan, "apa salah Aluna sampai banyak orang yang pergi meninggalkan Aluna?"

"Apa Aluna jahat? Atau Aluna menyusahkan? Aluna sudah berusaha sekuat tenaga untuk tidak banyak bicara agar tidak mengganggu. Juga bersusah payah menahan diri agar tidak ikut campur urusan orang lain. Memangnya bagaimana cara menjadi baik agar orang-orang tidak pergi dari Aluna?"

Tentu banyak yang berpendapat bahwa Aluna adalah seorang gadis pendiam yang tidak banyak bicara. Tidak ramah, ketus dan jarang tersenyum. Suka menyendiri dan tidak bisa diajak berteman.

Namun siapa sangka bahwa semua perilaku Aluna itu adalah upaya agar dirinya tidak membuat orang lain terganggu. Agar dirinya diterima. Juga agar dirinya tidak dianggap merepotkan.

Tidak ada yang menyadari bahwa Aluna diam-diam selalu dengan senang hati membantu. Bahwa Aluna tidak benar-benar berniat untuk tidak memiliki teman. Serta Aluna pun tidak benar-benar ingin ditinggalkan sendirian.

Ada kekosongan yang terselip dihatinya membuat pernapasannya selalu sesak dikala udara harusnya terasa segar untuk dihirup. Terdapat rasa kesepian yang juga membuat Aluna tidak mampu memahami bagaimana caranya untuk beradaptasi pada keramaian saking terlalu seringnya berteman dengan keheningan.

Caranya untuk menjalani kehidupan yang berbeda dari manusia sosial pada umumnya seolah terkesan aneh dan seringkali manusia enggan berhubungan dengan sesuatu yang asing untuk mereka.

Lalu kali ini, Aluna kehilangan lagi. Ia kehilangan seseorang yang bahwa baru berhasil membuatnya membuka ruang hatinya untuk menerima keberadaannya. Ruang yang tersisa untuk seseorang itu ditinggalkan pemiliknya hingga yang tersisa hanyalah kekosongan. Hal ini yang sudah terjadi berulang kali membuat Aluna takut bila suatu saat nanti dirinya diminta untuk menerima kehadiran orang baru lagi.

"Papa." Cukup dengan satu panggilan Aluna mampu membuat Rudi yang sebelumnya menghadap jendela, berbalik dan menghampiri putrinya. Ia merengkuh Aluna dalam pelukannya sembari mengelus rambut Aluna dengan penuh kasih sayang.

"Putri Papa hebat," katanya. Mungkin karena harapan Rudi untuk menjumpai temu dengan Aluna sangat tipis, alhasil muncul penghargaan dalam ucapannya sewaktu berhasil menemui Aluna dengan kepribadian aslinya, "terima kasih sudah mau menemui Papa hari ini."

Ya, ucapan terima kasih yang merupakan sebuah penghargaan untuk yang menerimanya karena telah melakukan sesuatu. Dan teruntuk Aluna, sesuatu yang dilakukannya memang pantas diberikan penghargaan — menurut Rudi. Sekalipun dari Rudi yang termasuk dalam kategori manusia yang sulit mengucapkan dua hal penting dalam hidup; maaf dan terima kasih.

"Ayo duduk dulu," ujar Rudi yang masih berperilaku sebagaimana seseorang yang sebenarnya memegang hak penuh atas rumah yang dipijaknya. "Kamu bukan hanya lebih kurus, Aluna. Sepertinya kamu kurang istirahat."

Aluna terdiam cukup lama begitu dirinya sudah duduk bersebelahan dengan papanya di sofa. Padahal setiap hari, tidak ada pekerjaan sulit yang Aluna lakukan selain berada di kamarnya untuk istirahat. Mungkin karena hanya tubuhnya saja yang berbaring di atas kasur sedangkan pikirannya terus berpencar kemana-mana membuat istirahat itu tidak mendefinisikan sebuah makna dari istirahat sebenarnya.

Raga Aluna memang istirahat, tetapi pikirannya tidak. 

Yang tersisa hanyalah lingkaran hitam di matanya sebab tidur di awal waktu tetapi selalu terbangun di tengah malam hanya karena mimpi buruk —yang ternyata serupa dengan kenyataan yang dialaminya, pening di kepala yang datang sewaktu pagi tiba, juga nafsu makan yang semakin lama semakin menyurut hingga menatap nasi pun Aluna enggan.

"Papa tahu ini berat, Aluna. Tetapi kamu tidak bisa terus-menerus seperti ini," tutur papanya yang lagi-lagi hanya didengarkan oleh Aluna.

Sebagai sebuah bukti bahwa ucapannya saat ini bukan sebuah upaya untuk memberikan perintah melainkan untuk menguatkan Aluna, Rudi tidak melepaskan tangannya dari rambut hitam Aluna untuk di usapnya dari atas ke bawah. "Ayo memulai kembali, Aluna. Lepaskan semua yang terjadi. Biarkan waktu membawa pergi semua yang harus pergi dan mengembalikan semua yang harus kembali. Menunggu tidak selalu berarti untuk berdiam diri seperti ini."

Memulai kembali.

Dua kata itu yang terasa memuakkan untuk Aluna. Entah berapa kali ia diminta untuk melakukan bukti nyata dari kalimat 'memulai kembali' itu sendiri. Bertunangan dengan Fatih, melepas masa sekolah, juga pernikahan merupakan fase dari memulai kembali yang harus Aluna jalani. Tetapi dari itu semua, tidak ada satupun yang terasa ringan untuk membuat Aluna memahami bagaimana cara memulai kembali itu sebenarnya.

Mungkin memang ucapan papanya bukanlah sebuah perintah untuk Aluna laksanakan. Tetapi Aluna merasa kalimat itu merupakan tuntutan untuk Aluna beradaptasi dengan cepat terhadap rasa kehilangannya.

Padahal tidak semudah itu.

Ingin rasanya Aluna mengucapkan itu namun setelah mengingat bahwa papanya juga tengah melakukan fase memulai kembali selepas kehilangan mamanya membuat Aluna tersadar bahwa ucapan papanya bukanlah angin berlalu belaka. Bukan omong kosong tanpa tahu artinya.

"Para wartawan itu tidak akan berhenti sampai mendapatkan informasi yang mereka cari," ujar Rudi dengan bola mata yang berputar bersama kepalanya untuk melihat keramaian yang masih memadati depan gerbang rumah mereka.

"Kita harus pindah. Papa yakin — bila Fatih memang kembali, dia akan tetap menemukanmu."

Aluna memandang wajah papanya yang telah kembali menghadapnya. Keputusasaan yang telah memenuhi hatinya membuat Aluna tidak mampu lagi untuk berpikir panjang. Apalagi Rudi adalah satu-satunya keluarga yang kini dapat Aluna percaya.

Kendati demikian, Aluna masih belum memberikan sahutan sehingga Rudi kembali meyakinkan, "Papa tidak akan menjual rumah ini, Aluna. Kamu bisa datang bila kamu rindu pada setiap kenangannya. Papa hanya ingin kamu tetap aman dan nyaman sembari mengikuti pemulihan."

"Pemulihan?" tanya Aluna setelah sekian lama membisu.

"Psikoterapi, Aluna. Menemui seorang terapis yang bisa membantu bagian-bagian diri kamu agar bisa ngobrol satu sama lain dan menghargai satu sama lain, untuk menyatukan kepribadian yang terpecah — jika memungkinkan. Supaya mampu dikendalikan dan tidak berkecamuk sewaktu-waktu." Rudi menjelaskan. "Agar tidak membahayakan diri kamu maupun orang lain. Sekalipun katanya ... hal ini sulit disembuhkan." Bahkan untuk menyebutkannya sebagai penyakit, Rudi pun tidak bisa. Apalagi dihadapan Aluna.

"Maaf, Aluna. Papa tidak bermaksud menyebutmu begitu. Papa cuma ...." Rudi menggantungkan kalimatnya. Seolah kata-kata yang selanjutnya, tidak mampu terucap di bibirnya.

"Aluna paham, Pah." Aluna mengungkapkan. "Ini semua demi Aluna juga, kan?" Selepas melewati semua rasa sulit bersama Rudi mulai dari meninggalnya Wanda hingga menghilangnya Fatih membuat Aluna mengerti bahwa dirinya dan papanya tengah berupaya untuk saling menguatkan satu sama lain agar tidak ada lagi kehilangan yang lebih menyakitkan.

Bahkan bila mampu Aluna katakan, jika sekali lagi ia kehilangan seseorang yang berarti dalam hidupnya —seperti papanya atau Bi Nah, Aluna mungkin tidak akan sanggup untuk bangkit lagi.

"Aluna akan ikut kemauan Papa. Bahkan kalau perlu, Aluna juga ingin lanjut kuliah," ucap Aluna. "Tapi ... ada satu hal yang harus Aluna pastikan. Apa bisa menerobos wartawan di depan sana?"

Pandangan Aluna melesat menembus kaca jendela untuk melihat sekali lagi wartawan yang masih menunggu di depan sana —yang bahkan terlihat sedang beristirahat sambil meneguk air minumnya. Diikuti penglihatan papanya yang juga memberikan anggukan kepala singkat.

"Tentu saja," sahut papanya.

***

If you read this and like it, let me know you've been a part of this story by voting it.

© 2019
Revisi 2021

Continue Reading

You'll Also Like

ONA (COMPLETED} By audle2

Mystery / Thriller

469K 17.3K 53
❗REVISI❗ /Dia yang tampak baik tetapi licik/ >>>>>><<<<<<< Sadar dari koma setelah mengalami kecelakaan membuat gadis bernama Melia Onalen...
386K 22.2K 39
[WARNING⚠⚠ Ada banyak adegan kekerasan dan Kata² Kasar, mohon bijak dalam membaca] ••• Achasa seorang gadis cantik keturunan mafia rusia yang tidak s...
5.3K 1.1K 19
Anindya dan Bara adalah tetangga, sekaligus teman dari orok yang berlangsung hingga mereka SMA. Berbeda dengan Anindya yang terlihat membenci, Bara j...
83.4K 7.2K 51
【 On Going 】 GIRLS Series #1 - - - Blurb: Dia Alexiore, seorang gadis dengan kedinginan melebihi rata-rata tiba-tiba menghembuskan nafas terakhirnya...