Beautifulove

By DayDreamProject10

181K 28.1K 13.8K

°Tentang gadis biasa saja yang menginginkan hal luar biasa.° --- Namanya Yona. Gadis penuh rahasia yang menda... More

0 :: Prolog.
1 :: Yona Faresta Ivory.
2 :: Dave.
3 :: Memulai.
4 :: Mengikat.
5 :: Melunak.
7 :: Mengetahui.
8 :: Melekat.
9 :: Menguat.
10 :: Menenangkan.
11 :: Menyenangkan.
12 :: Melawan.
13 :: Mengungkapkan.
14 :: Memalukan.
15 :: Melelahkan.
16 : Mengecewakan.
17 :: Melegakan.
18 :: Menjanjikan.
19 :: Mengacaukan.
20 :: Menyembunyikan.
21 :: Mengertikan.
22 :: Mengejutkan.
23 :: Menegaskan.
24 :: Mengupayakan.
25 :: Meresahkan.
26 :: Menyesalkan.
27 :: Membahagiakan.
28 :: Menggelisahkan.
29 :: Menjengkelkan.
30 :: Menyedihkan.
31 :: Merencanakan.
32 :: Menghentikan.
33 :: Mengalihkan.
34 :: Menyudutkan.

6 :: Menjadi.

7.1K 1.2K 174
By DayDreamProject10

Sebelum baca, tekan vote dulu. Saat membaca jangan lupa spam komen. Jangan mau enaknya aja ya sayang. Hihihi.

*

"Tidak selamanya, kata 'tidak apa-apa' berarti ingin menyembunyikan kelemahan, tidak ingin dikasihani. Mungkin saja ia tidak mau melihat orang terdekatnya khawatir. Mungkin saja ia merasa mampu menanggungnya sendiri.
Meski nyatanya, luka tidak akan mereda jika hanya disimpan sendirian."

*

🍃🍃🍃🍃🍃

Di setiap hari sabtu, Yona selalu memelankan langkahnya memasuki gerbang. Gadis itu suka mencuri-curi pandang ke arah murid-murid yang datang diantar oleh orang tua mereka. Yona tersenyum, pemandangan pagi ini berhasil menghangatkan hatinya.

"Kamu sekolah yang bener. Belajar yang baik, jangan mikirin cogan mulu!" ucap salah satu wanita cantik paruh baya pada anak perempuannya.

Yona terkekeh kecil mendengar itu. Ia mengedarkan pandangan lagi, suasana gerbang depan sekolah sangat ramai oleh kendaraan orang tua. Saat weekend seperti ini—sekaligus hari khusus ekstrakurikuler—banyak orang tua yang menyempatkan diri untuk mengantar anaknya ke sekolah.

Terkadang, Yona suka membayangkan jika salah satu dari murid itu adalah dirinya. Diantar oleh orang tua, diberikan nasehat penuh kasih sayang, dan kecupan hangat perpisahan. Ia sangat ingin merasakan kebahagian kecil itu, tetapi balik lagi pada kenyataan yang sepertinya tidak akan membiarkan itu terjadi.

Entah sejak kapan, mata Yona sudah berkaca-kaca, gadis itu pun langsung mengerjap-ngerjapkan matanya, mengusir penyebab pandangannya mengabur. Kemudian ia tersenyum lebar. Tidak boleh ada kesedihan yang mengikutinya di hari cerah ini.

"Dasar, ya, lo ninggalin gue gitu aja." Tiba-tiba Billy datang dan langsung merangkul Yona. Ia sedikit menjepit leher gadis itu gemas.

"Elu, sih, lama banget." Yona berucap kesal.

"Sori, tadi banyak yang ikut markir juga makanya gue lama urusinnya."

Yona berdecak, "itu masalah lo, masih aja markir mobil di depan toko Pak Eko. Perkiraan sekolah kita, kan, gede."

"Gede emang, tapi entar kalau pulang sekolah padetnya luar binasa, sampai gue nunggu mobil lain bergerak dulu baru bisa keluar," jelas Billy.

Yona tidak menjawab, ia memilih mengeluarkan cermin kecil dari saku celana trainingnya. Memandangi pantulan wajahnya yang masih saja terlihat lemas serta pucatnya yang semakin menjadi. Yona tidak mengerti apa yang sedang terjadi, sejak kemarin ia harus menebalkan riasan sederhananya agar bisa menutupi.

Gadis itu merogoh kantong celananya lagi, mengambil pewarna bibirnya yang sehari-hari dipakai. Mengoleskannya menyeluruh berulang kali, cukup menutupi bibirnya yang pucat.

"Untung hari sabtu, kalau enggak udah pasti gue bakal berurusan sama Bu Riyani," guman Yona.

Billy mendelik. "Lo mau ke sekolah atau mau kondangan, sih?"

"Sekolah lah!"

"Mana ada anak sekolah yang mukanya seperti ketumpahan tepung kek lo? Terus gincunya nggak nyelo banget gitu?"

"Suka-suka gue dong. Lagian sekarang, kan, hari sabtu. Bebas. Cuma ada ekstrakulikuler doang," jawab Yona.

"Hapus aja, ya? ngeri gue liatnya. Muka lo sebelas-duabelas sama boneka Annabelle, serius gue," ujar Billy dengan ekspresi tidak enak—walau sejujurnya wajah Yona justru terlihat makin cantik. Ia merogoh saku ransel Yona, mengambil selembar tisu. Baru ingin membersihkan make up berlebihan Yona, gadis itu duluan menyikut perut Billy hingga rangkulannya terlepas.

"Kalau lo berani sentuh muka gue, jangan salahin gue kalau hari ini tangan lo ilang, ya!"

Billy meringis sambil memegang perutnya. Meski ia merasa serangan Yona tidak terlalu kuat hari ini, tetapi tetap saja rasanya sakit. "Lo nggak sarapan, ya, tadi? Kok, tumben tenaga lo nggak sekuat kemarin?"

"Sarapan, kok," jawab Yona jujur. Sebelum berangkat ke sekolah tadi, ia memang sarapan karena ingin meminum obat pusingnya. Tetapi sepertinya hal itu tidak manjur, buktinya sekarang kepala Yona perlahan berdenyut pusing lagi.

"Masa?" tanya Billy tidak percaya. Yona mengangguk yakin. "Kalau gitu, jangan-jangan lo lagi sakit, ya?" Ia menjulurkan tangan memeriksa suhu tubuh Yona, dan terasa panas. "Kan, lo sakit!"

"Gue cuma pusing dikit," jawab Yona tidak berselera.

"Yaudah lo pulang aja. Entar gue ijinin ke Bu Emile," perintah Billy.

"Apaan dah lo. Nggak usah lebay, deh. Kepala gue cuma pusing, tadi juga udah minum obat."

"Tapi nanti kalau lo kenapa-kenapa gimana?" Billy tidak menyerah. Ia merasa khawatir.

"Lo lupa, ya, kalau gue itu Yona Faresta Ivory! Mana ada di kamus kehidupan gue kalau gue itu bisa kenapa-kenapa? Nggak lah!" bantah Yona.

"Lo lupa, ya, kalau lo itu manusia?" balas Billy membuat Yona terdiam. "Lo bukan tokoh super hero yang mampu ditahan banting, yang mental dan fisiknya kuat. Lo itu cuma manusia, Yona. Lo jangan berlagak kuat kalau sebenarnya lo itu lemah! Gue cape liat lo gini mulu! Lo nggak kasian sama diri lo sendiri, hah?!"

Ekspresi Yona sepenuhnya berubah. Ucapan Billy terlalu sukses menyentil keras hatinya. "Gue nggak mau bahas ini, Bil," ujar Yona dingin. Ia mengambil langkah besar meninggalkan Billy. Ia tidak mau mendengar hal seperti itu. Rasanya seperti ingin gila. Yona bukannya berlagak kuat, tetapi ia hanya berusaha untuk kuat. Billy memang mengetahui semua tentangnya, tetapi lelaki itu belum pernah merasakan apa yang sedang ia rasakan, maka tidak akan ada yang lebih mengerti dibanding Yona sendiri.

Bersama dengan tubuh lemasnya, Yona sejujurnya memaksakan diri untuk bertahan dan ke sekolah hari ini. Ia sekarang memiliki tanggung jawab besar, melatih dan mengarahkan team Cheerleader. Apalagi seleksi menentuan pemain inti akan dilakukan beberapa hari kedepan. Jadi ia tidak bisa sesuka hati perilaku seperti yang Billy perintahkan.

Yona tidak memperdulikan teriakan Billy, ia terus berjalan menjauh. Walau semakin ia memaksakan, semakin besar pula rasa pusing yang menyerangnya. Yona tidak bisa kalah, ia harus melawan. Gadis itu menggelengkan kepalanya, berupaya lagi menyingkirkan rasa pusing itu.

Sambil menggigit bibir bawahnya cemas, Yona berharap semesta berpihak padanya. Semoga hari ini berjalan dengan lancar, seperti apa yang ia inginkan.

🍃🍃🍃

Sejak kejadian kemarin, di mana Yona membentaknya, Dave seperti hilang keberanian mendekati gadis itu lagi. Kepalanya terus membayangkan murkanya Yona saat itu. Dave tidak takut, ia hanya merasa bersalah karena terlalu mengurusi masalah Yona.

Mungkin benar, Dave sudah terlalu jauh memasuki kehidupan Yona, hingga membuat gadis itu merasa tidak nyaman.

Tetapi apakah salah ia mengkhawatirkan gadis pemarah itu?

Ia hanya merasa takut jika Yona kenapa-kenapa. Ia tidak ingin melihat Yona kesakitan seperti kemarin. Dave hanya ingin menolong, bukan mengundang kemarahan Yona.

Karena sejak pagi tadi ia belum menemui Yona, jadi mau tidak mau Dave menyumbat telinganya lagi.

Lelaki itu berjalan saja, tidak memperdulikan apapun. Ia juga belum menentukan ekskulnya, hingga bingung harus melakukan apa untuk mengisi kegiatannya hari ini. Sementara hampir semua siswa dan siswi Dream High School sudah berkumpul pada ekstrakulikuler masing-masing.

Dave menipiskan bibir, sedang berpikir akan ke mana. Tetapi saat melihat segerombolan gadis-gadis berseragam Cheers berjalan menuju lapangan indoor, ia langsung menemukan jawaban.

Dari kejauhan, Dave bisa menemukan Yona yang berada di tengah-tengah. Gadis itu terlihat cantik dengan rambut ekor kudanya. Tanpa diperintah lagi, sudah pasti Dave akan membuntuti gadis itu.

Dave menjaga jarak, ia tidak mau Yona menyadari. Ketika Yona dan teman-temannya sudah memasuki tempat latihan mereka, Dave cepat-cepat mencari tempat persembunyian.

Sementara Yona dan timnya mulai mengambil posisi pemanasan sambil menunggu Bu Emile datang. Beliau adalah pelatih dan penanggung jawab ekskul Cheers.

"Guys. Bu Emile keknya bakal telat. Kita mulai pemanasan aja dulu," ujar Yona selaku ketua ekskul.

Semuanya mengangguk, lalu mulai mengambil napas dalam-dalam kemudian dihembuskan perlahan. Hal itu adalah langkah pertama agar tubuh mereka merasa rileks. Setelahnya, gerakan-gerakan pemanasan dasar dilakukan, bertujuan agar tubuh mereka tidak kaku saat latihan nanti.

Dengan tubuh lemasnya, Yona menghirup oksigen banyak-banyak. Ia mulai ikut mengambil pemanasan, tetapi baru merenggankan badan, suara Beby langsung menarik perhatian.

"Gila. Pinggang Yona langsing banget, woi!" Beby berdecak kagum.

Yona menyempatkan terkekeh, lalu kembali pemanasan. Ia melakukan hal itu dengan baik, sesekali mengangkat satu kakinya ke atas. Merenggankan kakinya agar tetap luntur.

"Lo lagi diet penuh ya, Yon, minggu ini?" tanya Mega.

"Enggak. Cuma dua hari aja kemarin." jawab Yona.

"Terus kenapa berat badan lo terlihat menurun banget? Curang, ah, gue aja diet penuh minggu ini nggak selangsing lo," lanjut Mega cemberut.

"Jangan bandingin diri lo sama Yona. Yona mah tetap bakal langsing tanpa diet, bahkan walau dia makan banyak mulu, badannya tetap gitu-gitu aja," sela Vivi, salah satu tim Cheers juga.

Mega masih cemberut. "Enak banget, ya, jadi Yona, nggak perlu kek kita, mati-matian diet."

"Enggak, kok. Gue juga suka diet," ucap Yona.

"Iya, sih, lo diet, tapi abis itu lo langsung makan banyak lagi. Lah kita? Makan cemilan yang dikasih Bu Emile mulu." Cinta ikut-ikutan.

"Iya, tuh. Untung enak," celetuk Ochi tiba-tiba.

"Lo kalau bahas makanan langsung cepet, ya." Devina bersuara sinis. Ochi seketika cengengesan.

"Enak, sih. Tapi, kan, bosen juga," kata Beby. "Eh, gimana kalau sepulang sekolah hari senin nanti kita pergi makan-makan?"

"Wah, ide bagus, tuh." Ochi menjawab cepat lagi.

"Boleh juga." Mega mengangguk setuju. "Gimana guys? Lumayan dijadiin refreshing sebelum seleksi pemain inti. Biar nggak tegang-tegang amat," tanyanya meminta persetujuan. Dan semua mengangguk setuju.

"Kita pergi ke restoran yang gue rekomen dulu gimana? Kan, kita belum sempat pergi, tuh. Nah, kebetulan juga Yona pernah janjiin bakal traktir kita?" usul Devina.

"Iya! Untung lo ingat, Dev!" Mega langsung bersemangat. "Yon, lo masih ingat, kan, janji lo dulu?"

Yona yang berusaha sibuk pemanasan refleks berbalik pada Mega. Gadis itu menggigit pipi dalamnya, mulai berpikir dari mana ia akan mendapatkan uang. Mereka akan makan di restoran, dan tempat rekomen Devina tidak main-main. Tagihannya bisa menghidupi Yona selama berbulan-bulan. Ia ingin meminta pada Billy, tetapi lelaki itu sedang banyak pengeluaran. Tidak mungkin Yona akan mengandalkan sahabatnya itu.

"Yon, gimana? Lo bisa, 'kan? Atau lo nggak bisa? Duit bulanan lo udah menipis?" Mega semakin mendesak.

"Keknya iya ,deh, Meg. Duit bulanan gue udah menipis," jawab Yona hati-hati. "Gimana kalau bulan depan aja?"

Hampir saja Mega mengangguk setuju, tetapi Devina langsung bersuara. "Kalau habis lo minta di bokap-nyokap lo aja, Yon. Kan, kata lo dia nggak pelit. Masa, sih, nggak jadi? Bulan depan masih seminggu lagi."

"Maunya gitu, tapi kemarin gue lagi dihukum gara-gara belanja banyak. Mustahil gue dikasih uang lagi." Yona beralasan.

"Kalau gitu lo pakai tabungan lo aja dulu. Kan, lo punya tabungan banyak tuh. Nanti kalau lo udah dikasih duit bulanan lagi lo bisa ganti tabungan lo itu," usul Mega. Ia tersenyum lebar karena berhasil memberikan jalan keluar.

Yona menatap Mega pasrah. Perlahan ia mengangguk setuju. Bibirnya tersenyum. "Bagus juga ide lo. Oke, sepulang sekolah hari senin kita pergi."

Semuanya mengangguk senang. Yona bahagia juga melihat itu. Ia merasa aman, walau sejujurnya ia terus berpikir dari mana ia akan mendapatkan uang. Tetapi tidak masalah, Yona akan menemukan jalan keluar.

"Bagus, deh. Senin nanti kita bakal makan puas-puas setelah diet mati-matian minggu ini," ujar Lyla.

"Bener benget!" Ochi berseru semangat.

"Gausah sok bener lo. Pikirin aja nanti lo bakal diomelin Bu Emile lagi. Gue yakin berat badan lo pasti melebihi ketentuan seperti yang sudah-sudah," ucap Devina menyudutkan Ochi. "Dan gue yakin lo nggak bakal keterima jadi pemain inti," lanjutnya tertawa mengejek.

"Iya, bener banget. Diet lo diniatin lagi gih, Chi. Masih ada waktu sebelum seleksi, kan, kali aja lo bisa kepilih nanti. Ya walaupun agak mustahil, sih," sembur Mega ikut tertawa.

Ochi tidak menjawab, ia hanya cengengesan. Ia menatap Yona yang menatapnya juga. "Keren deh lo, Yon. Gue kagum sama lo."

Yona berdeham, tidak terlalu menanggapi. "Yaudah, Guys. Kembali fokus. Mulai pemanasan lagi yang baik. Bu Emile bentar lagi datang."

🍃🍃🍃

Beberapa menit yang lalu, latihan jam pertama telah usai. Bu Emile mendadak mengistirahatkan latihan karena lelah menegur Yona yang terus-terusan salah gerakan. Gadis itu benar-benar pasrah, ia kesulitan untuk fokus hingga puncaknya ia sempat terjatuh. Yona mencoba menguatkan tenaga lagi walau kekuatan tubuhnya semakin merosot, tetapi tetap saja ia gagal.  Yona tidak bisa lagi bertahan.

Dengan napas tidak teratur, tubuh yang seperti tidak memiliki kekuatan lagi, serta pusing yang menggila, Yona berjalan hati-hati menuju ruangan khusus Cheers. Ia sendiri, memilih tidak ikut makan siang bersama teman-temannya di kantin.

Yona sudah tidak kuat, ia mengaku kalah. Kesakitan yang sedang ia rasakan terlampau keras. Gadis itu menunduk, mencoba menguatkan diri agar bisa sampai di tempat tujuan.

Sementara Dave, ia tidak bisa apa-apa. Ia hanya memandangi punggung belakang Yona yang berjalan sambil bertumpu pada dinding yang dilewati. Dave jelas khawatir, keadaan Yona terlihat semakin memburuk.

Dave sangat ingin membantu Yona, tetapi ia tidak ingin gadis itu marah dan mengakibatkan pertemanan mereka harus putus. Dave sangat membutuhkan hubungan ini.

Tiba-tiba, Yona yang di depannya tersungkur ke bawah. Dave refleks mengambil langkah, tetapi ketika Yona mencoba berdiri lagi, langkanya terpaksa terhenti.

"Lemah lo, Yon!"

Yona tersenyum remeh untuk dirinya sendiri. Ia merasa seperti manusia paling rapuh sekarang.

"Mimisan lagi? Mimisan aja lo terus sampai mampus!"

Gadis itu mengusap hidungnya kasar. Lelehan merah yang kental kembali memadati indra penciumannya. Yona berdecih, tidak peduli.

Dave menghela napas. Rasa khawatir sangat memenuhi dirinya. Andai saja Yona memberinya sedikit cela, maka Dave tidak akan merasakan sesak karena membiarkan gadis itu tersiksa sendirian.

Setelah berjalan beberapa menit, Yona akhirnya bisa melihat pintu ruangan khusus Cheers itu. Ia mengusap hidungnya lagi, terus seperti itu tanpa memperdulikan punggung tangannya yang penuh darah. Beruntung, koridor ekstrakurikuler sangat sepi.

Bahkan ketika Yona sudah masuk ke dalam, tanpa sepengetahuan gadis itu Dave masih setia mengikutinya.

Yona memandangi keadaan ruangan, sepertinya tidak ada siapa-siapa. Ia berjalan lagi menuju toilet, ingin membasuh wajah dan punggung tangannya.

Setelah tiba, ia langsung menuju wastafel dan memutar keran air itu. Yona mencuci tangannya, dan seketika air bilasan berubah warna.

Baru saja Yona ingin membasuh hidungnya, mendadak kegiatannya terhenti ketika pintu toilet terbuka dan menampilkan Ochi pada pantulan cermin dengan mulut penuh makanan. Mata gadis berponi itu membulat saat melihat setengah wajah Yona memerah karena darah.

Mata Yona ikut melotot kaget. Lalu cepat-cepat membasuh wajahnya sambil sesekali melirik Ochi pada pantulan cermin yang masih tertegun.

"Yona?" panggil Ochi pelan. Ia mengambil langkah.

"Lo jangan mendekat!" pekik Yona langsung.

Ochi berhenti di tempatnya. "Lo kenapa?"

"Bukan urusan lo!" ucap Yona dingin.

"Lo lagi sakit, ya?" tanya Ochi.

"Engga." Yona masih membalas dingin, ia mengambil tisu toilet dan menutup hidungnya. Ia berbalik pada Ochi. "Gue cuma mimisan. Gue nggak kenapa-kenapa."

"Lo kenapa bisa mimisan?" tanya Ochi lagi. Wajahnya terlihat khawatir.

"Kecapean," ujar Yona singkat.

Ochi mengangguk. "Iya, sih, lo sibuk banget belakangan ini. Tapi kalau lo lagi sakit mending ijin ke Bu Emile dulu."

"Nggak perlu, gue nggak kenapa-kenapa!" Mata Yona menatap Ochi tajam. "Dan lo, nggak usah ngasih tau siapa-siapa tentang apa yang lo liat tadi. Gue nggak kenapa-kenapa. Kalau sampai hal ini kesebar, berarti lo harus kubur mimpi lo yang pengen jadi pemain inti itu! Ngerti?!"

Ochi yang tidak ingin usahanya sia-sia langsung mengangguk mengerti. "Iya. Gue nggak bakal bilang ke siapa-siapa."

"Bagus," ucap Yona. Ia bergegas pergi, tetapi Ochi bersuara lagi.

"Lo mau kemana?"

Yona menghela napas kesalnya. "Uks," jawabnya asal.

"Gue antar, ya? Lo keliatan lemes banget," tawar Ochi. Belum mengambil melangkah, Yona langsung melarang.

"Nggak usah. Gue bisa sendiri," ucapnya lalu meninggalkan Ochi sendirian. Semoga saja gadis itu benar-benar bisa dipercaya. Entah apalagi yang semesta rencanakan hingga semuanya hampir kacau seperti ini.

🍃

Karena Yona tidak punya pilihan lagi, akhirnya ia benar-benar ke UKS. Hanya ruangan itu yang bisa menjadi tempat persembunyian Yona sampai mimisannya berhenti.

Tubuhnya hampir selemas jelly, kakinya seperti diseret paksa agar bisa memasuki ruangan serba putih itu dengan aroma obat-obatan yang kuat.

Dengan satu tangannya, Yona membuka pintu. Ia berjalan masuk dengan hati-hati. Memandangi keadaan, dan tidak ada siapapun di sini. Bahkan Bu Dinar—mantan perawat di salah satu rumah sakit dan kini menjadi penanggung jawab UKS DHS tidak terlihat juga.

Yona menghela napas leganya, lalu melangkah lagi untuk memilih salah satu bilik. Menutupi tirai keseluruhan, lalu berusaha duduk di atas brankar.

Karena mimisannya tidak kunjung mereda, Yona memajukan tubuhnya sedikit sambil menjepit cuping hidungnya, berusaha agar cairan kental itu berhenti keluar.

Beberapa menit ia terus seperti itu hingga tubuhnya tiba-tiba kehilangan keseimbangan dan seketika jatuh tersungkur ke bawah. Bu Dinar yang baru masuk ke dalam UKS refleks terdiam ketika mendengar sesuatu yang ribut, lalu buru-buru ia menuju asal suara itu.

Saat membuka tirai, Bu Dinar langsung mendapati Yona yang mencoba berdiri dari tempatnya. Mata Bu Dinar melolot, ia kaget ketika Yona mengangkat pandang dan memperlihatkan keadaannya yang mencengangkan.

"Yona?!" Bu Dinar cepat-cepat menghampiri gadis itu, membantunya untuk duduk lagi.

"Bu, aku nggak apa-apa," ujar Yona cepat. Ia memalingkan wajahnya dengan tangan menutupi hidungnya.

"Nggak apa-apa gimana kalau kamu penuh darah seperti ini?!" ucap Bu Dinar agak kuat, "jangan bergerak, Ibu ambil kompres dulu, " lanjutnya dan buru-buru keluar.

Yona mengigit bibir bawahnya, ia merasa cemas. Gadis itu memilih beranjak, ingin keluar tetapi Bu Dinar duluan datang sambil menenteng peralatan medisnya.

"Kamu jangan coba-coba kabur ya Yona! Kamu lagi sakit. Kamu butuh pertolongan pertama!" ucap Bu Dinar tegas.

Yona tidak bisa melawan, ia memilih menurut. Wanita kepala tiga itu mengambil kapas untuk menyumbat lubang hidung Yona. Lalu memerintahkan gadis itu untuk mengompres hidungnya sendiri agar mimisanya segera berhenti. Bu Dinar menatap Yona khawatir sambil membersihkan lelehan darah pada wajah gadis itu, kemudian beralih pada leher yang juga penuh lelehan darah.

"Kamu kenapa bisa mimisan seperti ini?" tanya Bu Dinar. Ia menatap bagian dada baju Yona yang ikut terkena tetesan darah.  "Mimisan kamu berlebihan Yona, ini bukan mimisan yang wajar."

"Nggak tau, Bu," jawab Yona cepat.

Bu Dinar tidak menjawab, ia sibuk mengganti kapas yang menyumbat hidung Yona. Wanita itu menggigit bibir bawahnya, keadaan Yona berhasil membuat dirinya merasa gelisah. Menatap wajah Yona yang pucat itu, lalu kembali menyumbat hidung Yona.

"Kepala kamu pusing?" tanyanya lagi, dan menempelkan tangannya di dahi Yona. "Kamu sejak kapan demamnya?"

"Sejak pagi tadi," jawab Yona.

"Kalau kemarin-kemarinnya?"

"Perlu Ibu tau?" tanya Yona. Ia sadar hal ini kurang sopan, tetapi ia tidak suka seseorang yang banyak tanya tentang urusannya.

"Kamu sering demam nggak belakangan ini?" Bu Dinar bertanya lagi.

Yona berdecak kecil. Ia enggan memberi tahu tetapi sepertinya Bu Dinar akan terus bertanya. Daripada kepalanya makin pusing, ia memilih menjawab. "Saat masa liburan kemarin," ujarnya pelan. "Sejak itu, hampir setiap hari aku demam."

Bu Dinar terdiam sesaat. "Kalau mimisannya sejak kapan?"

"Sejak itu juga. Tapi nggak terlalu sering. Tapi sejak kemarin aku udah mimisan terus, dan lebih banyak." Yona menatap Bu Dinar bingung saat wanita itu langsung memeriksa tubuhnya.

Yona merasa risih, Bu Dinar sampai menyibakkan rok pendeknya. "Bu Dinar ngapain?"

"Kalau ini sejak kapan?" tanya Bu Dinar, perasaannya berganti tidak enak. Ia memegang tangan Yona yang memiliki memar kebiruan. "Bukan cuma ini. Kamu juga punya memar seperti ini di lutut kamu. Dan ada beberapa di paha kamu."

Yona ikut melihat memar kebiruan itu. Ia sudah lama menyadari, tetapi ia yakin itu bukan apa-apa. "Bu, aku udah enakan. Aku pergi dulu," ujar Yona cepat dan berusaha beranjak. Tetapi Bu Dinar menahannya.

"Yona," ucap Bu Dinar pelan. Melihat tatapan berbeda dari Wanita itu membuat Yona terdiam. "Sejak kapan?"

"Bu, itu cuma memar biasa. Mungkin gara-gara cederaa pas latihan Cheers. Aku juga sering demam karena kecapean doang, kok. Dan mimisannya juga karena itu," ujar Yona lagi, tetapi Bu Dinar masih menahannya. "Bu, aku beneran nggak apa-apa. Aku harus keluar sekarang, ada latihan lagi."

Bu Dinar menggeleng kuat. "Enggak. Kamu harus ikut Ibu ke rumah sakit sekarang."

Gantian Yona yang menggeleng kuat. "Bu, aku beneran nggak apa-apa. Kenapa harus ke rumah sakit?"

"Biar kita tau penyebab dari ini semua," jawab Bu Dinar. Ia memegang tangan Yona, menuntunnya untuk turun. "Ayo. Ibu antar kamu ke rumah sakit."

"Bu!" Yona berucap sedikit keras. "Aku beneran nggak apa-apa! Serius!"

"Kita harus ke rumah sakit, Yona."

"Tapi aku nggak mau!" Yona mulai tidak tahan.

"Yona, Ibu mohon. Kamu harus kerumah sakit sekarang." Bu Dinar terus memaksa.

"Ibu, kok, maksa, sih? Kalau aku bilang aku nggak apa-apa, ya berarti aku beneran nggak apa-apa. Aku nggak perlu ke rumah sakit! Ibu Dinar nggak usah berlebihan!"

"Tapi Yona—"

"Bu, aku harus pergi. Bu Emile udah nungguin aku," ujar Yona bersiap-siap pergi. "Maaf, Bu, kalau udah ngerepotin. Aku beneran nggak apa-apa kok. Aku pamit, Bu."

Bu Dinar menghela napasnya kasar. Ia menggigit bibir bawahnya lagi merasa sangat khawatir. Meski ia adalah penanggung jawab di sini, tetapi ia tidak punya hak lebih untuk memaksa kehendak Yona—gadis cantik yang sudah ia kenal baik semenjak berkerja di Dream High School.

Ia hanya bisa memandangi Yona yang berjalan pergi. Gadis itu terlihat sangat lemas. Ketika baru selangkah Yona keluar dari bilik, mendadak pandangannya perlahan mengelap dan detik kemudian tubuh gadis itu merosot cepat kebawah.

Bu Dinar refleks memekik ketika melihat Yona jatuh tidak sadarkan diri.

3282 words, done!

btw, ada yg tau Yona tuh kenapa lagi? Coba komen dan tebak disni!!!!

Coba komen jg dong, saran & kritik yang sdng bersarang di kepalamu saat ini setelah baca 6part dr Beautifulove?

Btw geng jangan lupa follow ig khusus cerita aku ya 👇👇👇
- daydreamproject10
- astories.e
- asmahafaaf
- yonafarestaivory
-dave_saja

SBLM PAMIT AKU MINTA SPAM NEXT DISINI DONG, YANG!!!!!!

Oke kalau begitu, paypay!

With kecup basah
AsmahAfaaf

Revisi; 25/07/2020

Continue Reading

You'll Also Like

99.5K 5.5K 33
☠️ PLAGIAT DILARANG KERAS☠️ FOLLOW SEBELUM BACA!!! Menceritakan tentang seorang gadis bernama Ayla Humairah Al-janah, yang dijodohkan oleh kedua oran...
7.3M 387K 45
⚠️FOLLOW DULU SEBELUM BACA! ⚠️Rawan Typo! ⚠️Mengandung adegan romans✅ ⚠️Ringan tapi bikin naik darah✅ Neandra Adsila gadis cantik yang berasal dari d...
548K 44.4K 46
Rifki yang masuk pesantren, gara-gara kepergok lagi nonton film humu sama emak dia. Akhirnya Rifki pasrah di masukin ke pesantren, tapi kok malah?.. ...
65.9K 171 10
🔞Bagi yang suka suka saja!!! Ini cerita lanjutan dari cerita berjudul Birth Sex , yuk cuss bestie!!