Pagi ini adalah jam pelajaran olahraga untuk kelas XII IPA 4.
"SEMUANYA SEGERA KE LAPANGAN. DITUNGGU SAMA PAK KATRO!" Teriak salah satu siswa dari arah luar kelas.
"Dimana si Abay?" Tanya Daven kepada Ravis disebelahnya.
Ravis yang mendengarnya hanya merespon dengan mengangkatkan bahunya tanda bahwa dirinya tidak tahu. "Mungkin dia udah mangkal kali di lapangan," katanya.
"Mungkin..." sahut Daven.
"Yaudah lah langsung cus ke lapangan aja."
Daven mengangguk.
Setibanya dilapangan, mereka berdua masih tetap tidak menemukan keberadaan Abay.
"Dimana? Gak ada?" Daven masih bertanya-tanya.
"Apa dia udah niat bolos?" Ravis balik bertanya.
"Ah mana mungkin? Lo tau sendiri si Abay mana mungkin saat pelajaran olahraga kayak gini bolos."
"Tapi buktinya dia gak ada, ngilang dari tadi pagi dan gak tau dimana."
"DAVEN, RAVIS!" Teriak seseorang dari arah belakang.
Daven dan Ravis yang merasa namanya disebut dengan langsung menoleh ke arah sumber suara.
"Huh... capek banget gue." Kata seseorang itu yang tak lain adalah Abay dengan nafas yang terpenggal-penggal.
"Abis dari mana lo, nyet?" Ketus Ravis dengan nada sedikit meledek.
"Gue abis disuruh bantuin Bu Keke bawain lukisan-lukisan ke ruang seni. Gila lukisannya banyak banget sampe gue harus bolak-balik terus dari tadi..." kata Abay dengan serius.
"Oh..." ucap Daven singkat.
"Dikira gak capek apa gendong lukisan-lukisan sebegitu banyaknya!" Kesal Abay.
"Ya siapa suruh lo mau?" Daven menyahuti lagi.
Abay hanya menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal sembari memperlihatkan senyuman tidak berdosanya.
"Pantesan lo gak balik lagi ke kelas. Gue kira lo bolos..." kata Ravis lagi.
"Sialan lo! Ya kali gue bolos sih di pelajaran olahraga!" Kesal Abay.
"Ya kali aja gitu."
***
Satu jam pelajaran olahraga telah selesai. Daven dan yang lainnya langsung bergegas pergi ke kantin untuk menghilangkan haus dahaganya.
"Ngapain sih, Bay?" Tanya Ravis keheranan ketika melihat Abay tengah sibuk mengangkat tangannya ke atas yang kebetulan juga tengah memegangi ponselnya.
"Lagi nyari sinyal gue..." sahut Abay tanpa menoleh ke arah Ravis dihadapannya.
"Emang sinyal lo kenapa?" Ravis bertanya lagi.
"Jelek," ucap Abay singkat, padat dan jelas.
"Gue nanyanya sinyal bukan muka."
Abay yang mendengarnya dengan langsung menatap Ravis dengan malasnya. "Sialan lo!" ucapnya ketus.
Daven yang sedari tadi hanya menyimaknya pun ikutan tertawa kecil disela-sela tengah asiknya menyeruput cairan orange di depannya.
Abay langsung memasukkan ponsel miliknya ke dalam saku seragamnya setelah itu. "Gue cuma mau ngingetin ya sama kalian berdua..." katanya.
"Apa?" Tanya Daven dan Ravis bersamaan.
"Jangan lupa kalo mau berbuat jahat ke orang sambil goyangin bahu."
"Tujuannya?" Ravis bertanya lagi.
"Biar pas malaikat nyatet jadinya kecoret haha..." kata Abay lalu tertawa.
Sedangkan Daven dan Ravis hanya saling menatap datar satu sama lain.
"Apaan sih, bangsat!" Kesal Daven sembari melempar kulit kacang ke arah Abay.
"Eh, kasar." Kata Abay lagi.
"Bacot."
"Santau dong, boy." Kata Abay sembari memperlihatkan senyuman tak berdosanya.
***
"Za, istirahat nanti lo mau ke kantin gak?" Tanya Debi saat jamkos.
"Iya, ke kantin." Sahut Anza.
"Woi... woi... woi..." ucap Vanya yang mulai heboh sendiri.
"Apaan sih, Nya?" Ketus Zara.
"Gue mau cerita nih, penting pake banget."
"Cerita aja sih gak ada yang larang ini," kata Anza.
"Dengerin ya..." kata Vanya lagi.
"Iya..." ucap Debi dan Zara bersamaan dengan malasnya.
Anza mengangguk.
"Gue kemaren kan ngantri buat beli bakso," kata Vanya.
"Terus?" Ketus Debi.
"Bentar gue belum selesai."
Debi hanya manggut-manggut.
"Tiba-tiba ada emak-emak nyerobot terus bilang, 'Bang anak saya dulu ya, kasian anak saya udah rengek minta makan katanya laper'."
"Nah dalem hati gue ngegerutu sendiri, 'Heh maemunah, lo kira dari tadi gue ngantri berdiri disini cuman liatin tutorial bikin bakso apa. Gue juga laper, setan'."
"Gue kesel banget pokoknya sama emak-emak depan rumah gue itu. Rasanya pengen gue masukin karung terus gue lempar langsung ke pluto itu orang biar ngilang dari bumi."
"Kenapa lo gak ngomong langsung sama si Ibu-ibunya?" Zara bertanya.
"Lo tau sendiri kalaupun wanita selalu benar tapi kalo lawannya emak-emak gue kalah lah. Gue pengen banget nyeruduk kalo emak-emak ngasih sen kiri beloknya ke kanan aja gak bisa, lah ini mau sok-sok an nyeramahin. Mau mati berdiri gue?"
"Namanya juga the power of emak-emak mana bisa lo lawan sendirian haha..." kata Debi seraya tertawa.
"Seharusnya lo ngajak gue kalo masalah ini.." lanjut Zara juga.
"Emang lo berani?" Tanya Vanya.
"Lo pikir gue berani? Haha... enggak..." kata Zara lalu setelahnya tertawa.
"Cih..." desis Vanya.
Tanpa dirasa, akhirnya yang ditunggu-tunggu pun tiba. Bel tanda istirahat telah berbunyi.
"Langsung cus aja ke kantin!" Kata Debi.
"Kuy..." lanjut yang lain.
Namun, saat beberapa langkah berjalan menuju kantin. Ada suara yang menyerukan nama Anza.
"ZA!" Teriak seseorang dari arah belakang.
Sontak Anza yang merasa namanya terpanggil saat itu juga langsung menoleh.
"Za, bentar!" Seseorang itu masih berteriak yang tak lain juga adalah Juan.
Anza mengangguk.
Juan mulai berlari kecil menghampiri dimana kini Anza tengah terdiam.
"Kenapa, Juan?" Tanya Anza.
"Gue punya sesuatu buat lo. Ikut sama gue?" Juan balik bertanya.
Anza berbalik menatap ketiga sahabatnya. Tapi, dengan langsung ketiganya mengangguk.
"Yaudah kalian duluan aja ke kantin. Nanti gue nyusul," kata Anza.
"Oke..." kata Vanya sembari menunjukkan isyarat oke menggunakan tangannya.
"Yuk, ikut sama gue?" Kata Juan lagi mengajak Anza untuk segera beranjak darisana.
"Emang mau kemana sih, Juan?" Anza masih bertanya-tanya.
"Nanti lo tau sendiri."
Anza manggut-manggut.
Beberapa saat kemudian, sampailah Anza di tempat dimana kini tengah terlihat lampu-lampu tumblr yang bertuliskan "Happy Sweet Seventeen, Anza."
Anza melihatnya dengan mata yang berbinar-binar. Sungguh, Anza tidak menyangka Juan akan melakukan hal ini untuknya.
"Juan..." ucap Anza dengan lembut.
"Maaf, Za.... gue telat ngasih kejutan buat lo. Seharusnya ini itu kemaren, cuman kemaren gue ada rapat dewan osis jadi gak bisa ketemu lo. Dan pas balik baru gue mau nemuin lo, eh lo udah balik. Sama Daven," kata Juan sembari tersenyum.
"Makasih ya, Juan. Sebenernya lo gak perlu ngelakuin hal ini buat gue. Gue udah ngerasa seneng kok kalo lo masih inget hari ulang tahun gue, gak usah segininya juga."
"Gapapa kali, Za. Lagian gak dirayain setiap hari ini. Gak usah ngerasa gue bakal direpotin, justru gue ngerasa seneng kalo direpotin sama lo."
"Ini buat lo," lanjut Juan sembari memberikan kotak berukuran sedang ke arah Anza.
"Ini apa?" Anza bertanya.
"Buka aja."
Anza mengangguk.
Setelah dibuka, ternyata didalamnya terdapat sebuah jam tangan merk ternama keluaran terbaru. Anza yang melihat dan membaca merknya langsung merasa terkejut saat itu juga.
"Hah, Juan? Lo yakin ngasih gue kado ini?" Tanya Anza tidak percaya.
"Kenapa sih gak percaya banget sama gue."
"Ini terlalu mahal. Gue gak mau nerima."
"Kalo lo gak nerima berarti lo gak ngehargain usaha gue dong."
"Tapi, ini..." kata Anza belum selesai namun langsung dipotong oleh Juan begitu saja.
"Udah gapapa, gue ikhlas ngasih kado ini buat lo. Jangan lupa dipake ya," kata Juan sembari tersenyum manis ke arah Anza.
Anza mengangguk. Dia langsung menghampiri Juan dan mulai memeluk Juan dengan erat.
"Makasih ya, Juan. Mungkin kata makasih dari gue gak akan cukup buat gantiin harga kado yang lo kasih."
Juan mengacak-ngacak puncak kepala Anza. "Gak harus kayak gitu. Gue emang udah ngerencanain buat kadoin ini buat lo dari lama," katanya.
Anza melepaskan pelukannya dari Juan.
"Makasih banget pokoknya. Gue janji, gue bakal tlaktir lo makan sepuasnya." Kata Anza.
"Oke, gue pegang kata-kata lo. Kalo perlu gue kantongin biar gak lepas."
Anza mengangguk.
"Udah sana gih lo pasti laper kan belum makan. Cepetan ke kantin. Nanti keburu bel." Kata Juan memerintah.
"Lo gak jajan?"
"Gue jajan."
"Yaudah barengan aja," kata Anza.
"Tapi, nanti Daven gimana?"
"Hah, kok ke Kak Daven sih?"
"Gue gak enak. Takutnya dia cemburu kalo gue makan sama lo di kantin."
"Ngga akan. Ayo," kata Anza sembari mulai menarik lengan Juan untuk pergi ke kantin bersamanya.
"Tapi, Za..."
"Gak usah pake tapi..." kata Anza.
Juan mengangguk.