Ice Girl And The Troublemaker

Av ccottonccastle-

90.2K 12.8K 981

[ slow ──banget buat── up ] ❛❛Organisasi dulu, diriku sendiri, baru kamu.❜❜ Mer

• • I N T R O • •
• IGATT - 1 •
• IGATT - 2 •
• IGATT - 3 •
• IGATT - 4 •
• IGATT - 5 •
• IGATT - 6 •
• Faketagram •
• IGATT -7 •
• IGATT - 8 •
• IGATT - 9 •
• IGATT - 10 •
• Faketagram •
• IGATT -11 •
• IGATT - 12 •
• IGATT - 13 •
• IGATT - 15 •
• IGATT - 16 •
• IGATT - 17 •
• IGATT - 18 •
• IGATT - 19 •
• IGATT - 20 •
• IGATT - 21 •
• IGATT - 22 •
• IGATT - 23 •
• IGATT - 24 •
• IGATT - 25 •
• IGATT - 26 •
• IGATT - 27 •
• IGATT - 28 •
• IGATT - 29 •
• IGATT - 30 •
• IGATT - 31 •
• IGATT - 32 •
• IGATT - 33 •
• IGATT - 34 •
• IGATT - 35 •

• IGATT - 14 •

1.8K 298 11
Av ccottonccastle-

maaf kalo gak sesuai ekspetasi. Happy reading!

••••

Surat itu datang lagi.

Sepucuk surat yang hampir setiap pagi tergeletak di atas bangkunya itu muncul lagi. Dan seperti biasanya pula, Lalisa tak ada niatan untuk membacanya. Namun ia juga tak membuangnya, hanya menyimpannya di dalam kotak di samping lemari kamarnya.

Sepucuk surat dari Alfa. Cowok itu mengambil jalan lain untuk membujuk Lalisa agar mau mendengarkan penjelasannya, dan sepertinya jalan melalui surat ini yang efektif.

Nope. Tidak terlalu efektif juga, karena Lalisa lebih memilih gengsi dan berpihak pada ego untuk tidak membacanya.

Jennie menyenggol pelan bahu Lalisa. "Hey dude, gue tau lo butuh banget yang namanya alasan dari Alfa. Ketemuan aja napa sih."

Rose mendengus, duduk dibangkunya sambil mengerucutkan bibir. "Asli, geregetan gue sumpah."

Layla mengerutkan keningnya. "Lis, gue tau lo sebenernya sebel dikirimin begituan sama tuh kuyang, mangkannya, ketemuan aja."

Lalisa yang sedang cuek membaca buku biologi dalam diam itu meresapi kata-kata mereka. Semuanya terlalu realita untuk diabaikan.

Lalisa mengayunkan tangannya jengah. "Udah ah, nanti gue pikir-pikir lagi. Udah sana, mending kalian belajar dari pada ngerecokin gue, mau ujian juga."

Dan ketika pengusiran halus itu sukses melerai ocehan ketiganya untuk diam, dan memilih ikut membaca, Lalisa melirik surat Alfa di laci mejanya.

Buka gak ya?
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀

••••

Alfa meremas rambutnya kasar sambil mendengus kesal.

"Shit!"

Kepalanya terasa sakit luar biasa, setelah beberapa kali akhir-akhir ini dia melewatkan jadwal nya untuk menjalani hemodialisis. Tubuhnya lemas bukan main.

Langkahnya terseok menuju pintu kala benda yang berguna untuk jalur keluar masuk apartemen itu berbunyi beberapa kali, menandakan bahwa seseorang meminta akses untuk masuk.

Alfa terjengit.

"Pap──"

Pria paruh baya itu lantas memeluk putranya erat, menyalurkan kekhawatiran yang dalam pada sosok dalam pelukannya.

"Alfa, kamu kenapa pake acara kabur dari rumah?"

Alfa berjalan mundur, sedikit terhuyung karena sakit di kepalanya kembali mendera.

"Ngapain disini?"

Pria itu tersenyum hangat. "Aturan papa yang nanya gitu, kamu ngapain disini? Ketika papa jauh-jauh nyembunyiin kamu di Kanada untuk lari dari sini, tapi kenapa sekarang justru memilih kembali?"

Cowok itu meremat pinggiran sofa, menumpu berat badannya di sana agar tidak jatuh seiring sakit mendera kepalanya. Menahan diri agar tidak tumbang.

"Aku mau meluruskan semuanya. Lalisa, dia harus tau yang sebenarnya, aku capek dianggap jadi tokoh paling jahat di hidupnya."

Sosok pria paruh baya itu mendekat, menepuk pundak putranya pelan dua kali.

"Alfa, papa tau ini berat, tapi juga bukan jalan yang terbaik. Tolong perhatiin dulu kesehatan kamu."

"Pa," cowok itu mendongak untuk menatap sebuah foto usang berbingkai, "kenapa papa baik banget sama aku? Papa juga ninggalin dia gara-gara aku kan?"

Kali ini, diamlah yang menyambut pertanyaannya.

"Aku cuma anak angkat papa, sedangkan dia darah daging papa. Seenggaknya, aku pingin ngeliat kalian baik-baik aja selagi aku masih punya waktu."

••••

Lalisa melambaikan tangan kepada Ibunya yang baru saja pergi, dijemput dengan alasan kalau Nenek Lalisa sedang sakit, jadi beliau langsung berniat untuk menjenguk sekarang juga.

"Sekarang lagi musim orang sakit, ya?" Gumam Lalisa.

Lalisa sebenarnya diajak, namun ia menolak dengan alasan bahwa ia harus belajar, menyiapkan Ujiannya yang kian mendekat.

Baru beberapa langkah Lalisa menjauh dari pintu yang tertutup, benda itu kembali diketuk oleh seseorang.

Mendengar itu, tanpa pikir panjang, Lalisa segera membukanya, karena berpikir jika mungkin ada barang milik Ibunya yang tertinggal.

Namun bukannya wajah familiar sang Ibu yang dijumpai, suara decit pintu yang terbuka mengantarkan mata tebelalak Lalisa saat itu. Sang Ayah, yang sudah lama hilang, menjenguknya.

Lalisa benci keadaan seperti ini, ketika ia harus mati-matian membangun pertahanan batinnya melawan kehendaknya sendiri, untuk memeluk sang Ayah.

Lalisa bahkan hampir lupa, jika pria paruh baya yang masih tegap dengan balutan jas kerja kusut itu pernah bahagia dalam satu kesatuan bernama keluarga bersamanya; dulu.

Cewek itu masih membeku sambil memegang kenop pintu sebelum sesosok disisi luar pintu itu tersenyum sambil bicara.

"Kangen nggak sama papa?"

Lalisa masih diam seribu bahasa.

"Lisa, kamu pasti kangen kan sama papa? Sini peluk."

Cewek tetap diam ditempat, namun meringsut untuk menutup wajahnya dengan kedua tangan, menunduk.

Pria yang berstatus Ayah Lalisa itu tak kalah emosional, ia merangkup putrinya ke dalam pelukannya yang khas, merasa bersalah atas apa yang terjadi.

"Maaf, papa pingin hubungan antara anak dan Ayah ini nggak renggang lagi, maafin papa."
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀

•••••

⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Satu minggu kemudian.

Selepas kedatangan Ayahnya hari itu, hubungannya dengan Sang Ayah tak lagi serenggang dulu. Meski awalnya ia berpikir justru akan semakin jauh, tapi ternyata malah kebalikannya.

Mereka sering menghabiskan waktu bersama, sedikit mengembalikan memori antara anak dan Ayah dimasa lalu.

Bahkan Ibu Lalisa, beliau cukup senang dengan jengukan itu. Meski keduanya nampak saling menghindar dan enggan bertemu, Lalisa sedikit memaklumi.

Seperti sekarang, Lalisa dijemput oleh Ayahnya saat pulang sekolah.

"Lisa."

Perempuan itu menoleh. "Hm?"

"Mau ketemu sama seseorang nggak?"

Lalisa mengernyit. "Siapa?"

Pria paruh baya itu membelokkan stir kearah sebuah Rumah sakit daerah Jakarta.

"Tapi janji, jangan berpikir Papa ngedeketin kamu cuman buat ini, oke?"

Lalisa semakin bingung, berniat kembali bertanya namun terpotong.

"Sekarang, kamu ikut papa ya? Kita ketemu sama seseorang, kita dengerin penjelasan dia."

Lalisa yang hendak turun kembali terterhenti.

"Setelah kamu mendengar semuanya, tolong jangan sedih. Jangan salahin siapa-siapa. Bisa?"

Meski kebingungan, cewek berponi itu tetap mengangguk mengiyakan.

Mereka masuk beriringan, menuju sebuah ruangan rawat inap yang berada di sana. Hingga mereka berhenti di salah satu sisi yang hanya dibatasi oleh kaca bening, Lalisa menoleh kedalamnya.

Disana, terbaring Alfa yang terpejam di atas brankar rumah sakit. Tak berdaya.

Lalisa membeku. Kemudian sapuan tangan hangat sang Ayah di punggungnya seakan memberi keyakinan, kalau semuanya akan baik-baik saja.

Sepertinya.

•••••

Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk Lalisa melamun di samping Alfa yang tertidur, menunggunya untuk bangun.

Cewek itu menoleh, menatap Alfa yang sedang mencoba memulihkan pandangannya. Lalisa melihat cowok itu sedikit meringis, kemudian tersenyum kecil saat matanya menangkap sosok Lalisa di sampingnya.

"Panpriya?"

Lalisa membuang wajahnya. "Panggil gue Lisa."

Alfa mencoba duduk, sedikit bantuan dari Lalisa membuatnya tersentuh. "Makasih."

Lalisa tak membalas, memasang wajah datarnya. "So? Gue udah disini, apa yang mau lo bicarain?"

Cowok itu sedikit menarik napasnya, kemudian menghembuskan nya dengan pelan.

"Gue bingung harus mulai dari mana," ucapnya sambil menatap lurus kedepan.

Cewek itu justru fokus menunduk, memainkan pinggiran brankar untuk menutupi ketidaknyamanannya.

"Benua, dia──"

Lalisa lantas mendongak dengan cepat. "Benua? Apa hubungannya sama dia?"

Lagi-lagi cowok itu menghembuskan nafasnya yang mulai berat.

"Setelah gue selidiki, ternyata Benua itu anak dari Almarhumah Tante Kiana, orang yang satu permainan sama Almarhum Papa gue dulu."

"Perma──"

"Semacam taruhan perebutan kekuasaan. Setiap pemain diharuskan untuk menjadikan nyawa mereka sebagai taruhannya. Biasanya dalam satu permainan ada dua kelompok yang memperebutkan sebuah kekuasaan," ia menghela napas.

"Tante kiana sama papa beda kelompok, dan kelompok mamanya Benua meminta nyawa kelompok papa sebagai penebus kekalahan karna kelompok papa kalah waktu itu. Sampe akhirnya papa meregang nyawa, dan gak lama setelahnya, Mama Benua memutuskan untuk bunuh diri tanpa alasan yang jelas," lanjutnya.

Rahang Lalisa seakan jatuh berserakan di lantai ubin.

"Para pemain yang mengikuti permainan ini biasanya adalah orang-orang yang sudah putus asa akan kehidupannya, tapi juga tamak akan harta. Jadi mereka gak segan-segan untuk menyerahkan nyawa mereka sendiri sebagai taruhan. Intinya, mau menang atau kalah, bakalan tetep mati."

Alfa menatap Lalisa penuh arti.

"Mama depresi berat waktu itu, berkali-kali ditangani sama tenaga medis, tapi ya gitu. Sampe suatu malam, mama mencoba bunuh diri."

Cewek itu reflek menutup mulutnya. Antara ngeri dan tak percaya.

"Beliau mau gantung diri waktu itu. Tapi gue cegah, dan pas gue tanya alasannya, lo tau kenapa?"

Alfa tersenyum kecil. "Katanya beliau tau gue terpukul atas kebodohan papa, dan mama mencoba bunuh diri biar gue jadi yatim piatu dan gue diangkat jadi anak sama orang tua lo."

Cowok itu meraih tangan Lalisa, membawanya untuk digenggam. "Lo inget terakhir kali mama gue ke rumah lo, dia seakan merhatiin interaksi gue sama papa lo? Itu yang jadi kunci awal kemunculan ide itu, yang menurutnya gue bakalan lebih bahagia kalau bisa punya orang tua lengkap lagi, meskipun gak kandung. Terlebih, mama percaya sama keluarga lo."

"Darisana, gue jadi gak bisa berpikir jernih. Apalagi percobaan bunuh diri itu gak sekali dua kali, hampir tiap malem Lis, tiap malem. Sampe akhirnya pemikiran gila tentang gimana caranya biar mama gue hidup, tapi keinginan nya juga terpenuhi, jalan gitu aja."

"Gue capek, capek banget denger mama tiap malam teriak-teriak nyalahin dirinya sendiri, mama nganggep dirinya nggak bisa jagain papa sampe bisa nekat kaya gitu."

Cowok itu menyeka air matanya, kemudian membelai surai halus Lalisa.

"Maaf, gue nggak berdaya. Semuanya ngalir gitu aja. Sampe ini semua terjadi, gue baru nyadar, kalo gue salah pas lo bener-bener ngebenci gue, bener-bener nganggep gue perusak dihidup lo. Gue sakit Lis, sakit banget."

"Maaf, udah buat lo terluka. Maaf, udah jadi pribadi yang egois."

:"

Fortsett å les

You'll Also Like

74.4K 9.7K 103
This is just fanfiction, don't hate me! This is short story! Happy reading💜
89.9K 7.8K 81
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
58.5K 9.6K 14
Yang publik ketahui, kedua pemimpin perusahaan ini sudah menjadi musuh bebuyutan selama bertahun-tahun lamanya, bahkan sebelum orang tua mereka pensi...
949K 77.6K 28
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...