I'M ALONE

By sphprmtsr

86.7K 4K 47

Self Injury, antisosial, dan trauma masa lalu semua itu Aluna miliki. Begitu banyak hal yang ia lupakan perih... More

Prolog
How to read the new version
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua belas
Tiga belas
Empat belas
Lima belas
Enam belas
Tujuh belas
Delapan belas
Sembilan belas
Dua puluh
Dua puluh satu
Dua puluh dua
Dua puluh empat
Dua puluh lima
Dua puluh enam
Dua puluh tujuh
Dua puluh delapan
Dua puluh sembilan
Tiga puluh
Tiga puluh satu
Tiga puluh dua
Tiga puluh tiga
End: Season 1
Tiga puluh lima
Tiga puluh enam
Tiga puluh tujuh
Tiga puluh delapan
Tiga puluh sembilan
Empat puluh
Empat puluh satu
Empat puluh dua
Empat puluh tiga
Empat puluh empat
Empat puluh lima
Empat puluh enam
Empat puluh tujuh
Empat puluh delapan
Empat puluh sembilan
Lima puluh [End]

Dua puluh tiga

1.3K 68 1
By sphprmtsr

"Aluna?"

Hari telah menjumpai malam setibanya Fatih di rumah keluarga Aluna. Setelah seharian menghabiskan waktu bersama Fatih, Aluna akhirnya kelelahan dan tertidur di perjalanan pulang. Bahkan sewaktu Fatih membangunkannya dengan memanggilnya berkali-kali, Aluna tidak kunjung membuka matanya. Ia hanya menggeliat sebentar sebelum akhirnya kembali tenang menjumpai mimpinya.

Fatih membuka pintu mobilnya. Ia memutari mobil dan membuka pintu mobil yang satunya. Sebelum dirinya mengangkat tubuh Aluna dengan hati-hati, Fatih sempat merapihkan rambut Aluna sebentar agar tidak mengganggu tidur istrinya itu. Tubuh Aluna yang terasa ringan bagi Fatih membuatnya dengan mudah membawa Aluna masuk. Bi Nah langsung berlari tergopoh-gopoh menyambut kedatangan Fatih dan Aluna. Mungkin ia khawatir terjadi sesuatu pada Aluna hingga nonanya harus digendong ala bride style oleh Fatih.

"Ketiduran, Bi. Tenang aja," ucap Fatih yang membuat Bi Nah lantas menghembuskan napas lega. "Biar saya yang bawa Aluna ke kamarnya."

"Baik, Mas Fatih," jawab Bi Nah. Ia membiarkan Fatih membawa Aluna ke kamarnya meskipun dengan perasaan cemas ketika Fatih mulai meniti tangga sambil menggendong Aluna. Takut-takut Fatih akan terjatuh bersama dengan Aluna.

Bi Nah baru bernapas lega kala Fatih telah selesai menginjak undakan tangga terakhir. Ia berlalu dari sana selepas itu karena merasa Aluna akan baik-baik saja bersama Fatih.

Dengan hati-hati, Fatih membaringkan Aluna di kasurnya. Melepas sepatu yang sebelumnya masih dikenakan Aluna, menyelimutinya hingga separuh tubuhnya, kemudian merapihkan rambut Aluna agar tidak mengganggu tidurnya. Fatih tidak langsung beranjak dari sana. Ia berlutut di sebelah kanan kasur sambil melipat kedua tangannya di atas kasur dan menumpukan kepalanya di atas lipatan tangannya.

Diam-diam, Fatih meneliti wajah Aluna melalui matanya. Mulai dari matanya hingga bibirnya. Ia mengulum senyum tatkala teringat pada sosok Aluna sewaktu mereka masih kecil dulu. Perubahan pada diri Aluna memang tidak banyak. Ia hanya terlihat semakin dewasa dan tentunya ... semakin cantik di mata Fatih. Dengan gerakan pelan, Fatih mengangkat tangannya untuk mengelus kepala Aluna dengan lembut.

Rasa kecewa memang sempat Fatih rasakan karena menjadi satu-satunya orang yang mengingat kisah antara dirinya dengan Aluna sewaktu dulu. Namun setelah menikah dengan Aluna, rasanya hal itu tidak perlu lagi dipermasalahkan. Fatih bisa membuat kenangan-kenangan baru dengan Aluna agar istrinya mempunyai memori bersamanya. Agar bukan hanya Fatih yang memiliki kenangan manis bersama Aluna tetapi Aluna pun mempunyai kenangan indah bersama Fatih.

Selepas merasa puas mengamati wajah Aluna, Fatih menarik tangannya lagi. Ia berdiri untuk segera pergi dari Aluna agar istrinya bisa istirahat. Namun baru sampai langkah kedua, tangan kiri Fatih ditarik hingga langkahnya terhenti. Siapa lagi kalau bukan Aluna pelakunya. Untuk itu, Fatih kembali mendekati Aluna.

"Apa saya mengusik tidur kamu?" Fatih bertanya dengan khawatir. Keningnya menunjukkan kerutan kecil dengan tangan kanan yang mengelus lembut punggung tangan Aluna. Ia berlutut lagi agar wajahnya bisa berhadapan langsung dengan Aluna.

"Maaf mengganggu kamu. Sudah malam, selamat tidur." Fatih berbicara lagi sebelum Aluna menjawab.

Aluna melepaskan genggaman tangannya pada Fatih. Ia berucap dengan tulus, "terima kasih untuk hari ini, Kafa." Perlahan-lahan, kedua sudut bibir Aluna terangkat. Ia yang jarang tersenyum, kini tersenyum simpul sebab rasa bahagia yang meluap dalam hatinya.

Senyum Fatih merekah. Ia menjawab dengan senang hati, "terima kasih kembali untuk bahagiamu hari ini."

Selepas menjawab, Fatih tidak beranjak dari sana. Ia justru memajukan tubuhnya, memperpendek jarak antara dirinya dengan Aluna. Untuk sesaat, Aluna membatu. Tenggorokannya tercekat hingga tidak ada satupun kata-kata yang keluar. Tangannya mengepal tanpa sadar sebagai refleks dari rasa takutnya. Segala pemikiran buruk muncul di kepala Aluna hingga memunculkan bayang-bayang kejadian masa lalu kala dirinya diperlakukan tidak pantas oleh temannya sendiri.

Fatih menyibak rambut di kening Aluna. Ia mengecupnya pelan hingga membuat Aluna memejamkan matanya. Terjadi jeda cukup lama sampai Fatih memundurkan tubuhnya dan bangkit untuk segera pergi dari kamar Aluna. Ia berkata, "selamat malam, Aluna. Mimpi indah."

Selepas itu, Fatih melanjutkan langkahnya. Ia mematikan lampu kamar Aluna agar istrinya bisa tidur nyenyak tanpa terganggu oleh cahaya lampu, membiarkan cahaya bulan dari balik jendela menyinari kamar Aluna. Ia menutup pintu dengan hati-hati sampai sosoknya hilang dari pandangan Aluna.

Aluna menghela napas dengan kasar selepas menahan napas cukup lama. Kedua matanya masih terarah pada pintu kamar yang telah tertutup. Aluna yang sudah berpikir macam-macam, dibuat tercengang oleh tindakan sederhana Fatih. Padahal tadi ia sudah bersiap untuk mendorong Fatih dengan kakinya bila lelaki yang telah menjadi suaminya itu berperilaku macam-macam padanya.

Rasa takutnya ternyata masih belum hilang. Namun akibat aksi Fatih tadi, Aluna dibuat membisu. Rasa takutnya meluruh begitu saja digantikan dengan rasa aman yang seolah tersalurkan dari Fatih.

"Selamat malam, juga terima kasih karena telah memahamiku, Kafa."

***

Tuk,

Tuk,

Tuk.

Suara langkah kaki yang terdengar semakin mendekat membuat Bi Nah menyempatkan diri untuk menolehkan kepalanya di tengah kesibukannya menyiapkan sarapan. Aluna menghampiri Bu Nah sambil membawa buku sketsanya sekalipun hari masih begitu pagi untuknya membuat sebuah desain. Meskipun tidak selihai para desainer, namun Bi Nah sangat tahu bahwa menggambar sketsa baju memang sudah menjadi kegemaran Aluna sejak lama.

"Aluna mau sereal, Bi," pinta Aluna yang membuat gerakan tangan Bi Nah terhenti.

Bi Nah baru saja memasukkan telur ke dalam nasi goreng yang dibuatnya, yang akhir-akhir ini menjadi makanan favorit Aluna kala sarapan. Biasanya ia menambahkan bahan-bahan lainnya seperti sosis ataupun bakso untuk menambah selera. Juga beberapa potong wortel dan mentimun agar Aluna juga mau memakan sayuran. Bi Nah sampai membeku sebentar selepas mendengar permintaan Aluna yang lain hari ini.

"Buat Bi Nah aja nasi gorengnya. Atau salah satu pelayan yang mau sarapan pakai itu pagi ini. Mereka makan nasi uduk terus kan dari seminggu yang lalu?" Benar kata pepatah yang mengatakan; sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya tetap tercium juga. Meskipun kali ini, bangkai yang dimaksud bukanlah sebuah kejahatan tetapi hal itu tetap saja tidak benar menurut Aluna. Ia diam-diam mengetahui bahwa para pelayan dilarang memakai dapur di pagi hari karena selalu dipakai Aluna untuk sarapan hingga akhirnya mereka membeli di luar. Itupun dipilihkan —membuat Aluna curiga perihal maksud Bi Nah memberikan perintah. "Beri izin pada para pelayan juga pagi ini untuk membuat makanan di dapur."

"Baik, Nona," jawab Bi Nah dengan patuh. Ia kemudian menyiapkan menu sarapan yang diinginkan Aluna dengan cepat hingga Aluna langsung mengambilnya dan membawanya ke teras rumah.

Perumahan tempat Aluna tinggal sebenarnya adalah perumahan yang mempunyai lingkungan individualis. Tidak ada senyum sapa pagi hari maupun tegur sapa silaturahmi. Yang ada hanyalah kesibukan pada masing-masing rumah tanpa berniat mencampuri urusan satu sama lain. Apalagi pekarangan rumah yang rata-rata tidak kalah luas dari rumahnya dengan tembok dan gerbang yang tinggi membuat kondisi lebih mendukung untuk tidak mengusik satu sama lain.

Cukup lama untuk Aluna menghabiskan semangkuk sereal miliknya. Ia mengunyah dengan lambat sambil mengamati daun dari pohon-pohon di halaman rumahnya yang bergoyang-goyang karena angin. Ataupun mentari yang semakin lama semakin naik hingga sinarnya menyentuh permukaan kulit Aluna dengan hangat.

"Apa kabar Papa, Bi?"

Pertanyaan itu tiba-tiba saja dilontarkan Aluna kala dirinya menghampiri Bi Nah di dapur untuk menyerahkan piringnya. Beberapa pelayan yang masih ada di sana sempat menyapa Aluna dengan anggukan kepala dan senyum kaku —masih canggung untuk bertegur sapa dengan Aluna.

Sudah dua kali Aluna membuat Bi Nah terdiam cukup lama karena ucapannya pagi ini. Meskipun begitu, Bi Nah buru-buru mengelap piring yang telah dicucinya untuk diletakkan kembali di tempatnya dan menghampiri Aluna. "Nona ingin bertemu dengan Tuan Rudi?" tanyanya.

Mata Aluna menelisik ke sekitar kala dirinya memikirkan jawaban dari pertanyaan Bi Nah. Ia sebenarnya tidak berniat begitu namun sewaktu Bi Nah bertanya, mendadak timbul keinginan di hati Aluna untuk menemui papanya yang setelah sekian lama mengasingkan dirinya agar tidak teringat kematian istrinya.

"Apa bisa, Bi?" Sewaktu pandangan aluna fokus pada tangan kirinya yang memainkan serbet di atas meja dapur, para pelayan yang penasaran pada obrolan mereka, mengarahkan matanya pada Aluna.

"Tentu saja bisa, Non. Saya akan menghubungi Tuan Rudi segera. Beliau pasti senang Nona akhirnya ingin menghubunginya," tutur Bi Nah.

Aluna bangkit dari kursinya. Ia sebenarnya juga masih tidak yakin dengan keputusannya sendiri. Namun setelah ditinggal Fatih bekerja, rasanya Aluna kesepian. Bi Nah dan para pelayan saja tidak cukup untuk Aluna. Ia ingin bertemu dengan orang lain. Orang yang disebutnya istimewa; keluarga.

"Saya akan menunggu." Aluna berucap sambil berjalan menuju tangga yang mengarah ke kamarnya. "Bahkan bila Papa berada di tempat melarikan diri yang jauh sekalipun, Aluna akan menunggu sampai ia kembali."

Papanya Aluna —Rudi, memang tidak dalam keadaan baik-baik saja selepas ditinggal istrinya. Ia menjadi seperti anak remaja yang penasaran dan haus akan dunia baru. Menjelajahi dunia agar melupakan rasa sedihnya karena kehilangan orang yang paling penting dalam hidupnya. Terus datang dan pergi sendiri. Ia seolah lari dari kesepian padahal dengan begitu, kesendirian selalu bersamanya tanpa bisa dihindari.

"Baik, Nona."

Aluna meniti tangga pertama kala jawaban Bi Nah memasuki gendang telinganya. Ia berbisik, "Aluna rindu Papa ... " Sangat kecil hingga ia merasa bahwa hanya dirinya yang bisa mendengar bisikan itu. " ... juga Mama."

***

If you read this and like it, let me know you've been a part of this story by voting it.

© 2019
Revisi 2021

Continue Reading

You'll Also Like

58.5K 5.8K 43
(Belum Direvisi) Terkadang, apa yang terlihat baik di luar, tidak begitu pula di dalam. Seperti Daisy Ambarilis. Selebgram sekaligus vloger cantik ya...
3.3K 386 36
Rate: 13+ Ivy dan Iza, mereka dekat bagaikan saudara. Namun, mereka memiliki tipe idaman lelaki yang jauh berbeda. Iza si pecinta lelaki dewasa denga...
22.1K 2.3K 11
Bertahan hidup dengan dikelilingi para kanibal? Siapa yang kuat? Tentu saja mereka bertujuh. [ š—•š—¢š—•š—¢š—œš—•š—¢š—¬ š—™š—”š—”š—™š—œš—– ] Sebuah virus menyebar...
11/12 By Citveyy

Teen Fiction

20.2K 2.3K 50
Kau bertanya kenapa aku bisa mencintaimu?. Jawabannya adalah aku tidak tahu. Yang kutahu hanya kau gadis pemilik mulut pedas yang bisa membuatku berg...