Karena Katrina

Від galaxywrites

250K 40.7K 4.2K

Katrin sebel banget sama Pak Anjar, guru matematikanya yang doyan diskriminasi itu. Gara-gara nilai ujian mat... Більше

Prolog
1 - Mentor Matematika
2 - Katrin dan Ipad-nya
3 - Pizza
4 - Rabu Pagi
5 - Malu (Maluin)
6 - Dimana Letak Lucunya?
7 - Hukuman
9 - Faktor Reihan
10 - Minta Maaf
11 - Celaka!
12 - Licious Romance
13 - Sebuah Kebetulan
14 - Latar Belakang Garvin
15 - Kucing Malang
16 - Bobby
17 - Usaha Katrin
18 - To Do List
19 - Tugas Pertama
20 - Masih Tugas Pertama
21 - Impossible
22 - Progress
23 - Janji Garvin
24 - Ruang Musik
25 - Sepakbola
26 - To Do List Terakhir
27 - Gagal dan Berakhir
28 - Pengalih Perhatian
29 - Reschedule Janji
30 - Katrin dan Perasaannya
31 - Garvin dan Perasaannya
32 - Pasca Ledakan
33 - Upaya Menjauh
34 - Hak Asuh Bobby
35 - Saling Bersinggungan
36 - Hilang dan Dicari
37 - Menanti Kabar
38 - Rasa Suka
39 - Pawrents
40. Si Paling Bucin
41. Family Dinner
42. Officially Yours
43. Sweetest Garvin
44. Excitement (End)

8 - Hidup Datar ala Garvin

7K 1.1K 73
Від galaxywrites

Chapter 8

"Ma, aku boleh beli drawing pad, yah?" Tanya Katrin yang sedang membantu mamanya membereskan sisa makan malam mereka.

"Drawing pad apaan?" balas Mamanya tanpa menoleh ke arahnya.

"Itu lho, Ma, hardware yang bentuknya kayak tablet gitu, bisa disambungin ke komputer. Untuk gambar."

"Kamu kan udah punya iPad buat gambar."

Mendengar nada bicara mamanya, Katrin tahu mamanya nggak akan memberikannya ijin dengan mudah untuk membeli drawing pad, salah satu benda incarannya sejak lama. Katrin bahkan sudah menabung, tinggal ditambah sedikit saja, uangnya bakalan pas untuk membawa drawing pad ke rumahnya.

Sebenarnya mamanya benar. Ipad Pro keluaran Apple yang dia punya sekarang sudah sangat membantunya dalam mengembangkan bakat menggambar. Namun, yang namanya manusia nggak pernah merasa puas, kan? Katrin pengin merasakan sensasi lain dalam menggambar.

Katrin mengerucutkan bibirnya. "Jadi nggak boleh beli, nih?"

"Nggak boleh, lah. Lagian kamu tuh harusnya fokus belajar sekarang, bukan gambar terus, kayak anak TK aja."

"Ih, Mama! Bakat anak tuh harusnya didukung, bukan malah dikatain begitu," dengus Katrin sebal.

"Mama udah dukung, kok. Buktinya mama beliin Ipad, kan? Nah kamunya aja yang makin ngelunjuk sampai lupa kewajiban utama kamu itu sebenernya belajar."

"Katrin belajar juga, kok."

"Belajar apanya? Mama tadi sore meriksa tas kamu. Ada kertas ulangan fisika punya kamu, nilainya 40. Menurut kamu itu hasil yang wajar didapatkan seseorang yang ngakunya belajar?"

"Mama meriksa tas aku?!" Katrin berteriak kaget.

Mamanya mengangguk tanpa dosa.

"C'mon, Ma, aku bukan anak SD lagi!"

"Iya, bener. Kamu kan anak TK yang hobinya gambar melulu."

"Ma!"

"Apa?" balas Mama Katrin seakan menantang anak semata wayangnya itu untuk mendebatnya.

Katrin mengembuskan napas keras. Dia akhirnya memilih diam daripada dikutuk menjadi batu.

"Kalau kamu dapet nilai 100 di ujian matematika, kimia dan fisika. Kamu boleh beli drawing pad," ucap Mamanya.

Katrin langsung bersungut dalam hati. Mamanya ini memang hobi banget bikin penawaran yang nggak tanggung-tanggung. Kemarin beli Ipad kudu masuk IPA, sekarang beli drawing pen kudu dapet nilai sempurna saat ulangan di tiga mata pelajaran paling susah.

Mustahil dapetin nilai seratus di pelajaran itu. Kecuali kalau Katrin dapet contekan dari orang-orang pintar.

"Ma, itu nggak mungkin."

"Oke, kalau gitu, jangan mimpi kamu bisa punya drawing pad atau apalah itu namanya."

"Astaga, mama. Terserah deh," Katrin memilih menyerah. Dia kembali ke kamarnya dan melupakan masalah drawing pad itu.

Katrin tahu, mamanya melakukan itu agar Katrin punya semangat belajar. Tapi yang kayak gitu nyiksa juga. Dituntut dapat nilai seratus itu adalah cobaan terberat bagi murid yang berlabel kurang bersinar di bidang akademik.

Katrin menghidupkan Ipadnya. Dia langsung membuka aplikasi procreate. Aplikasi yang biasa digunakannya untuk menggambar.

Karena dia lagi nggak punya ide dan mood untuk membuat komikstrip. Dia memilih untuk menggambar objek secara random. Selama lima belas menit, pencil-nya bergerak lincah di atas layar. Katrin meringis melihat sketsa yang hampir jadi. Iu adalah sosok mamanya yang berekspresi galak. Seakan sedang berteriak menyuruh Katrin belajar.

Sadar kalau dia akan menjadi anak durhaka apabila menumpahkan kekesalannya dengan mamanya lewat gambaran iseng ini, Katrin memilih untuk menutup kembali Ipadnya. Dia mengempaskan tubuhnya ke kasur dan memilih untuk memainkan handphone-nya saja.

Katrin meng-scroll timeline akun instagram pribadinya. Ada postingan terbaru dari sohibnya, Dewi. Cewek itu mengunggah foto candid yang sepertinya diambil di sebuah restoran Korea. Tulisan di captionnya sukses bikin Katrin nyengir geli: Membiasakan diri makan makanan korea, biar nggak kaget kalau diajak dinner sama Jungkook.

Katrin langsung menyematkan komentarnya.

@katrinagita : halu mulu kamu cute girl

Selanjutnya, tidak ada postingan yang menarik lagi. Katrin beralih ke instastory. Ada story Reihan muncul. Katrin buru-buru membukanya.

Story yang baru dikirim dua menit lalu itu berisi foto laptop yang tengah menampilkan powerpoint dengan template berwarna merah hati. Katrin tak dapat melihat isi tulisannya, tapi kayaknya itu sebuah proposal atau konsep acara.

Disana juga tersemat tulisan "proker menunggu" den emoji lengan berotot yang seakan mau menunjukkan kalau dia kuat dan semangat.

Melihat powerpoint tersebut mau tak mau mengingatkan Katrin dengan tugas Pak Anjar tiga hari lalu. Dari kemarin dia sudah mencoba menyicil mengerjakannya. Sayangnya dia mentok di halaman pertama doang. Alias baru bikin judul plus nama dia sendiri sebagai penyusun.

Seingat Katrin, Pak Anjar menyuruhnya membuat materi selengkap mungkin. Dalam buku matematika paket, penjelasan mengenai bab statistika bisa dibilang cukup lengkap, namun tidak merinci. Bahasanya pun ribet sehingga Katrin agak kesulitan memaknainya. Katrin berniat mendownload buku secara online, tapi dia nggak tahu buku mana yang harus ia download karena begitu banyak pilihan yang ada. Harusnya Katrin membicarakan hal ini pada Garvin tapi entah kenapa dia kelupaan terus.

Katrin yang teringat tentang itu memutuskan untuk menghubungi cowok itu sekarang. Katrin mencari kontak Garvin di grup whatsapp kelas mereka, menyimpannya ke phone book-nya, dan segera mengirim pesan secara personal ke cowok itu.

Katrina Nagita : Gar, ini Katrin. Lo tau nggak buku paket matematika yang lengkap apaan? Mau cari materi tambahan utk ppt gue

Centang dua. Tapi belum dibaca. Katrin yakin tanpa menyebutkan secara spesifik ppt yang ia maksud, Garvin langsung bisa ngeh.

Sepuluh menit berselang, barulah muncul jawaban.

Garvino Julian : istirahat bsk ikut gue ke perpus

Menghabiskan jam istirahat di perpus secara sukarela nggak pernah ada dalam sejarah hidup Katrin. Tapi karena ini titah dari satu-satunya orang yang bisa membantunya di kelas matematika, Katrin mau tak mau harus setuju. Toh dia yang butuh disini.

Jadi, Katrin segera mengirimkan balasan.

Katrina Nagita : oh, oke

***

Katrin bersyukur mendengar bunyi bel yang menandakan berakhirnya kelas Fisika sekarang. Dia yang sedari tadi menahan kantuk, langsung menelungkupkan muka ke atas meja bersamaan dengan keluarnya Pak Gani dari ruangan.

Baru mau terjun ke alam mimpi, terdengar bunyi ketukan keras di mejanya, hal yang membuat Katrin langsung terbangun dan mendongak menatap siapapun pelakunya.

Wajah datar Garvin lah yang menyapanya. Katrin mengerjap, berusaha mengumpulkan nyawa.

"Gue tunggu di perpustakaan," kata cowok itu pelan lalu berjalan begitu saja keluar kelas.

Katrin yang ingat janjinya dengan cowok itu semalam menghela napas kasar. Dengan sangat tidak rela, dia bangkit dari duduknya, mengambil ponselnya di dalam tas, dan segera menyusul Garvin.

Perpustakaan sekolah terletak di lantai tiga, lantai tertinggi di sekolah ini. Ukurannya sangat luas, dua kali lebih lebar dari kelas pada umumnya. Ada meja panjang lengkap dengan kursinya di sisi ruangan yang bersampingan langsung dengan jendela kaca yang besar. Di sisi bersebrangan, ada meja yang di atasnya terdapat 5 buah komputer. Di tengah-tengah ruangan, ada meja panjang yang tingginya tidak sampai selutut. Meja yang dikhususkan untuk siapapun yang membaca buku sambil lesehan. Selain itu, tentu saja ada rak-rak yang menjulang tinggi yang berisi buku-buku dari berbagai jenis, genre ataupun ukuran. Suhu ruangan yang disetel cukup dingin membuat siapapun betah berada di tempat ini.

Apalagi kalau mau tiduran atau malas-malasan. Tambah Katrin dalam hati.

Itu bisa saja direalisasikan asalkan Bu Uliani, alias penjaga perpustakaan yang berbadan besar layaknya kepala sekolah di kartun Upin Ipin, tidak memergokinya. Bu Uliani suka sensi sama siapapun orang yang melanggar peraturan di perpustakaan. Seperti tidur-tiduran, makan, berisik, dan sebangsanya.

Katrin mencari-cari sosok Garvin. Cowok itu rupanya sedang berada di lorong ke dua, tepat depan rak yang bertuliskan Matematika. Cowok jangkung itu sedang fokus membaca punggung buku yang berderet di depannya.

Katrin mendekati cowok itu. "Kalau bisa sih yang penjelasannya mudah dipahami," kata Katrin tanpa menyapa.

Garvin mengambil salah satu buku matematika yang cukup tebal dengan cover berwarna ungu tua, dan satu buku matematika dengan cover kuning keemasan. Semua buku itu tertulis untuk kelas XI.

Garvin berjalan meninggalkan Katrin yang masih terpaku di tempatnya. Tak tahu mau melakukan apa disini, Katrin mengikuti langkah Garvin yang ternyata menuju meja panjang di samping jendela besar. Lalu mereka duduk berhadapan.

Perpustakaan hari ini sangat lenggang. Hanya ada sekitar 5 siswa yang nggak diketahui Katrin dari kelas mana. Dua orang duduk di depan komputer, dua orang duduk lesehan di depan meja pendek, dan yang satunya sibuk menggitari rak berisi buku nonfiksi.

Katrin menoleh ke arah jendela kaca dan sedetik kemudian dia langsung terpana. Pemandangan di luar sana cukup indah untuk memanjakan mata.

Bangunan-bangunan yang menjulang tinggi yang berada di sekitar sekolahnya terlihat disana. Kalau dia menunduk, dia langsung dapat melihat lapangan sepakbola, running track dan taman yang biasa digunakan untuk bersantai yang memang letaknya bersebelahan.

"Gue selama ke perpustakaan nggak pernah nengok ke luar jendela. Ternyata pemandangannya bagus juga," puji Katrin.

"Emang lo pernah ke perpustakaan sebelumnya?" balas Garvin dengan tampang mengejek.

Katrin langsung bersungut, "Pernah, lah!" Ya, walaupun bisa dihitung pakai jari. Paling sekali atau dua kali. Dan itu pun secara terpaksa.

Garvin menyerahkan buku yang tadi dia ambil. "Pembahasannya lumayan lengkap dan mudah. Baca aja."

Katrin menerimanya, dengan penasaran dia langsung memeriksa bab statistika di buku berwarna ungu.

"Sudah sampai mana ppt lo?"

"Judul sama nama," jawab Katrin enteng tanpa mengalihkan pemandangan dari buku matematikanya.

"Cuma itu? Kerjaan lo tiga hari belakangan ngapain aja?"

"Apa ya, hmm, sekolah, makan, tidur, gambar, main hape, gitu-gitu aja pokoknya," jawab Katrin santai.

"Nggak ada niatan selesain tugas?"

"Ada. Tapi bingung mau mulai dari mana."

"Kan bisa tanya gue."

"Kemarin-kemarin lupa, Gar. Baru ingetnya semalem, makanya gue chat lo."

"Tapi kalau sama gambar, inget?"

Katrin sontak mendongak. Dengan tampang tidak percaya, dia berkata, "Astaga, lo ngingetin gue sama nyokap gue."

"Kenapa?"

"Kalian itu sama-sama menganggap remeh hobi gue. Nyokap gue juga maksain gue nge-prioritasin belajar di atas segala-galanya. Boring banget tau nggak!"

"Lah, emang harusnya gitu, Kat?"

"Udah berapa kali sih Gar gue bilang ke lo kalau hidup itu nggak selalu harus dibawa serius mulu?"

"Sudah berapa kali juga gue bilang kalau lo anaknya kelewat nyantai?"

"Gue hanya melakukan apa yang gue sukai," bela Katrin. Di saat-saat begini, Garvin kembali menjelma menjadi manusia paling menyebalkan di dunia.

Garvin mendengus, seakan meremehkan ucapan Katrin barusan.

"Tolong dong ngertiin gue. Gue emang secinta itu sama ngegambar. Dan siapapun nggak bisa menghentikan gue untuk terus ngegambar. Lo pasti juga punya passion sendiri, kan? Lo pasti pernah ngerasain begitu tertarik untuk ngelakuin sesuatu."

"Gue nggak punya itu," jawab Garvin enteng.

Mata Katrin langsung memelotot kaget. "Hah? Nggak punya apa? Passion?"

Garvin mengangguk. "Gue nggak pernah bener-bener tertarik akan suatu bidang."

"Lho, bukannya belajar adalah hal paling menarik di mata lo. Itu passion lo, Gar!" Katrin seakan mengingatkan cowok itu.

"Itu bukan ketertarikan. Itu kewajiban yang harus lo lakukan agar nggak mengalami ketertinggalan."

"Jadi lo nggak suka belajar?!" Katrin seakan baru saja mendengar bahwa sekarang matahari lah yang mengelilingi bumi, bukan sebaliknya. Kaget bukan main dia!

Garvin mengangkat bahu sekenanya. "Waktu itu lo bilang kan, kalau kita melakukan hal yang kita sukai, hati kita bakalan berdebar. Sejauh itu, gue nggak pernah ngerasain hal semacam itu."

Katrin terpelongo. Selain minim ekspresi, cowok cakep satu ini ternyata juga minim emosi. Hidupnya pasti datar banget.

Katrin pernah mendengar pepatah mengatakan 3 kunci hidup bahagia itu yakni memiliki seseorang untuk dicintai, memiliki sesuatu untuk dilakukan, dan memiliki sesuatu untuk dikejar. Garvin terlihat seperti orang yang tidak memiliki tiga kunci tersebut.

"Beneran, Gar? Coba lo inget-inget deh. Biasanya passion itu berkaitan dengan hobi." Katrin berusaha menggali lebih lanjut. Lenyap sudah percakapan tentang Katrin-dan-hobi-menggambarnya. Yang ada hanya Garvin-yang-ngaku-nggak-punya-passion.

"Nggak punya."

Lah, masa ada orang yang terlahir tanpa hobi, sih? Sepupunya yang masih berusia lima tahun aja udah punya hobi. Hobi main robot-robotan katanya. Kalau diasah lagi kan, sepupunya bisa punya passion di bidang permesinan.

"Mustahil," gumam Katrin. Dan itu sukses memancing senyum miring Garvin.

"Aneh banget, ya?"

"Iya, lah! Gue kira lo tuh hobi belajar, tau!" Jawab Katrin jujur. "Jadi aktivitas lo di waktu luang ngapain aja?"

"Nggak ada yang spesial."

"Coba inget-inget lagi deh, mungkin lo ada ketertarikan di bidang olahraga, musik, atau seni gitu. Atau, gue ganti pertanyaan deh, apa keahlian yang lo bisa?"

"Di bidang olahraga gue bisa basket, sepakbola, bulu tangkis dan olahraga dasar kayak lompat jauh, sit up, push up dan sebagainya. Tapi gue ngelakuinnya kadang-kadang aja sih, sesempatnya, nggak sama kayak Katrin dan Menggambar yang nggak bisa terpisahkan," jelas Garvin panjang lebar.

"Di bidang musik atau seni gitu?"

"Gue bisa main gitar sama drum. Gue sering dengerin lagu juga kalau di kamar. Kalau seni, hm, nggak ada sih."

"Keahlian lainnya?"

"Lupa. Kalau inget, ntar gue kasih tau."

"Lo ngelakui semua aktivitas yang lo bisa itu tanpa passion? Alias tanpa ngerasa berdebar nyaman gitu?"

"Gue suka ngelakuinnya, tapi suka biasa aja. Kayak keinginan sesaat. Berbeda dari lo yang bisa membayangkan diri lo di masa depan akan jadi komikus atau illustrator yang kaitannya sangat erat sama skill menggambar. Gue nggak pernah membayangkan masa depan gue akan berurusan dengan bidang-bidang itu."

"Jadi cita-cita lo apa?"

Sesaat, Garvin tampak mikir. "Nggak ada hal yang bener-bener pengin gue lakuin di masa depan. Jadi bisa dibilang gue nggak punya cita-cita."

Katrin sekarang sukses terheran-heran. Garvin yang super serius dalam bidang akademik itu nggak punya cita-cita di masa depan. Kok bisa? Maksud Katrin, bagaimana datangnya keseriusan untuk belajar kalau ujung-ujungnya nggak ada sesuatu yang harus dikejar?

Seperti jawaban Garvin sebelumnya. Belajar adalah keharusan agar dia nggak merasa tertinggal.

"Jadi maksudnya lo mau jalanin aja semuanya ini?" tanya Katrin. Melihat alis Garvin yang menyatu ketika mendengarnya membuat Katrin buru-buru menjelaskan pertanyaan ambigunya. "Maksudnya, lo belajar serius tanpa tahu kemana arah lo nantinya?"

"Gue tahu arah, Kat. Gue cuma nggak punya cita-cita."

Penjelasan Garvin membuat kerutan di dahi Katrin makin keriting. Otaknya nggak nyambung.

"Gue bakal jadi dokter," balas Garvin pendek.

"Lho, itu tau cita-cita lo. Gimana, sih?"

"Itu bukan cita-cita karena bukan berdasarkan kemauan gue."

"Jadi?"

Garvin tersenyum. Hal yang membuat dada Katrin mendadak berdesir. Katrin mengutuk hati kecilnya yang bisa-bisanya salah fokus di saat-saat begini.

"Kayaknya gue terlalu banyak berbagi cerita hari ini," ucap Garvin.

"Ah, sori, gue mendadak kepo aja. Kalau lo nggak mau kasih tau, nggak masalah."

"Itu keinginan bokap dan nyokap. Kebetulan, gue dikelilingi oleh keluarga yang berprofesi sebagai dokter," balas Garvin santai.

Katrin manggut-manggut. Pantas saja Garvin suka ngecekcokin hobi gambarnya dan menganggap remeh hal tersebut. Karena Garvin nggak pernah punya passion atau keinginan yang berdasarkan hatinya, dia nggak tahu betapa hebatnya passion itu bisa mempengaruhi hidup seseorang.

Entahlah, Katrin nggak tahu harus mencibir atau merasa kasihan sama cowok itu.

"Lo harus punya sesuatu yang lo beneran suka Gar," saran Katrin. Setidaknya, dengan begitu Garvin bisa mengerti posisinya.

"Biar apa?"

"Biar lo nggak kelewat serius. Hidup cuma sekali, tau. Rugi banget kalau dihabisin cuma untuk belajar ilmu-ilmu yang bahkan nggak tahu mau diterapin untuk apa."

"Tapi ilmu-ilmu yang diajari di sekolah itu nggak ada yang nggak penting."

"Tapi nggak semuanya bisa menghantarkan lo menuju sesuatu yang lo sukai."

"Toh, emang nggak ada yang bener-bener gue sukai di dunia ini."

"Makanya harus cari tau, Gar. Menjalani hidup yang sebenernya bukan berdasarkan kemauan hati itu gue yakin seratus persen nggak enak."

Meski terdengar pedas, Katrin mengatakan hal itu dengan senyuman tanpa dosa.

Garvin sampai tak bisa berkata-kata lagi.

***

A/N

Ada komentar untuk cerita satu ini?

By the way, buat yang punya bakat kayak Katrin, ngegambar, bikin design atau ilustrasi, ada lomba design cover untuk cerita baru aku yang bakal dipublish di storial.co. Total hadiahnya  jutaan rupiah. Info lebih lengkap cek aja di instagram @storialco. Buruan ikutan, ajak temen-temen kamu yang lain. Bantu aku menemukan cover yang sesuai untuk cerita baru aku yang berjudul I Know You Miss Me. Sebuah cerita yang nantinya akan sedikit bersinggungan dengan cerita Karena Katrina.

Makasih udah baca Karena Katrina. Jangan lupa kasih vote-nya!❤️

Продовжити читання

Вам також сподобається

[✓] Memories Від 🍉 • ᴀʏ • 🍉

Підліткова література

1.2K 387 36
"Yang terkenang tentang kita." Setelah kepindahannya ke SMA Nawasena, Navea menemukan perpustakaan sebagai tempat ternyaman untuk menyendiri di saat...
Paradise (Segera Terbit) Від piiiiiiuu

Підліткова література

2.4M 129K 53
[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan den...
From Roommate to Soulmate ✔️ [Segera Terbit] Від nev

Підліткова література

3M 255K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...
Dunia Saga (Completed) Від Andalinnee

Підліткова література

237K 21.5K 46
Rank 1# on innocent & first love and realistic fiction There's nothing like the innocence of first love..... This work dedicated for people who likes...