Chapter 3
Selain menggambar, Katrin juga punya hobi tidur. Dia itu muka bantal. Ada kesempatan dikit, dipake buat tidur. Liat bantal dikit, langsung gegulingan penuh rasa malas. Walaupun sering tidur di berbagai tempat, namun bagi Katrin tempat terbaik dan ternyaman untuk terjun ke alam mimpi tentu saja ialah kasurnya sendiri. Karena kalau sudah mengurung diri di kamar, sangat jarang ada interupsi dari dunia luar, paling tidak hanya bunyi alarm atau teriakan mamanya.
Bagi Katrin, kasurnya itu punya daya magnet yang sama kuatnya kayak segitiga bermuda. Setiap masuk kamar, tubuhnya langsung otomatis mendekati benda empuk tersebut. Dan dia seolah nggak punya kekuatan untuk bangun kembali kecuali ada motivasi besar yang mendorongnya.
Seperti biasa, pulang sekolah, Katrin langsung bergelung mesra dengan kasur bersprei merah muda dengan gambar Patrick si bintang laut. Dan seperti biasa pula, dia kebablasan tidur sampai melewati waktu mandi dan mengerjakan PR. Dia terbangun pukul setengah delapan malam karena teriakan melengking mamanya yang menyuruhnya makan malam.
Katrin akhirnya bangun karena perutnya terasa keroncongan. Setelah mandi sebentar, dia langsung turun, menuju ruang makan dimana mamanya sudah menunggunya.
Mata Katrin berbinar ketika melihat makanan yang tersedia di atas meja makan. Pizza! Katrin mengulurkan tangan untuk mencomotnya, namun tepukan keras di punggung tangannya menghentikan niatnya.
"Apaan sih, Ma, pukul-pukul?" Katrin bersungut tak terima.
"Makan nasi dulu!"
Katrin berdecak. Mamanya ini memang Indonesia banget. Nggak boleh makan aneh-aneh kalau belum makan nasi. Nggak tau aja kalau kalori Pizza ini sudah cukup untuk tubuhnya.
"Ntar nggak nafsu makan nasi kalau udah ngabisin Pizza," tambah perempuan paruh baya itu.
Meski sekotak meatlover itu begitu memikat, Katrin mengikuti ucapan mamanya. Dia mengambil setengah centong nasi beserta ayam panggang yang sudah tersedia dan menyantapnya dengan lahap.
"Papa belum pulang?" Katrin menanyakan keberadaan papanya. Sebenarnya Katrin sudah tahu, Papanya yang bekerja sebagai branch manager di sebuah perusahaan perbankan memang lebih banyak menghabiskan waktunya di kantor daripada di rumah.
"Belum, katanya masih ada meeting sama anak marketing."
Katrin manggut-manggut mengerti sambil menyendokkan ayam ke mulutnya.
"Gimana sekolah kamu, Kat?" tanya Mama yang lebih dulu mengambil satu slice pizza. Melihat tatapan tak terima anak perempuannya itu, Mama segera menambahi. "Mama udah makan nasi tadi," jelasnya.
Katrin mencebik. "Sekolahku gitu-gitu aja. Tetap bikin mumet kayak biasa."
"Kok bikin mumet sih, Kat?"
"Pelajarannya makin susah."
"Itu karena kamu nggak pernah serius belajar."
"Aku serius." Serius bohongnya. Tambah Katrin dalam hati.
"Buktiin ke Mama, ya. Ujian kenaikan kelas nanti harus masuk 3 besar." Mama tersenyum simpul.
"Jangan terlalu berharap, Ma," cetus Katrin enteng. Bisa masuk peringkat tiga besar di kelas XI IPA 2 yang notabene-nya berisi murid-murid pintar? Mustahil untuk Katrin.
Minat belajarnya saja memprihatinkan, sok-sokan mampu membuktikan ke mamanya dia mampu bersaing dengan si otak brilian di kelasnya. Sama aja dengan berusaha mengatakan kalau dia akan mencoba menembus dinding.
"Lho, kalau nggak ngarep sama kamu, mama mau ngarep sama siapa lagi?" balas mamanya.
Telak. Ucapan mamanya tepat sasaran. Sebagai anak satu-satunya, sangat wajar kalau mamanya menuntut banyak hal kepadanya.
Di saat-saat begini, Katrin jadi pengin punya kakak atau adik. Jadi, mamanya nggak hanya terfokus padanya dan dia nggak jadi satu-satunya objek yang diawasi disini.
"Katrin nggak mungkin bisa memenuhi ekspektasi mama untuk urusan akademik. Mama tahu sendiri, Katrin nggak terlalu suka masuk IPA."
"Makanya kamu belajar dong, sayang. Masa udah satu tahun lebih kamu belum bisa beradaptasi?"
Katrin sebenarnya pengin sih berubah. Pengen rajin belajar. Tapi saat membuka bukunya, terutama pelajaran Matematika dan IPA, dia sadar ada banyak hal yang nggak dia mengerti. Dia sudah melewatkan begitu banyak materi. Untuk memulai dari awal, males banget. Dia benar-benar sudah ketinggalan.
"Contoh tuh si Kanya." Ucapan mamanya sontak membuat nafsu makan Katrin hilang seketika.
Lagi-lagi Kanya dijadikan perbandingan. Katrin lagi-lagi dilanda rasa jengah.
"Bu Tyas ketemu mama di minimarket kemarin. Dia cerita katanya Kanya lolos olimpiade Biologi tingkat nasional."
Ugh! Katrin sebal banget sama Bu Tyas yang sering menggembor-gemborkan kepintaran anaknya ke tetangga-tetangganya. Kalau begini kan, Katrin kena imbasnya.
Kanya itu adalah satu dari sekian orang yang tinggal di komplek yang sama dengan dirinya. Secara singkat, mereka tetanggan. Rumah Kanya hanya berjarak satu rumah dengan dirinya. Sejak kecil, mereka saling mengenal. Nggak terlalu akrab, namun sering banget say hi atau berbasa-basi.
Sejak kecil, Kanya memang sudah dikenal dengan kepintarannya. Cewek itu selalu ranking 1 ketika SD. Pas SMP, dia nggak pernah keluar dari peringkat 3 besar. Saat SMA, dia tetap mampu mempertahankan peringkatnya. Malah cewek itu juga aktif mengikuti perlombaan yang menyangkut akademik dan juga aktif di organisasi sekolah. Katrin tahu betul karena mereka selalu bersekolah di tempat yang sama meski berbeda kelas.
Dan mamanya, selalu mengagumi Kanya yang pintar itu. Beliau jadi doyan membanding-bandingkan Kanya dengan dirinya. Katrin mengaku sih, kalau urusan akademik, dia kebanting jauh sama Kanya. Tapi Katrin kan bersinar dengan caranya sendiri.
"Kok kamu nggak pernah ikut olimpiade gitu sih, Kat?" tanya mama penasaran.
Dan Katrin nggak tahan untuk nggak memutar bola mata. Dikira ikut olimpiade itu gampang apa?
"Ma, Kanya kan pinter, wajar dong bisa ikut olim." Dengan kata lain, Katrin menjelaskan kalau otaknya nggak nyampe mau ikut begituan.
"Mama yakin Kanya bisa jadi dokter nantinya. Kamu juga harus jadi dokter biar keren."
Katrin tahu betul mamanya ini sangat cinta profesi dokter. Soalnya itu cita-cita mama masa muda yang nggak kesampaian.
"Nggak bisa, Ma. Kita realistis aja."
"Berusaha dong, Kat."
"Dari pada berusaha jadi dokter, mending aku berusaha nyari suami dokter!" balas Katrin asal.
"Ih kamu ini, orang lagi ngomongin profesi masa depan kamu, eh kamu malah udah ngomongin suami aja. Nggak pernah serius emang jadi anak," omel mamanya.
"Mama juga nggak bakal nolak kan kalau suatu hari nanti aku punya calon suami dokter?"
"Emang ada dokter yang mau sama kamu?"
"Ih mama, bilang amin, kek!" sungut Katrin sebal.
"Kamu nggak tahu ya, dokter itu kebanyakan jodohnya dokter juga. Jadi kalau kamu mau punya suami dokter, kamu harus jadi dokter juga."
"Itu kan kebanyakan, mam. Nggak seluruh dokter begitu."
"Realistis aja, Katrin," ucap mamanya meniru perkataan Katrin sebelumnya. "Buktinya tuh, temen mama yang berprofesi sebagai dokter, dapet suami dokter juga."
Katrin mengambil satu slice pizza dan memakannya dengan mood yang nggak begitu baik. Gara-gara Bu Tyas dan Kanya, sih. Keluarga itu memang berbakat memperkeruh suasana hatinya.
"Kalau kamu nggak mau jadi dokter, kamu mau jadi apa?"
Katrin berlagak budek. Dia lebih memilih menghabiskan potongan meatlovernya.
Sebenarnya, ini bukan kali pertama mamanya membicarakan tentang ini. Meski sudah sering menjawab kalau dia pengin jadi komikus atau illustrator, mamanya seakan nggak pernah serius menanggapi hal itu.
Katrin nggak menyangka mamanya kembali mengingatkannya sama pertanyaan Garvin waktu itu. Dia tahu, mamanya dan Garvin itu setipe. Sama-sama suka meremehkan pandangan hidup orang lain.
Kalau mamanya dan Garvin dipertemukan, dijamin Katrin akan garuk-garuk tembok dengan frustasi atau bahkan, dia memilih gantung diri di pohon toge saja.
***
A/N
Sejauh ini gimana, gaessss?
Moga betah terus, yaaa!❤️