I'M ALONE

By sphprmtsr

86.7K 4K 47

Self Injury, antisosial, dan trauma masa lalu semua itu Aluna miliki. Begitu banyak hal yang ia lupakan perih... More

Prolog
How to read the new version
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua belas
Tiga belas
Empat belas
Lima belas
Enam belas
Tujuh belas
Sembilan belas
Dua puluh
Dua puluh satu
Dua puluh dua
Dua puluh tiga
Dua puluh empat
Dua puluh lima
Dua puluh enam
Dua puluh tujuh
Dua puluh delapan
Dua puluh sembilan
Tiga puluh
Tiga puluh satu
Tiga puluh dua
Tiga puluh tiga
End: Season 1
Tiga puluh lima
Tiga puluh enam
Tiga puluh tujuh
Tiga puluh delapan
Tiga puluh sembilan
Empat puluh
Empat puluh satu
Empat puluh dua
Empat puluh tiga
Empat puluh empat
Empat puluh lima
Empat puluh enam
Empat puluh tujuh
Empat puluh delapan
Empat puluh sembilan
Lima puluh [End]

Delapan belas

1.4K 76 0
By sphprmtsr

“Saya terima nikah dan kawinnya Aluna Zafaca binti Rudi Pramudito dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”

Aluna tidak menyangka bahwa Mama dan papanya ternyata benar-benar tidak main-main saat mengatakan bahwa Aluna akan segera menikah dalam jangka waktu dekat. Setelah persiapan yang dilakukan secepat kilat, akad nikah benar-benar dilaksanakan meski secara tertutup. Begitu pula resepsi yang langsung di adakan selepas akad nikah.

Kendati demikian, resepsi pernikahan yang tertutup tidak membuat tamu yang datang berjumlah sedikit. Mulai dari rekan bisnis orang tua Aluna, kerabatnya, kenalan Fatih dan teman-temannya dari dunia penerbangan, serta keluarga Fatih. Meskipun kesannya pernikahan hanya antar keluarga dan orang-orang terdekat, tetapi tetap saja rumah Aluna berujung ramai hingga para pelayan yang turut andil dalam membantu keperluan dalam acara menjadi ikut sibuk.

Untuk Aluna yang baru saja lulus sekolah, hanya ada beberapa teman saja yang hadir. Mulai dari Raya dan Valice sampai Rafi, Zav dan Zavian. Jumlah yang sedikit itupun berdasarkan permintaan Aluna. Niatnya untuk mengurangi keramaian dan gunjang-ganjing akibat menikah sangat muda. Namun ternyata, hal itu tetap saja tidak bisa terhindarkan. Banyak pasang mata yang melihat Aluna dan Fatih dengan tatapan mata meremehkan maupun ucapan yang bisik-bisik namun memiliki gerakan bibir yang terbaca oleh Aluna.

Meremehkan, meragukan dan menertawakan.

Kendati demikian, Aluna tetaplah Aluna. Ia yang selalu menjadi topik pembicaraan namun ia juga adalah orang yang paling pertama tidak peduli pada hal itu.

"Selamat Aluna!"

Ucapan itu disampaikan Valice dan Raya secara bergantian sewaktu mereka ikut naik ke pelaminan. Setelah sesi foto, mereka tidak beranjak dari sana dan memilih mengobrol dengan Aluna dan Fatih. Dimulai oleh Raya lebih dulu.

"Wih, beneran nikah, ya. Gerak cepat banget." Raya mengomentari.

Valice menepuk pundak Raya. Ia yang langsung tertawa nampaknya hendak menunjukkan bahwa ia sedang bercanda. Namun dari ringisan Raya, Aluna tahu bahwa itu sebenarnya adalah bentuk teguran untuk tidak berbicara sembarangan.

"Aku kalau jadi Aluna pun mau nikah cepet, Ya. Suami udah mapan, tampan pula. Masa depan tuh rasanya udah terjamin. Enggak perlu mikirin yang lain-lain. Mau kuliah setelah nikah? Bisa. Mau bisnis juga bisa. Apalagi kalau mau rebahan aja di rumah enggak ngapa-ngapain. Pasti bisa kalau suaminya udah semapan Mas Fatih mah." Valice menimpali.

"Bener juga sih," kata Raya setelah memikirkannya sekali lagi.

"Selamat, ya." Kali ini, ucapan selamat itu diucapkan oleh Zav. Diikuti Rafi dan Zivan setelahnya. Meskipun beberapa waktu terakhir, mereka terkesan menjauhi Aluna tetapi entah mengapa ketiganya justru menyempatkan diri untuk memenuhi undangan.

Bertepatan dengan hadirnya Zav, Rafi dan Zivan, Raya dan Valice menuruni pelaminan menuju ke prasmanan untuk menikmati jamuan makan yang telah disediakan.

"Makasih banyak dan maaf." Fatih menjawab lebih dulu. "Bila ada sesuatu yang dibutuhkan, jangan segan-segan untuk menghubungi saya."

"Kami sudah memutuskan untuk memaafkan. Terima kasih juga untuk tanggung jawab yang melebihi batas seharusnya," jawab Zivan dengan senyum di bibirnya.

Selepas itu, Rafi ikut menimpali, "seharusnya lo bilang, Aluna. Kalau tau lo udah punya calon suami mah kita juga enggak akan ganggu lo."

Entah mengapa, suasana seolah kembali menegang. Ucapan Rafi membuat ketiganya baik Zav, Zivan maupun Fatih membungkam mulutnya seolah paham bahwa Rafi sedang menyuarakan isi hatinya akibat kejadian sebelumnya.

"Maaf."

Bukan hanya Rafi saja yang terkejut. Tetapi Zav, Zivan, dan Fatih yang mendengar satu kata yang jarang Aluna ucapkan itu juga ikut tidak menyangka atas apa yang mereka dengar.

"Maaf, Rafi, Zav, dan Zivan," ulang Aluna dengan lebih jelas.

Suasana yang sebelumnya menegang menjadi cair. Rafi, Zav dan Zivan sama-sama mengulum senyum. Entah mengapa, rasa lega tiba-tiba menyeruak di hati mereka seolah tidak ada yang perlu dipermasalahkan lagi.

"Iya, Aluna. Semoga bahagia," sahut Zav mewakili kedua temannya. Ia kemudian melanjutkan, "kami pamit."

Tidak ingin menahan mereka lebih lama lagi, apalagi setelah ketiganya sepertinya harus melewati banyak perdebatan dalam hatinya untuk sampai ke sini, Fatih segera menjawab, "iya, hati-hati."

Fatih menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sejenak saat belum ada yang kembali mengucapkan selamat. Sepertinya rasa lelah bukan hanya datang pada Aluna yang sejak tadi merasakan pegal di kedua kakinya yang lama berdiri padahal biasanya ia lebih sering berada di kasur seharian, namun Fatih pun terlihat kelelahan.

"Mau kemana?"

Pertanyaan Fatih itu terdengar ketika Aluna bangkit dari duduknya. Lelaki yang kini telah resmi sebagai suami Aluna itu bertanya sambil menggenggam tangan Aluna.

"Ke toilet," jawab Aluna seadanya.

"Mau diantar?"

Begitu mendengar pertanyaan Fatih yang kedua, Aluna menepis tangan Fatih. Tatapannya yang tertuju untuk Fatih masih sama; tajam seolah menusuk bola matanya. "Tidak perlu."

"Tidak apa-apa. Ayo, saya antar." Fatih hendak ikut bangkit dari duduknya.

"Jangan kurang ajar," kata Aluna dengan ketus.

Mendengar itu, Fatih kembali duduk. Hanya saja dengan kekehan kecil di mulutnya. Ia lalu berucap, "kalaupun saya macam-macam sama kamu, itu dianggap wajar, Luna. Saya sudah resmi menjadi suami kamu."

Aluna tidak menjawab. Menurutnya, tidak ada yang lucu hingga patut ditertawakan. Kedua matanya justru semakin terlihat berkilat marah hingga Fatih kembali berbicara, "baiklah. Hati-hati. Saya di sini. Bila ada yang kamu butuhkan, bilang saja."

Selepas mengucapkan hal itu, Fatih berdiri lagi dan menghampiri beberapa orang yang sepertinya ia kenal untuk menyambut ucapan selamat mereka. Aluna memilih beranjak meskipun tanpa mengucapkan pamit, permisi ataupun sapaan untuk undangan yang hadir itu. Fatih pun mencoba memahami, ia hanya mengatakan bahwa gadis yang telah resmi sebagai istrinya itu hendak ke toilet.

"Ada yang Nona butuhkan?"

Setibanya Aluna di dapur untuk menuju toilet dia sebelah ruangan itu, ia menemukan seorang perempuan yang memakai baju khas pelayan di rumahnya. Bila dilihat-lihat, umurnya sepertinya cukup muda namun lebih tua daripada Aluna. Mungkin setara dengan Fatih, duganya saat itu.

Keberadaan satu pelayan itu di sana membuat Aluna mengedarkan pandangannya ke seisi dapur. Ternyata memang benar bahwa seluruh pelayan diikut sertakan untuk membantu acara pernikahan. Begitu pula pelayan yang tengah berada di dapur itu yang terlihat membawa nampan berisi sajian untuk tamu yang hadir.

"Tidak ada," jawab Aluna padanya.

"Baik, Nona. Saya pamit untuk mengisi sajian yang sudah kosong dulu. Bila ada yang dibutuhkan, jangan segan-segan untuk mengatakannya," ujar pelayan itu sesopan mungkin. Bukannya menyukai sikap sopan pelayan itu, Aluna justru dibuat muak. Ia tidak suka dihormati oleh orang yang lebih tua darinya hanya karena posisi kekuasaan yang dimilikinya lebih tinggi.

"Sebentar," cegah Aluna yang membuat langkah pelayan itu terhenti sekalipun telah hampir menghilang dibalik dinding rumah.

"Iya, Nona?" tanyanya sambil mengambil langkah mundur.

"Kemana Papa?" Aluna bertanya sambil memasuki dapur. Tangannya sibuk menuangkan air ke dalam gelas lalu meminumnya sambil duduk di atas kursi dapur. Tenggorokannya yang sebelumnya terasa kering langsung terasa segar akibat air yang masuk. Ia sedikit mengulas senyum karena berhasil membohongi Fatih perihal kepergiannya dari pelaminan.

Aluna bukan ingin ke toilet. Ia hanya lelah berhadapan dengan banyak orang setelah hampir beberapa tahun terakhir hanya bertemu dengan para pelayan saja. Orang-orang yang banyak dan terasa asing untuknya hanya membuat kepalanya pening dan perasaannya menjadi tidak nyaman.

"Sedang menyambut tamunya, Nona." Senyuman yang hadir di wajah pelayan itu sangat kentara sebagai senyuman yang dipaksakan. Wajah lelahnya tidak mampu tersingkirkan. Bahkan bila Aluna bisa mengatakan, ia tidak membutuhkan senyuman palsu itu.

Kalau memang lelah, perlihatkan saja. Tidak perlu berbohong dengan pura-pura baik-baik saja sebagai bentuk sopan santun. Karena berbohong bukan perilaku sopan maupun santun.

"Kalau ... Mama?"

"Sedang beristirahat di kamarnya. Nyonya bilang, beliau kelelahan dan tidak ingin diganggu."

Jawaban si pelayan itu membuat Aluna tertawa. Ia tidak peduli pada tatapan heran pelayan tersebut padanya karena menurutnya, jawaban yang pelayan itu berikan sangat lucu saking tidak masuk akalnya.

"Dia yang menyuruh saya menikah tapi pergi meninggalkan pernikahan lebih dulu." Aluna berbicara dengan sarkasnya. Tidak hanya sampai situ, Aluna berujar lagi, "lebih baik tidak perlu diadakan sekalian, kan?"

Pelayan itu tidak menjawab. Ia hanya menunduk seakan menghindari pertanyaan Aluna. Tindakannya itu sudah mampu Aluna duga karena semua pelayan di rumah ini sama; dilarang ikut campur urusan keluarga Aluna kecuali telah diberikan izin.

"Apa Bibi juga sibuk?"

Semua pelayan pun tahu bila Aluna menyebut Bibi, hanya satu orang yang dituju. Yaitu Bi Nah. Tiga orang yang penting dalam rumah tidak terlihat olehnya hari ini; papanya, mamanya dan Bi Nah. Oleh sebab itu rasanya tetap aneh. Apalagi Bi Nah yang memang setiap hari selalu ada di sebelah Aluna. Setelah membantu Aluna bersiap-siap tadi pagi, Bi Nah langsung menghilang tanpa mampu Aluna lihat keberadaannya.

"Iya, Nona. Beliau bahkan belum sempat tidur sejak kemarin."

Aluna mengambil napasnya lalu menghembusnya pelan-pelan. Ia meletakkan gelas yang sebelumnya berada di genggamannya ke atas meja di depannya dengan kasar hingga menimbulkan bunyi yang keras dan cukup mengejutkan untuk si pelayan. Aluna turun dari kursinya kemudian menghampiri pelayan tersebut sambil tersenyum. "Terima kasih atas jawabannya."

Pelayan itu cukup sadar diri untuk mengerti usiran halus yang Aluna ucapkan dibalik perkataannya barusan. Ia lantas undur diri untuk kembali melaksanakan pekerjaannya.

Aluna melipat kedua tangannya di depan dada sambil mengalihkan wajahnya menuju kamar orang tuanya yang memang berada di lantai satu. Ada dua topik yang menurut Aluna harus dibicarakan dengan mamanya; perihal mamanya yang lebih dulu meninggalkan acara dan juga perihal mamanya yang memerintahkan pernikahan dalam jangka waktu dekat hingga tidak memberikan waktu untuk para pelayan beristirahat. Aluna tidak ingin ada kasus kematian di rumahnya disebabkan karena pelayan yang kelelahan bekerja.

Untuk itu — tanpa berniat kembali ke acara pernikahan, Aluna berjalan menuju kamar orang tuanya tempat dimana mamanya berada sekarang. Seperti kebiasaannya, Aluna mengetik pintu lebih dulu. Meskipun terkesan buru-buru dan gegabah karena Aluna mengetik tiga kali berturut-turut, namun tetap saja ia tidak mendapatkan jawaban.

"Mama?" panggil Aluna yang sebenarnya sangat enggan untuk memanggil seperti itu.

Aluna merasa, dirinya tumbuh tanpa kedua orang tuanya termasuk mamanya. Ia merasa pelayan di rumahnya lebih tahu mengenai dirinya dibandingkan mamanya yang sibuk bekerja. Ia juga merasa bahwa semua yang dilakukan mamanya hanya demi kepuasan semata tanpa memikirkan orang lain yang harus turut campur tangan atas apa yang ingin dilakukannya.

Mungkin sekitar panggilan keenam, Aluna akhirnya meraih knop pintu kamar orang tuanya. Ia cukup terkejut karena pintu tersebut ternyata tidak terkunci.

"Mama," panggil Aluna sekali lagi sambil mendorong pintu ke dalam hingga memberikan ruang untuk dirinya melangkah masuk.

Selain terkejut karena pintu yang tidak dikunci padahal biasanya bila ada orang tuanya di dalam kamar tidak pernah sekalipun pintunya tidak dikunci, Aluna juga dibuat terkejut oleh kondisi kamar orang tuanya yang gelap gulitanya. Jendela dan gorden yang tertutup rapat-rapat serta lampu yang dimatikan seolah tidak membiarkan kesempatan untuk cahaya memasuki kamar tersebut.

Langkah Aluna semakin lama semakin banyak untuk memasuki kamar mamanya. Kedua matanya terus menelusuri dan berusaha memperjelas penglihatannya untuk melihat seisi kamar.

Tiba-tiba, Aluna berhenti melangkah. Bibirnya yang sebelumnya memanggil namanya lantas terbungkam dan sulit digunakan. Kakinya yang sebelumnya sudah terasa lelah hingga sakit kini justru benar-benar tidak mampu menopang tubuhnya lagi hingga Aluna terjatuh ke lantai. Lalu entah mengapa, air mata Aluna perlahan ikut turun membasahi pipinya. Tangannya yang gemetar meraih kedua telinganya kemudian menutupnya sekuat tenaga.

"Aaaaarrrgh!!!!"

***

If you read this and like it, let me know you've been a part of this story by voting it.

© 2019
Revisi 2021

Continue Reading

You'll Also Like

5.7K 671 51
Manusia tidak ada yang sempurna, semua pasti memiliki kemampuan yang seimbang dengan kekurangannya. Tidak ada yang berlebih, hanya saja kita yang mel...
58.2K 5.8K 43
(Belum Direvisi) Terkadang, apa yang terlihat baik di luar, tidak begitu pula di dalam. Seperti Daisy Ambarilis. Selebgram sekaligus vloger cantik ya...
3.3K 386 36
Rate: 13+ Ivy dan Iza, mereka dekat bagaikan saudara. Namun, mereka memiliki tipe idaman lelaki yang jauh berbeda. Iza si pecinta lelaki dewasa denga...
162K 14.8K 35
Jeslyn berfikir jika dunianya telah hancur. Namun semua itu berubah ketika Jeslyn bertemu lelaki bisu yang kehilangan kedua orang tuanya. Namanya Ken...