Reverse (Every scar has a sto...

By FreeSpirit220190

8.9K 704 14

Gandhi, seorang dokter bedah syaraf yang sukses di usia muda terobsesi untuk mencari Senja. Sahabat masa keci... More

When We First Met
Best Friends
Fight
Last Birthday
It Was Never Been The Same Anymore
Lost
Moving On
False Alarm
Everything Has Changed
Malibu
Gone Girl
Going Home
Dad
Back To Work
Trouble Maker
Temptation
Mad
Guilt
Scars
Counseling
Hello, My Friend We Meet Again
Nostalgia
Torn Apart
Almost
New Chapter
Choices
Ready To Go
The Ugly Truth
Let Go
Forgiven Not Forgotten
My Kind Of Happy Ending

The Big Day

265 21 0
By FreeSpirit220190

"Ren, aku ke toilet dulu ya."

Senja pamit pergi ke toilet pada Ren ketika memasuki pelataran hotel yang menjadi tempat resepsi pernikahan Gandhi.

"Oke, Ja. Aku tunggu di sini, ya."

Hotel berbintang lima yang disewa oleh keluarga sepupunya itu penuh sesak oleh tamu yang berdatangan. Ballroom hotel telah disulap menjadi tempat resepsi yang mewah. Sekaligus altar untuk melakukan pemberkatan pernikahan.

Flo berasal dari keluarga pengacara ternama. Ayahnya seorang hakim, sedangkan ibunya bekerja sebagai notaris terkenal. Florence sendiri membuka firma hukumnya yang cukup sukses karena banyak memenangkan kasus sulit di pengadilan.

Sementara Gandhi sendiri dokter bedah syaraf yang juga berasal dari keluarga kaya-raya. Tidak heran apabila pernikahan ini diadakan secara besar-besaran. Tamu-tamu yang datang pun bukan orang sembarangan. Para pengusaha, pejabat, beserta kolega masing-masing keluarga berkumpul jadi satu di sana.

Ren cukup memahami mengapa Flo jadi sangat histeris waktu Gandhi akan membatalkan pernikahan mereka. Selain rasa cintanya yang besar pada sepupunya, perkawinan ini juga menyangkut keluarga besar mereka.

Baik keluarga Gandhi maupun Flo sudah sama-sama senang dengan perkawinan anak-anak mereka. Keluarga Flo yang juga memiliki bisnis properti cukup besar, bahkan sudah menjalin beberapa kerja sama dengan ayah Gandhi untuk memperluas investasi mereka.

Menurut ayahnya, latar belakang keluarga Florence sangat sempurna. Itulah mengapa ayah Gandhi begitu menentang apabisa terjadi sesuatu yang bisa menghancurkan pernikahan mereka. Ren tidak bisa membayangkan betapa kacaunya kedua keluarga ini jika Gandhi betul-betul membatalkannya.

Walaupun ia yakin sepupunya sebenarnya tidak peduli akan semua itu. Sejak dulu Gandhi tidak tertarik sama sekali dengan kekayaan keluarga mereka. Ia hanya berdedikasi pada pekerjaannya sebagai dokter untuk menolong banyak orang.

Mengapa demikian? Semua itu ada hubungannya dengan adiknya. Dari kecil Gandhi sudah bercita-cita menjadi dokter supaya bisa mengobati Rinjani, adik kembarnya. Bagi Gandhi meski ia tidak pernah memiliki kesempatan untuk menyembuhkan adiknya, paling tidak ia bisa membantu orang lain yang membutuhkan pertolongannya.

"Ren!"

Mendengar suara sepupunya itu memanggilnya, Ren tak bisa menahan diri untuk menghampirinya.

"Hai! Ngapain lo di sini, Dhi?" sapa Ren pada sepupunya.

"WO (Wedding Organizer) gue udah nyuruh gue siap-siap. Bentar lagi acara mau dimulai." jawab Gandhi sekenanya.

Ren menggumam paham. Sebentar lagi tiba waktunya untuk Gandhi dan tunangannya memasuki ballroom, berjalan di altar untuk mengucapkan janji pernikahan mereka. Tapi Ren tidak melihat Florence ada di sana.

"Flo mana?" tanya Ren penasaran.

"Lagi dibenerin make up-nya, nanti juga nyusul ke sini kok."

Sikap Gandi tampak begitu tenang. Ren betul-betul salut padanya. Ia bisa menyembunyikan perasaannya yang tidak bahagia di depan banyak orang. Siapa pun yang menemukannya pasti tidak menyangka kalau dia menyimpan wanita lain di hatinya selain calon istrinya.

"Elo beneran yakin mau ngelakuin ini Dhi?" Ren menanyainya sekali lagi. Hanya mereka berdua yang mengerti arah pembicaraan ini. Sedangkan Gandhi hanya menjawabnya dengan senyum yang kalem.

"Ya, gue nggak pa-pa Ren. Don't worry about me." Gandhi menenangkannya sebelum mengajaknya bicara lagi, "Lo ke sini sendirian aja?"

Astaga. Ren hampir melupakan keberadaan Senja. Sudah beberapa menit berlalu tapi Senja belum juga datang mencarinya. Ren bertanya-tanya apakah dia tersesat, sehingga langsung mencoba menelponnya.

"Enggak, gue ke sini sama Senja."

"Apa?"

Gandhi tersentak kaget begitu mengetahui Senja ada di sini untuk menghadiri pernikahannya.

"Relax, Man. Dia ke sini bukan buat ngancurin kawinan lo. Tapi katanya mau ngucapin perpisahan sama lo. Tolong kasih tahu Florence biar dia nggak histeris lagi."

"Oh, okay."

Belum sempat Gandhi berkomentar lebih jauh lagi, Ren mulai cemas karena Senja tidak kunjung mengangkat teleponnya.

Di saat yang sama, Flo yang sudah mengenakan gaun pengantin putih berjalan ke tempat mereka. Didampingi oleh beberapa petugas WO yang mengurus pernikahannya.

"Hai Ren!"

Flo menyapanya dengan riang.

"Hai, selamat ya Flo." Ren mengucapkan selamat sambil masih berkutat dengan telepon genggamnya.

Bertepatan dengan itu seseorang datang tergopoh-gopoh memberikan berita yang mengejutkan pada mereka. "Mas Gandhi! Bapak menghilang! Gimana ini? Bentar lagi kita harus mulai!"

Mbak Emma, yang merupakan leader WO (Wedding Organizer) yang disewanya itu tampak panik karena semenit lagi acara akan dimulai. Sedangkan ayah mempelai pria mendadak menghilang dan tidak bisa ditemukan dimana pun.

"Ayah?"

Kejadian ini di luar dugaan mereka semua. Aneh. Tidak biasanya ayahnya membuat keributan seperti ini.

"Sebentar Mbak, saya nggak ngerti. Menghilang gimana? Tadi ada di ruang tunggu, kan?"

"Iya Mas, tadi saya tinggal sebentar buat koordinasi sama keluarga Mbak Florence. Tapi waktu saya balik lagi Bapak sudah nggak ada! Saya udah cari kemana-mana tapi nggak ketemu!"

Tidak ingin banyak berdebat lagi, Gandhi mengambil tindakan menelpon ayahnya, tapi sayangnya tidak bisa tersambung. Ia mulai bingung, sebenarnya pergi kemana ayahnya?

"Pak Gandhi, maaf mengganggu Pak. Tapi saya rasa ini penting dan saya harus segera menyampaikannya pada Bapak."

Semua yang berada di ruangan itu dikejutkan dengan kedatangan lelaki berusia 40-an yang bertubuh besar dan berperawakan seperti seorang polisi. "Pak Mario...?" ucap Gandhi heran, menyambut detektif pribadinya itu yang sudah lama sekali tidak ia jumpai.

***

Gandhi mengingat pertemuannya dengan pak Mario beberapa bulan yang lalu. Setelah Senja meninggalkannya dan Florence melukai dirinya sendiri karena tidak mau memutuskan hubungan mereka.

"Kenapa Pak Gandhi tiba-tiba meminta saya menyelidiki ini, Pak?"

"Saya... ingin melakukan sesuatu yang terakhir kalinya untuk orang yang saya cintai, Pak."

Pak Mario mungkin tidak mengerti betapa pentingnya tugas yang diamanatkannya oleh kliennya kala itu.

Sejak Florence terluka parah atas perbuatannya sendiri waktu itu, Gandhi sudah tahu kalau ia tidak lagi memiliki kesempatan untuk kembali pada Senja.

Namun sebelum mereka menjadi sesama orang asing yang tidak saling mengenal lagi, paling tidak Gandhi ingin melakukan sesuatu yang mungkin sangat berharga bagi gadis yang disayanginya itu.

Sekali lagi Gandhi meminta tolong pada pak Mario, tapi kali ini dengan kasus yang berbeda. Gandhi ingin agar pak Mario bisa menemukan siapa sebenarnya pembunuh ibu Senja.

Perjalanannya bersama Senja menyusuri rumah lama mereka, membuat Gandhi memahami bahwa ternyata ini sangat berarti baginya.

Sejujurnya Gandhi merasa agak menyesal mengapa tidak dari dulu ia mencari tahu. Selama ini ia hanya dibutakan dengan obsesinya untuk mencari Senja, tetapi ia melupakan penyebab awal mengapa gadis itu bisa terpisah darinya.

Apabila pak Mario bisa menemukan Senja di tengah petunjuk yang amat sedikit dan begitu sulit sebelumnya, maka Gandhi percaya beliau pasti bisa menemukan pembunuh ibu Senja.

Sesuatu yang terdengar tidak masuk akal memang, karena polisi saja tidak bisa memecahkan kasusnya. Tapi Gandhi tidak peduli. Ia sudah mengatakan pada pak Mario bahwa berapapun harganya, atau semahal apapun biayanya, Gandhi tidak keberatan mengeluarkannya.

Hanya saja Gandhi tidak menyangka jika detektif pribadinya itu akan muncul kembali hari ini. Di tengah pernikahannya dan kekacauan yang terjadi karena hilangnya ayahnya.

***

"Pak Mario, rasanya ini bukan waktu yang tepat sekarang. Kami harus mencari Ayah karena sebentar lagi acara akan segera dimulai." tutur Gandhi dengan sopan pada detektif pribadinya, sementara yang lain hanya menonton dan saling melempar pandangan satu sama lain.

"Siapa dia?"

Hanya Ren yang tidak merasa memiliki beban untuk bertanya pada Gandhi yang dijawab sepupunya itu dengan singkat, "Detektif pribadi yang gue sewa buat nyari Senja, ceritanya panjang."

"Oh," Ren menganggukkan kepalanya, meski dalam hati ia juga penasaran akan apa yang ingin disampaikan oleh lelaki itu.

"Saya tahu Pak, saya juga mendengar keributan tadi. Tapi itulah kenapa saya harus menyampaikannya, karena saya merasa khawatir."

Kening gandhi berkerut, tidak mengerti apa maksud dari pak Mario, "Maksud Bapak apa, Pak?"

"Saya telah menemui Bibi Nona Senja dan berusaha mengorek keterangan darinya. Tentu saja awalnya ia tidak mau membantu, reaksinya sama ketika saya datang ke sana untuk mencari petunjuk tentang Nona Senja. Tapi setelah saya menawarkan sejumlah uang padanya untuk melaporkan apabila ia mengetahui hal yang aneh pada Ibu Nona Senja... akhirnya ia memberitahu saya sesuatu."

Penjelasan Pak Mario menarik Gandhi untuk mendengarkannya dengan lebih seksama. "Ibu Nona Senja sempat berkata padanya kalau akan segera mengembalikan hutang-hutangnya, karena ia akan segera menikah dengan kekasihnya... yang bernama Gilang."

"Gilang...?"

Perasaan Gandhi langsung berubah tidak enak, ia merasa sangat familiar dengan nama itu.

"Ya, Pak Gandhi. Saya curiga Ibu Nona Senja memiliki hubungan gelap dengan Gilang Rahadian Hadikusumo, atau Ayah Bapak Gandhi sendiri."

Perkataan Pak Mario tak ayal mengejutkan semua yang ada di sana tak terkecuali Ren, Flo, dan tentu saja Gandhi sendiri. Mungkin yang lain tidak begitu bisa memahaminya dengan jelas, tetapi berbeda dengan Gandhi. Semua ini terlalu absurd baginya.

Ayahnya dan ibu Senja.

Bagaimana bisa?

Kalau begitu, apakah itu berarti...?

"Menurut keterangan kepolisian, Ibu Nona Senja mati tertembak tetapi senjatanya tidak pernah ditemukan. Kemudian saya menemukan kalau Ayah Pak Gandhi pernah mengikuti klub menembak waktu masih muda, dan dicurigai telah mencuri salah satu pistol yang digunakannya untuk latihan. Memang saya belum memiliki bukti... tapi dengan berat hati harus harus saya katakan kalau Ayah Pak Gandhi adalah calon tersangka yang kuat sebagai pembunuh Ibu Nona Senja."

Penjelasan panjang pak Mario masih menahan Gandhi untuk berdiri terpaku di tempatnya. Ia masih belum bisa menerimanya.

Ayahnya dicurigai sebagai pembunuh ibu Senja.

Tidak mungkin.

Ini tidak mungkin terjadi.

Untuk pertama kalinya, baru kali ini Gandhi berharap hal penyelidikan detektif pribadinya itu salah besar.

"Mbak Emma! Tadi ada yang lihat Bapak pergi ke rooftop atas, Mbak!"

Bersamaan dengan itu, seorang petugas WO lain yang sedari tadi ditugaskan untuk mencari ayah mempelai pria berteriak menyampaikan info baru kepada pimpinannya.

"Haaah, ngapain?"

Mbak Emma yang masih dipusingkan dengan kedatangan orang asing yang mendadak seolah berperan dalam skenario film thriller di depannya ini memegangi kepalanya, tidak habis pikir mengapa keluarga klien yang ditanganinya bisa kacau sekali seperti ini.

"Nggak tahu, Mbak! Perginya sama cewek rambut panjang, pake baju hitam!"

Gandhi dan Ren saling berpandangan. Tanpa perlu saling bicara, kedua bersaudara itu seakan bisa membaca pikiran satu sama lain. Tanpa pikir panjang mereka pun lantas berlari menaiki lift dan mengabaikan semua yang ada di ruangan tersebut.

"Eh, kalian mau kemana?!" jerit Flo yang tidak mau kalah, berusaha mengejar mereka berdua meski kerepotan dengan gaun yang dikenakannya.

***

Sejak lahir ke dunia, Senja hanya memiliki satu figur keluarga. Yaitu ibunya, yang membesarkannya seorang diri sampai beranjak remaja.

Ibunya melahirkannya di usia sangat muda. Ia harus bekerja keras untuk menghidupi dirinya, dan itu sama sekali tidak mudah. Tidak heran apabila ibunya menjadi mudah marah. Sayangnya, ia kerap kali melampiaskannya kepadanya.

Senja tidak menyalahkannya. Ada kalanya ia memang membuat kekacauan, karena ia masih kanak-kanak. Senja mengingat pertama kali ibunya memukulnya ketika ia berusia lima tahun. Ia baru saja masuk TK. Pelajaran di sekolah mengenalkannya pada warna-warna. Tangan kecilnya bermain dengan crayon sampai ke dinding dan lantai, padahal ibunya masih menunggak sewa rumah mereka.

Hal yang sama berulang saat Senja baru belajar membuat kopi, dan ingin memamerkannya pada ibunya. Tanpa sengaja ia malah menumpahkannya, ke seragam ibunya yang dulu bekerja sebagai kasir supermarket. Akibatnya, ibunya tidak bisa pergi bekerja dan berakhir dipecat dari pekerjaannya.

Pukulan, tamparan, tendangan, diterimanya berulangkali tanpa disadari telah menjadi sebuah kebiasaan. Tapi Senja sama sekali tidak pernah melawannya. Sebab Senja tahu dibalik itu semua, ibunya memiliki caranya sendiri untuk menunjukkan rasa cintanya padanya.

Mungkin tidak ada yang tahu kalau ibunya rela menahan diri tidak makan berhari-hari supaya ia bisa makan enak. Atau ibunya yang memaksakan diri mengambil shift siang dan malam, untuk bisa membayar biaya sekolahnya. Setiap pulang ke rumah sehabis lelah bekerja, ibunya juga selalu menyempatkan diri mencium keningnya yang masih tertidur lelap.

Terakhir, ia bahkan rela mengorbankan nyawanya untuk dirinya.

Senja tidak akan pernah melupakan setiap pengorbanan yang dilakukan oleh ibunya. Mungkin mereka memang tidak memiliki hubungan antara ibu dan anak yang ideal. Namun jauh dari lubuk hatinya yang terdalam, Senja tahu kalau ia sangat mencintai ibunya.

Sama seperti Gandhi yang memiliki Rin sebagai pegangan hidupnya, itulah arti ibu Senja dalam hidupnya. Itulah mengapa ketika satu-satunya orang yang berarti dalam hidupnya diambil begitu saja darinya, Senja tidak akan bisa memaafkannya.

***

Ayah Gandhi tengah membenarkan dasi kupu-kupu yang terpasang di jas hitamnya, begitu mendengar ruang tunggu tempatnya berada diketuk dari luar.

"Masuk," perintah ayah Gandhi yang mengira itu adalah petugas WO yang mengatur pernikahan anaknya.

Namun alangkah terkejutnya Ayah Gandhi, ketika mendapati tamu yang tidak diundang justru kini sudah berdiri di hadapannya.

"Senja? Ngapain kamu di sini?" tanya ayah Gandhi heran.

"Remember this, Sir?" kata Senja balik menanyainya, sembari menunjukkan topi hitam yang dipegangnya di tangannya.

***

"Tell me the truth. You did it, right?"

"Senja, saya nggak ngerti kamu ngomong apa. Kamu kenapa, sih?"

Mereka berdua sudah berada di rooftop paling atas hotel yang menjadi tempat resepsi pernikahan Gandhi dan Florence. Ayah Gandhi berusaha menenangkan Senja yang kini menyudutkannya, dengan menunjukkan topi hitam itu padanya.

Benar.

Itu adalah topi yang digunakan oleh pembunuh ibunya, di malam ibunya menghembuskan napas terakhirnya. Ketika Senja menemukannya ada di dalam laci meja kerja ayah Gandhi, ia baru tersadar.

Ternyata selama ini ayah Gandhi lah yang telah membunuh ibunya.

She can't believe it. But everything seems make sense now.

Kenapa tidak terpikir olehnya, kalau pembunuh ibunya adalah justru orang yang berada paling dekat dalam hidup mereka?

"Oh yeah, really? How about this?"

Ayah Gandhi tersentak begitu Senja mengeluarkan pistol dari dalam tas tangannya.

Ya.

Tidak hanya topi hitam itu yang menjadi barang bukti pembunuhan, Senja juga menemukan senjata yang digunakan ayah Gandhi untuk menghabisi nyawa ibunya.

"Now tell me why. Why did you do that?"

Gadis itu bertanya lagi kali ini dengan ekspresi yang berusaha keras untuk ditahannya.

Lebih dari sekadar kemarahan atau kesedihan, yang dirasakan oleh Senja sekarang hanyalah sebuah kebencian. Kebencian yang teramat sangat, yang membuatnya ingin menghancurkannya saat itu juga.

"Senja, tenang dulu. Kamu nggak tahu apa yang kamu lakuin sekarang."

DUAR!

Ayah Gandhi dikejutkan dengan tindakan Senja yang menarik pelatuk dan menembakkan pistol itu ke udara. Senja sengaja melakukannya, supaya ayah Gandhi tahu kalau ia tidak main-main dengan ucapannya.

Yes, she grew up with Mexican mafia for years, so she knew how to use a gun.

"LIAR! Just admit it! You killed her! YOU KILLED MY MOTHER!" teriak Senja histeris bersamaan dengan Gandhi, Ren, dan Florence yang baru saja sampai dan menemukan mereka berdua ada di rooftop atas.

Gandhi terpaku. Seketika itu juga tubuhnya terasa kaku dan tak bisa bergerak dari tempatnya. Ia masih belum bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya dari mulut Senja.

Ayahnya membunuh ibu Senja.

Kata-kata itu terus terngiang di telinganya bagaikan mimpi buruk.

"Ja, what are you doing?! Put it down!"

Sementara itu Ren tak bisa tinggal diam, membujuk Senja untuk menurunkan pistol dari tangannya.

"Back off!"

DUAR!

Tidak mengindahkan permohonan Ren, Senja malah menembakkan pistolnya lagi sampai mengenai lengan ayah Gandhi. Flo dan semua orang yang mengiringi mereka di sana mulai menjerit ketakutan.

Ayah Gandhi menggenggam lengannya yang tertembak dan memerah akibat darah yang mengucur dengan deras. Lalu terduduk lemas di lantai dengan ingatan yang melayang ke peristiwa lima belas tahun yang lalu.

*** 

Continue Reading

You'll Also Like

1.9M 126K 77
What will happen when an innocent girl gets trapped in the clutches of a devil mafia? This is the story of Rishabh and Anokhi. Anokhi's life is as...
921K 22.5K 41
While moonlighting as a stripper, Emery Jones' mundane life takes a twisted and seductive turn when she finds herself relentlessly pursued by reclusi...
457K 25.8K 46
π’πœπžπ§π­ 𝐎𝐟 π‹π¨π―πžγ€’ππ² π₯𝐨𝐯𝐞 𝐭𝐑𝐞 𝐬𝐞𝐫𝐒𝐞𝐬 γ€ˆπ›π¨π¨π€ 1〉 π‘Άπ’‘π’‘π’π’”π’Šπ’•π’†π’” 𝒂𝒓𝒆 𝒇𝒂𝒕𝒆𝒅 𝒕𝒐 𝒂𝒕𝒕𝒓𝒂𝒄𝒕 β˜†|| 𝑺𝒕𝒆𝒍𝒍𝒂 𝑴�...
16.3M 545K 35
Down-on-her-luck Aubrey gets the job offer of a lifetime, with one catch: her ex-husband is her new boss. *** Aubrey...