Choices

231 22 2
                                    

"Ren, gue titip undangan gue ya."

"Bentar, Dhi. Gue masih nggak ngerti. Bukannya dulu lo bilang, lo cinta sama Senja?"

Beberapa bulan yang lalu, sepasang sepupu itu terlibat percakapan serius di cafe langganan mereka. Setelah pertengkaran hebat mereka yang berakhir dengan Senja datang ke apartemennya, Ren pergi karena Gandhi meneleponnya. Mengajaknya bertemu dan tiba-tiba kini sudah memberikan undangan pernikahan itu padanya.

Ren tidak mengerti. Baru kemarin Gandhi bilang dia mencintai Senja. Tetapi sekarang malah mau kembali ke kekasih lamanya. Ren mempertanyakan sikap Gandhi yang berubah begitu saja dan tidak dimengerti olehnya.

"Katanya elo mau mutusin Florence. Tapi kenapa sekarang lo malah balik mau nikahin dia, sih?" tanya Ren lagi.

"Dia berusaha menyakiti dirinya sendiri, Ren. Gue harus ngelakuin ini."

"Senja? Dia menyakiti dirinya lagi?"

"Gue nggak bicara tentang Senja."

"Bentar, gue bingung. Maksud lo... Florence?"

Gandhi akhirnya menceritakan peristiwa tentang Flo yang berusaha meniru tindakan Senja, dengan menusuk dirinya sendiri di kantornya. Ren cuma bisa ternganga tidak percaya mendengarnya.

"Gila! Florence sakit, Dhi! Terus lo mau ngawinin dia gitu cuma gara-gara dia berubah jadi gila!?"

"Semua ini salah gue, Ren. Gue yang harus bertanggungjawab. Flo melakukannya gara-gara gue."

"Tetep aja, Dhi! Kenapa sih lo nggak bawa dia ke rumah sakit aja? Percaya sama gue, Flo tuh butuh pertolongan! Pernikahan nggak akan menyelesaikan masalah kalian!"

"Maaf Ren, tapi gue nggak bisa. Flo butuh gue sekarang."

Gandhi masih bersikeras dengan pendiriannya. Dari tatapan matanya, terlihat dia betul-betul merasa berdosa. Mungkin Gandhi ingin menebus kesalahannya. Maka dari itu ia tetap melanjutkan pernikahannya, meski itu berarti bersama dengan orang yang tidak dicintainya.

Ren memandang sepupunya itu dengan wajah sedih. "Elo nggak harus ngelakuin ini, Dhi."

"Nggak pa-pa Ren, ini sudah jadi pilihan gue."

Sebagai sahabat yang baik, Ren hanya ingin mengingatkannya. Tetapi tampaknya Gandhi sudah menetapkan pilihannya. Sekeras apapun Ren berusaha membujuknya, pasti akan sia-sia.

Ren masih tidak bisa berkata apa-apa. Sementara Gandhi kini mengambil sesuatu dari dalam tasnya, sebelum menghentikan pembicaraannya.

"Ren... sebelum gue pergi, ada yang perlu gue bicarain sama lo. Gue butuh bantuan lo."

***

Ren masih mengingat percakapannya yang terjadi dengan sepupunya itu beberapa bulan sebelumnya. Dan di hadapannya sekarang sudah ada tiga benda yang membuat hatinya gamang.

Pertama, undangan pernikahan Gandhi dengan Florence. Kedua, jas untuk resepsi pernikahan karena ia didaulat sebagai bestman Gandhi. Ketiga, gulungan kertas tua yang Ren tidak tahu apa isinya karena Gandhi memberikannya begitu saja tanpa menjelaskan apa-apa padanya.

Sesuai janjinya, Ren akan memberikan titipan Gandhi pada Senja di hari pernikahannya. Benar. Hari ini adalah hari pernikahan Gandhi dan Ren tengah bersiap-siap menuju tempat resepsi.

Tapi Ren masih bingung bagaimana harus menyampaikannya pada Senja. Yang benar saja. Apa yang harus dikatakannya padanya?

Sebagai seorang psikiater yang pekerjaannya sehari-hari menganalisis jiwa manusia, Ren tidak buta. Ren tahu Senja mencintai Gandhi. Sebaliknya, Gandhi juga sangat mencintai Senja.

Reverse (Every scar has a story)Where stories live. Discover now