It Was Never Been The Same Anymore

274 23 0
                                    

"Dhi... besok sekolah sama gue, ya? Bentar lagi mau ujian. Bisa-bisa nanti lo nggak naik kelas." bujuk Senja kepada Gandhi yang termenung mengabaikannya.

Satu bulan telah berlalu sejak kepergian Rin yang begitu mendadak meninggalkan mereka untuk selamanya. Kehidupan memang kembali berjalan seperti sedia kala. Tetapi Senja tahu, segalanya tidak lagi sama seperti sebelumnya.

Gandhi masih tidak mau pergi ke sekolah. Yang ia lakukan setiap hari cuma bengong di kamar Rin, dan tidak melakukan apa-apa.

Senja sudah berusaha mengajak Gandhi berbicara dari hati ke hati. Tetapi reaksi yang diterimanya amatlah sulit. Gandhi lebih memilih untuk berdiam diri dan membisu. Kalaupun berbicara, apa yang keluar dari mulutnya alih-alih hanya kata iya, enggak, okay, ya, atau yang paling panjang adalah kalimat, elo pulang aja.

Hati Senja nelangsa setiap kali melihat kondisi Gandhi yang seperti ini. Gandhi yang dulu dikenalnya sebagai lelaki yang cerdas, kuat, dan mampu diandalkan itu kini begitu lemah dan rapuh.

"Dhi... cerita sama gue. Jangan diem aja, please."

Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Matanya masih menatap nanar entah kemana. Ingin rasanya Senja memeluknya. Namun yang bisa dilakukannya hanya menggenggam tangannya dengan erat.

Kehilangan Rin sudah sangat menyakitkan. Tapi menyaksikan Gandhi yang seperti ini sungguh membuat hatinya hancur.

Tanpa terasa air mata mengalir di pipi Senja dan ia mulai menangis lagi. Sementara Gandhi masih duduk mematung di tempatnya dan tidak mengeluarkan suara apa pun.

***

Hari ke seratus dua puluh tujuh dan Senja tahu kalau Gandhi masih mengingkari kenyataan bahwa adiknya telah pergi. Setiap pagi Gandhi masih pergi ke kamar adiknya, padahal ia tidak akan menemukan siapa-siapa lagi di sana.

Terkadang Gandhi juga masih bicara seolah Rin masih berada di dekatnya. Kemudian di hari berikutnya, Gandhi bisa seharian termenung dan terdiam seribu bahasa di sudut kamar adiknya.

Namun dari semua keanehan cara Gandhi untuk berduka, yang membuat Senja khawatir adalah dia tidak pernah sekalipun menangis. Padahal menurut Senja, akan lebih baik bila Gandhi meluapkan dan mengeluarkan semua emosinya.

Mengapa?

Karena segala sesuatu yang dibiarkan, yang terpendam secara terus-menerus itu bisa menjadi lebih menakutkan. Semuanya dapat meledak kapan saja dan begitu menghancurkan, sampai kita menyesal dan menyadari bahwa kita sudah tidak bisa lagi kembali ke awal.

Dan ternyata apa yang ditakutkan Senja memang benar. Pada akhir bulan September 2001 Gandhi melakukan percobaan bunuh diri pertamanya, yang juga sekaligus menjadi kali terakhir bagi dirinya.

Waktu itu Senja baru saja selesai mengikuti ujian akhir di sekolahnya. Sepulang sekolah ia bergegas menuju rumah Gandhi, memastikan keadaan sahabatnya itu baik-baik saja. Rutinitas seperti ini sudah dijalaninya hampir setiap hari sejak Rin pergi meninggalkan mereka berdua.

Sesampainya di sana, Senja mendapati tidak ada siapa-siapa di rumah Gandhi. Ayah dan ibunya pergi bekerja seperti biasanya. Tetapi begitu melangkah masuk ke dalam, jerit suara Senja pecah menemukan Gandhi yang tergeletak tak sadarkan diri di lantai kamar adiknya.

"GANDHI!!"

Di sekelilingnya sudah tercecer obat-obatan yang sepertinya baru saja ia konsumsi. Senja mengenali itu adalah obat-obatan milik Rin yang belum disingkirkan oleh Gandhi. Ternyata, selama ini Gandhi menyimpannya untuk ini.

Ya Tuhan.

Ini sungguh-sungguh sangat mengerikan.

Senja tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya barusan. Sungguh. Ia tidak pernah mengira kalau Gandhi akan melakukan tindakan sebodoh itu. Bahkan terlintas di benaknya saja tidak. Senja tidak kuasa untuk berpikir sampai ke sana.

Reverse (Every scar has a story)Where stories live. Discover now