Let Go

265 21 1
                                    

Jantung Gandhi serasa berhenti berdetak menemukan napas Senja yang hampir terputus saat memasuki ruang operasi. Kondisinya terluka cukup parah dan kehilangan banyak darah.

Peluru yang ditembakkan ayahnya itu menembus tengkorak kepalanya, namun Gandhi bersyukur nadinya masih berdenyut meskipun terdengar amat sangat lemah.

Setelah peristiwa penembakan yang tak terduga itu, ayah Gandhi kini harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan pihak berwajib. Ia tak mampu lagi berbuat apa-apa ketika digiring dengan kedua tangan terborgol ke kantor polisi.

Tentu saja tidak ada pesta atau suka cita pada hari ini. Pernikahan ini sudah cukup kacau dengan datangnya ambulans dan beberapa anggota kepolisian yang datang ke TKP. Tamu-tamu terpaksa dibubarkan dan orang-orang yang menjadi saksi mata harus tinggal untuk memberikan keterangan pada pihak kepolisian.

Florence tidak henti-hentinya menangisi kekacauan pernikahannya. Sementara Gandhi harus melarikan Senja yang tertembak di kepala ke rumah sakit untuk segera mendapatkan pertolongan.

Beruntung ada Ren yang masih bisa berpikir dengan waras sehingga ialah yang mengurus semuanya, termasuk berhadapan dengan polisi dan menenangkan Florence.

"Dokter Gandhi!" panggil asisten Gandhi yang mengejutkannya dari lamunannya.

"Tidak ada waktu lagi, Dok!"

Asisten Gandhi memanggilnya sekali lagi, mengingatkan kalau tim dokter yang akan menangani pasien sudah berdiri mengelilingi mereka, menunggu perintah darinya.

Gandhi memang bersikeras untuk memimpin operasi ini sendiri karena begitu memeriksa peluru yang bersarang di kepala Senja, hanya ia yang bisa melakukan operasi yang terbilang cukup sulit bagi para spesialis sekalipun.

Tidak membuang waktu lebih lama lagi, Gandhi pun menganggukkan kepalanya. Memberi aba-aba untuk memulai operasi yang akan menentukan hidup dan mati seseorang yang sangat berarti bagi hidupnya, dimana ia rela melakukan apa saja untuk bisa menyelamatkan nyawanya.

"Baik, mari kita mulai operasinya. Scalpel," ujar Gandhi sembari meminta pisau bedah pada asisten dokternya, yang akan membantunya melalui operasi sulit yang akan berlangsung selama beberapa jam ke depan.

Peluh mulai membasahi dahi Gandhi saat jemarinya mulai membedah kepala Senja dengan hati-hati.

Selama ini Gandhi percaya kalau semua yang ada pada hidupnya terjadi karena sebuah alasan. Mungkin inilah jawabannya kenapa ia ditakdirkan menjadi dokter bedah syaraf.

Tetapi tidak pernah sekalipun terlintas dalam benaknya, kalau nyawa gadis yang amat disayanginya itu kini berada di tangannya. Dan hanya ia yang bisa menyelamatkannya.

Operasi ini harus berhasil. Ia tidak boleh gagal. Gandhi tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri apabila ia gagal melakukannya.

Bertahanlah, Senja. Jangan pergi. Aku mohon. Bertahanlah!

***

"Berhenti menangis, Flo. Kamu tahu kalau ini nggak akan menyelesaikan masalah." ujar Ren berusaha menenangkan Flo yang masih menangis sesenggukan di bangku rumah sakit.

Setelah selesai memberikan keterangan pada kepolisian, mereka berdua kini sudah duduk menunggu operasi Senja yang masih berlangsung di lorong rumah sakit yang hening.

"Kenapa semua jadi begini, Ren?" tanya Flo yang lebih terdengar seperti penyesalan dibandingkan dengan sebuah pertanyaan.

"Flo, jangan menyalahkan diri kamu sendiri. Semua ini bukan salah kamu."

Ren yang masih dalam posisi memeluk Florence mengusap-usap pundaknya yang bergetar menahan tangis. Dalam pelukan Ren, Flo mengingat detik-detik penembakan Senja yang bagaikan mimpi buruk di siang bolong bagi mereka semua.

"Senja! Senja!!"

Gandhi berteriak seperti orang gila menemukan Senja yang tergeletak tak berdaya tenggelam oleh darahnya sendiri yang mengalir dari kepalanya.

Sedetik kemudian ia segera mengambil tindakan menelepon ambulans dan pada detik berikutnya Senja sudah terbaring di kereta dorong bersama Gandhi memasuki mobil tersebut menuju ke rumah sakit terdekat.

Florence menyaksikan genggaman tangan Gandhi yang tidak terlepas barang satu detik pun dan sosoknya yang berbisik di telinga gadis itu dengan lirih.

"Ja, stay with me. Don't leave me. I can't lose you anymore. Please... stay with me."

Ia bisa merasakan luka yang teramat dalam dari tatapan mata Gandhi biarpun sikapnya terlihat tegar di hadapan semua orang.

Detik itu pula, Flo menyadari bahwa semua yang dilakukannya sia-sia. Meski ia berhasil membuat Gandhi kembali padanya dan menikahinya, ia tidak akan bisa memiliki dirinya seutuhnya.

Sejak awal hati Gandhi memang tidak pernah menjadi miliknya. Mengapa ia terlalu bodoh untuk menyadari semuanya?

"Ren, kita nggak akan pernah bisa masuk di antara mereka berdua kan?" Flo bertanya lagi pada Ren, kali ini dengan tangis yang terdengar semakin keras.

"Flo, kamu gadis pintar. Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan."

"Tapi aku mencintainya, Ren. Aku terlalu mencintainya."

"Aku tahu. Tapi kita tahu kapan harus berhenti, kan? Sometimes we just have to let things go. Maybe they're never meant to be with us."

Flo terusik heran mendengar kata-kata Ren. Gadis itu tahu kalau Ren menjalin hubungan dengan Senja. Tapi ia tidak mengerti mengapa Ren bisa begitu tenang dalam menghadapi situasi ini, yang bisa dibilang sangat merugikan mereka berdua.

"Ren, kamu mencintainya?"

"Senja?"

Flo menganggukkan kepalanya.

"Tentu saja. With all of my heart."

"Tapi... kenapa?"

"Sama seperti kamu yang mencintai Gandhi, aku juga mencintai Senja. Tapi aku ingin mencintainya dengan cara yang berbeda."

"Maksud kamu apa?"

"Aku ingin mencintainya dengan cara yang bisa membuatnya bahagia. Kalau melepasnya bisa membuatnya bahagia, aku nggak keberatan untuk melakukannya."

Perkataan Ren meruntuhkan dinding ego yang selama ini dibangun Florence kuat-kuat hingga air mata kembali mengalir deras di pipinya.

Ketulusan Ren menggugah hatinya. Ia menyadari apa yang dikatakan Ren memang benar. Mungkin sudah waktunya baginya untuk mengakhiri semuanya.

Flo pun menghabiskan waktu tiga puluh menit dalam tangis sampai air matanya kering dengan Ren yang terus berada di sisinya, hingga ia bisa kembali berdiri tegak dengan kedua kakinya.

"Terimakasih sudah mau menemaniku ya, Ren." ucap Flo berterimakasih padanya.

"Anytime, Flo." jawab Ren seraya menepuk pundaknya, memberikan dukungannya kalau Flo akan baik-baik saja.

"Hei. Kalo nanti kamu merasa seperti ingin menyakiti dirimu lagi, aku mohon tolong jangan lakukan itu. Just come to my clinic, okay?" canda Ren menyinggung tindakan Flo yang pernah nekat melukai dirinya sendiri ketika patah hati. Mengingat ini adalah patah hati keduanya, Ren agak sedikit mencemaskannya.

"I will," yang dibalas Florence dengan tawa dan pelukan hangat sebelum mereka berpisah satu sama lain.

*** 

Reverse (Every scar has a story)Where stories live. Discover now