Reverse (Every scar has a sto...

By FreeSpirit220190

8.9K 704 14

Gandhi, seorang dokter bedah syaraf yang sukses di usia muda terobsesi untuk mencari Senja. Sahabat masa keci... More

When We First Met
Best Friends
Fight
Last Birthday
Lost
Moving On
False Alarm
Everything Has Changed
Malibu
Gone Girl
Going Home
Dad
Back To Work
Trouble Maker
Temptation
Mad
Guilt
Scars
Counseling
Hello, My Friend We Meet Again
Nostalgia
Torn Apart
Almost
New Chapter
Choices
Ready To Go
The Big Day
The Ugly Truth
Let Go
Forgiven Not Forgotten
My Kind Of Happy Ending

It Was Never Been The Same Anymore

274 23 0
By FreeSpirit220190

"Dhi... besok sekolah sama gue, ya? Bentar lagi mau ujian. Bisa-bisa nanti lo nggak naik kelas." bujuk Senja kepada Gandhi yang termenung mengabaikannya.

Satu bulan telah berlalu sejak kepergian Rin yang begitu mendadak meninggalkan mereka untuk selamanya. Kehidupan memang kembali berjalan seperti sedia kala. Tetapi Senja tahu, segalanya tidak lagi sama seperti sebelumnya.

Gandhi masih tidak mau pergi ke sekolah. Yang ia lakukan setiap hari cuma bengong di kamar Rin, dan tidak melakukan apa-apa.

Senja sudah berusaha mengajak Gandhi berbicara dari hati ke hati. Tetapi reaksi yang diterimanya amatlah sulit. Gandhi lebih memilih untuk berdiam diri dan membisu. Kalaupun berbicara, apa yang keluar dari mulutnya alih-alih hanya kata iya, enggak, okay, ya, atau yang paling panjang adalah kalimat, elo pulang aja.

Hati Senja nelangsa setiap kali melihat kondisi Gandhi yang seperti ini. Gandhi yang dulu dikenalnya sebagai lelaki yang cerdas, kuat, dan mampu diandalkan itu kini begitu lemah dan rapuh.

"Dhi... cerita sama gue. Jangan diem aja, please."

Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Matanya masih menatap nanar entah kemana. Ingin rasanya Senja memeluknya. Namun yang bisa dilakukannya hanya menggenggam tangannya dengan erat.

Kehilangan Rin sudah sangat menyakitkan. Tapi menyaksikan Gandhi yang seperti ini sungguh membuat hatinya hancur.

Tanpa terasa air mata mengalir di pipi Senja dan ia mulai menangis lagi. Sementara Gandhi masih duduk mematung di tempatnya dan tidak mengeluarkan suara apa pun.

***

Hari ke seratus dua puluh tujuh dan Senja tahu kalau Gandhi masih mengingkari kenyataan bahwa adiknya telah pergi. Setiap pagi Gandhi masih pergi ke kamar adiknya, padahal ia tidak akan menemukan siapa-siapa lagi di sana.

Terkadang Gandhi juga masih bicara seolah Rin masih berada di dekatnya. Kemudian di hari berikutnya, Gandhi bisa seharian termenung dan terdiam seribu bahasa di sudut kamar adiknya.

Namun dari semua keanehan cara Gandhi untuk berduka, yang membuat Senja khawatir adalah dia tidak pernah sekalipun menangis. Padahal menurut Senja, akan lebih baik bila Gandhi meluapkan dan mengeluarkan semua emosinya.

Mengapa?

Karena segala sesuatu yang dibiarkan, yang terpendam secara terus-menerus itu bisa menjadi lebih menakutkan. Semuanya dapat meledak kapan saja dan begitu menghancurkan, sampai kita menyesal dan menyadari bahwa kita sudah tidak bisa lagi kembali ke awal.

Dan ternyata apa yang ditakutkan Senja memang benar. Pada akhir bulan September 2001 Gandhi melakukan percobaan bunuh diri pertamanya, yang juga sekaligus menjadi kali terakhir bagi dirinya.

Waktu itu Senja baru saja selesai mengikuti ujian akhir di sekolahnya. Sepulang sekolah ia bergegas menuju rumah Gandhi, memastikan keadaan sahabatnya itu baik-baik saja. Rutinitas seperti ini sudah dijalaninya hampir setiap hari sejak Rin pergi meninggalkan mereka berdua.

Sesampainya di sana, Senja mendapati tidak ada siapa-siapa di rumah Gandhi. Ayah dan ibunya pergi bekerja seperti biasanya. Tetapi begitu melangkah masuk ke dalam, jerit suara Senja pecah menemukan Gandhi yang tergeletak tak sadarkan diri di lantai kamar adiknya.

"GANDHI!!"

Di sekelilingnya sudah tercecer obat-obatan yang sepertinya baru saja ia konsumsi. Senja mengenali itu adalah obat-obatan milik Rin yang belum disingkirkan oleh Gandhi. Ternyata, selama ini Gandhi menyimpannya untuk ini.

Ya Tuhan.

Ini sungguh-sungguh sangat mengerikan.

Senja tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya barusan. Sungguh. Ia tidak pernah mengira kalau Gandhi akan melakukan tindakan sebodoh itu. Bahkan terlintas di benaknya saja tidak. Senja tidak kuasa untuk berpikir sampai ke sana.

Kejadian ini mengingatkannya akan hari kepergian Rin. Senja seperti mengalami deja-vu. Dengan sisa kekuatannya, ia berusaha tegar dan menelepon rumah sakit untuk segera mengirimkan mobil ambulans ke rumah mereka.

Hati Senja sudah tidak karu-karuan rasanya. Rasa takut, marah, sedih, sakit hati, tak berguna, bercampur aduk jadi satu di dadanya sampai terasa amat sesak. Ia bahkan merasa sulit untuk bernapas.

Tetapi Senja berusaha keras untuk bisa kembali pada kesadarannya. Senja harus tetap kuat. Apa yang menjadi fokus utamanya saat ini hanyalah, ia harus menyelamatkan Gandhi.

Tidak peduli apa pun yang terjadi. Ia sudah tidak bisa kehilangan lagi.

***

"Dhi... hei. Gandhi."

Sayup-sayup Gandhi mendengar suara seseorang memanggil namanya. Senja. Ya, Gandhi mengenali suara itu yang kini terdengar begitu mencemaskannya.

Gandhi sempat membuka kelopak matanya yang terasa amat berat. Kemudian ia mendapati dirinya sudah berada di dalam mobil ambulans yang melaju cepat menuju rumah sakit. Di luar Gandhi bisa melihat cahaya lampu ambulans berkerlap-kerlip menyilaukan, serta sirine yang berbunyi keras memekakkan telinganya.

Kesadaran Gandhi belum seratus persen pulih. Wajahnya tertutup masker oksigen agar dapat bernapas dengan lebih baik. Perlahan-lahan ia mencoba menggerakkan jari-jemarinya, yang mendapatkan respon dari Senja yang menggenggam tangannya dengan erat.

"Dhi, tetap di sini ama gue. Jangan pergi. Lo nggak boleh pergi ninggalin gue. Lo harus tetep sadar, okay?"

Gandhi bisa merasakan tekad yang kuat dari nada suara Senja. Ia tidak tahu dari mana gadis sekecil itu bisa mendapatkan kekuatan sebesar itu. Ingin rasanya Gandhi tersenyum. Seandainya ia bisa seperti Senja. Tapi ia tidak bisa.

Entahlah.

Mungkin ia hanya sudah tidak memiliki keinginan untuk melakukannya.

Selepas kepergian Rin, Gandhi merasa sudah kehilangan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Rin adalah satu-satunya yang membuatnya terus bertahan. Kalau bukan karena Rin, mungkin Gandhi sudah lama kabur dari rumahnya dan tidak akan pernah kembali lagi ke sana.

Ia sudah muak hidup satu rumah di tengah manusia-manusia yang menurutnya penuh dengan kemunafikan, seperti orangtuanya.

Sebentar.

Mengapa Gandhi bisa berpikir demikian?

Gandhi memang tidak pernah menceritakannya kepada siapa-siapa. Pertama kali menemukan pertengkaran kedua orangtuanya, Gandhi masih kelas 1 SD. Sembilan tahun yang lalu di balik pintu kamar ayah dan ibunya, ia tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka berdua.

"Kalo saja kamu nggak menggoda aku, hidup kita nggak akan hancur kayak gini!"

"Oh, jadi semua ini salah aku? Kamu lupa? Kamu yang memulai semuanya lebih dulu!"

Gandhi jadi tahu kalau ayah dan ibunya kawin lari sehingga diusir oleh keluarga besar mereka. Keduanya tidak direstui karena masih terikat sepupu sendiri. Ayahnya bahkan dicoret dari daftar warisan keluarganya, karena bersikeras menikahi ibunya. Oleh sebab itulah setelah menikah hidup mereka berdua jadi sangat susah.

Sayangnya mereka berdua tidak bisa berpisah karena ibunya sudah terlanjur mengandung dua anak kembar yang diberi nama Gandhi Respati dan Gita Rinjani, yang tak lain adalah dirinya dan adiknya.

"Keterlaluan! Anak kita sakit, masa orangtua kamu nggak bisa bantu sama sekali?!"

"Aku bisa apa? Mereka bahkan nggak percaya kalo Gandhi dan Rin anak aku!"

"Apa!? Kamu pikir aku perempuan macam apa??!"

Pertengkaran demi pertengkaran semakin sering mewarnai rumah tangga kedua orangtuanya saat Rin jatuh sakit. Kondisi keuangan keluarga mereka juga semakin bertambah sulit. Sampai suatu ketika, terjadi sebuah peristiwa pahit yang membuat kepribadian Gandhi menjadi seperti sekarang ini.

Keras hati. Kaku. Realistis. Dan sulit untuk mempercayai siapa pun.

Saat usianya masih delapan tahun, Gandhi menyaksikan ibunya pernah hampir membunuh adiknya sendiri. Dengan cara membekap mulut Rin dengan bantal, ketika adiknya yang tidak berdosa itu masih terlelap dalam tidurnya.

"Ibu...!!!"

Mungkin Rin sendiri tidak mengingatnya. Tapi sampai kapan pun, Gandhi tidak akan pernah bisa melupakannya.

Waktu itu ibunya sudah sangat putus asa. Dokter mendiagnosis Rin hampir tidak memiliki peluang untuk sembuh. Harta benda yang mereka miliki sudah habis untuk membayar biaya pengobatan, sehingga mereka tidak lagi memiliki uang barang sepeser pun.

Namun setelah Gandhi memergokinya dan menyadari apa yang sudah diperbuatnya, ibunya menangis sejadi-jadinya. Lalu tidak henti-hentinya meminta maaf padanya.

Tapi sudah terlambat. Peristiwa itu telah mengubah cara Gandhi memandang dunia untuk selamanya.

Gandhi membenci ibunya. Ayahnya pun juga sama saja. Hanya Rin satu-satunya yang ia miliki. Itulah mengapa setelah Rin meninggalkannya, Gandhi merasa sudah tak ada lagi artinya ia hidup di dunia ini. Gandhi pun menempuh jalan singkat dengan mengakhiri hidupnya sendiri.

Tetapi Gandhi melupakan satu hal. Ia lupa kalau kehadirannya masih sangat berarti bagi seseorang.

Ya, Gandhi lupa kalau ia masih memiliki Senja.

Air mata meleleh di pelupuk mata Gandhi setelah sekian lama ia tidak pernah melakukannya. Ketulusan Senja menggugah hatinya. Ia menyesali dirinya sendiri yang terlalu tenggelam dalam kesedihannya, sampai-sampai mengabaikan seseorang yang betul-betul peduli padanya.

Di tengah kesibukan para perawat yang cekatan dalam melakukan pertolongan pertama, Gandhi bisa melihat ekspresi Senja secara samar-samar. Kekhawatiran, kesedihan, ketegaran, dan ketulusan yang melebur menjadi satu, tergambar dengan sangat jelas di wajahnya. Dan semua itu terjadi hanya karena kebodohan dari ulahnya.

"...Dhi, dengerin. Elo masih punya gue. Jangan tinggalin gue sendiri. Lo nggak boleh nyerah. Janji sama gue. Lo nggak boleh nye... rah... Janji..."

Ini adalah kalimat terakhir yang didengar oleh Gandhi sebelum ia benar-benar kehilangan kesadarannya.

Senja.

Mengapa ia bisa menyia-nyiakannya?

Dalam tidurnya, Gandhi berdoa kalau saja ia masih diberi kesempatan untuk selamat, ia akan sungguh-sungguh meminta maaf padanya.

***

Continue Reading

You'll Also Like

43.6M 1.3M 37
"You are mine," He murmured across my skin. He inhaled my scent deeply and kissed the mark he gave me. I shuddered as he lightly nipped it. "Danny, y...
3.2M 133K 59
The story of Abeer Singh Rathore and Chandni Sharma continue.............. when Destiny bond two strangers in holy bond accidentally ❣️ Cover credit...
90M 2.9M 134
He was so close, his breath hit my lips. His eyes darted from my eyes to my lips. I stared intently, awaiting his next move. His lips fell near my ea...
190M 4.5M 100
[COMPLETE][EDITING] Ace Hernandez, the Mafia King, known as the Devil. Sofia Diaz, known as an angel. The two are arranged to be married, forced by...