Reverse (Every scar has a sto...

By FreeSpirit220190

8.9K 704 14

Gandhi, seorang dokter bedah syaraf yang sukses di usia muda terobsesi untuk mencari Senja. Sahabat masa keci... More

When We First Met
Fight
Last Birthday
It Was Never Been The Same Anymore
Lost
Moving On
False Alarm
Everything Has Changed
Malibu
Gone Girl
Going Home
Dad
Back To Work
Trouble Maker
Temptation
Mad
Guilt
Scars
Counseling
Hello, My Friend We Meet Again
Nostalgia
Torn Apart
Almost
New Chapter
Choices
Ready To Go
The Big Day
The Ugly Truth
Let Go
Forgiven Not Forgotten
My Kind Of Happy Ending

Best Friends

377 25 0
By FreeSpirit220190

Jakarta, 2001

Gandhi baru saja membuka pintu rumahnya untuk membuang sampah. Tak lama kemudian, terdengar teriakan seorang wanita yang memaki dengan amat keras hingga memekakkan telinganya.

"Brengs*k! Dasar anak tidak tahu diuntung!!"

Astaga.

Lagi?

Geram Gandhi dalam hatinya. Ia pun segera berlari menerobos pagar rumah tetangganya tanpa ragu.

Dugaan Gandhi benar rupanya. Ia menemukan Senja yang tengah dipukuli ibunya dengan gagang sapu. Gadis itu meringkuk di teras rumahnya tanpa melakukan perlawanan sedikit pun.

"Tante!"

Gandhi menangkis ayunan gagang sapu itu dengan hardikan yang lebih keras lagi, "Tante pukul Senja lagi saya laporin Tante ke polisi!" seruan Gandhi yang datang tiba-tiba itu membuat ibu Senja semakin naik pitam.

"Apa!? Anak kurang ajar kamu ya! Jangan ikut campur urusan orang!"

Ibu Senja mengayunkan gagang sapunya sekali lagi. Berniat memukulnya tapi Senja mengambil tindakan lebih cepat dengan menarik tangan Gandhi. Berlari kabur secepat mungkin dari amarah ibunya yang semakin tidak terkendali.

"Apa-apaan sih, Ja!"

Setibanya di rumahnya sendiri, Gandhi menghempaskan tangan Senja. Ia tidak suka karena Senja menghalanginya berhadapan dengan ibunya.

"Elo yang apa-apan! Lo pengen gue makin parah digebukin sama nyokap gue?" bentak Senja tidak kalah galak menghadapi sikap Gandhi.

"Kak...?"

Di saat yang bersamaan, Rin yang tengah membaca buku di halaman rumah bengong menemukan pertengkaran mereka berdua.

***

"Aduh, duh. Sakit, Rin."

Senja mengaduh-aduh begitu Rin menyentuh lukanya. Mereka bertiga kini sudah duduk di ruang tengah rumah keluarga Gandhi dan Rin. Dengan peralatan P3K seadanya, Rin mengobati sudut bibir dan siku Senja yang berdarah.

Lima tahun sudah berlalu sejak pertemuan pertama mereka. Gandhi, Rin dan Senja kini sudah beranjak remaja. Selama ini mereka tidak hanya bertetangga, tapi juga pergi ke sekolah yang sama dan menjadi sahabat dekat.

"Sorry. Sakit, ya?"

Sebelum Rin sempat berkata lebih jauh lagi, Gandhi sudah menyambarnya dengan nada jengkel.

"Makanya, gue bilang juga apa. Laporin nyokap lo ke polisi! Mau sampe kapan lo kayak gini?"

Senja menghela napas kesal. Ia tahu Gandhi peduli padanya. Tapi ia tidak suka mereka berdebat lagi dengan masalah yang sama setiap harinya.

"Terus gimana? Siapa yang mau ngurusin gue kalo nyokap gue dipenjara? Elo? Ngurusin diri sendiri aja lo nggak bisa!"

Gandhi menggigit bibirnya. Ia membenci ketidakberdayaannya yang seperti ini. Hanya saja, yang dikatakan Senja memang benar. Gandhi hanyalah bocah ingusan yang tidak mampu berbuat apa-apa. Usianya baru 15 tahun. Jangankan membantu seseorang, hidup keluarganya sendiri saja berantakan.

Sejak pindah ke sebelah rumahnya, Gandhi sering menyaksikan Senja diperlakukan kasar oleh ibunya. Penyebabnya tidak begitu jelas. Terkadang ada hal yang tidak sesuai dengan keinginannya. Atau kadang ia memang hanya sedang kesal saja, lalu melampiaskannya pada anak gadisnya.

Gandhi kesal karena Senja tidak pernah sekalipun melawan ibunya. Namun yang lebih membuatnya marah adalah ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk melindunginya.

"Tapi Ja, tetep aja! Elo nggak bisa kayak gini terus!" bantah Gandhi masih bersikeras.

"Gue bisa apa, Dhi? Cuma nyokap gue yang gue punya. Kenapa sih lo ngga bisa ngertiin gue!?"

Wajah Rin memucat mendengar kedua orang yang disayanginya itu bertengkar lagi. Bukan karena pertengkaran itu sebenarnya, tapi serangan itu datang lagi mengganggu dirinya. Dadanya terasa amat sesak dan tak mampu lagi bernapas. Rin mulai terbatuk-batuk hingga mengejutkan Gandhi dan Senja.

"Uhuk! Uhuk! Uhuk!"

"Rin? Rin!? Elo kenapa Rin!"

Senja melupakan pertengkarannya dengan Gandhi. Ia segera berlari menopang tubuh Rin agar tidak jatuh. Sebetulnya kejadian seperti ini bukan yang pertama kalinya. Tetapi Senja tidak pernah terbiasa. Ia juga tidak tahu apa yang harus dilakukan setiap kali penyakit itu menyerang tubuh sahabatnya yang lemah.

"Minggir,"

Gandhi memberi isyarat pada Senja untuk menyingkir, sebelum mengambil alih tubuh adik semata wayangnya itu. Tangannya menyeka mulut Rin yang berlumuran darah dengan tisu akibat batuk hebat yang melanda tubuhnya.

"Rin... Tarik napas panjang, lepaskan. Rin, hei... tenang. Ayo, ikuti Kakak. Satu... dua..."

Suara Gandhi yang penuh kesabaran menenangkan Rin. Menuntunnya agar dapat bernapas kembali sedikit demi sedikit. Rin berusaha menahan rasa sakitnya dengan menatap mata Gandhi. Seolah hanya kakaknya itu satu-satunya tumpuan harapannya seorang.

Sedangkan Senja masih berdiri kaku di tempatnya. Mengutuk dirinya sendiri yang selalu menjadi tidak berguna setiap kali sahabatnya itu berjuang menahan sakit yang ada dalam dirinya.

***

"Gimana rasanya, Rin? Udah baikan?" tegur Gandhi khawatir. Serangan itu sudah berlalu sepuluh menit yang lalu tapi ia masih mencemaskannya.

"Ngga pa-pa Kak, udah baikan kok." jawab Rin memaksakan senyumnya. Tidak ingin kakaknya itu terus-menerus mengkhawatirkannya.

"Beneran?"

"Iya, beneran. Oh ya Kak, boleh minta tolong beliin minyak kayu putih nggak? Yang di kamar habis nih," pinta Rin kemudian.

"Oke, oke. Kakak beliin ya. Apa lagi? Kamu mau makan? Mau makan apa?" tanya Gandhi masih dengan raut wajah cemas.

Tidak heran, Gandhi memang sangat menyayangi adiknya. Lelaki yang super egois dan menyebalkan itu bisa berubah menjadi super perhatian setiap kali Rin jatuh sakit.

"Enggak usah, itu aja. Oh ya sama beliin plester juga ya Kak, buat Senja." tambah Rin sembari menunjuk ke arah luka-luka lecet Senja akibat perbuatan ibunya.

Gandhi benar-benar lupa dengan semuanya apabila Rin tidak mengingatkannya. Ia pun segera bergegas melakukan apa yang diperintah adiknya.

"Oke, kalo gitu Kakak tinggal dulu ya Rin. Baik-baik di rumah ya. Ja, gue titip Rin ya."

"Ha...ah?" ucapan Gandhi menyadarkan Senja dari lamunannya, yang menatap sedih kondisi sahabatnya.

"Rin. Gue titip, keluar dulu bentar. Oke?" lanjut Gandhi mengulangi perkataannya lagi.

"Hmm, oke, oke." sahut Senja menganggukkan kepalanya mengamini permintaan Gandhi.

Sepeninggal Gandhi, Rin mengajak Senja bicara. Agaknya ia menyadari perubahan sikap sahabatnya yang masih terlihat shock dengan serangan yang baru saja dialaminya.

"Maaf ya Ja, elo harus ngeliat gue kayak gini."

Mendengarnya, air mata Senja yang sedari tadi tertahan di pelupuk matanya tumpah dan mulai menangis sesenggukan memeluk Rin.

"Gue yang minta maaf Rin. Maaf ya, gue nggak guna. Gue nggak bisa berbuat apa-apa padahal lo kesakitan banget kayak gitu." sesal Senja meminta maaf pada Rin,

Rin menepuk-nepuk lembut bahu Senja, "Lo kenapa mendadak jadi mellow gini sih Ja? Gue nggak papa kali." seraya setengah mengajaknya bercanda.

"Gue nggak ngerti kenapa lo nggak ke rumah sakit aja sih Rin... kondisi lo kan udah tambah parah..." tanya Senja lagi tidak mengerti.

"Hei... gue nggak pa-pa Ja, beneran. Lagian elo tau kan gue benci rumah sakit. Enakan juga di rumah sendiri." jawab Rin berusaha menghibur Senja.

Namun di saat yang sama, pandangan matanya melayang entah kemana dalam pelukan sahabatnya.

Sudah tiga bulan ini Rin berhenti bersekolah karena kondisi kesehatannya yang semakin memburuk. Senja tidak mengerti kenapa Rin tidak pergi ke rumah sakit tapi malah di rumah saja. Sedangkan Rin tidak sampai hati mengatakan pada Senja kalau dokter telah angkat tangan terhadap kondisinya.

Rin mengingat vonis dokter padanya tiga bulan yang lalu. Waktu itu ia menguping dari balik pintu rumah sakit. Ia bisa mendengar orangtuanya yang menangis ketika dokter mengatakan ia hanya memiliki waktu beberapa bulan lagi.

Tidak ada yang tahu kalau Rin mendengarnya. Ia juga tidak bercerita pada siapa-siapa.

Harusnya Rin bersedih. Harusnya ia menangis. Tapi Rin bahkan tidak merasakan apa-apa lagi. Aneh memang. Mungkin setelah sekian lama berperang melawan rasa sakit dalam tubuhnya, Rin sudah sampai pada titik yang membuatnya benar-benar lelah.

Segala macam bentuk pengobatan mulai dari medis, alternatif, kemoterapi, semuanya sudah ia coba. Tetapi percuma saja. Rin tahu penyakitnya tidak akan bisa disembuhkan. Yang mereka lakukan selama ini hanya memperlambat prosesnya, yang mana itu justru semakin menyiksanya.

Tapi tentu saja Rin tidak pernah memperlihatkan kesedihannya di depan orang lain. Rin anak baik. Sejak kecil ia paham kalau hidupnya selalu merepotkan orang lain. Rin tidak ingin menambah beban ayahnya, ibunya, Gandhi, atau Senja sahabatnya dengan bersedih memikirkan dirinya.

Pada akhirnya, yang bisa dilakukannya hanya bertahan dan tersenyum supaya mereka tidak mencemaskannya.

Tapi sampai kapan ia bisa bertahan?

Rin tidak tahu.

Ia hanya berusaha menjalani hidup dengan normal. Berharap waktu berjalan lambat dan menikmati setiap detik yang ia punya bersama orang-orang disayanginya.

***

"Ja? Rin?"

Gandhi heran menemukan rumah dalam keadaan sepi. Ia baru saja pulang dari apotik dan mengucapkan salam. Tapi baik Rin maupun Senja tidak ada yang menjawab salamnya.

Aneh. Kemana mereka semua pergi? Tanya Gandhi dalam hati.

Begitu melangkahkan kaki ke dalam rumahnya, Gandhi menemukan pintu kamar adiknya setengah terbuka. Gandhi jadi berasumsi kalau Rin dan Senja pasti berada di sana. Ia pun berinisiatif masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Rin?"

Namun alangkah terkejutnya Gandhi. Bukannya menemukan adiknya, ia malah mendapati Senja yang sehabis mandi tengah berganti baju tepat di hadapannya.

Terkejut melihat sosok Gandhi yang tiba-tiba muncul begitu saja di depannya, Senja menjerit keras menutupi tubuhnya. Lalu spontan melempar botol lotion di tangannya sampai mengenai kepala sahabatnya.

PLAK!

"Aaaarrgghh... DASAR MESUM!"

BRUAKKK!!!

Berakhir dengan pintu yang dibanting tepat di depan kedua matanya.

***

Rin masih tertawa terpingkal-pingkal mendengar cerita Senja. Ia tak mengira kalau situasi akan berbalik begitu cepat seperti ini. Baru saja ia melerai pertengkaran keduanya, mereka sudah bertengkar lagi dengan masalah baru yang terdengar begitu menggelikan baginya.

"Kok elo malah ngetawain gue sih, Rin!" geram Senja tidak terima, meski sebetulnya ia sadar kalau itu bukan seratus persen salah Gandhi.

Senja juga ceroboh. Lupa menutup pintu setelah selesai menumpang mandi di kamar Rin. Tapi tetap saja. Senja merasa malu setiap kali mengingat Gandhi yang hampir melihatnya telanjang bulat, dan itu betul-betul membuatnya awkward.

Kejadian semacam ini mungkin lucu saat mereka masih kecil. Namun tidak setelah mereka berumur belasan tahun. Mereka bertiga sudah beranjak remaja sekarang. Banyak hal yang berubah darinya, termasuk tubuhnya.

Sial. Memikirkannya saja wajah Senja sudah memerah seperti kepiting rebus.

"Ya abis... Gue ngga tahan liat pala Kakak gue benjol. Gila, lo Ja! Kakak gue yang cool abis itu lo timpuk gitu aja pake botol!" jawab Rin menanggapi Senja dengan masih tertawa terbahak-bahak.

"Cool apaan!? Amit-amit dah!" protes Senja lagi.

Rin tertawa, "Tapi lo suka kaan, sama Kakak gue yang ganteng itu?" godanya sengaja memancing sahabatnya itu agar bertambah salah tingkah.

Sejak dulu Rin memang suka menjodoh-jodohkan mereka berdua. Tapi baik Gandhi maupun Senja selalu bertingkah seolah ingin muntah ketika menanggapinya.

"Najis! Nggak bosen lo jodoh-jodohin gue mulu ama Kakak lo? Kayak nggak ada cewek laen aja!"

"Emang nggak ada! Cuman elo yang bisa nerima keabsurdan Kakak gue!" sahut Rin di sela tawanya tak mau kalah, masih belum menyerah mempromosikan kakaknya.

"Sarap lo!"

Mulut Senja menyumpahi sahabatnya, tapi dalam hati ia sadar kalau otaknya tidak sejalan dengan ucapannya. Apa yang dikatakan Rin tidak salah. Seperti Rin yang memiliki wajah secantik boneka porselen Jepang, harus Senja akui kalau Gandhi memang berwajah tampan. Bahkan, terlalu tampan.

Wajah Gandhi terpahat sempurna dengan garis rahang yang tegas, bibir tipis, hidung mancung, mata yang teduh dan kulit seputih susu. Sayangnya fisik yang sempurna itu tidak ditunjang dengan sifat yang menyenangkan. Kalau bukan karena sifat buruknya yang jutek dan angkuh, Gandhi pasti sudah menjadi idola cewek-cewek di sekolah mereka.

Tok... tok... tok...

Lamunan Senja berakhir begitu mendengar suara ketukan pintu dari balik kamar Rin. Ia mengenali suara berat itu yang datang dari mulut Gandhi.

"Ja... maafin gue ya. Gue nggak sengaja," pinta Gandhi dengan nada datar sekaligus canggung karena menahan malu.

"Paan sih! Males ah!" usir Senja yang masih mengambek dari dalam kamar.

"Gue nggak lihat apa-apa kok Ja, beneran. Lagian badan lo juga nggak bagus-bagus amat..."

Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Kepolosan Gandhi membuatnya tidak sadar telah memancing emosi Senja.

"Apa lo bilang!? Cari mati lo yaa!"

Tawa Rin terdengar semakin keras, begitu Senja membuka pintu lalu mengejar Gandhi dengan buas. Mereka berdua berlarian mengitari ruang tengah. Sampai Senja memukuli Gandhi yang mengaduh-ngaduh dan meminta ampun kepadanya.

*** 

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 109K 200
**Story is gonna be slow paced. Read only if you have patience. πŸ”₯** Isha Sharma married a driver whom she had just met. She was taking a huge risk...
16.3M 545K 35
Down-on-her-luck Aubrey gets the job offer of a lifetime, with one catch: her ex-husband is her new boss. *** Aubrey...
465K 26.1K 47
π’πœπžπ§π­ 𝐎𝐟 π‹π¨π―πžγ€’ππ² π₯𝐨𝐯𝐞 𝐭𝐑𝐞 𝐬𝐞𝐫𝐒𝐞𝐬 γ€ˆπ›π¨π¨π€ 1〉 π‘Άπ’‘π’‘π’π’”π’Šπ’•π’†π’” 𝒂𝒓𝒆 𝒇𝒂𝒕𝒆𝒅 𝒕𝒐 𝒂𝒕𝒕𝒓𝒂𝒄𝒕 β˜†|| 𝑺𝒕𝒆𝒍𝒍𝒂 𝑴�...
2.6M 147K 43
"Stop trying to act like my fiancΓ©e because I don't give a damn about you!" His words echoed through the room breaking my remaining hopes - Alizeh (...