DEARANZA (Completed)

By akarlitadewi

95.4K 3.8K 144

(PENTING! CERITA INI SEDANG DALAM MASA REVISI) Cerita ini menceritakan tentang kisah cinta klasik antara seor... More

Prolog
1 - Tontonan Gratis
2 - Apa Maksudnya?
3 - Kenapa
4 - Read
5 - Pernyataan
6 - Pulang Bareng
7 - Sepi dan Rindu
8 - Perasaan Aneh
9 - Ngefly
10 - Definisi Bahagia
11 - Cie, Jadian
12 - Kebenaran
13 - Khawatir
14 - Untung Pacar
15 - Tamu Tak Di undang
16 - Arland?
17 - Maaf
18 - Sakit
19 - Merasa Bersalah
20 - Rasa Takut
21 - di Jodohkan?
22 - Runtuh
23 - Mencintai dan di Cintai
24 - di Sengaja
25 - Pelukan
26 - Semakin Mencintai
27 - Salah
28 - Rentan Terluka
29 - Tak Berdaya
30 - Definisi Kau adalah Sulit
31 - Apa Kabar?
32 - Kebahagiaan Semu
33 - Menyesakkan Dada
34 - Tentangmu
35 - Apa Aku Terlalu Rindu?
36 - Tak Lagi Beriringan
37 - Masih Menikmati Luka
38 - Sedang Aku Usahakan
39 - Belum Seutuhnya Pulih
40 - Mengajarkan Satu Hal
41 - Masih Bertanya, Rindu atau Apa?
43 - Aku Bisa Saja Melupakanmu
44 - Mencintai Dalam Pinjam
45 - Tapi Izinkan Aku
46 - Isyarat
47 - Cinta adalah Ketika
48 - Maaf (2)
49 - Kembali Padaku?
50 - Sebuah Pengabaian
51 - Percuma
52 - Absurd
53 - Kemungkinan
54 - Siklus yang Sama
55 - Playing Bike
56 - Cincin
57 - Tidak Terasa
58 - Tak Biasanya
59 - Kok Akrab?
60 - Akhirnya
61 - Graduation
Epilog

42 - Sehebat Inikah?

883 44 0
By akarlitadewi

"Woi..." seru Daven kepada Anza yang terdiam dipijakannya.

"Woi..." serunya sekali lagi.

"Eh?" Kaget Anza.

"Lo gak mau balik? Mau diem jadi patung disitu, hah?" Tanya Daven yang sudah berada disisi pintu mobil.

"He-he..." suara tertawa Anza kikuk ke arah Daven

"Malah ketawa! Mau balik gak?"

"Mau, kok. Gak usah ngegas juga kali. Kalo misalnya gak ikhlas, gak usah anterin balik. Aku bisa sendiri." Kata Anza ketus.

"Udahlah cepet masuk!"

Anza mengangguk. Dia berjalan malas ke arah mobil milik Daven.

***

Juan duduk disisi nakas kamarnya. Dia duduk sembari sesekali memutar-mutar ponsel ditangannya.

"Gue tanyain apa enggak?" Tanyanya entah kepada siapa.

"Tanyain?"

"Enggak?"

"Tanyain?"

"Enggak?"

"Tanyain aja deh." Katanya sembari memberanikan diri untuk membuka obrolan chat dengan Anza.

Anza

Za, lo udah balik ke rumah?

Seling beberapa menit kemudian balasan dari Anzapun datang.

Udah. Kenapa?

Syukurlah. Nggak, gue cuma nanyain doang.

Oh iya.

Eh ngomong-ngomong lo tadi katanya pulang sama Daven ya?

Oh itu, iya tadi gue balik bareng Kak Daven.

Kok bisa?

Ya bisalah. Emang kenapa gak bisa?

Nggak sih, gue cuma pengen tau aja.

Udah dulu ya, Juan. Gue mau tidur, bye.

Oh yaudah, bye.

Good night, Za.

Good night too Juan.

Iya.

Juan melihat layar percakapannya dengan Anza. Sedikit senyuman mulai terukir disudut bibirnya secara perlahan.

"Seenggaknya Anza jujur sama gue kalo dia emang beneran balik sama Daven." Katanya pelan.

"Soal dia balikan lagi atau enggaknya gue gak peduli, yang penting gue selalu ada buat dia dan dia selalu nyaman sama gue. Itu udah cukup buat gue bahagia, meskipun gue sama dia gak akan pernah jalin hubungan yang lebih dari teman sampai kapanpun."

***

Daven kini tengah berdiri diatas kursi untuk mengambilkan robot Ironman milik Arland yang terperangkap diatas lemari pakaian miliknya.

"Abang cepetan ambil lobot milik Alan!" Seru Arland dibawah.

"Iya, Lan. Ini Abang lagi ambil."

"Cepetan, Bang!"

"Sabar Alan."

"Abang ih cepetan!" Kata Arland sembari menggoyang-goyangkan kursi yang kini menjadi tumpuan kaki Daven.

"Alan jangan digoyang-goyang nanti Abang jatuh," kata Daven panik sembari berusaha untuk meraih robot yang kini bersayang diujung atas lemarinya.

"Abang lama. Cepetan ambil!" Seru Arland masih bersikukuh keras dan semakin menggoyang-goyangkan kursi dengan semakin cepat.

"Alan diem, nanti Abang jaaa...." belum sempat Daven melanjutkan perkataannya, tiba-tiba...

Brughhh...

Daven terjatuh tersungkur ke lantai dengan gaya yang sudah tidak dapat didefinisikan lagi bagaimana.

"...tuh kan!" Lanjut Daven setelah dirinya terjatuh tersungkur ke lantai.

Daven menatap malas ke arah Arland yang kini tengah berdiri dihadapannya dengan cengiran khas tak berdosanya.

"Ngapain nyengir?" Ketus Daven sembari beranjak dari posisinya untuk berdiri.

"Maafin Alan, Bang. Alan gak sengaja he-he..." kata Arland.

"Ini yang dibilang gak sengaja?" Tanya Daven masih ketus sembari memberikan robot Ironman ke arah Arland dengan malas.

"Abang jangan ngambek dong." Pinta Arland.

Tok... tok...

Daven dan Arland kompak menoleh ke arah pintu yang kini tengah ada seseorang diluar sana yang mengetuknya.

Arland menatap ke arah Daven yang masih terlihat merajuk, "Biar Alan yang bukain ya, Bang." Katanya.

"Gak usah, biar Abang aja!" Kata Daven sembari berjalan mendekat ke arah pintu.

Namun saat baru tiga langkah berjalan, kaki Daven tergelincir karena lantai kamarnya penuh dengan kelereng mainan milik Arland yang berserakan dibawah.

"Aduh..." ringis Daven saat pantatnya mencium lantai.

Arland yang melihatnya dari belakang hanya membuka mulutnya melihat Daven kini tengah meringis kesakitan karena ulah kelerengnya.

"ALAN!" Seru Daven yang sudah mulai naik pitam.

"Abang sih jalannya gak liat-liat jalan, jadi jatuh kan." Kata Arland masih tidak merasa bersalah.

"Lain kali Abang gak akan izinin kamu main lagi disini!"

Ceklek...

Pintu kamar terbuka dan memperlihatkan seseorang kini tengah berdiri didepannya.

Daven berniat menoleh ke arah pintu. Dia mencoba untuk bangun. Namun saat sudah berdiri, kakinya kembali tergelincir dan akhirnya dia terjatuh kembali ke lantai.

"Za..." ucap Daven ketika melihat orang yang kini tengah berdiri diambang pintu sembari memegangi kepalanya yang kini sudah ada burung yang terbang berputar-putar diatas kepalanya.

Lalu selang beberapa menit kemudian, Daven langsung tidak sadarkan diri alias pingsan.

"Abang, Bang!" Seru Arland sembari menggoncang-goncangkan tubuh Daven berniat untuk membuatnya agar segera sadar.

Akhirnya setelah itu Daven tersadar walaupun masih samar-samar menutup dan memejamkan matanya beberapa kali, tetapi pada saatnya Daven bangun dan mulai berjalan melangkahkan kaki menuju kasurnya untuk merebahkan dirinya. Tapi, lebih tepatnya merebahkan badannya yang terasa remuk sekali karena ulah Arland sang adik.

"Abang udah sadal?" Tanya Arland.

"Iya..." sahut Daven singkat.

"Abang jangan malah-malah makanya, kan kena azab."

Daven menatap Arland dengan tatapan malas. "Kalo aja Alan gak main dikamar Abang, pasti gak akan kejadian kayak gini."

"Iya deh iya, Alan minta maaf."

Satu detik...

Dua detik...

Tiga detik...

Tidak ada jawaban dari Daven mengenai permintaan maaf Arland.

Arland menghela nafasnya dengan gusar. Dia menatap Daven dengan penuh pengharapan agar Daven mau memaafkannya.

"Maaf diterima." Kata Daven.

"Yeay!" Seru Arland antusias.

"Abang pingsan berapa jam?" Tanya Daven.

"Bahkan gak sampe 5 menit," jawab Arland.

"Terus Kak Anza kemana?" Tanya Daven sembari menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal.

"Bukannya dia tadi yang ketuk pintu ya? Kata Alan Abang gak pingsan sampe 5 menit, terus kemana dia pergi?" Lanjutnya.

Arland melongo mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Daven barusan. Dia menggaruk-garuk rambutnya seperti orang gila sekarang.

"Kakak cantik?" Tanya Arland heran.

Daven mengangguk.

"Sepeltinya Abang salah lihat. Dalitadi gak ada Kakak cantik disini."

"Terus yang Abang liat tadi yang buka pintu itu siapa?" Tanya Daven penasaran.

"Oh itu, tadi Bibi cuma mau ngasih Alan segelas susu."

"Bibi?" Tanya Daven kaget.

"Iya, Abang."

Daven menutup matanya menggunakan tangannya, "Bodoh, bodoh, bodoh." Ucapnya sembari menepuk-nepuk dahinya dengan pelan.

"Bayang lo begitu nyata disudut mata gue, sehebat inikah gue mencintai lo?" Batin Daven.

***

"Za, lo tumben banget ngajak gue sarapan dikantin pagi-pagi buta kayak gini?" Tanya Juan masih heran.

"Emang segitu anehnya ya?"

"Nggak sih. Cuma gue heran, kenapa gitu. Tumben banget," kata Juan.

"Dalam rangka apa?" Lanjutnya dengan bertanya.

"Nggak dalam rangka apa-apa sih. Gue lagi pengen telaktir lo aja. Kenapa, emang gak boleh?"

"Ya gue mah mau-mau aja. Apalagi dapet gratisan. Dengan senang hati gue menerima dengan lapang dada dan sepenuh jiwa dan raga."

Anza hanya melirik Juan disebelahnya dengan malas. "Lo mau makan sarapan pake apa?" Tanya setelahnya.

"Samain aja kayak lo." Sahut Juan.

"Oke, deh..."

Anza beranjak dari tempatnya. Dia berjalan melangkahkan kaki menuju stand kantin nomor tiga yang kini akan dia pesan untuk Juan dan dirinya.

"Mbak, nasi goreng pedes ya, dua!" Seru Anza.

"Ditunggu ya, Neng."

Anza mengangguk, "Nanti tolong dianterin ke meja sebelah sana ya?" Katanya sembari menunjuk meja yang kini tengah ada Juan disana.

"Iya, Neng."

Setelah memesan sarapan, Anza langsung pergi ke stand nomor tujuh. Dimana disana tersedia aneka macam minuman dingin disana. Dia memesan es teh, satu untuknya dan satu lagi untuk Juan.

"Udah?" Tanya Juan ketika Anza sudah kembali duduk disampingnya.

Anza mengangguk. Dia memberikan segelas es teh ke arah Juan.

"Makasih..." ucap Juan.

Selang beberapa menit, akhirnya makananan yang dia pesan datang juga. Langsung saja mereka makan dengan begitu lahap.

"Heh!" Ketus Anza sembari memukul piring Juan dengan sendoknya.

"Apa?" Tanya Juan heran.

"Baca do'a dulu..."

"Gue lupa," kata Juan sembari menepuk dahinya.

"Kebiasaan deh, Juan."

"Iya, maaf." Kata Juan meminta maaf.

"Aamiin..." lanjutnya sembari mengusapkan kedua tangannya ke seluruh wajahnya.

"Selamat makan." Kata Juan.

Anza tersenyum lalu mengangguk.

***

"Ven, lo tumben banget ngajak kita bertiga sarapan di kantin?" Tanya Abay heran.

"Iya, Ven. Gak biasanya." Kata Ravis.

"Tadi pagi Bibi gak ada dirumah. Jadi terpaksa gue harus sarapan disekolah."

Abay dan Ravis hanya manggut-manggut mendengar pernyataan dari Daven barusan.

Mereka bertiga berjalan santai menuju kantin sembari bercanda ria. Namun ketika langkah mereka masuk ke dalam kantin, tiba-tiba langkah Daven terhenti lebih dahulu.

"Kenapa, Ven?" Tanya Ravis sembari menepuk pundak Daven.

Abay melihat ke sekeliling penjuru kantin. Abay mengetahui kenapa Daven bersikap seperti ini.

"Gue tau si Daven kenapa?" Kata Abay dengan membanggakan diri.

"Apa?" Tanya Ravis.

"Lo liat deh kesana," kata Abay sembari menunjuk salah satu meja yang ditempati oleh seorang siswa dan siswi.

"Oh itu si Anza sama si Juan," kata Ravis.

"Udahlah Ven, lo pura-pura gak liat mereka aja." Lanjutnya.

"Gimana caranya? Orang keliatan, mana bisa pura-pura gak liat!" Ketus Daven. "Gue punya mata." Lanjutnya.

"Kita ambil meja diujung sana aja. Seenggaknya lo gak bisa liat mereka dengan jelas." Kata Abay.

"Tumben otak lo bener, Bay." Kata Ravis.

"Sialan lo, Vis. Gini-gini kalo pelajaran Seni gue paling jago."

"Alah, cuma jago disatu pelajaran bangganya udah minta ampun."

"Sirik aja sih lo!"

"Gue sirik sama lo? HAHA, ENGGAK!"

"Balik aja deh, tiba-tiba nafsu makan gue ngilang." Kata Daven lalu langsung pergi begitu saja entah kemana.

"Terus traktirannya gimana, woi!" Teriak Abay kepada Daven yang kini sudah semakin menjauh dari pandangannya.

"Gak jadi!" Sahut Daven dari jauh sana.

"Lo sih!" Kesal Abay sembari sedikit mendorong bahu Ravis.

"Lo juga sih! Liat kan si Daven pergi jadinya. Hilang deh harapan supaya duit jajan gue utuh hari ini!"

"Ini semua gara-gara lo tau ga?"

"Gara-gara lo, Abay!"

"Lo, Ravis!"

Continue Reading

You'll Also Like

433K 15.6K 30
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
1.2M 110K 58
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
33.1K 3.2K 71
Sebelum baca harap follow dulu yah😘 Btw jangan menyimpulkan cerita dari awalnya aja, baca sampai akhir wokee • Aku dan kamu. Kita selalu bersama dar...
1.3M 83K 53
'Cerita ini belum direvisi' Punya 'sequel' dengan judul: Devira. Ini bukan kisah manis di masa SMA. Ini juga bukan kisah cinta yang sangat susah untu...