Fate In You (COMPLETED)

By ssania30

77.4K 4.1K 403

[#3 in Sad Romance 16012019] Berawal dari sebuah tragedi yang terjadi di suatu senja yang berawan. Sinta Da... More

Prolog
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29
Part 30
Part 31
Part 32
Part 33
Part 34
Part 35
Part 36
Part 37
Part 38
Part 39
Part 40
Part 41
Part 42
Part 43
Part 44
Part 45
Part 47
Part 48
Part 49
Part 50
Part 51
Part 52
Part 53
Part 54
Part 55
Part 56
Part 57
Part 58
Part 59
Part 60
Part 61
Part 62
Part 63
Part 64
Part 65
Part 66
Part 67
Part 68
Part 69
Part 70
Part 71
Part 72
Part 73
Part 74
Part 75
Cover
Part 76
Part 77
Part 79
Part 80
END
Hello!

Part 78

678 33 1
By ssania30

Halo Reader-nim..
Mohon maaf semalem aku tak bisa update sesuai jadwal karena siap2 mau UAS:""
Tapi sebagai gantinya, aku gak kasih dua part sekaligus, tapi satu part yang lebih panjaaaaang hehe
Semoga kalian gak bosan dengan ceritanya ya❤ Selamat Membaca..

***

Matahari pelan-pelan tergelincir ke arah barat. Warna langit mulai berubah kuning, dan panasnya tak menyengat seperti tengah hari. Sinar orange-jingga itu menembus atmosfer sampai ke beranda rumah Sinta yang menghadap barat.

"Arga, berapa banyak porsi makanku barusan?" tanya Fiona begitu keluar dari rumah Sinta.

"Aku menolak menjawab itu, Fifi." Kata Arga pelan.

Ia melepas kedua tali anjingnya membiarkan mereka bebas berlarian disekitar mereka. Arga menepuk tangannya satu kali, Rion dan Rijin langsung menggonggong kepadanya, menciumi, dan berusaha naik ke tubuhnya.

Rion dan Rijin adalah anjing jenis husky berumur dua tahun. Mereka dibeli Arga di hari pertama ia dengan Fiona berpacaran. Rion adalah pejantan, dan Rijin adalah anjing betina. Sebenarnya, Fiona ingin memelihara salah satunya, tetapi ibu tirinya benci anjing.

Memisahkan dua anjing bersaudara ini bukan pilihan yang tepat, pikir Arga.

"Ya Tuhan." Fiona seperti baru menyadari suatu hal. Ia berdecak kesal, lebih tepatnya menyesal. Kenapa masakan buatan Tante Mary bisa seenak itu? Fiona memegang perutnya. "Nanti malam aku harus lari keliling lapangan sepuluh kali."

"Setuju! Aku ikut!" seru Arga.

Fiona mendelik, "Kenapa kau tak menghentikanku saja sih tadi? Kalau aku terlalu banyak makan dan gemuk bagaimana? Nanti aku jadi jelek, dan kau akan selingkuh dariku gimana!" Fiona merengut kesal, dan menghempaskan pantatnya diatas aspal hitam. Untung saja, ia menggunakan jeans panjang hari ini.

Arga berjongkok menghadap kekasihnya. "Siapa yang akan melakukan hal bodoh seperti itu? Kau terlalu sempurna untuk kucampakkan."

Fiona mengangkat sebelah alisnya. "Kalau begitu, bagaimana jika aku tiba-tiba jatuh miskin dan aku punya hutang yang banyak? Kau akan meninggalkanku?"

"Aku ini orang kaya. Aku akan membayar semua hutangmu beserta bunga-nya."

"Bagaimana kalau kau tidak kaya?"

"Aku memiliki ginjal yang lengkap untuk dijual salah satunya." Jawab Arga enteng. "Tapi, itu tidak percuma lho. Kau harus membayarnya dengan hidup bersamaku selama 80 sampai 90 tahun kedepan."

Fiona tertawa kecil. "Bagaimana jika tiba-tiba aku mengalami kecelakaan dan tidak bisa berjalan?"

"Itu bagus! Kau tidak akan bisa meninggalkan aku untuk 80 sampai 90 tahun kedepan."

"Bagaimana jika aku tidak menyukaimu lagi dan ingin mengakhiri hubungan kita?"

"Wah, kau sangat kejam kalau begitu."lirih Arga sedih.

Fiona tergelak karena berhasil menggoda Arga. Pria ini menggemaskan, dan penuh cinta untuk dirinya. Waktu dua tahun terasa singkat, dan ia tidak pernah bosan meski terus bertemu dengan pria ini setiap hari, atau 80 sampai 90 tahun kedepan.

Tiba-tiba Arga bergerak mendekat secepat kilat, mencapai wajah Fiona dengan tangannya, sementara kakinya berlutut. Pria itu merunduk, menarik dagu Fiona untuk mendongak ke wajahnya.

Fiona mematung di tempat, tapi debaran dadanya terdengar seperti suara gong yang memenuhi ruang kesenian. Mata Arga berkilat-kilat menatapnya. Selain menggemaskan, pria ini memilki sisi seperti ini, yang terus membuat jantung Fiona tak karuan.

"Jika kau berpikir bisa menggantiku dengan seorang yang baru, kau salah. Sebab, tidak ada yang bisa mencintaimu sebaik aku. Aku bukan orang yang sempurna, tetapi ingatlah bahwa aku tidak akan pernah meninggalkanmu begitu saja tanpa pamit. Aku tidak akan berhenti mencintaimu, tidak peduli walau hatiku patah berkali-kali. Meski pun diharuskan untuk mencintai dari awal lagi, aku tetap memilih kamu."

Fiona membuka mulutnya, namun tidak ada satupun kata yang keluar. Arga menatapnya dalam, wajahnya mendekat beberapa inchi, memangkas jarak antara keduanya. Fiona tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, ia memejamkan matanya.

"Apa kalian harus melakukannya disini!?" pekik seseorang. "Disini ada anak dibawah umur!"

Keduanya bergegas menjauhkan diri dengan gugup, sementara orang yang bertanggung jawab atas gagalnya suasana romantis itu membalikkan badan sambil melindungi seseorang di dadanya.

"Ada apa, Bisma? Kenapa aku gak boleh lihat?" tanya Sinta sambil meloncat-loncat dari balik dada Bisma.

Bisma membalikkan badannya ke Fiona dan Arga kemudian. "Setidaknya jangan melakukan shooting drama romantis disini, jangan di tengah jalan!" tangannya menunjuk Rijin dan Rion yang bermain dihalaman tempat kost Pak Rudi. "Lihat! Kalian melupakan mereka!"

Fiona berdehem, langsung menghampiri Rijin dan Rion. Sementara Arga menarik napas, dan menahan emosinya kepada Bisma yang mengganggu momennya.

"Ih kenapa sih? Aku gak liat barusan!" seru Sinta. "Sebentar lagi aku juga 18 tahun! Aku sudah dewasa!"

Tapi, dari ketiganya tidak ada satupun yang berniat menjawab protes Sinta.

Sejurus kemudian, pintu garasi Sinta terbuka, Mary keluar dengan pakaian rapi dan ponsel yang menempel di telinga kirinya. Wajahnya nampak serius.

"Ma, kenapa?" tanya Sinta begitu mama-nya menutup panggilan.

"Sayang, mama ada rapat dadakan sekarang. Aduh gimana ya? Mana mobilnya belum dicuci lagi, mama gak bisa bertemu dengan klien dengan kondisi mobil seperti ini. Kalau pergi ke tempat cuci mobil, gak akan cukup waktunya."

"Cuci mobilnya sama Sinta aja Ma." Usul Sinta kemudian. "Ada Bisma juga kok, tante." tambah Bisma.

"Eh, tapi kan.. kalian lagi main." sergah Mary.

Arga menghampiri ketiganya, disusul Fiona. "Fiona dan Arga juga mau bantu kok. Arga kalo lagi weekend selalu disuruh papa-nya cuci mobil, tante!" seru Fiona. "Jadi, udah pro!"

"Benar lho ya, tante minta tolong sama kalian ya?" Ia mengalihkan pandangannya menghampiri anaknya. "Mama siap-siap dulu ya sayang, mama gak akan sampai larut kok meetingnya."

Sinta dan Fiona mengambil selang air, sementara Arga dan Bisma mulai membersihkan mobil dari debu kotor dan lumpur yang mengering akibat musim hujan yang melanda. Keempatnya mengitari mobil mini cooper berwarna merah terang itu membersihkan tiap inchi tanpa satupun terlewatkan.

***

Bintang lagi bersamamu? Kalian dimana?

Nico membaca pesan dari Indah. Lalu meletakkan ponsel tanpa membalasnya. Ia menghampiri Bintang yang sudah tidur lebih dari tiga jam, sedikit khawatir karena pria itu tidak bergerak sama sekali sejak percakapan terakhir mereka.

Nico hanya menangkap pergerakan dadanya yang naik turun, tanda pria patah hati ini masih bernapas. Ia memeriksa thermometer lagi, kemudian melepaskan kompres yang sudah tidak dingin lagi. Suhu tubuhnya juga belum turun.

Tidak lama, Bintang bangun dari tidurnya karena mendengar suara-suara. Ia menggaruk lehernya dan memeriksa sekeliling kamarnya yang rapi. Ia menyibak selimut, turun dari tempat tidurnya dan berjalan menuju pintu.

Ia mendapati Nico sedang berdiri di balkon memunggunginya. Ia memanggil namanya sekali. Nico langsung menoleh, seperti orang yang terkejut, ia langsung menghampiri Bintang dan berusaha mencegahnya keluar.

"Hei, kau lapar? Mau kupesankan makanan?" tanya Nico.

"Tidak perlu pesan makanan, di kulkas banyak persediaan makanan. Ambil saja kebawah."

"Kalau begitu, antar aku. Ayo!" Nico mendorong bahu Bintang agar masuk kembali kedalam kamar.

"Memangnya kau ini anak perempuan apa? Sendiri saja sana!" tegas Bintang.

"Disana gak ada apa-apa. Hanya ada anak-anak yang sedang bermain." Cegah Nico.

Bintang merasa Nico berusaha menhindarinya dari suara-suara berisik di luar. Hal tersebut membuatnya penasaran, sebab ia juga terbangun karena suara sayup-sayup itu.

"Memangnya aku tidak boleh melihat anak-anak yang sedang bermain? Aku kan bukan pedofilia." Ia menepis lengan Nico di bahunya, dan tidak mempedulikan larangan Nico dan terus berjalan mendekati balkon kamar kostnya.

"Tapi, udaranya tidak bagus buatmu!" seru Nico.

Terlambat. Bintang terlanjur melihat kebawah balkon. Tempat anak-anak yang dimaksud Nico sedang bermain. Bintang terdiam, raut wajahnya tidak dapat ditebak, ia juga tidak bicara apa-apa, hanya memperhatikan.

"Aku tidak yakin kau harus melihat ini atau tidak." Kata Nico pelan.

Nico tidak tepat menyebutnya 'anak-anak yang sedang bermain', tetapi yang mereka lakukan jauh lebih cocok disebut anak-anak. Disana, sekumpulan remaja sedang mencuci mobil mini cooper berwarna merah terang, tetapi yang serius melakukannya hanya satu orang saja, tiga lainnya hanya saling melempar sabun, dan menyemprotkan air dari selang.

Pandangan Bintang terkunci pada satu orang, gadis yang rambutpanjnangnya nya diikat tinggi-tinggi, menggunakan kaus longgar berwarna putih, dan jeans 7/8. Wajahnya di penuhi sabun, ia tertawa keras sementara tangannya mengarahkan selang air ke arah temannya yang juga perempuan. Tiba-tiba, dari belakang, ada pria yang mengagetkannya menggunakan anjing husky berwarna coklat terang, gadis itu berteriak dan lari menjauhi anjing yang mulai mengejarnya. Hal terserbut membuat ketiga lainnya tertawa terbahak-bahak.

Tetapi, tidak sampai disana saja, ia berusaha membalaskan dendamnya kepada semua orang yang menertawakannya. Ia mengambil dua selang sekaligus dan menyemprotkan air pada teman-temannya, yang membuatnya langsung di ringkus dan diserang bersama-sama.

Kemudian, mereka terbagi menjadi dua tim, dan bermain perang-perangan air. Permainan tanpa aturan yang terlihat sangat seru.

"Gadis tinggi yang pakai jeans panjang itu cantik juga. Dia seperti model." Celetuk Nico tiba-tiba. Ia sepertinya larut juga seperti Bintang.

"Lupakan. Fiona sudah punya pacar. Kalau pacarnya dengar, kau akan di hajar." Kata Bintang sambil menunjuk pria berbaju biru yang tak lain adalah Arga.

Mata Bintang bergerak-gerak seirama dengan langkah dan gerakan Sinta dibawah. Tanpa sadar, kakinya bergerak kedepan dan berseru pelan ketika Fiona bersembunyi di belakang mobil bersiap-siap untuk menyerang Sinta. "Awas, di belakangmu!" serunya pelan. Bintang mendecak pelan, tapi kemudian tertawa kecil karena Sinta berteriak kesal karena badannya tersiram air sabun.

Nico langsung menatap sahabatnya dari samping. Ia melihat wajah yang lima menit lalu sangat kusut itu berubah secerah mentari. Karena sangat penasaran, tangan Nico bergerak menyentuh kening Bintang dan terkejut. Suhu badannya sudah turun.

Tiba-tiba ia teringat percakapannya dengan Mbak Arti, 'Cinta itu memang gila den, bukan cinta namanya kalau tidak gila.'

Nico mengakui kebenaran itu hari ini.

Kata Dokter, tidak ada obat yang bisa menyembuhkan Bintang, tetapi Nico menemukan satu-satunya obat untuk Bintang hari ini, Obat penyembuh yang paling Bintang sukai. Jika memilikinya, Bintang tidak butuh apa-apa lagi.

 Obat itu, Sinta.

***

Sinta merapatkan zipper hoodienya sampai sebatas leher. Dengan sepatu olahraga yang sudah terikat kencang, ia berlari-lari kecil mengelilingi kompleks perumahan. Udara malam yang dingin dan basah tidak menyurutkan niatnya untuk jogging malam.

"Hey, kenapa kamu ninggalin aku? Tunggu dong!" seru Bisma.

Ia percepat larinya sampai mengimbangi Sinta. Keduanya sudah memutari kompleks dua putaran penuh, dan betapa bersyukurnya Sinta ia belum merasa lelah sama sekali.

"Jadi bagaimana persiapan untuk besok?" tanya Sinta.

"Karena aku ketua panitianya, tentu saja semuanya sudah siap! Akan kupastikan besok adalah turnamen persahabatan terhebat tahun ini!" sombongnya.

"Tapi sepertinya, atlet terbaik yang kau miliki tidak bisa berpartisipasi, tidak apa kan?"

Bisma tersenyum kecil, ia menyenggol bahu Sinta yang masih berlari kecil. "Tidak apa-apa, masih ada kesempatan di lain waktu. Toh, kau tetap bintang lapangan meski tidak bertanding besok!" serunya. "Lagipula, kalau kau main, pemain lain akan kehilangan kesempatan untuk menunjukkan dirinya. Nanti headline majalah sekolah kita di penuhi fotomu saja! Itu tidak adil!"

"Hey, siapa yang bilang begitu?"

"Semua orang di sekolah kita! Semenjak kau ikut turnamen seperti itu, mulai berdatangan pri-pria aneh yang menyatakan cintanya lewat surat seperti Fairuz, atau adik kelas seperti Dimas, dan jangan lupakan soal Rayhan! Augh! sunguh merepotkan tahu!"

"Ya, tetapi saat kau turun tangan, mereka langsung berhenti mengikutiku. Apa yang kau lakukan? Kau tidak megnhajar mereka kan?"

"Hey, aku hanya pernah menghajar satu orang saja, itu Rayhan. Sementara yang lainnya, aku hanya tinggal mengatakan kalau kau itu pacarku. Mereka langsung menghilang." 

Bisma memutar tubuhnya dan berlari mundur. "Gimana? Aku kelihatan keren kan? Pasti kan? Kau harus melihat ketika aku mengatakannya. Ah, aku bangga pada diriku sendiri."

"Cih!" Sinta memukul Bisma pelan. "Kenapa juga kau melakukannya? Itu tidak ada untungnya buatmu." Kemudian, ia berlari mendahului Bisma.

Bisma memperlambat larinya, tersenyum tipis. "Aku ini orang yang tidak pandai memendam rasa. Aku hanya menenggelamkannya dari permukaan, agar tidak kau lihat bagaimana putus asanya aku pada perasaan sepihak ini."

"Apa? Aku gak dengar!" seru Sinta dari jauh.

Bisma melanjutkan larinya. "Tante Mary jam berapa pulang? Aku akan menemanimu sampai mama-mu pulang."

"Gak perlu. Mama pulang jam 11 malam nanti kok. Lagipula, besok hari besar untukmu, gimana kalau kau malah lelah dan tidak fit besok?"

Bisma menusuk-nusuk bahu Sinta dengan telunjuknya, ia menyipitkan matanya jenaka. "Kenapa? Kau mengkhawatirkan aku ya?"

"Tentu saja!" seru Sinta, membuat Bisma berdebar. "Tentu saja aku khawatir padamu, kau pikir aku tidak khawatir jika Rion dan Rijin sakit? Rasa cemasku seperti itu."

"kau menyamakanku dengan anjing peliharaan Arga!?"

Sinta tertawa geli. "Hei-hei angkat teleponmu! Dari tadi bunyi tau!"

Bisma mendecih, Ia merogoh saku jaketnya dan benar, ada satu panggilan dari ibunya di rumah. "Halo, Ma? Kenapa?" Bisma terdiam. "Ih.. Bisma kan lagi sama Sinta, gak mau ah!" terdengar suara omelan panjang dari seberang telepon. Bisma merengut. "Janji ya cuma satu jam? Yaudah Bisma pulang sekarang."

Bisma menutup panggilan dan menatap wajah Sinta penuh penyesalan. Sinta tersenyum, "Mama-mu minta diantar belanja?"

Bisma mengangguk lemas. "Katanya, ada yang kelupaan mama beli. Bagaimana dong? Ah begini, satu jam lagi aku akan menemuimu lagi, atau aku akan kerumahmu. Bagaimana?"

"Kita bertemu di lapangan saja bagaimana? Habis jogging aku mau latihan basket sebentar."

Bisma mendekat, ia menyentuh rambut Sinta. "Oke. Aku temui kau disana. Tapi, janji padaku jangan terlalu capek, oke? Kalau lelah langsung istiharat, dengar?"

"Siap, bos! Cepat sana! Mama-mu nanti ngomel lagi!"

"Argh, andai saja aku bukan anak tunggal. Kapan aku punya adik jadi aku tak disuruh-suruh terus seperti ini sih.." keluh Bisma membuat Sinta tertawa geli. "Aku pergi dulu ya, Puppy."

***

Suara khas gesekan karet pintu kaca dan lantai berubin terdengar begitu Sinta mendorong pintu toko swalayan. Ia langsung mengambil satu cup mie instan, dan air mineral. Untuk apa ia berlari tiga keliling kompleks kalau berakhir dengan makan mie—

Sinta terperanjat kaget, nyaris menjatuhkan botol minuman yang belum ia bayar. Berjarak dua meter dihadapannya, tepat di ujung rak makanan, orang tersebut sama terkejutnya. Nampak sekali dari wajah tampannya yang muram.

"S-Ssaem, kau membuatku kaget." Sinta tiba-tiba gagap.

Bintang mengontrol ekspresi wajahnya, berusaha terlihat senormal mungkin. Ia menatap Sinta yang salah tingkah, ingin mengucapkan sesuatu, tapi sangat sulit.

"A-aku tadi habis jogging malam, dan kesini beli mie dan air minum." jelas Sinta.

Bintang meremas tangannya sendiri. Banyak sekali yang ingin ia katakan, tetapi tak satupun yang terucap. Ia mengangguk kecil, dan menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.

"Kalau begitu, aku harus pergi. Dah!" seru Sinta cepat, melesat melarikan diri dari Bintang.

"Sinta Dasha Sanjaya!" panggil Bintang tiba-tiba. Ia bergerak cepat beberapa langkah kesamping, Sinta juga langsung berhenti begitu nama lengkapnya disebut. Masih di posisi yang sama tetapi ditempat yang berbeda.

"i-ya Ssaem?"

"Apa?" Bintang balik bertanya.

"Tadi kau memanggilku."

"Benarkah?" tanya Bintang.

"Iya."

"Kenapa?"

"Itu yang ingin kutahu. Kenapa?" Sinta bingung.

"Aku merindukanmu." Jawab Bintang cepat. Ia mengerutkan dahi, kaget dengan ucapannya sendiri. Tunggu, apa? "Maksudku.. aku lapar."

"Aku juga.." kata Sinta pelan. Bintang mendongak. "..lapar." lanjut Sinta.

Bintang mengangguk kecil, ia menundukkan kepalanya. Sinta tersenyum canggung, "Bolehkah aku katakan kalau aku tidak suka makan sendirian?"

Mata Bintang berbinar, "Kalau begitu, boleh aku katakan aku ingin mengajakmu makan bersama?"

Sinta tersenyum. "Kalau begitu, aku tunggu di depan."

Meski jam baru menunjukkan pukul tujuh malam, nampaknya angin sudah berhembus kencang. Sinta mengendus hidungnya sendiri karena udara mulai dingin. Tidak lama, Bintang datang dengan membawa dua cup mie instan yang sudah dipanaskan. Keduanya duduk berhadapan di meja bulat yang disediakan oleh toko swalayan di depan toko mereka.

"Hati-hati bukanya, panas." Kata Bintang mengingatkan.

Sinta membuka perekat yang menempel di sisi cup berbentuk tabung yang mengkerucut dibawahnya. Asap panas mengepul keluar, dan aroma mie kuah yang menggoda lidah langsung memenuhi penciuman dan sampai ke perut.

Sinta mengaduk mie kuahnya. "Eh apa ini?"

"Hanya memasukkan beberapa topping saja. Aku jamin rasanya pasti enak."

Ada sosis, baso kecil, dan lelehan keju, mie kuah yang biasa ia makan tidak se-ramai ini. Ia mencicipi kuah mie-nya, dan membulatkan matanya, "Wah, ini luar biasa! Darimana kau dapat resep ini?"

"Sebelum kost ditempat Pak Rudi, aku hanya makan mie instan dan nyaris tidak pernah makan masakan rumah. Tapi, mie instan kan gak buat kita kenyang, jadi topping itu membantu kurasa."

Sinta tersenyum, pantas saja Bintang selalu berbinar senang begitu mama-nya membuat masakan untuknya. Kedua nya menikmati makannya dengan tenang. Diam-diam, Bintang tersenyum kecil melihat Sinta yang lahap makan, meski ia harus menahan panas dilidahnya.

"Sinta, kamu tahu gak cara menyeruput mie? Di beberapa negara mungkin dianggap gak sopan, tapi di Jepang menyeruput mie itu pertanda bahwa kita menikmati makanannya." Sinta mendongak penasaran, Bintang melanjutkan. "Menyeruput mie juga membuat mie nya jauh lebih enak tau. Caranya begini, ambil mie di sumpit yang banyak.." Bintang memutar sumpitnya dua sampai tiga kali, mempraktekannya langsung di depan Sinta. "Lalu seruput semuanya sampai habis dalam satu tarikan sampai ujungnya menabrak hidung. Lihat ya!"

"Kau yakin gak akan malu kalu itu gagal? Aku tahu kau ini memang jenius dan bisa hal apapun dalam satu kali percobaan, tapi aku gak yakin menyeruput mie itu salah satu keahlianmu."

"Hei, kau ini mematahkan semangat orang saja. Lihat saja, perhatikan ini." Bintang menyeruput mienya dalam satu tarikan, dengan mulut penuh dan pipi yang menggembung, Bintang mengangkat ibu jari dan menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi sombong.

"Itu payah, tau." Ujar Sinta membuat Bintang langsung terbatuk.

Sekarang, giliran Sinta menunjukkan kebolehannya dalam menyeruput mie, ia melakukan hal yang sama, namun karena terlalu bersemangat, ia langsung tersedak, dan ujung mie menabrak hidungnya terlalu keras dan air kaldunya menyiprat kewajahnya.

Bintang langsung menertawakannya, menepuk tangannya beberapa kali. Sinta terbatuk dan dengan kesal ia mengusap wajahnya menggunakan tissue, tetapi melihat Bintang yang tertawa lebar seperti itu, Sinta tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa.

Selanjutnya, percakapan-percakapan ringan yang mereka bahas meruntuhkan dinding canggung yang sempat memberi jarak bagi mereka. Meski langit terus memperingatkan lewat guruh dan petir, angin juga berhembus kencang, meski alam selalu memberi tanda tentang ketidaksetujuan pada kebersamaan mereka, gurauan dan gelak tawa cukup menjadi jawaban bahwa mereka bahagia, meski semu.

Tidak lama kemudian, hujan turun. Gerimis kecil perlahan jadi deras. Meski tempat mereka berada terlindung dari air hujan, Bintang tetap mengajak Sinta ke tempat yang lebih aman dan hangat.

Keduanya berdiri di beranda toko yang kering, menatap hujan yang menerpa permukaan bumi tanpa segan. Bintang melepas jaketnya hendak memberikannya pada Sinta, tapi gadis itu cepat menolak.

"Jangan bilang kau hendak membiarkan dirimu sendiri kedinginan dengan memberiku jaketmu. Aku gak mau." Bintang langsung menghentikan niatnya. "Lagipula itu jaketmu, kenapa juga aku yang pakai." Pungkas Sinta.

Bintang berpikir beberapa saat. Kemudian, ia bergerak ke punggung Sinta, meraih tubuh kecil itu dari belakang ke dadanya, membagi hangat jaketnya dengan Sinta.

"K-kau sedang apa?" gagap Sinta sebab Bintang tiba-tiba memeluknya dari belakang.

"Kau tidak mau memakai jaketku karena takut aku kedinginan. Kalau kita seperti ini, saling menguntungkan kan? Kau hangat dan aku juga tidak kedinginan."

"..tapi.. kalau seperti ini..", keluh Sinta.

"Diamlah, aku tidak bisa berpikir jernih kalau sedang hujan." Bisik Bintang, suaranya berhembus ke telinga Sinta. Jaket yang Bintang kenakan hari ini memang sedikit besar dari ukuran tubuhnya, tapi ia tidak menyangka badan Sinta bisa masuk dan cukup untuk mereka berdua. Ia merasakan pungung hangat Sinta di dadanya, dan aroma buah yang semerbak dari tiap helai rambut Sinta yang kebetulan sedang di gerai. Ia mendekatkan wajahnya, menghirup aroma manis shampoo dan wangi tubuh Sinta.

Tanpa disadarinya, perlahan ia bersandar. Sebentar saja, ia ingin melepas semua beban yang ada dipikirannya sekarang, mengosongkan, dan hanya mengisinya dengan gadis ini. Dia ingin melupakan masa lalu,menguapkan butir-butir penyesalan yang menduri dalam dadanya, dan sejenak mengingat dan merasakan betapa hangat tubuh Sinta dalam dekapannya. Mengalir dari ujung jaketnya, menyerap dan masuk kekulit, memberikan sensasi nyaman yang tak tertandingi.

"Ssaem? Sampai kapan kita akan seperti ini?"

"Sampai hujannya reda, Sinta Dasha." Bintang tidak keberatan jika itu besok pagi atau siang, ia sungguh tidak ingin melepas gadis ini. "Hanya sampai hujannya reda." Ulangnya lagi.

"Tapi ponselmu bergetar terus, ssaem. Mau ku ambilkan?"

Bintang mengiyakan. Sinta merogoh ponsel dari saku jaket bagian dalam. Bintang meminta Sinta membacakan pesan yang masuk.

"Oh ini dari Kak Nico." Ucap Sinta.

Bintang, bagaimana keputusanmu jadinya? Kau serius?

Bintang bisa membaca isi pesan tersebut dari balik kepala Sinta. Detik selanjutnya, kenangan atas dirinya dengan gadis dalam dekapnya, penyesalan yang mendarah daging dan rasa muaknya pada pilihan yang harus ia tentukan mengambil alih. Memainkan perasaannya yang detik lalu begitu tenang.

Ia tidak pernah tahu kenangan bisa sangat tidak sopan. Ia datang dengan banyak memori, memaksa kita bangun dan merasakan serpihan luka yang bersarang di dada. Kemudian, memberi kita pilihan sulit. Ia tidak pernah tahu, kenangan bisa begitu jahat, ia datang dan pergi tanpa tahu apa efek yang telah dibuatnya.

Jadi, apa keputusanmu Bintang? sesuatu dalam dirinya memaksa ia memilih. Pergi atau menetap.

"Sinta, bilang pada Nico aku sudah memutuskan. Katakan, siapkan saja semuanya."

Sinta mengetikkan balasan untuk Nico. Dibelakang, yang tidak ia ketahui, ada pria yang sedang merasakan sakit luar biasa, yang sedang menyadari bahwa setelah malam ini semua takkan lagi sama. Dan, pria itu hanya diam mengharap semua berjalan seperti sebelum-sebelumnya.

"Tapi ssaem, memangnya keputusan apa?" tanya Sinta penasaran.

Pandangan mata Bintang buram, ia mengeraskan rahangnya dan mengerjapkan matanya beberapa kali. Suara Sinta terdengar seperti jarum yang menusuk tiap pori-pori kulitnya. Tenggorokannya mendadak kering, "..a-aku.. hanya memutuskan untuk kembali kuliah.." bisik Bintang pelan, dengan susah payah.

"Sungguh!?" seru Sinta. Ia hendak membalikkan badannya, tapi pelukan Bintang memaksanya untuk diam. Itu cukup membuatnya terkejut. "I-itu keputusan yang bagus! Kau harus kembali kuliah dan mengejar mimpimu!" sorak Sinta senang.

Bintang merapatkan bibirnya, ia mengerutkan alisnya menahan tangisnya yang ingin pecah. Tapi, tak bisa lagi ia memerintahkan airmatanya untuk tetap ditempat. Air matanya tumpah ke pipi, dagu dan menembus jaketnya. Sinta tidak bisa berhenti dan terus membeo soal keputusan yang baru Bintang buat, terus mengatakan bahwa keputusannya sangat tepat.

Bintang tidak bisa apa-apa selain diam saja. Ia terjebak diantara benar-benar ingin mengatakan yang sebenarnya, atau merayakan perpisahannya sendiri diam-diam. Malam ini ia percaya satu frasa, bahwa tidak perlu pisau untuk membunuh kita, tapi yang kau butuhkan hanya ucapan perpisahan.

"..tapi.. ada satu hal yang akan kusesali besok karena aku tidak mengatakannya malam ini." Lirih Bintang, suaranya gemetar dan serak.

"Apa?" tanya Sinta.

Aku mencintaimu, Sinta Dasha Sanjaya. Aku mencintaimu.

Bintang mendekatkan wajahnya ke kepala Sinta. Hujan sepertinya sudah mereda. Rintiknya selesai baru saja, tapi gelisah dan sesak bahkan hanya dengan membayangkan harus melepas pelukannya dari Sinta, Bintang tahu, dirinya tak pernah rela.

Ia sadar, dekapanya malam ini adalah dekapannya yang terakhir kali. Terakhir. Kata terakhir adalah sebuah kata paling menyakitkan dalam sebuah kalimat.

Sore tadi, Sinta yang hanya bisa ditatapnya jauh sekarang berada dalam dekapnya. Tapi, hangat tubuh Sinta, aroma khas yang memabukkan ini, esok ia malah ingin semua detail ini tetap sama. Ia terlalu haus akan Sinta. ia tidak pernah puas dengan perasaannya sendiri.

Tapi, ia hanya boleh memilih satu dari dua pilihan. Sebenarnya, ia hanya punya satu pilihan untuk saat ini.

"Sinta.. Aku sudah membuat keputusan. Aku harus menghilang darimu. Sebelum aku merasakan kerinduan yang besar akan dirimu, sebelum aku jauh lebih bahagia dari sekarang. Aku harus pergi darimu." Bintang membatin.

"Ssaem, kau baik-baik saja?" tanya Sinta karena pertanyaannya sejak tadi belum juga dijawab.

Ponsel Bintang berdering lagi, kali ini lebih panjang dan lama. Sinta membaca panggilan telepon yang masuk itu. "..ssaem.. Indah menelepon."

Bintang pun melepas dekapannya, bergerak secepat kilat menghapus jejak air matanya di pipi dan mengambil ponsel dari tangan Sinta.

Sinta tersenyum samar, mendongak berusaha menatap Bintang, namun pria itu terus menghindari tatapannya. "Indah pasti sedang membutuhkanmu, pergilah. Lagipula, hujannya sudah reda."

Bintang menunduk, matanya terus lari dari tatapan Sinta. Ia menarik tengkuk Sinta, menjatuhkan wajahnya lagi ke bahu Sinta yang kurus. Bintang memejamkan matanya yang teramat perih. 

"..Maaf.. aku harus pergi." Lirih Bintang, nyaris tak terdengar bahkan oleh dirinya sendiri. Setelah itu, ia pergi tanpa melihat wajah Sinta lagi.

***

"Kumohon, pergilah ke sisi dia yang membuatmu jadi orang berharga, lebih lama. Datanglah pada Indah."

Sinta mendongakkan kepalanya ke angkasa luas, tempat bersemayamnya bintang, dan gelapnya malam. Ia tidak lihat apa-apa selain sepi. Sinta melanjutkan langkahnya,menggosokkan kedua telapak tangannya untuk mengusir dingin, kontras sekali dengan kondisi tubuhnya yang hangat beberapa saat lalu.

Sinta menghela napas, kemudian tanpa membalikkan badan ia menoleh sesaat ke belakang, ke arah Bintang pergi.

"Ya.. Indah menelponnya, jadi dia langsung pergi." Pikirnya. "Tidak ada alasan untuk dia tetap bersamaku lebih lama tadi. Kau sendiri yang memintanya pergi, Sinta." tambahnya mengingatkan diri sendiri.

Tungkai Sinta terayun lamban, ia memeriksa jam digital di ponselnya. Alih-alih pergi ke lapangan basket seperti rencana awal, sekarang ia hanya ingin pulang dan membenamkan dirinya ke atas kasur, tidur sampai pagi. Toh, sepertinya Bisma juga akan telat.

Kompleks perumahan yang ia tinggali sejak ia lahir selalu sepi, terlebih ketika malam. Dan, tentu saja hujan deras yang baru saja selesai beberapa saat lalu menambah hening dan dingin jalanan aspal yang sunyi itu.

Sinta menyipitkan mata, menyadari ada seorang wanita yang terlihat kebingungan, menoleh kepalanya ke kanan dan ke kiri. Ia terus menerus melihat ke beranda rumahnya, sembari memanjangkan leher.

Sinta mengagumi penampilannya, dress selutut-nya, slingbag, dan rambut pendek yang cantik, lekuk tubuh dan tinggi badannya yang semampai. Baru saja Sinta hendak menegur, wanita itu terlanjur menoleh dan terkejut mendapati seseorang yang dicarinya berdiri dihadapannya.

"..Indah.." pelan suara Sinta menyadari siapa wanita cantik ini.

"Hey, Sinta. Aku tadi menanyakan alamat rumahmu, tapi aku bingung." Keluh Indah.

"..a-ada apa? Apa kamu mencari Bintang? tapi, dia sedang tidak di kost-an."

"Aku gak mencari Bintang. Aku mencarimu." Indah memberikan paperbag berwarna coklat mocha berukuran sedang. "Aku ingin mengembalikan wadah makananmu, dan berterimakasih atas perhatian ibumu padaku. Makananannya sangat enak."

Sinta menerima paperbag itu ditangannya. "Oh, ya. Sama-sama. Mau masuk dulu? Aku bisa membuatkan teh."

"Tidak, terimakasih banyak. Ada banyak hal yang harus aku siapkan cepat-cepat. Aku kesini hanya mampir saja."

Sinta mengangguk. "Oh begitu, bagaimana persasaanmu? jadi kau sudah jauh lebih baik sekarang?"

Indah tersenyum lebar. "Semua ini berkatmu. Terimakasih, Sinta. Aku akan menjaga Bintang dengan baik mulai sekarang."

Sinta tersenyum samar. Sangat samar. Ia lega dan tak rela diwaktu yang sama. "Baguslah. Kudengar, Bintang memutuskan kembali kuliah lagi."

"Iya, akujuga sudah memutuskan melanjutkan S2 ku di Kyunghee University. Jadi, kami akan pergi sama-sama besok."

"tunggu—apa?apa maksudnya?" Pergi sama-sama?

"Iya. Bintang kan memutuskan untuk menerima beasiswa itu kembali. Jadi, kami akan menetap di Korea Selatan untuk melanjutkan studi. Bintang sudah berpamitan padamu kan? Pesawatnya berangkat besok pukul 10.15 pagi."

***

Bisma melirik jam yang melingkar di lengan kirinya. Ia mengelilingi lapangan basket dan tidak menemukan Sinta disana. Lalu lintas yang padat saat hujan membuatnya terlambat setangah jam. Begitu selesai dengan tugasnya, ia langsung berlari menuju lapang kompleks, berharap Sinta tidak mengomelinya karena datang tidak tepat waktu.

Tapi, karena Sinta tidak ada disana, Bisma akhirnya memutuskan untuk mendatangi rumah sahabatnya. Sejujurnya, ia cukup lega karena Sinta tidak memaksakan diri untuk berlatih basket setelah lari keliling kompleks dua putaran. Ia sungguh khawatir mengenai kondisi sahabatnya.

Bagus, Bisma! Kau terlambat satu jam!

Bisma memaki dirinya sendiri, memepercepat larinya menuju rumah Sinta yang berjarak dua puluh meter lagi. Dari tempatnya, ia bisa melihat Sinta yang berjongkok di depan gerbang rumahnya sendiri, tangannya memegang sesuatu seperti paperbag.

"Puppy! Maaf, aku terlambat, tadi macet banget—"

Bisma langsung diam begitu Sinta mendongak, menatapnya dengan matanya yang berair. Gadis itu membuka bibirnya yang merah muda, dan mengucapkan kalimat dengan suara bergetar.

"..kenapa lama sekali?" protesnya dengan suara serak. "..aku menunggumu sejak tadi, kenapa lama sekali?"

Bisma masih terpaku ditempatnya. Wajah Sinta memerah, dan alisnya yang turun menandakan kesedihan dibarengi dengan air mata yang tiba-tiba meluncur bebas di pipinya yang putih. "..aku menunggumu, tahu! Kenapa lama sekali!"

Sejurus kemudian, tangis Sinta pecah. Ia terus mengucapkan hal yang sama berulang kali, mengatakan bahwa ia menunggu Bisma yang datang begitu lama.

Bisma langsung berlutut menghampirinya, menarik Sinta dalam pelukannya, dan berusaha semaksimal mungkin untuk menenangkan sahabatnya. Ia membisikkan kata-kata yang ia harap bisa menengankan Sinta yang terus menangis kencang. Bisma bisa merasakan pedih dari raung tangisnya, hal yang membuat hati Bisma ikut berdarah-darah.

Bisma menarik wajah Sinta mendekat, "Puppy-ku. Lihat aku. Aku disini. Bisma-mu, sahabatmu ada disini, maafkan aku karena membuatmu lama menunggu." Ia mengusap air mata dari pipi Sinta. "Kamu kenapa, puppy? Maafkan aku. Maaf karena datang terlambat."

Tapi, kata-kata ajaib yang biasanya ampuh membuat Sinta menghentikan tangisnya tidak berhasil kali ini. Sinta masih meraung, menyerukan kalimat yang sama, dadanya sesak dan napasnya terengah-engah. "..kenapa.. kau lama sakali.. aku menunggumu!"

Bisma mulai panik, ia menarik Sinta agar menangis di dadanya, sambil tidak berhenti membisikkan kata-kata untuk membuat sahabatnya tenang. Ia mengelus punggung Sinta, dan mengecup puncak kepalanya berkali-kali. Melihat Sinta menangis hebat seperti ini seperti menerima hukuman cambuk paling mengerikan di muka bumi.

Butuh waktu sekitar setengah jam sampai Sinta kelelahan dan terlelap di dadanya. Kaki Bisma pegal luar biasa, berlutut sambil menyangga tubuh Sinta dengan tangannya membuat urat dipergelangan kakinya kaku dan nyeri, angin malam mulai kasar menyerukan dinginnya ke kulit. 

Bisma merunduk, lalu menyentuh wajah Sinta yang begitu dekat dengan wajahnya. Tangannya bergerak, wajahnya mendekat dan Bisma menempelkan bibirnya di kedua kelopak mata Sinta bergantian, kemudian mengecup dahinya lama.

Sinta terusik dengan gerakan kecil itu dan membuka matanya yang sangat perih. Bisma tersenyum, "Aku disini, puppy-ku. Akan kudengarkan ceritamu kalau kau siap, oke?Maafkan aku."

Bisma menarik Sinta dengan lembut kedalam pelukannya, memberikan Sinta rasa aman dan nyaman yang belum pernah Bisma bagi pada siapapun. Pelukan erat paling hangat dari pria yang cintanya amat besar pada sahabatnya.

Sinta.. Biarkan seperti ini saja. aku takut jika kau melihat dan menyadari perasaanku lebih jauh hubungan kita akan berakhir, cukup seperti ini, hanya sahabat.  

***

Bagimana menurut kalian, reader-nim tercinta?

Continue Reading

You'll Also Like

502K 33.1K 97
Sion Vererro adalah putri dari Sarah handoko dan Billy Vererro. Setidaknya, itulah yang tertulis di atas kertas. Kedua orangtuanya meninggal saat dia...
3M 24K 45
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
2.9K 681 50
(COMPLETE) "Lo tau kalimat apa yang paling gue benci, Cal? 'Aku pergi, ya.' Itu." Eshaal malah tergelak ketika aku mengusap sudut yang hendak mengali...
106K 7K 55
[COMPLETED] Bintang selalu merasa bahwa cinta tak pernah berpihak padanya. Sebagai mahasiswa desain komunikasi visual dan Presbem FSRD, kegiatan hari...