I'M ALONE

By sphprmtsr

86.7K 4K 47

Self Injury, antisosial, dan trauma masa lalu semua itu Aluna miliki. Begitu banyak hal yang ia lupakan perih... More

Prolog
How to read the new version
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua belas
Tiga belas
Empat belas
Lima belas
Enam belas
Tujuh belas
Delapan belas
Sembilan belas
Dua puluh
Dua puluh satu
Dua puluh dua
Dua puluh tiga
Dua puluh empat
Dua puluh lima
Dua puluh enam
Dua puluh tujuh
Dua puluh delapan
Dua puluh sembilan
Tiga puluh
Tiga puluh satu
Tiga puluh dua
Tiga puluh tiga
End: Season 1
Tiga puluh lima
Tiga puluh enam
Tiga puluh tujuh
Tiga puluh delapan
Tiga puluh sembilan
Empat puluh
Empat puluh satu
Empat puluh dua
Empat puluh tiga
Empat puluh empat
Empat puluh lima
Empat puluh enam
Empat puluh tujuh
Empat puluh delapan
Empat puluh sembilan
Lima puluh [End]

Tujuh

2.6K 119 1
By sphprmtsr

"Saya tidak merasakan perubahan apa-apa setelah bertunangan dengan Fatih," ungkap Aluna pagi itu saat ia tengah duduk di meja makan pada Bi Nah. Padahal jarak mereka terhitung cukup jauh karena saat ini Bi Nah tengah berada di dapur. Tetapi suasana rumah yang sepi membuat pembicaraan tersebut terdengar jelas.

Bi Nah diam-diam tersenyum dari dapur. Mungkin Aluna memang tidak menyadari perubahan yang terjadi dalam dirinya. Namun Bi Nah selaku orang yang sejak dulu mengurus Aluna, ia tahu bahwa banyak perubahan dalam diri Aluna yang mengarah pada hal positif selepas dirinya bertunangan dengan Fatih.

Aluna menjadi lebih banyak bicara, lebih jarang menyakiti diri, dan jarang mengunci dirinya di kamar. Bahkan pagi ini, tanpa diminta, Aluna sudah turun ke ruang makan untuk sarapan. Padahal biasanya, untuk keluar kamar pun Aluna sulit melakukannya. Pun dengan emosi Aluna yang sepertinya lebih terkendali. Meskipun sesekali masih merajuk, tetapi Aluna menjadi lebih jarang marah seperti biasanya yang sampai membanting-banting barang miliknya.

Sekalipun orang tua Aluna tidak mengetahui perkembangan anak satu-satunya ini, tetapi Bi Nah sebenarnya tidak pernah absen untuk memberitahu kepada mereka perihal kondisi dan pertumbuhan Aluna sedari kecil hingga sekarang.

"Nona tidak perlu terlalu memikirkan hal itu. Kalau Nona senang, maka tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan." Bibi menjawab dari dapur.

Sebagai orang yang bekerja berpuluh-puluh tahun di rumah keluarga Aluna, Bi Nah sangat tahu bila ada pembicaraan seperti ini bukan hanya si pembicara dan lawan bicaranya yang mendengar. Tetapi banyak pasang telinga yang terbuka untuk ikut mendengar obrolan mereka saking penasarannya dengan keluarga misterius tempat dimana mereka dipekerjakan. Siapa lagi kalau bukan para pelayan orangnya. Mereka yang bertugas membersihkan rumah tidak hanya menjalankan tugasnya. Tetapi juga tidak lepas dari rasa penasaran untuk mendengar setiap obrolan yang bisa mereka dengar. Oleh sebab itu, Bi Nah selalu menjaga setiap pembicaraannya dengan siapapun karena sebenarnya Bi Nah yang bekerja berpuluh-puluh tahun juga adalah kunci dari setiap rasa penasaran mereka.

Semua yang terjadi di rumah ini, tentu saja Bi Nah ketahui. Mungkin seandainya Aluna tahu hal ini, ia tidak perlu lagi mencari-cari penjelasan di tempat lain karena Bi Nah sudah tahu jawabannya.

Sayangnya, bagi Aluna, semua pelayan maupun pembantu rumah tangga yang bertugas mengurus rumah dan memasak makanan tidak lain hanyalah orang yang digaji oleh kedua orang tuanya. Tidak lebih dan tidak kurang.

"Saya hari ini ada kerja kelompok. Bilang ke Mang Udin untuk siapkan mobil. Saya siap-siap dulu," ucap Aluna yang kemudian pergi dari ruang makan menuju kamarnya.

"Baik, Nona." Bi Nah menjawab. Ia berjalan keluar dari dapur menuju ruang makan. Niatnya untuk membereskan piring dan gelas yang digunakan Aluna untuk makan. Namun gerakannya terhenti saat sepiring nasi goreng yang ia siapkan justru tidak tersentuh sedikitpun. Hanya segelas susu hangat yang isinya tinggal setengah.

Bi Nah menghembuskan napas berat. Ternyata untuk soal makan, Aluna masih sulit untuk melakukannya. Namun untuk memaksanya pun Bi Nah tidak bisa. Ia khawatir perasaan Aluna yang sudah membaik akhir-akhir ini akan memburuk karena bujukannya. Oleh sebab itu, ia hanya membawa piring dan gelas itu menuju dapur. Selanjutnya ia keluar dari rumah untuk menemui Mang Udin selaku sopir pribadi Aluna.

Di sisi lain, Aluna mengikat rambutnya yang sebenarnya jarang sekali ia ikat. Ia sempat mematut diri di depan cermin lebih dulu. Memastikan bahwa luka-luka di tangannya tidak terlihat dan tertutup oleh baju lengan panjang yang dipakainya. Ia lantas mengambil tas selempang miliknya lalu berjalan keluar dari kamar menuju halaman rumahnya untuk menemui Mang Udin.

"Nona mau diantar ke mana?" tanya Mang Udin selepas dirinya dan Aluna sudah berada di dalam mobil.

Aluna yang tengah mengeluarkan beberapa alat tulis miliknya menoleh sebentar pada Mang Udin. Ia lalu menjawab, "ke rumah Valice. Mang Udin masih ingat, kan? Sebulan yang lalu saya pernah meminta untuk diantar ke sana juga."

"Baik, Nona." Mang Udin mulai menjalankan mobilnya dengan hati-hati. Memang begitulah resiko dirinya sebagai supir Aluna. Semua tempat dimana dirinya pernah mengantar dan menjemput Aluna harus diingat baik-baik. Untuk saja bukan hanya setahun atau dua tahun Mang Udin bekerja. Mungkin sekitar Aluna berumur tujuh tahun, Mang Udin sudah direkrut menjadi sopir pribadi Aluna yang tugasnya mengantar kemanapun Aluna hendak pergi. Ia juga wajib memberikan laporan itu kepada orang tua Aluna tanpa terkecuali dan masih berlaku hingga hari ini.

Aluna mulai menggoreskan pensilnya di atas sketchbook miliknya. Sebagaimana cita-cita yang Aluna miliki, ia seringkali menggambar berbagai macam desain baju di waktu luangnya. Untuk saat ini, tidak ada niat lain selain mengisi waktu luang. Namun sepertinya untuk di masa depan, ia akan mempergunakan kemampuannya ini dengan lebih baik.

Hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahui hobi Aluna yang satu ini. Seperti Mang Udin contohnya yang setiap mengantar Aluna selalu melihat anak dari majikannya itu menggambar. Oleh sebab itu, menyetir dengan hati-hati juga adalah kewajiban Mang Udin agar tidak mengganggu ketenangan Aluna yang tengah melukis di belakang.

Hanya Alana —kakaknya Aluna— yang diberitahukan oleh Aluna mengenai cita-citanya. Dapat tergambar jelas seberapa berartinya Alana untuk Aluna.

"Harus saya jemput jam berapa, Nona?" Mang Udin bertanya sesampainya ia di depan rumah Valice.

Aluna mengemas barang-barang miliknya ke dalam tas. Ia lalu memakainya dan menyahut, "tunggu saya yang kabari nanti. Mang Udin bisa istirahat di rumah dulu."

Sebenarnya, bila ada orang yang harus mengakui bagaimana sifat Aluna, Mang Udin merasa ialah orangnya. Dibandingkan orang-orang yang mengenal Aluna sebagai orang yang cuek dan apatis terhadap sekitar, bagi Mang Udin Aluna justru nampak lain.

Selain dikenal sebagai anak yang berbakat, Aluna juga sering terlihat sebagai anak yang pendiam dan kesepian. Tidak hanya itu, menurut Mang Udin Aluna adalah gadis yang baik. Dia tidak pernah marah bila Mang Udin telat atau bahkan tidak bisa menjemputnya karena keperluan yang mendesak. Bahkan kalau Mang Udin sakit, Aluna dengan baik hati mengizinkan Mang Udin libur tanpa mengatakan hal itu pada kedua orang tuanya hingga gaji Mang Udin di akhir bulan tetap penuh.

Lalu di waktu mengantar jemput seperti sekarang, Aluna tidak akan meminta Mang Udin menunggunya apalagi bersiap sedia selalu agar bila ditelepon langsung mengangkatnya. Aluna justru menyampaikan pada Mang Udin bahwa dia bisa istirahat selama tugasnya untuk mengantar sudah dilaksanakan. Perihal menjemput nanti, itu bisa dibicarakan.

Alhasil, selama sekitar sepuluh tahun menjadi sopir pribadi Aluna, tidak ada satupun hal yang berat yang Mang Udin alami. Meskipun sesekali perasaan Aluna terlihat tidak baik, yang perlu Mang Udin lakukan hanyalah diam dan tidak banyak bicara selama perjalanan agar Aluna bisa istirahat.

"Baik, Nona Aluna." Mang Udin mengiyakan sambil mengangguk patuh. Ia membiarkan Aluna memasuki halaman rumah temannya yang dibukakan oleh satpam. Setelah mengangguk juga pada satpam yang bertugas di sana sebagai sapaan salam kenal, Mang Udin kembali menjalankan mobilnya meninggalkan rumah Valice.

"Diantar sopir pribadi, Aluna?" Valice yang sudah menunggu di depan rumah, bertanya. Aluna hanya mengangguk sebagai jawaban tanpa berniat membuka mulutnya. Ia mengikuti langkah Valice memasuki rumahnya untuk segera bertemu teman-temannya yang lain yang sudah datang lebih dulu.

"Wah, Tuan Putri sudah datang. Janjian jam sembilan tapi datang jam setengah sepuluh. Betapa hebatnya dia." Gadis yang Aluna kenal bernama Lala itu menyindir.

Aluna mengernyitkan dahinya. "Bukannya janjinya jam sepuluh?"

"Gue udah bilang ke lo kan, La. Kita jangan ganti jam kerja kelompoknya karena Aluna enggak bakal tahu. Dia jarang buka handphone." Raya menyahuti. Tangannya menarik Aluna untuk segera duduk di sebelahnya.

"Lagipula Aluna emang hebat. Buktinya kita enggak bisa apa-apa tanpa dia, kan? Sedikitpun belum kita kerjain tugasnya karena cuma Aluna yang paham." Kali ini, ucapan Valice tidak kalah pedasnya untuk Lala.

Lala mendengus kesal. Ia yang sejak awal sudah tidak menyukai Aluna menjadi lebih jengkel karena harus mengakui bahwa ucapan Valice ada benarnya. Mereka tidak bisa apa-apa bila tanpa Aluna.

Merekapun tenggelam dalam tugas mereka. Lebih tepatnya, Aluna. Karena ketiga temannya yang lain lebih banyak memperhatikan bagaimana Aluna menyelesaikan tugasnya dibandingkan membantu mengerjakan. Hanya sesekali mereka membantu dan itupun tidak lepas dari bimbingan Aluna. Aluna tidak keberatan pada hal itu karena dia pun sebenarnya tidak begitu suka bila pekerjaan yang dirinya kerjakan diganggu oleh orang lain.

"Kalian haus enggak? Gue ambilin minum bentar, ya." Valice menawarkan. Ia lalu bangkit dari duduknya untuk menuju dapur, meninggalkan teman-temannya sebentar di ruang tamu.

Raya dan Lala lantas mengangguk. Aluna yang saat itu sedang mengetik di laptop menyempatkan diri untuk merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa pegal sebelum akhirnya kembali mengerjakan tugas.

"Woy, Lice!"

Sebuah pukulan telak didapatkan oleh lelaki yang mengagetkan Valice itu. Ringisan kemudian terdengar hingga membuat Valice justru tertawa. "Kak Raihan ngapain sih? Kena pukul, kan. Suruh siapa ngagetin."

Raihan memanyunkan bibirnya. Ia mengikuti langkah adiknya yang menuju dapur untuk membuat empat gelas minuman dan menyiapkan beberapa cemilan.

"Itu di depan temen-temen lo, Life?" tanya kakaknya Valice yang bernama Raihan itu.

Valice memberikan anggukan kepala untuk Raihan. "Iya, kenapa? Lo kan udah kenal. Itu si Raya yang biasanya main ke sini. Terus di sebelah kirinya itu Lala. Yang rambutnya diikat satu di sebelah kanan Raya, itu namanya Aluna. Sempet pernah kemari juga sebelumnya kok cuma lo enggak ada di rumah."

"Oh, jadi namanya Aluna," gumam Raihan yang masih dapat terdengar di telinga Valice.

"Lo suka sama Aluna?" Nampan berisi minuman dan beberapa cemilan yang sebelumnya telah berada di genggaman Valice kembali diletakkan di atas meja dapur. Ia menatap kakaknya dengan penuh selidik.

Raihan menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal. Ia kemudian berujar, "bukan suka. Cuma ... tertarik."

Decakan pelan keluar dari mulut Valice. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. "Telat lo, Kak. Dia udah punya calon suami. Lagian kalaupun Aluna belum punya calon suami, gue enggak bakal izinin lo jadian sama dia."

"Kenapa?" tanya Raihan, tidak terima.

"Lo kan playboy, Kak. Nanti lo sakitin sahabat gu—" tutur Valice yang langsung terhenti karena mulutnya dibekap Raihan.

"Ssttt! Jangan buka kartu di sini dong. Nanti kalau kedenger gimana?" Raihan menaruh jari telunjuknya di bibirnya. Ia lalu menyembulkan kepalanya keluar dinding dapur, mewanti-wanti agar Aluna tidak bisa mendengar pembicaraan mereka.

Valice menepis tangan kakaknya. Ia lalu menyeletuk, "enggak mungkin kedengeran lah. Jauh gini kok!"

"Kenapa udah punya calon sih. Gercep banget cowoknya." Raihan masih tidak bisa terima begitu saja.

Mendengar hal itu, Valice kembali berdecak. "Ck, Kak Raihan Fradisma. Lo itu emang ganteng dan jadi idaman banyak perempuan. Tapi kayaknya lo harus mengecualikan itu buat Aluna Zafaca. Sekalipun dia itu kriteria lo, belum tentu lo masuk kriteria dia."

"Demi apa, tega banget lo sama Abang sendiri," kata Raihan sambil mengerucutkan bibirnya.

"Udahlah. Gue mending balik aja. Saran gue, mending cari cewek lain aja. Punya sahabat macam Aluna yang jarang ketemu aja gue harus ekstra sabar banget. Apalagi kakak ipar cem dia. Jangan deh, ya." Setelah mengucapkan itu, Valice berlalu meninggalkan Raihan.

Raihan mendengus sebal. Ia berkata lagi, "kalau jodoh mah enggak bakal kemana deh."

***

Aluna menyandarkan punggungnya sambil menghela napas. Ia berulangkali mengecek ponselnya yang ternyata sudah kehabisan baterai bahkan sebelum dirinya sempat menghubungi Mang Udin. Dengan terpaksa, Aluna menaiki taksi setelah sempat menolak tawaran kakak lelakinya Valice untuk mengantar Aluna.

Hari telah menjumpai malam. Langit yang sebelumnya berwarna jingga telah berubah seiring berjalannya waktu menjadi hitam pekat seolah langit sedang bersiap untuk menurunkan hujan.

Pandangan Aluna terus mengarah ke luar jendela sana yang terus menerus memperlihatkan toko-toko di pinggir jalan raya yang mulai tutup. Firasat Aluna, ia akan sampai sedikit larut karena jarak rumahnya dengan rumah Valice yang cukup jauh. Kedua tangan Aluna menarik tas selempang miliknya agar berada di pangkuannya. Ia baru saja hendak memejamkan mata sewaktu sopir taksi tiba-tiba berbicara.

"Maaf, Mbak. Saya mendadak mendapatkan kabar kalau istri saya yang tengah hamil mengalami kontraksi. Saya harus segera pulang. Saya mohon maaf sebesar-besarnya karena sepertinya saya tidak bisa mengantar Mbak ke tempat tujuan. Mbak tidak perlu membayar. Sekali lagi saya mohon maaf."

Kabar yang sopir itu berikan sangat mengejutkan untuk Aluna. Bukan karena istrinya yang kontraksi ataupun biaya taksi yang menjadi gratis, tetapi karena Aluna yang tidak pernah sekalipun pulang sendiri di waktu malam yang hampir larut seperti sekarang.

Namun Aluna tidak bisa berbuat banyak. Ia akhirnya menuruti si sopir taksi untuk turun di pinggir jalan dengan tetap membayar biaya taksi penuh meskipun sempat hendak ditolak oleh sopir taksi. Ia tidak mungkin memaksa untuk meminta diantarkan di saat ada dua orang yang sangat penting untuk si sopir taksi yang tengah berjuang demi hidupnya.

Lagipula jarak antara rumah Aluna dengan gang tempat dirinya turun itu tidak begitu jauh. Hanya cukup jalan dengan melewati beberapa tikungan, ia akan sampai di rumahnya. Sayangnya, Aluna tidak bisa menepis kecemasan dalam dirinya. Jalan yang ia lalui bukan jalan biasa melainkan jalan tikus yang sering dikabarkan banyak terjadi tindak kriminal di sana. Oleh sebab itu, begitu memasuki jalan itu Aluna menggerakkan kakinya dengan cepat agar bisa cepat sampai ke rumahnya.

Udara malam yang dingin semakin membuat Aluna menggigil dengan ketakutan yang ia rasakan. Perutnya yang sejak tadi pagi belum terisi langsung bereaksi hingga kini terasa nyeri. Apalagi pencahayaan yang remang-remang mampu membuat Aluna merasakan ketegangan hingga perutnya terasa keram.

Keringat dingin mulai mengucur deras membasahi wajah Aluna. Ketegangan yang ia rasakan membuat Aluna tidak menyadari ada sepasang kaki yang sejak tadi mengikutinya diam-diam.

Langkah Aluna yang cepat semakin cepat saja begitu dirinya menyadari ada suara langkah kaki yang mengikutinya di belakang. Bahkan bisa dibilang, langkah Aluna bukan lagi bisa disebut berjalan cepat melainkan serupa dengan lari. Semakin cepat langkah Aluna, semakin cepat pula langkah kaki di kegelapan di belakang Aluna terdengar. Jantung Aluna berpacu dengan cepat. Napasnya lantas memburu seiring dirinya berlari.

Begitu mengingat bahwa tidak seharusnya Aluna berlari dan lebih baik pura-pura tidak mengetahui bahwa ada yang mengejarnya, Aluna memelankan langkahnya. Ia membuka tasnya lalu mencari-cari benda yang bisa ia gunakan untuk perlindungan diri sembari terus berjalan.

Sebuah tangan yang tiba-tiba saja menyentuh bahu Aluna membuat dirinya kaget bukan kepalang. Ia baru saja hendak mengarahkan pukulan ke arah seseorang yang berjenis kelamin lelaki itu namun gerakannya terhenti saat kedua matanya menangkap wajah sosok misterius itu. Wajah mempesona dan menawan yang begitu khas itu sempat membuat Aluna terpana sebentar.

***

If you read this and like it, let me know you've been a part of this story by voting it.

© 2019
Revisi 2021

Continue Reading

You'll Also Like

58.1K 5.8K 43
(Belum Direvisi) Terkadang, apa yang terlihat baik di luar, tidak begitu pula di dalam. Seperti Daisy Ambarilis. Selebgram sekaligus vloger cantik ya...
9.7K 1.1K 78
[Part lengkap dan belum revisi] Sita Larasati, gadis cantik yang mencintai apa adanya pemuda bernama Juan. Pria berkekurangan itu sanggup merubah pri...
360K 42.4K 122
❛❛Ketika realita tak seindah ekspektasi ya begini jadinya, kayak 2A1.❜❜ Pandangan yang amat baik ternyata tak sejalan dengan kenyataan yang ada. Oran...
ONA (COMPLETED} By audle2

Mystery / Thriller

467K 17.2K 53
❗REVISI❗ /Dia yang tampak baik tetapi licik/ >>>>>><<<<<<< Sadar dari koma setelah mengalami kecelakaan membuat gadis bernama Melia Onalen...