I'M ALONE

By sphprmtsr

86.7K 4K 47

Self Injury, antisosial, dan trauma masa lalu semua itu Aluna miliki. Begitu banyak hal yang ia lupakan perih... More

Prolog
How to read the new version
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua belas
Tiga belas
Empat belas
Lima belas
Enam belas
Tujuh belas
Delapan belas
Sembilan belas
Dua puluh
Dua puluh satu
Dua puluh dua
Dua puluh tiga
Dua puluh empat
Dua puluh lima
Dua puluh enam
Dua puluh tujuh
Dua puluh delapan
Dua puluh sembilan
Tiga puluh
Tiga puluh satu
Tiga puluh dua
Tiga puluh tiga
End: Season 1
Tiga puluh lima
Tiga puluh enam
Tiga puluh tujuh
Tiga puluh delapan
Tiga puluh sembilan
Empat puluh
Empat puluh satu
Empat puluh dua
Empat puluh tiga
Empat puluh empat
Empat puluh lima
Empat puluh enam
Empat puluh tujuh
Empat puluh delapan
Empat puluh sembilan
Lima puluh [End]

Satu

10.6K 309 1
By sphprmtsr

Mentari kembali menyapa langit pagi. Cahayanya kembali menyinari bumi dengan kehangatan selepas dinginnya malam. Beberapa manusia beramai-ramai mengawali aktivitas pagi, namun setengahnya lagi masih sibuk memejamkan diri demi mendapatkan istirahat di akhir pekan ini. Seperti Aluna contohnya. Gadis bernama lengkap Aluna Zafaca itu masih enggan menyibak selimut yang menutupi tubuhnya.

Di saat banyak orang mempersiapkan hari yang lebih baik daripada hari kemarin, Aluna justru tidak mempunyai niat sama sekali. Baginya, tidak ada istilah lebih baik untuk harinya karena semakin banyak hari yang ia jalani justru semakin banyak hal buruk yang ia alami.

Contohnya pagi ini. Sewaktu kamarnya masih dalam keadaan gelap tanpa secercah cahaya sedikitpun, juga sewaktu suasana kamar yang masih menciptakan keheningan, Aluna hanya mampu meringis di atas kasurnya. Tubuhnya remuk bagai diajak berlari beratus-ratus kilometer. Tangannya lemas seperti kehilangan denyut nadinya. Bukan. Bukan sebab orang lain dia seperti itu. Melainkan karena ulahnya sendiri. Kedua tangan yang kecanduan menyiksa diri dengan goresan pelan namun dalam menusuk kulit bersamaan dengan darah yang merembas keluar hingga menciptakan kengiluan bagi siapapun yang melihatnya. Air mata yang sudah kering bahkan tidak mampu mengikuti rasa sakit dari luka-lukanya Aluna.

"Aluna!"

Diantara dua puluh empat jam dalam sehari, tujuh hari dalam seminggu, dan tiga puluh hari dalam sebulan, bisa terhitung oleh jari Aluna seberapa banyak panggilan itu terdengar di telinganya. Harusnya ia senang. Kala sebulan penuh kedua orang tuanya hanya mampu menemuinya sesekali, seharusnya ia bahagia mendengar panggilan dari Rudi Pramudito selaku papanya pagi ini.

Namun sayangnya, Aluna tidak pernah menaruh sedikitpun kebahagiaan dalam hatinya ketika suara itu memasuki indera pendengarannya. Hanya usaha sekuat tenaga untuk bangkit dari tidurnya lalu memeluk kedua lututnya sambil menutup telinganya. Panggilan yang seharusnya penuh kasih sayang itu justru hanya harapan belaka. Karena faktanya, setelah panggilan itu terdengar, pasti selalu saja diiringi keributan setelahnya.

"Cepat keluar, Aluna! Mama dan Papa mau bicara!" Kali ini, suara itu berasal dari Wanda Alexandria —mamanya. Perempuan yang seharusnya ada menemani hari-harinya sedari kecil tetapi sayangnya hanya bisa ditemui sesekali dalam sebulan.

"Lihat! Aluna menjadi pembangkang seperti ini itu karena kamu! Seharusnya kamu ada di rumah untuk menemani dia sebagai ibunya! Ibu macam apa kamu?!" Ucapan papanya membuat Aluna menyakini bahwa itu akan menjadi awal untuk keributan pagi ini.

Benar saja, tidak lama setelahnya mamanya lalu menyahut, "ibu macam apa?! Seharusnya kamu yang tanya ke diri kamu sendiri. Papa macam apa kamu ini?! Sifat keras kepala dalam diri Aluna itu menurun dari kamu!"

Dua orang yang nampaknya saling mengenal watak satu sama lain itu justru membawa keduanya pada keributan yang mengganggu setiap orang yang mendengarnya. Seandainya Aluna bisa, ia ingin segera menghilangkan suara-suara yang memasuki telinganya itu agar suasana hening seperti biasa.

Tidak ada yang meminta untuk dilahirkan. Tidak ada yang bisa meminta seperti apa watak mereka begitu dihidupkan. Jika saja Aluna bisa memilih, ia tentu tidak akan ingin hidup seperti sekarang. Disalahkan, kesepian, dan kebencian selalu hadir dalam hari-hari di hidupnya. Sampai-sampai, ada harapan di hati Aluna agar kedua orang tuanya tidak perlu lagi pulang ke rumah. Supaya ia tidak terus disalahkan atas kehadirannya di dunia.

Biasanya, pertengkaran antara Mama dan papanya akan berlangsung lama bahkan seringkali mendominasi kepulangan mereka di rumah. Namun entah mengapa, tidak hari ini. Karena tidak sampai setengah jam, keributan berakhir ditandai dengan hilangnya suara orang tua Aluna yang sebelumnya terdengar dari balik pintu kamarnya.

Aluna menghela napas panjang. Ia menurunkan kedua tangannya dari telinganya lalu mengamati luka-luka goresan di tangannya. Selalu terasa perih sewaktu pagi. Lain pada saat Aluna menggores lukanya. Ketika itu, sakit pada hatinya lebih terasa perih dibandingkan dengan goresan-goresan benda tajam di tangannya.

Tok,

Tok,

Tok.

"Nona Aluna." Suara panggilan yang Aluna kenali sebagai kepala pelayan di rumahnya itu kini terdengar. Ia kemudian melanjutkan, "ada yang hendak bertemu dengan, Nona Aluna. Boleh Bibi buka pintunya?"

Mendengar ucapan Bibi tidak langsung membuat Aluna menjawabnya. Ia menyibak selimutnya lalu bersusah payah menuruni kasur dan berjalan mendekati jendela kamarnya untuk membuka tirainya agar cahaya matahari memasuki kamar Aluna yang semula gelap.

"Nona Aluna?" Bibi bersuara lagi.

Meskipun Aluna sempat terheran-heran karena sangat jarang sekali orang tua Aluna mengizinkan orang memasuki rumah apalagi sampai menemui Aluna di kamarnya. Tentu tidak wajar bertamu hingga ke kamar. Apalagi hanya orang yang dikenal dan orang penting saja yang biasanya diizinkan masuk ke rumah mereka. Aluna lalu menjawab, "masuk."

Setelah itu, terdengar suara pintu terkunci yang dibuka. Sebagaimana seharusnya, Bibi juga mempunyai kunci cadangan untuk kamar Aluna tanpa perlu repot-repot Aluna membukanya. Begitu Bibi memasuki kamar Aluna bersama tamu yang dimaksudnya, keduanya sama-sama tidak menemukan Aluna baik di kasurnya maupun di balkon kamarnya. Oleh sebab itu Bibi berpesan pada si tamu, "sebentar biar saya cek di kamar mandi."

Sementara itu, si tamu mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar Aluna. Kamar yang didominasi oleh warna abu-abu itu tidak memiliki banyak barang-barang di dalamnya. Hanya sebuah kasur king size dengan sebuah meja kecil di sebelah kiri kasur dengan lampu tidur di atasnya. Lalu sebuah lemari di bagian kaki kasur tepatnya di antara balkon dan pintu kamar mandi yang terhimpit antara dinding-dinding kamar seolah tidak ingin mempersempit ruang kamar. Lalu di sebelah kanan kasur terdapat meja belajar dengan rak buku yang menempel pada dinding di sebelahnya. Tidak sedikit buku yang berada di rak tersebut hingga terlihat penuh.

Bibi kembali keluar dari kamar mandi bersamaan dengan sosok Aluna yang keluar sambil mengelap wajahnya dengan handuk kecil berwarna putih. Ia melihat si tamu dengan kening mengerut seolah mempertanyakan kehadiran lelaki yang sama sekali tidak dikenalinya itu.

Seakan tidak mengetahui apapun mengenai si tamu, Bibi justru melarikan diri diawali pamitnya, "Bibi pamit keluar ya, Nona Aluna. Permisi."

Harusnya Aluna panik karena ada seorang lelaki yang asing berada di kamarnya hanya berdua dengan dirinya. Namun mengingat banyak benda tajam yang ia miliki tidak membuat Aluna khawatir. Ia mengambil ancang-ancang dengan bersandar ke dinding balkonnya, tepat di sebelah meja belajar dimana benda-benda tajam itu di sembunyikan. Ia menaruh handuk kecilnya di atas pundaknya lalu melipat kedua tangannya di depan dada dan bertanya, "anda siapa? Orang suruhan Papa?"

Lelaki itu mengulum senyum tipis sambil melihat gadis berambut hitam panjang yang mengenakan kaus putih oversize serta celana panjang berwarna cokelat susu di hadapannya.

"Kenapa?" tanya Aluna lagi dengan gurat wajah yang lebih serius. Ia menurunkan kedua tangannya lalu menegakkan tubuhnya agar tidak lagi bersandar.

Lelaki itu kemudian menjawab, "saya Fatih. Aksa Fatih Adhitama. Calon suamimu."

Bukannya tersinggung maupun kesal, Aluna justru tertawa yang dipaksakan. Terbukti dari suara tawanya yang terdengar sebentar sebelum akhirnya kembali memandang Fatih dengan tajam.

"Omong kosong macam apa itu? Anda pikir saya akan percaya?" kata Aluna. Kali ini, muncul kerutan di keningnya yang menandakan kekesalan mulai muncul dari dalam hatinya.

"Saya serius, Aluna," ucap lelaki itu, lagi.

Aluna menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Gelengan yang ia lakukan membuktikan bahwa saat ini ia belum mampu percaya. "Tidak mungkin. Bahkan bila memang mungkin, saya akan menolak anda. Jadi lebih baik, pergilah dari sini."

"Percayalah, saya tidak berbicara omong kosong." Lelaki itu tidak menyerah untuk meyakinkan. Ia melanjutkan, "mari kita saling mengenal lebih dulu."

Mungkin karena akhir-akhir ini, emosi Aluna semakin tidak terkendali, sebuah pukulan sekuat tenaga ia berikan untuk Fatih. "Jangan bohongi saya!"

Meskipun sempat terdorong ke belakang, Fatih sama sekali tidak merasakan sakit dari pukulan Aluna. Ia menatap lekat Aluna sebelum akhirnya menghela napas.

"Saya harus pamit dulu, Aluna. Sampai bertemu lagi, saya janji." Ia kembali bicara sambil menyodorkan buket bunga pada Aluna, "ini untuk kamu."

Semakin heranlah Aluna dibuatnya. Fatih berjanji untuk kembali di saat Aluna bahkan tidak mengenalnya dan tidak mengharapkan sosoknya kembali muncul di hadapannya. Ia juga mengerutkan keningnya saat melihat buket bunga mawar yang kini Fatih letakkan di atas kasur Aluna karena tidak kunjung diambil oleh si penerimanya.

Fatih mengulum senyum tipis. Tidak lama setelahnya, ia menghilang dari hadapan Aluna, keluar dari kamar hingga menyisakan tanda tanya besar di kepala Aluna.

Decihan keluar dari mulut Aluna. Ditatapnya buket itu dengan alis yang menukik tajam. Ia berujar, "Papa terlalu sering berada di luar rumah hingga lupa bagaimana karakter anaknya. Bisa-bisanya ia menjodohkan aku dengan lelaki asing seperti Fatih."

Aluna meletakkan handuk kecil berwarna putih miliknya di atas kasur, bersebelahan dengan buketnya. Kedua kakinya melangkah menuju balkon sewaktu telinganya mendengar percakapan yang tidak begitu jelas terdengar di halaman rumahnya di bawah sana. Matanya menangkap kehadiran Fatih bersama kedua orang tuanya. Tidak lama mereka berbicara. Percakapan seperti berakhir saat Fatih tersenyum sambil mengangguk kepada Papa dan mamanya Aluna.

Seakan tahu bahwa dirinya diperhatikan, Fatih mendongak hingga dirinya dan Aluna saling bertatapan sejenak tetapi buru-buru diputus oleh Aluna yang membuang mukanya lalu berjalan memasuki kamarnya. Aluna tidak sadar bahwa perilakunya itu membuat lelaki yang hendak memasuki mobilnya sempat terhenyak sebelum akhirnya meninggalkan rumah Aluna.

Black Magic Rose.

Taruh dibawah cahaya yang remang-remang, bunga ini akan serupa dengan warna hitam. Bibi bilang, itu warna kesukaanmu. Saya akan kembali.

Begitulah kira-kira isi dari sepucuk surat yang berada di buket bunga mawar dari lelaki bernama Fatih itu. Aluna mengamati buket mawar di tangannya lamat-lamat. Warnanya merah tua yang sangat pekat hingga serupa warna hitam. Wanginya harum dengan kelopak ganda dan juga  tebal.

Basi.

Terlalu klasik untuk perkenalan yang diawali dengan sebuket bunga — menurut Aluna. Ia meletakkan buket itu di atas meja kecil di sebelah kiri kasurnya. Berharap akan ada seseorang yang membuangnya mengingat bunga itu tidak menarik perhatiannya.

Tetapi tanpa Aluna sadari, bunga itu tetap di sana tidak beranjak sedikitpun sekalipun berhari-hari tidak tersentuh. Hanya berubah menjadi berada di dalam vas tanpa diketahui siapa yang melakukannya.

***

Malam itu, Aluna yang biasanya jarang sekali keluar kamar memilih berjalan meniti tangga kamarnya untuk menghampiri kedua orang tuanya. Ia tidak bisa diam saja atas pertemuannya dengan lelaki bernama Fatih pagi tadi. Apalagi perihal maksud kedatangan Fatih yang malah mengaku sebagai calon suami Aluna. Itu semua tidak masuk akan. Aluna harus meminta penjelasan dari kedua orang tuanya dan menolak dengan tegas bila hal itu benar.

Masih harus menunggu beberapa bulan lagi sampai Aluna lulus dari SMA nya. Semester ganjil kelas dua belas baru saja ia tapaki. Tidak mungkin rasanya ia menerima pernikahan mentah-mentah di umur dan kondisi seperti sekarang. Apalagi dengan orang asing seperti Fatih.

Dengan bermodalkan hoodie berwarna hitam miliknya, Aluna menutupi luka-luka di tangannya. Sesekali sewaktu berpapasan dengan pelayan yang jumlahnya tidak pernah Aluna ketahui karena selalu nampak berganti-ganti itu menyapa Aluna namun tidak digubrisnya. Satu-satunya pelayan yang Aluna kenali adalah Bibi selaku kepala pelayan yang datang tadi pagi bersama dengan Fatih. Ia juga satu-satunya pembantu rumah tangga yang diperbolehkan memasuki kamar Aluna dan mengantarkan segala keperluan Aluna.

"Dimana Papa dan Mama?" tanya Aluna begitu ia bertemu Bibi.

"Tuan dan Nyonya ada di ruang kerja, Nona. Sepertinya sedang sibuk seperti biasa. Mari Bibi antarkan ke sana," jawab Bibi yang kemudian ikut melangkah bersama Aluna menuju ruang kerja di rumahnya.

"Bibi mengenal Fatih?" tanya Aluna. Tatapannya seperti menuntut penjelasan dari Bibi sebelum memintanya dari kedua orang tuanya. Karena tadi siang perempuan di sebelahnya itu malah melarikan diri tanpa ingin menjelaskan sesuatu mengenai Fatih.

Sembari berjalan, Bibi menjawab. Namun jawaban yang diberikan hanya penjabaran dari apa yang Aluna lihat. Bukan sesuatu yang tidak Aluna ketahui. "Dia seseorang yang baik, Nona. Menurut Bibi, dia sangat cocok dengan Nona Aluna."

Aluna mendecih. Baginya, kalimat terakhir Bibi hanyalah omong kosong karena antara kalimat pertama dan terakhirnya sangat berlawanan. Aluna bisa melihat bahwa Fatih adalah lelaki baik-baik karena kemarin dia tidak berbuat jahat padahal Aluna sudah berjaga-jaga untuk mengambil benda tajam. Karena Fatih lelaki yang baik, Aluna merasa bahwa dirinya sangat tidak pantas untuk Fatih. Ia merasa bahwa tidak ada satupun hal baik dalam dirinya yang bisa disandingkan dengan Fatih.

"Saya tidak merasa begitu. Jangan bicara omong kosong," kata Aluna yang langsung membuat Bibi terhenyak meskipun sudah biasa mendapatkan ucapan ketus dari Aluna.

"Maaf, Non." Bibi segera meminta maaf.

Aluna tidak menanggapinya dan memilih langsung memasuki ruang kerja kedua orang tuanya begitu mereka sampai di sana hingga menyisakan Bibi sendiri sambil menghela napasnya.

Seperti yang Aluna duga. Sekalipun berada dalam ruangan yang sama, orang tuanya tidak sedikitpun terlibat percakapan. Mereka justru sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Papa yang duduk di meja kerjanya dengan kaca mata yang tertanggal di hidungnya lalu mamanya yang nampak tengah berkeliling rak buku untuk mencari buku miliknya.

"Aluna?" Mamanya Aluna yang lebih dulu menyadari keberadaan Aluna berujar memecah keheningan. Diikuti papanya yang menoleh pada Aluna.

"Tumben kamu keluar kamar sepulang kami di rumah. Apalagi sampai ke ruang kerja," kata papanya sambil melepas kaca mata yang dikenakannya. Perkataannya itu serupa sindiran untuk Aluna.

Sebelum Aluna menjawab, mamanya lebih dulu menyahuti, "pasti ingin bertanya soal Fatih."

Dugaan itu menjadi sebuah ucapan telak yang benar adanya. Aluna memang datang ke sana untuk menanyakan hal itu.

"Kenapa Papa dan Mama menjodohkan Aluna? Papa dan Mama tidak lupa kan kalau Aluna masih sekolah?" Ibarat sebuah pisau, ucapan yang keluar dari mulut Aluna seperti mengiris hatinya sendiri.

"Kamu memang patut dijodohkan. Papa sudah muak dengan kelakuan kamu yang semakin sulit diatur," jawab papanya lalu bangkit dari kursinya untuk duduk di sofa yang berada di sebelah rak buku agar posisinya lebih dekat dengan Aluna. Duduknya ia di sana juga seolah menyuruh Aluna untuk duduk di sebelahnya.

"Kenapa? Aluna masih belajar. Aluna tidak melakukan kenakalan remaja seperti merokok, balap-balapan liar ataupun minum-minuman keras." Aluna membantah. Seakan tidak ingin mengalah, ia dengan beraninya membalas tatapan mata tajam papanya dengan hal serupa.

"Menurut kamu, self injury itu adalah hal yang benar, begitu?" Papanya menyindir lagi. "Papa dan Mama tidak punya waktu untuk mengurusi kamu. Sekalipun mungkin Fatih akan sibuk dengan pekerjaannya yang tidak pernah menetap di rumah, tetapi dengan hadirnya dia di sebelah kamu, Papa dan Mama bisa menjadi lebih tenang."

Memang pepatah yang mengatakan buah jatuh tidak jauh dari pohonnya adalah hal yang benar. Sekeras apapun keinginan papanya untuk menjodohkan Aluna, sekeras itu pula keinginan Aluna untuk membantah.

"Aluna menolak."

Dua kata itu menjadi obrolan terakhir antara Aluna dengan kedua orang tuanya. Karena selepas itu, Aluna langsung keluar dari ruangan itu dan menuju kamarnya tanpa ingin mendengar apapun lagi dari kedua orang tuanya.

***

If you read this and like it, let me know you've been a part of this story by voting it.

© 2019
Revisi 2021

Continue Reading

You'll Also Like

Pengantin Iblis By Khalisa

Mystery / Thriller

201K 13K 43
"Kau telah terikat dengannya, Alana." Malam itu burung gagak membawa kabar buruk yang akan menghancurkan seluruh hidup Alana, sebuah kutukan yang mem...
2.4K 543 57
Sepi, sunyi, senyap. "Sangat menenangkan." "Aku benci semua orang!" "Semua orang membenciku ..." "Aku ingin mati!" "Aku tidak ingin mati ..." Tentang...
5.3K 1.1K 19
Anindya dan Bara adalah tetangga, sekaligus teman dari orok yang berlangsung hingga mereka SMA. Berbeda dengan Anindya yang terlihat membenci, Bara j...
50K 2.4K 44
Pramuka? Lelah, letih, capek dan tentunya banyak pengalaman. Kata siapa anak pramuka cuma bisa PBB, Satya Dharma, ataupun sandi-sandi? Karena nyatany...