Aku meloncat dari tempat tidur dan berlari ke arah kamar mandi, kantukku lenyap setelah telingaku mendengar nama Pak Shaka. Tak membutuhkan waktu lama, aku keluar dari kamar mandi kemudian berlari ke arah lemari, menyambar hoodie putih dan pants panjang berwarna abu-abu gelap.
Aku membubuhkan bedak tabur Marks, merapikan alis yang berantakan dan mewarnainya sedikit gelap, memoles bibirku dengan lipbalm. Kemudian aku menggulung rambut dan menyisakan beberapa helai rambut saja. Detik berikutnya, kakiku keluar dari kamar lalu menuruni anak tangga.
Di atas kursi ruang tamu sudah duduk si pemilik rahang tegas dengan cambang tipisnya, menyilangkan kedua kaki tanpa tahu diri di depannya ada Tante Celin dan Fastelin yang tersenyum tidak jelas, menawarkan minum dan camilan seperti SPG jajanan. Dalam hatiku bergunjing, mereka bertiga cocok sekali menjadi satu keluarga, ketiganya sama-sama tidak waras.
"Terlambat 10 menit 56 detik," ujar Pak Shaka sembari berdiri.
"Bap-" shit! Aku tidak boleh memanggilnya dengan sebutan itu, bisa curiga nanti tuh nenek lampir, "Kau tidak bilang akan menjemputku sepagi ini," balasku membela diri dan meralat sebutan 'bapak' menjadi 'kau'.
Pak Shaka menarik ujung bibirnya, kemudian mendekat ke arahku. "Its Okay, Baby. Ini suprise kok. Yuk, berangkat," katanya sembari menarik pinggangku. "Ibu mertua?"
Dipanggil seperti kontan wajah Tante Celin tampak kegirangan, merasa berbangga diri bakal mempunyai menantu pewaris kerjaan bisnis Adhitama Jaya. "Iya, Menantu?"
"Saya pamit, sekalian izin membawa putri cantik anda ke rumah saya."
"Oh, iya silakan. Jangan bosan buat main ke sini ya. Tapi maaf, gubuk kami tidak sebagus istana Nak Menantu," kata Tante Celin.
Kontan membuatku berdecak kesal mendengar ucapan ibu tiriku yang norak itu. Rumah ayah tidak sejelek gubuk, kok. Ya, memang benar sih tidak sebagus rumah Pak Shaka yang bahkan aku tidak bisa membayangkan bagaimana megahnya rumah calon suamiku ini. Tetapi, ucapan Tante Celin barusan membuatku dongkol.
Pak Shaka membukakan pintu mobil untukku, mempersilakan aku untuk masuk dengan senyuman. Si aktor paling pintar bersandiwara itu sempat membungkukkan badan secara santun kepada Tante Celin dan dua anaknya yang berdiri di teras, sebelum akhirnya dia menyusulku duduk di jok belakang mobil.
Sepanjang perjalanan kami terbungkus sepi, aku hanya duduk menatap gedung-gedung tinggi yang berlalu bergantian melalui kaca mobil dengan sesekali melirik Pak Shaka yang sibuk dengan tablet. Aku bisa menebak, sebab perceraian Pak Shaka dengan istrinya pasti karena pria di sampingku ini adalah workholic, lihat saja dua matanya tampak serius menatap layar yang menampakan grafik-grafik naik turun, tanpa peduli ponselnya berdering sedari tadi.
"Pak, ponselnya berdering tuh!"
"Hm?" Pak Shaka menoleh ke arahku, fokusnya terpecah menyadari ponselnya berdering. Tanpa memperdulikan pandanganku, dia meraih ponselnya dan menjawab telepon dari seseorang.
See? Seolah dunianya berputar di tablet dan acuh tak acuh terhadap sekitarnya. Bahkan, ponsel yang berdering cukup keras itu tidak bisa didengar oleh telinganya. Setelah memasukkan ponsel di saku belakang jas-nya, dia kembali menatap layar tablet. Berdeham sebentar, kemudian melirikku. "Kau sudah sarapan?"
"Aku nggak biasa sarapan."
"Oh."
Oh doang? Dasar!
"Oh, ya, nama putrimu siapa?"
"Alisa."
"Umur berapa?"
"Sepuluh tahun."
"Apa dia sepertimu?"
"Maksudnya?" Pak Shaka menoleh ke arahku.
"Kalo misal dia sepertimu yang dingin, mulutnya pedas, pemaksa. Aku akan lebih bersiap diri menghadapi duplikatmu."
"Jangan khawatir, dia mirip ibunya. Lebih banyak senyum dan tidak sepertiku."
Aku bernapas lega, setidaknya aku tidak akan menghadapi dua stressor dalam beberapa bulan kedepan. Aku tidak bisa membayangkan jika misal Alisa, putri Pak Shaka sebelas duabelas dengan ayahnya, bisa-bisa aku dipastikan jadi gila. Menghadapi Pak Shaka saja rasanya sudah diambang kewarasan.
"Dia memanggilmu apa? Ayah? Papa? Papi? Daddy? Apa dia suka dipanggil Honey? Baby? Biasanya kau memanggilnya gimana?"
Pak Shaka mematikan tabletnya, dia menghela napasnya sejenak, kemudian menatapku sangat intens, "Sepertinya aku harus menambahkan pasal pada surat perjanjian kita."
Keningku berkerut, heran. Tanyanya apa, jawabnya apa.
"Jangan─banyak─tanya," sarkasnya.
Bibir atasku membentukan lekukan kecil, aku menatap sinis kearahnya. "Kalo tidak tanya, gimana bisa tahu? Nggak pernah belajar peribahasa Malu bertanya sesat di jalan?!"
"Ada GPS, tidak perlu tanya."
Mulutku melongo, tidak percaya dengan jawaban yang dilontarkan Pak Shaka. Detik kemudian aku memutuskan untuk mengalihkan pandangan dan diam. Percuma bicara sama makhluk anti-sosial di sampingku ini. Aku harus kontrol emosi demi perjanjian itu.
****
Sekitar satu jam perjalanan, roda mobil Pak Shaka berhenti di sebuah gerbang besi besar nan tinggi. Dua penjaga berseragam dan bersenjata terlihat berdiri di pos dekat gerbang. Gerbang itu perlahan terbuka, seolah terbelah otomatis. Tepat di samping gerbang itu, terdapat sebuah tulisan Mansion Shabiru yang diukir di atas marmer berjenis Acid yang mempunyai permukaan timbul, terkesan sederhana namun elegan.
Setelah gerbang terbuka penuh, roda mobil kembali melaju melewati jalanan pavling dengan taman di samping kanan kirinya. Mataku berbinar melihat tatanan taman yang kaya dengan bunga dan pepohonan buah, keluarga Adithama Jaya seolah menciptakan sebuah kota tersendiri dibalik gerbang besi mereka. Benar-benar menakjubkan!
Berjarak sekitar 200 meter dari gerbang, terlihat sebuah gedung menjulang tinggi dengan empat pilar yang semua terbuat dari marmer, pantulan sinar matahari semakin membuat pilar itu tampak mengkilap. Bangunananya berdesain arsitektur dan interior klasik seperti sebuah kastil dengan sedikit sentuhan modern. Sebuah kaca besar terletak di atas rooftop dan terlihat tanaman hijau menjalar di dalamnya.
"Welcome to my paradise," ujar Pak Shaka.
Aku menelan air saliva kuat-kuat. Aku benar-benar seperti Cinderella yang dilamar pangeran istana dengan segala kekayaannya. Sisi lain dalam diriku berkata, Shit! You're lucky girl!
Setelah roda mobil berhenti, seseorang berjas hitam membukakan pintu. Pak Shaka keluar terlebih dahulu, kemudian disusul olehku dengan bola mata berkelana menyisir pemandangan rumah mewah Pak Shaka.
Beberapa orang dengan pakaian seragam, berdiri di depan pintu. Mereka menyambut kedatangan Pak Shaka, persis seperti di drama-drama. Aku berjalan mengikutinya, pria itu mengajakku ke ruang tengah,
"Uwaw," cetusku tanpa sadar, mendapat reaksi dari Pak Shaka sebuah lirikan, aku segera menetralkan ekspresi yang terkagum oleh desain interior ruang tengah Pak Shaka.
Terdapat dua sofa besar berwarna krem dan tiga sofa sedang menghadap ke arah perapian, perpaduan warna krem dan cokelat yang konsisten dengan tatanan bebatuan marmer di samping perapian, lantainya pun masih dengan jenis Onyx dilapisi karpet tebal dibawah sofa tersebut. Ada dua buah vas bunga besar yang diisi dengan tanaman palem kuning di dekat jendela.
"Nona Alisa ada di Rumah kaca, Den Shaka." Seorang perempuan paruh baya keluar dari salah satu pintu penghubung ruang.
Pak Shaka mengangguk, "Oh, ya, Biyung. Perkenalkan dia Sabella."
Perempuan yang dipanggil Biyung itu menoleh ke arahku. Kontan aku tersenyum menyambutnya.
"Apakah dia orangnya?" tanya Biyung kepada Pak Shaka, tidak membalas senyuman dariku.
Pak Shaka kembali mengangguk dengan pancaran mata yang mengungkapkan sebuah keyakinan kuat. Biyung pun tersenyum, kemudian menoleh ke arahku dan menyambut baik orang yang tadi dicuekinya. Tak mau membuang waktu, Pak Shaka segera mengajakku ke Rumah kaca yang terletak tepat di atas gedung ini. Tidak ada percakapan di antara kami, selain menikmati keindahan mansion Pak Shaka, aku juga penasaran dengan putrinya.
"Kamu tunggu di sini," kata Pak Shaka saat kami baru saja masuk di Rumah Kaca. Pria itu berjalan ke arah gadis kecil yang sedang duduk di tengah-tengah bunga bersama dengan beberapa baby sitternya.
Meskipun terlihat dari belakang, aku bisa menduga jika Alisa adalah gadis yang cantik, bisa dilihat dari rambut panjang hitamnya dengan bando lucu berwarna merah. Dia juga mengenakan sebuah baju princess berwarna putih dengan manik senada dengan bandonya. Kulitnya putih pucat seperti warna kulit orang bule. Pak Shaka terlihat berlutut di depannya, memasang wajah yang berubah drastis. Terlihat begitu hangat, aura kekauannya sangat begitu jelas.
Setelah bicara entah apa, Pak Shaka mengisyaratkanku untuk mendekat ke arahnya. Aku merapikan sebentar helaian rambut, kemudian memasang wajah riang dengan senyuman terbaik untuk bertemu dengan putri Pak Shaka, seseorang yang akan menjadi tanggung jawabku.
Jantungku mendadak berdebar, semoga Alisa mau menerimaku. Aku harus selalu mengingat bahwa aku harus bisa mematahkan imej buruk tentang ibu tiri. Aku bukan Tante Celin dan aku tidak mau menjadi sepertinya.
"Sabella, kenalkan dia putriku, Alisa Shabiru," kata Pak Shaka sembari berdiri.
Senyumanku perlahan mengendur setelah melihat gadis cantik yang duduk di atas kursi taman itu. Mendadak suasana menjadi sunyi.
Aku mematung, tidak bisa berkata apa-apa lagi.
****