IMPOSSIBLE [Completed]

By FauziahZizi5

45.1K 1.9K 397

"Tuhan itu nggak adil, kenapa Tuhan jadiin hidup gue sehancur ini." -Aerylin Fradella Agatha- "Gue suka sama... More

Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
CAST
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
Pemilihan Cover
32 (Terbongkarnya Rahasia)
33- Oh jadi Alwan itu ( Semua terbongkar mulai dari sini)
Hai
34 - IMPOSSIBLE (End)
Baca Dulu, Penting

31

584 29 0
By FauziahZizi5

Abak turun dari mobilnya yang tampak kusam karena belum sempat membawanya ke tukang cuci kendaraan. Ya memang, biasanya pak Buyuang yang bertugas mencucikan tapi jika sudah di perintahkan Abak terlebih dahulu.

Dulu pernah, pak Buyuang berinisiatif mencucikan mobilnya namun Abak marah-marah setelah mengetahui hal tersebut. Hari itu suasana hatinya sedikit terganggu akibat adanya masalah di kantor. Bisa disebut Abak melampiaskan amarahnya pada pekerja yang ada di rumah dan sejak saat itu pak Buyuang menjadi trauma.

Wajahnya kusut dan terdapat kerutan berlapis-lapis di keningnya yang lembab karena peluh. Dengan langkah panjang ia berjalan memasuki rumah sakit, tak sengaja menabrak seorang lelaki bertubuh jangkung, berotot dan dilengan kanannya terukir gambar naga. Lelaki berotot itu mendecah, Abak meminta maaf dan meninggalkan orang tersebut yang sepertinya masih mengumpat.

Sekilas Abak berpikir, memangnya ada ya lelaki seperti itu di sini? Pertanyaan bodoh, tentu saja ada. Toh dia juga manusia yang mendadak bisa sakit, kecelakaan, kemungkinan itu selalu ada. Abak menggeleng, membuang jauh-jauh akan hal itu karena sekarang ia harus fokus pada keadaan Aery yang masih belum sadar semenjak kemarin.

Abak berbelok ke kanan, melewati lorong terang akibat cahaya lampu. Sepertinya setiap sudut rumah sakit ini wajib di berikan penerangan karena semua tempat sering kali ditemui bercahaya putih.

Tak sengaja, Abak melihat seorang pasien baru dengan wajah dan tubuhnya berlumuran darah. Ada beberapa bagian tubuhnya yang membengkak dan membiru, pasien itu meronta-ronta dan menjerit kesakitan. Abak menarik napas panjang, bau rumah sakit yang khas menyeruak masuk ke hidungnya. Tak ingin berlama-lama melihat hal tersebut, Abak mempercepat langkahnya.

Tak lama, Abak sampai di suatu kamar bernomor 67. Ia menarik ganggang pintu dan masuk ke dalam. Semua pasang mata kini tertuju kepadanya namun Abak santai saja berjalan menuju sofa berwarna hitam.
Kedua tangannya direntangkan di atas sofa, melepaskan penat-penat yang sedari tadi merajalela. Tentu, 2 hari ini dia terpaksa bolak-balik dari rumah sakit ke kantor, dari kantor kembali lagi ke rumah sakit. Tidak ada jeda untuk bersantai sambil meneguk kopi panas, tidak ada waktu untuk menyantap makanan di restaurant.

Ama berdehem lalu berucap, "Bagaimana?"

Abak melirik Ama dan mengangguk malas, lalu memejamkan matanya untuk beristirahat mungkin untuk 10 menit, harapnya demikian. Ama kini berada di samping Aery yang tengah tertidur sangat pulas, bahkan karena sangat pulas ia lupa untuk bangun.

"Baiklah, bagaimana kalian bisa tahu tentang hal ini? Apa kalian teman sekelas Aery? Jika benar, baguslah. Itu artinya anak saya punya teman di sekolahnya," tanya Ama menuntut jawaban dari mereka.

Seorang gadis dengan tahilalat di antara kedua alis angkat suara, "Kabar buruk itu selalu cepat menyebar Ante. Ya, kami teman sekelasnya dan akan selalu begitu meski tak pernah dianggap."

Ama yang tengah mengusap rambut Aery menghentikan aktivitasnya itu, tak pernah dianggap, kalimat itu membuatnya bertanya, heran. Sekejap sebuah kesimpulan muncul di benaknya bahwa Aery tidak ingin berteman. "Hmm, bisa jelaskan bagaimana Aery di sekolah?"

Perempuan bertahilalat tadi menatap temannya yang lain, mereka agak ragu menjelaskan namun Ama tampaknya butuh ke jelasan di sini. Baiklah, seorang lelaki bermata cokelat jernih menjelaskan, "Seperti anak sekolah pada umumnya, Aery juga belajar hanya saja ia tidak pandai bergaul terutama pada kami semua. Entahlah, kadangkala ia sangat bahagia dan berambisi untuk meninggalkan kami dalam pelajaran. Kadang, ia datang dengan wajah tak bersemangat. Begitu lesu hingga sesekali guru memarahinya karena sering memenung di kelas. Diam-diam kami memperhatikan, namun setiap kali kami ingin berteman dia pergi. Ante tahulah, ada massanya kami bersenda gurau tapi sepertinya dia tidak nyaman akan hal itu dan sangat jelas Aery dendam pada kami. Semua terpancar dari matanya, tatapannya."

Abak belum tidur, ia hanya memejamkan mata sehingga bisa mendengar penjelasan teman sekelas anaknya. Sedangkan Ama tertegun, begitu memprihatinkan nasib gadis manis yang selama ini ia jaga. Lelaki tadi menunduk, takut jika ada yang membantah ataupun malu menatap kedua orangtua Aery. Begitu juga dengan yang lain, mereka saling merapat.

"Lihat, jarinya bergerak," teriak salah satu dari mereka. Semua yang memenuhi ruangan itu berharap agar Aery siuman. Ini bukan waktunya untuk bersenang-senang di alam mimpi, bangun dan lihatlah bagaimana cahaya lampu menusuk kornea matanya lagi.

Abak bangkit, ia mendekat dan berdiri di samping istrinya sambil menggenggam tangan lembut milik Ama. Hari ini udara begitu dingin, ditambah lagi dengan adanya AC. Dingin makin menusuk kulit hingga ke tulang dan membuatnya bergetar. Hari ini sering kali turun hujan, menurut beberapa orang bahwa di bulan yang berakhiran ember maka hujan suka datang membasahi bumi, melembabkan isinya.

Perlahan Aery membuka kelopak matanya, semua orang memperhatikan bahkan ada diantara mereka yang terlalu mencondongkan badan ke arah Aery. Gadis yang tengah berbaring itu, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk menembus retina.

Tangannya bergerak menuju kepala yang terperban, sedikit menekan pada bagian yang terdapat luka dan meringis kesakitan. Merasa asing dengan suasana ini, ia melirik ke segala arah. Tidak sama seperti kamarnya, dan penuh heran Aery bertanya pada dirinya sendiri dimana ini.

Melihat banyak orang yang ada di sekitarnya, membuat Aery kaget terutama kedatangan teman sekelasnya. Ini sungguh tak pernah terpikirkan oleh gadis itu, benarkah mereka mau datang ke sini. Menemuinya?

"Ai akhirnya kamu sadar nak," suara Ama bergetar dan tak lama disusul oleh air mata.

Aery menatap datar ibunya.

"Ai, hmmm. Kamu tidurnya kenapa kelamaan? Abak khawatir," matanya tampak berlinang dan memerah karena kurang tidur.

Aery hanya diam saja, kali ini tatapannya begitu dalam. Tentu tamparan kala itu masih terngiang-ngiang di pikirannya bahkan sakitnya juga masih terbayang dengan sangat jelas.

"Hai," sapa lelaki berkacamata dengan bibirnya yang merah. Bukan karena lipstick tapi memang sudah dasarnya begitu. Dia putih dan tidak terlalu jangkung tapi lebih tinggi dari Aery. Ketua kelas, itu jabatan yang ia sandang tahun ini.

Aery menoleh ke sisi kirinya, tampak wajah-wajah yang tak sepenuhnya dikenali. Mungkin selama ini Aery tidak terlalu memperhatikan siapa saja teman sekelasnya. Kali ini juga tidak ada senyuman, mereka semua membuang napas percuma. Benar saja, gadis ini memang tak pernah menganggap mereka.

Merasa mengganggu saja, semua yang memakai seragam putih abu-abu bergeser sedikit demi sedikit untuk mencapai pintu keluar. "Apa kalian datang untuk pergi secepat ini?" ujar Aery mencoba untuk menyandarkan tubuhnya ke ujung ranjang.

Mereka memandang gadis itu, saling menatap sebelum akhirnya menggeleng secara serempak. "Gaklah. Hmm, jika kami mengganggu sebaiknya kami pe-"

"Makasih ya udah datang ke sini," potong Aery. Mereka mencari kebenaran di mata gadis itu, ternyata sosok Aery tidak sedingin yang dikira.

Si ketua kelas menjauh dari kerumunan, ia mendekati Aery dan di susul oleh yang lain. "Baiklah, bisa jelasin gimana kelas tanpa gue?" tanya Aery sambil menatap langit-langit kamar.

"Entahlah, rasanya ada yang kurang. Kami rindu lo es batu."

Seseorang tertawa, lalu di susul yang lainnya. Mereka menceritakan semua yang terjadi saat Aery tidak masuk sekolah. Mulai dari cerita pak Anton yang salah mengenakan pakaian, mungkin ia terlalu sibuk jadi ia hanya memakai kaus oblong berwarna putih. Di padukan dengan celana dasar dengan kedua ujungnya terlipat tak beraturan. Juga tentang marahnya guru yang mengajar kimia, waktu itu ia menerangkan panjang lebar rumus-rumus yang sama sekali tak diperhatikan oleh murid yang ada di kelas Aery.

Mereka hanya asyik pada pekerjaan masing-masing; memainkan ponselnya, bergosip, bercanda. Hingga akhirnya semua anggota kelas dihukum di lapangan karena tidak ada satupun dari mereka yang mengerjakan tugas yang diberikan.

Masih banyak lagi dan sekilas tampak seulas senyuman di bibir Aery saat mendengar cerita dari teman-temannya. Ama bahagia, setidaknya Aery masih mau tersenyum ya walau bukan karena dia.

***

Alwan membereskan semua buku-buku yang ada di atas meja, ia tampak tergesa-gesa bahkan semua buku masuk secara sembarangan. Kemudian memakai jaket kulitnya dan berjalan ke arah Reno yang sedang duduk sambil memainkan ponselnya.

"Temenin gue ke rumah sakit ya, udahlah mainnya entar aja. Sekarang temenin gue dulu," menarik lengan Reno secara paksa.

"Ngapain ke sana, lo mau operasi plastik? Baru sadar ya kalau ketampanan lo gak ada apa-apanya sama gue. Gue mah babang tamvan sejagat raya," ucap Reno.

Alwan menyeringai, "Gak lucu, gue serius Ren. Lo jangan becanda terus dong, mau lo gue lempar ke lubang buaya?" menepuk pundak temannya itu.


"Aery lagi dirawat di rumah sakit," lanjut Alwan menjelaskan.

Seketika Reno terdiam, takut jika ternyata penyebab Aery masuk ke rumah sakit adalah karena dikurung di gudang waktu itu. Reno mendecah kesal, ini adalah salah Rinda yang bertindak senonoh saja tanpa memikirkan apa akibatnya. Bayangkan, apa yang akan terjadi jika waktu itu Reno tidak datang membukakan pintu. Aish mungkin bisa lebih parah dari masuk rumah sakit yaitu kematian.

Mereka melangkah menuju parkiran, namun sebelum sampai ke sana buk Tuti memanggil Alwan untuk membantunya memasukkan file ke komputer lalu mengirimnya ke kantor pusat. Ya buk Tuti tak mengerti betul caranya, ia takut jika melakukan kesalahan dan semua file penting itu hilang tak berbekas.

Alwan merasa berat hati untuk membantu, sejak tadi pagi Aery lah yang selalu berada dipikirannya bahkan saat ini masih seperti itu. Reno mendorong tubuh lelaki itu agar segera membantu buk Tuti yang telah berdiri tegak pinggang di pintu ruang guru.

Reno menatap punggung temannya hingga menghilang, setelah itu ia buru-buru menelpon Rinda. Mereka membuat kesepakatan agar bertemu di parkiran karena kebetulan Rinda masih belum pulang.

"Ada apa?" tanya Rinda yang tengah duduk di motor Beat merah putihnya.

"Lo gila ya? Ngapain lo ngunci cewek itu di gudang? Mau bunuh orang? Wau, besar juga nyali lo. Asal lo tau, sekarang dia lagi dirawat di rumah sakit dan semua itu karena lo Rin. Kalau sampai pihak sekolah tahu bisa mampus kita," jelas Reno sambil memijat keningnya. Ia menganggap penyebab semuanya adalah ulah Rinda.

"Terus gue harus ngelakuin apa sekarang?" tanya Rinda lagi, kali ini ia mulai serius.

"Jujur aja! Sebenarnya lo itu mau jauhin dia sama Alwan kan? Tujuannya supaya gak ada yang bisa dapatin Alwan diantara kalian berdua. Ya udah biar gue bantuin tapi jangan pakai kekerasan," Saran Reno, kini wajahnya sedikit menegang.

Rinda menatap langit yang sedikit tertutup awan abu-abu, "Kenapa lo mau bantuin gue?"

"Karena gue ngerasa yang gue lakuin ini benar."

Perbincangan mereka terhenti ketika mendengar teriakan Alwan, Rinda buru-buru memakai helm hello kity-nya dan menyalakan motor lalu pergi dari sana sebelum Alwan datang.

Reno pura-pura sedang menunggu di tempat motornya terparkir. Tak lama Alwan datang, ia memanggil temannya itu, mereka pergi dengan kendaraan masing-masing. Jarak sekolah ke rumah sakit tidak terlalu jauh, hanya menghabiskan waktu 20 menit jika laju kendaraan diatas 100.

Seperti biasa, Alwan ngebut-ngebutan di jalan raya sedangkan Reno berusaha menyeimbangi kecepatannya agar tidak tertinggal jauh. Untung hari ini tidak ada polisi yang berlalu-lalang di sekitar jalan menuju rumah sakit, atau memang ada tapi Alwan tidak melihat keberadaan mereka. 

Mereka menyalip jika ada kesempatan, memotong jika kendaraan di depannya lambat. Reno benar-benar kualahan, baru kali ini ia melihat Alwan sengebut ini di jalanan, timbul suatu pertanyaan di benak Reno. Apakah Aery begitu penting baginya?

Kota Padang semalam di guyur hujan lebat disertai angin kencang, untungnya tidak disusul oleh petir. Di sepanjang jalan ada saja penjual yang mencari nafkah, setidaknya itu bagus daripada menjadi peminta-minta di jalan ibukota.

Reno memukul motornya saat mendapati lampu merah sedangkan Alwan sudah jauh di depan sana dan hilang di keramaian kendaraan yang memadati jalan. Ia begitu tak sabar menunggu lampu hijau menyala dan menyusul Alwan yang mungkin saja sudah sampai di sana, mungkin. 

Akhirnya lampu itu menyala, terdengar bunyi klakson dari pengendara yang ada di belakangnya. Buru-buru Reno menjauh dari sana, ia pernah ke rumah sakit beberapa kali menemani  uwo berobat jadi tentunya Reno masih ingat betul jalur yang harus dituju. Terutama jalan tikus untuk menghindari razia, motornya sudah dimodifikasi jadi ada beberapa yang menyalahi aturan.

Alwan memasuki kawasan rumah sakit, ia mencari tempat untuk memarkir motornya dan jauh dari sana ada palang yang memberitahu bahwa di tempat itu khusus untuk parkir roda dua. Dengan sedikit susah payah, Alwan memarkirkan motornya di antara dua motor lain.

Ia meninggalkan tas di atas motor matik itu dan melaju memasuki rumah sakit. Di depan pintu masuk Alwan berselisih dengan Abak yang sedang menelpon, tampaknya Abak terburu-buru keluar dari sini.

Alwan menyadari bahwa pria dengan penampilan yang tidak serapi saat pernah datang menjemput Aeru waktu itu ke rumahnya adalah Ayah Aery. Alwan merubah haluan, ia menyusul Abak.

"Sesibuk itunya ya Om? Sampai-sampai harus pergi saat anaknya lagi dirawat, " teriak Alwan.

Abak sekilas menoleh ke belakang ,ia masih menelpon dan terus saja melangkah tanpa memperdulikan ucapan Alwan barusan.

"Om kalau gak bisa jagain anaknya, biar saya aja yang jagain."

Langkah Abak terhenti, ia memutuskan panggilan, berbalik dan melangkah santai menuju Alwan.

Mata mereka saling bertemu, "Maksud kamu saya gak becus jagain anak saya sendiri? Liat diri kamu dulu, emangnya udah benar jagain diri sendiri?"

Alwan menarik satu ujung bibirnya ke atas, "Emang kenyataannya gitu kan Om. Apa bedanya sama Om sendiri? Udah bener?"

Abak yang sudah pusing karena urusan kantor dan keluarga, kini semakin bertambah sakit kepalanya. Seperti biasa, sisi tempramentalnya keluar dan spontan menampar Alwan yang sudah membuat mood baiknya hancur.

Yang ditampar kaget, ia sedikit terhuyung ke samping. Tangan kanannya bergerak ke pipi yang terkena tamparan tak terduga itu. Alwan menyeringai, ia yang tadinya tertunduk sekarang menengadah menatap Abak. "Saya cuma saranin satu hal Om. Mendingan jagain anak Om dengan bener sebelum nanti ada yang nyakitin. Oh iya satu hal lagi, tamparan barusan menyakitkan mungkin Aery juga ngerasain hal yang sama."

Tangan Abak mengepal di bawah sana, dengan suara lantang ia berteriak mengusir Alwan. Tak ingin membuat keributan, Alwan segera pergi meninggalkan rumah sakit sebelum Abak semakin murka. Reno bingung  melihat temannya berjalan menjauh dari bangunan hijau itu. Padahal ia baru saja sampai.

***

Vote dan Komennya jangan lupa ya. Terima kasih.

Continue Reading

You'll Also Like

3.5M 166K 62
[SEBELUM BACA YUK FOLLOW DAN VOTE SETIAP CHAPTER SEBAGAI BENTUK PENGHARGAAN BUAT AUTHOR YANG CAPE CAPE MIKIR ALURNYA, YA WALAU MUNGKIN ADA YANG GAK M...
2.3M 71.8K 74
NOVEL BISA Di BELI DI SHOPEE FIRAZ MEDIA "Bisa nangis juga? Gue kira cuma bisa buat orang nangis!" Nolan Althaf. "Gue lagi malas debat, pergi lo!" Al...
5.4K 391 22
[Follow dulu sebelum baca ya kakak-kakak😍😍] HIATUS Andini Amanda Viana, gadis berusia 16 tahun yang dikagumi banyak kaum Adam. Tidak hanya kaum Ada...
192K 20.7K 35
"Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan." Sebuah kisah anak manusia yang mencoba menemukan jati diri dan tujuan mereka hidup di dunia ini.