I Fall in the Autumn (Complet...

By red_momiji

7.5K 820 276

(TAMAT) Emi adalah gadis biasa anak pasangan petani di sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Dia bersahabat denga... More

I Fall in the Autumn Part 2
I Fall in the Autumn Part 3
I Fall in the Autumn Part 4
I Fall in the Autumn Part 5
I Fall in the Autumn Part 6
I Fall in the Autumn Part 7
I Fall in the Autumn Part 8
I Fall in the Autumn Part 9
I Fall in the Autumn Part 10
I Fall in the Autumn Part 11
I Fall in the Autumn Part 12
I Fall in the Autumn Part 13
I Fall in the Autumn Part 14
I Fall in the Autumn Part 15
I Fall in the Autumn Part 16
I Fall in the Autumn Part 17
I Fall in the Autumn Part 18
I Fall in the Autumn Part 19
I Fall in the Autumn Part 20
I Fall in the Autumn Part 21
I Fall in the Autumn Part 22
I Fall in the Autumn[End]
Tentang I Fall in the Autumn

I Fall in the Autumn Part 1

1.1K 50 87
By red_momiji

Aku selalu menyukai desiran angin yang berpadu dengan terik sinar matahari pagi. Seperti ini, pagi yang bergitu cerah, udara dingin seakan tak begitu terasa. Angin berhembus pelan menerpa wajahku dan menghalau rambut yang sudah tersisir rapi. Kusibak poniku yang tertiup angin, dan kuarahkan pandangan ke arah kiri, dan melihatnya. Laki-laki tampan yang begitu mempesona. Asyik berlari dan tenggelam dalam tawa ketika berusaha menembakkan bola basket ke dalam keranjang. Di tepi lapangan, para gadis berteriak menyerukan namanya. 

"Satriaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa", disambung dengan jeritan dan tawa yang membahagiakan.

Dia adalah Satria, laki-laki yang sangat disanjung oleh banyak orang. Gadis-gadis menyukainya dan berebut mencari perhatiannya. Kapten tim basket sekolah, wakil ketua OSIS dan ketua dewan ambalan pramuka. Bukan cuma itu, Satria juga anggota majalah dinding dan PMR. Wajahnya yang tampan dengan pancaran mata yang indah dan senyum yang menawan, membuat orang terpesona. Tingkah lakunya yang sopan, dan cara bicaranya yang lembut membuatnya seakan tak henti-hentinya dipuja. Belum lagi, kepiawaiannya dalam bermain gitar bass dan bernyanyi, membuat pentas seni begitu ramai dengan teriakan para gadis. Bukan hanya para gadis, laki-laki pun senang berteman dengannya.

Tapi, bukan dia yang kumaksud. Di pinggir lapangan, tepat di sebelah tas Satria. Dia, selalu disana menunggu teman-temannya bermain basket. Lengkap dengan buku novel misteri kesukaannya. Dengan kacamata tebal yang membuatnya tampak begitu misterius. Aku menyukainya di saat-saat seperti ini. Hembusan angin dan teriknya matahari yang menerpa wajahnya, membuatku ingin terus menatapnya. Tapi siapalah aku, mendekat pun tak berani.

"Braaaaakkkk"

"Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa"

Tanpa kusadari, bola basket menimpa kepalaku hingga kacamataku terpental ke samping

" Emi!!! Eh sorry sorry. Emi...emi...kamu gapapa??"

Aku membuka mataku. Satria berdiri di depanku dengan mimik wajah khawatir. Aku bangkit dan bingung tak tahu apa yang terjadi.

" Gapapa, sakit kepalaku, Sat. Kamu ni ah liat-liat kalau ngelempar bola" protesku yang masih belum sadar bahwa banyak teman Satria yang mengelilingiku.

" Ah kamu, jalan sambil ngelamu sih. Ke UKS ya " sanggahnya tidak terima dengan protesku.

"Enggak, gapapa, makasih. Mau ke kelas aja, jam pertama ulangan Fisika, Sat. "

Aku melihat dia berdiri dari tempatnya duduk. Kami berpandangan, dan dia melempar senyum kecilnya, Aku merasa wajahku panas. Mungkin sudah memerah. Satria menengok ke belakang, kemudian sadar akan apa yang terjadi padaku.

" Yah mulai lagi deh..." katanya pasrah.

" Sat, aku malu..."

" Kamu malu-maluin haha, sini aku anterin " kata Satria berkelakar namun penuh keyakinan dan disambut teriakan sirik para gadis yang sedari tadi menonton permainan basketnya.

Aku sudah menduga bahwa pasti para gadis akan memandangku sinis dia, karena itu aku memutuskan untuk jalan sendiri. Kelasku dekat dengan lapangan basket, hanya perlu melintas ke sisi sebelah. Sehingga aku mau tidak mau harus melintas juga di depan dia. Aku hanya bisa menunduk malu. Ku dengar dia bicara lirih ketika aku tepat melintas di depannya,

" Besok lagi hati-hati ya... "

Aku meliriknya sejenak dan tersenyum. Hatiku berdebar kencang. Secepatnya aku masuk ke kelas. Wajahku panas. Pasti sudah memerah seperti sambal. Ku buka buku Fisika dan pura-pura membacanya, tapi pikiranku tertuju pada senyumnya yang tak mau pergi dari pelupuk mata.

Namanya Naoki. Perawakannya tinggi, berkulit putih seperti orang jepang. Badannya tidak atletis, namun tidak pula kurus atau gemuk. Ibunya memang orang jepang, sedangkan  ayahnya dari kota kami, orang Jawa. Dia mewarisi kulit ibunya dengan perawakan seperti ayahnya. Dia memang tidak seterkenal Satria, tapi justru itu yang membuat aku suka memperhatikannya. Malah tidak banyak saingan, karena memang aku tidak punya rasa percaya diri.  

Siapa yang mau melirikku? Aku hanya gadis kebanyakan. Dari status sosial aku termasuk yang rendah, aku hanyalah anak guru sekolah dasar dan petani di desa kecil. Penampilanku selalu kucel dan tidak cantik sama sekali. Tasku hanya tas jahitan tangan waktu tugas SMP kelas 2, sudah 3 tahun ini aku pakai. Kulitku hitam karena hampir setiap hari pergi ke sawah sepulang sekolah membantu ibuku merawat sawah kami yang hanya sepetak. Seragamku pun kumal karena aku harus berangkat ke sekolah dengan sepeda setidaknya selama 45 menit untuk sampai ke sekolah. Kadang bajuku bau arang karena setrika di rumah menggunakan setrika arang. Badanku kurus dan pendek, hampir tidak ada laki-laki yang mengajakku berkencan, kecuali Satria. Itu pun, bukan kencan sebuah romansa percintaan. Karena kami adalah sahabat dari kecil.

" Emi, bisa tolong ajari aku bagian ini? Aku tidak paham "

Teguran Kyla membuatku tersadar. " Ah hai Kyla, yang mana yang tidak paham? ". Aku pun membantu Kyla memahami bagian yang kebetulan aku sudah menguasainya.

Kyla, kadang aku iri dengannya. Dia begitu cantik dan tinggi, anak orang kaya, dan sangat ramah. Banyak yang menyukai Kyla, namun kudengar dia menyukai Satria sejak SMP. Kebetulan Kyla dan Satria satu SMP, sedangkan aku berbeda SMP dengan mereka. Satria memang sudah terkenal sejak duduk di bangku sekolah dasar. Namun Kyla sedikit aneh. Anak perempuan high class seperti dia biasanya jarang mau berdekatan dengan orang sepertiku kalau tidak terpaksa mendapat tugas kelompok. Tapi, Kyla memang ramah kepada semua orang.

Bel berbunyi. Aku menyudahi percakapan dengan Kyla dan dia berterima kasih padaku dan kembali ke tempat duduknya. Aku menutup buku Fisikaku, dan mengambil kotak pensil bergambar ikan cupang. Sesaat kemudian Guru datang, dan kami memulai ulangan Fisika dengan suasana yang tenang. Sesaat sebelumnya, kulirik ke arah jendela. Kulihat dia berjalan melintasi depan kelasku bersama dengan pengurus OSIS lainnya.

----***----

Cinta datang bukan dengan tiba-tiba. Cinta ada karena terbiasa. Jika kamu mengatakan bahwa kamu jatuh cinta pada pandangan pertama, maka itu hanyalah rayuan belaka. Ketertarikan. Itulah yang terjadi pada pandangan pertama. Tak jarang, rasa itu memudar seiring dengan berjalannya waktu. Tak sedikit pula yang bertambah kuat dan berakhir di pelaminan. Tapi, cinta tak bisa di paksa. Tidak seperti engkau memaksakan dirimu untuk terus mencintai dia yang tak kunjung membalas.

Seperti sore ini, aku mengemasi barang dari ruang laboratorium biologi. Pengamatan untuk praktikum kelas biologi sudah selesai sejam yang lalu, namun aku selalu senang berada di dalam rumah kaca bersama puluhan bunga mawar ini. Jarum jam di jam tangan usangku telah menunjukkan pukul setengah lima. Aku bergegas untuk segera pulang, guna menjemput ibuku di sawah dan membawakan beberapa peralatan sawah seperti biasanya. Jam segini, sudah tidak banyak guru yang berada di sekolah. Hanya terlihat anak-anak klub sepak bola dan beberapa anak kelas tiga di tepi lapangan.

Aku bergerak lurus ke arah depan UKS, tempat dimana aku parkir sepedaku. Dari kejauhan aku melihat Satria keluar dari ruang UKS dan segera melarikan motor nya pulang. Sesampainya aku di dekat sepedaku, aku mendengar isak tangis seorang wanita dari dalam UKS. Naluriku bergerak untuk membuka pintu perlahan. Aku melihat Rena sedang menangis. Di tangannya tergenggam amplop surat berwarna merah muda tertulis " Untuk Satria ", sedangkan lembaran suratnya jatuh dengan keadaan yang kucel.

Rena menyadari kehadiranku, kemudian dia membentakku dengan marahnya.

" Ngapain disini? Sana pergi!! "

" Maaf Ren..aku ga sengaja.. "

Aku berbalik pergi dan ketika akan aku tutup pintu UKS, Rena kembali mengancamku,

" awas ya kalau sampai kamu nyebarin ini ke sekolah, aku buat mampus kau! "

Aku hanya diam dan menutup pintu. Segera aku larikan sepedaku dan bergegas ke sawah.

Rena, dia gadis yang sangat cantik. Putri seorang dokter ternama di kota ini. Dia tinggi, mungkin sekitar 167 cm, kulitnya putih bersih, rambutnya coklat kemerahan. Dia terkenal dengan geng-nya bersama beberapa gadis cantik lainnya, termasuk Kyla. Mereka berdua sudah terkenal saingan secara diam-diam dalam merebut hati Satria. Tapi Satria...hatinya selalu tertambat pada Annabelle.

Annabelle adalah teman main aku dan Satria sejak kecil. Kami bertemu secara tidak disengaja. Satria kecil dan teman-temannya selalu mencoba untuk menjaring ikan mujair yang bapak sebar di sawah kami. Dan aku selalu berlari mengejar mereka demi melindungi sawahku. Tapi terkadang kami sering bersekutu mencari jambu monyet kemudian membakar metenya di tepi empang milik Haji Dargo di dekat sawah bapak. Terkadang kami mencabut ketela dan umbi garut untuk kemudian dibakar dan dimakan bersama-sama.

Kemudian kami bertemu Annabelle saat kami hendak berusaha mengambil semangka. Annabelle adalah cucu dari pemilik kebun semangka itu. Kami mulai berteman dan kemudian kakek Annabelle  mengijinkan kami mengambil semangka, dengan syarat yang jelek saja. Kami senang sekali. Sejak itu, kami selalu mengajak Annabelle bermain di sawah. Namun mamanya selalu marah kepada kami.

Ketika beranjak besar, Annabelle satu sekolah dengan Satria, dan aku sering melihat mereka berjalan bersama. Kadang Satria nongkrong di barak kecil yang terletak di tepi sawah bapak, menunggu aku datang ke sawah untuk sekedar bercanda dan mengejekku yang hitam legam. tapi aku tak pernah marah, aku balas ejekannya dengan mengatakan dia tangga berjalan karena dia semakin tumbuh tinggi dan kurus waktu itu. kemudian aku mendengar bahwa Satria dan Annabelle berpacaran ala cinta monyet anak SMP. aku senang sekali. Kami bertiga bersama 3 orang teman masa kecil kami yg lain, Deni, Lian dan Edo mengadakan pesta kecil di barak. Kami membakar ikan, biji mete dan ketela sambil mengenang masa kecil kami yang urakan.

Tapi setahun kemudian, tepat ketika kami beranjak di pertengahan kelas 2 SMP, Annabelle masuk rumah sakit. Dan kami baru sadar bahwa selama ini Annabelle menderita leukimia sejak kecil. Tiga minggu kemudian, Annabelle meninggalkan semua yang mencintainya untuk kembali pulang ke rumah masa depannya. Kami sangat terpukul. Annabelle begitu ceria, begitu manis, dan baik hati. Rambut keritingnya yang selalu dikuncir dua seperti sosok Candy dalam serial komik Candy-Candy kesukaanku. Kami tak pernah mengetahui bahwa Annabelle sakit. Dia memang tampak lebih dewasa dari kami sehingga kami selalu berfikir bahwa itu adalah kepribadiannya. Satria, semenjak saat itu hingga sekarang kami kelas 2 SMA, tak pernah lagi berpacaran atau terlihat menyukai gadis manapun. Kadang aku melihat dia pergi kemakan Annabelle sekedar menaruh bunga diatasnya dan berhenti beberapa saat disana sebelum beranjak dari pemakaman.

Tanpa terasa aku sudah sampai di sawah. Ibu menegurku karena telah menunggu lama, lalu kami pulang menuntun sepeda. Sore ini begitu suram. Matahari menguning melewati atas gunung. Aku dan ibu melewati makam. Aku meminta ijin untuk masuk ke makam sebentar, menyapa Annabelle sebentar lalu kembali pulang sebelum maghrib.

---***---

Subuh yang dingin, disambut dengan kokok ayam jantan dari kandang di belakang dapur rumahku. Bapak sudah sejak jam 3 pagi bangun untuk menyiapkan bibit padi yang sudah disemai sejak dua minggu yang lalu. Ibu pun begitu berkutat di dapur memasak untuk kami. Aku bergegas ke kamar mandi setelah shalat subuh. Pekerjaanku adalah mencuci baju setiap hari sebelum berangkat ke sekolah. Jam 6 pagi, aku selalu siap mengayuh sepedaku dari rumah. Jarak rumah ke sekolah adalah 45 menit dengan sepeda. Aku selalu menikmati suasana pagi seperti ini. Rasanya begitu sejuk dan semangat.

"Ah...bapaaaaaaak. Sepedaku bocor" teriakku setelah mendapati ban sepeda depanku ternyata mengempes dan tidak bisa dipompa. Aku mulai panik, jam dinding sudah menunjukkan pukul 5.45.

" nanti bapak bawa ke reparasi, kamu naik angkot aja. Bu...ada uang lebih tidak? "

Ibu memberikanku tiga lembar seribuan sambil berkata dengan wajah merasa bersalah, " Adanya segini, nanti kamu pulangnya jalan kaki gapapa ya, ga usah ke sawah, langsung pulang aja"

"Iya bu, gapapa. Emi berangkat dulu ya pak, bu. Assalamualaikum"

"Waalaikum salam. Hati-hati, nak"

Aku berlari kecil di jalan sempit menuju ke arah pangkalan angkot. Sejujurnya ini pertama kalinya aku pergi ke sekolah naik angkot. Bagiku, naik angkot ke sekolah adalah hal yang mahal. Ongkos untuk anak sekolahan saja sudah 2000. Sisanya uang saku untuk aku belikan nasi bungkus di kantin. Aku jarang membeli jajanan lain. Nasi bungkus 1000 rupiah sudah cukup untuk mengisi perutku di saat istirahat makan siang. Orang tuaku memang bukan orang yang kaya, tapi cukup untuk menghidupi kami sehari2 meski harus mengirit.

Aku punya kakak perempuan dan satu adik laki-laki. Kakakku sangat cantik, berbeda denganku. Kami terpaut 10 tahun. Sedangkan adik laki-lakiku hanya terpaut 2 tahun. Lepas SMA kakak pergi ke Jakarta untuk bekerja. Disana dia mengambil kuliah D3 dengan biaya sendiri. Kakak sangat tekun dan rajin. Kami sering dikirim uang, bahkan kakak tak segan memesankan bahan bangunan untuk memperbaiki kamar mandi dan dapur di rumah. Hingga suatu ketika, putra dari direktur perusahaan tempat kakak bekerja tertarik. Kemudian mereka menikah. Kami sangat bangga dengan kakak. Tapi, mungkin pihak besan merasa malu dengan keadaan keluarga kami yang pas-pasan. Entah kenapa, sejak menikah kakak sampai sekarang tidak pernah menghubungi keluarga. Terakhir di surat kakak yang ditulis berlembar-lembar dengan bekas linangan air mata, menyebutkan bahwa kakak meminta maaf yang sebesar-besarnya karena tidak bisa berbuat banyak. 

Ya, kakak masuk ke dalam lingkungan keluarga elit, sehingga segala sesuatunya kakak harus mengikuti suaminya. Jangankan pulang saat lebaran, mengirim uang atau barang, surat saja kami sudah tidak mengharapkannya. Bapak sangat marah, ibu menangis setiap malam. Terlebih, ketika adikku kecelakaan sampai akhirnya meninggal, kakak tidak juga kunjung pulang. Menanyakan kabar pun tidak. Bapak dan ibu seperti orang patah hati. Waktu berlalu, kami sudah mulai bisa melupakan kakak. Tinggal aku dirumah. Tidak ada lagi anak bapak yang lain. Tapi aku tau, bapak dan ibu masih menanti kakak pulang. Foto kami bertiga terpajang di dinding bambu ruang tamu rumah kami.

Aku selalu berkata pada diriku sendiri untuk bisa membanggakan bapak dan ibu. Aku mungkin tidak secantik kakak, juga tidak sepintar adikku yang dulu selalu juara kelas. Tapi paling tidak, sekarang, hanya aku yang mereka punya. Aku harus lebih berusaha lagi untuk membuat mereka tersenyum bangga.

"SMA 2...SMA 2...."

Suara sopir angkot membuyarkan lamunanku. Bergegas aku turun dari angkot dan membayar. Kulihat tugu jam di dekat gerbang masih menunjukkan pukul 6.15. Cepatnya naik angot itu. Aku tak pernah datang sepagi ini. Rupanya hanya ada pak satpam yang sedang bersiap-siap di dalam pos jaga dan anak-anak kelas 3 yang setiap pagi ada pengayaan pelajaran setiap pukul 6.30.

Aku berjalan menuju ke kelasku. Seperti biasa melewati gedung olah raga dan lapangan basket. Matahari pagi masih malu-malu untuk menyapa. Aku mendengar hentakan bola basket. Sepagi ini siapa yang sudah bermain? Setelah melewati gedung olah raga, aku baru bisa melihat di lapangan basket. Rupanya Adrian. Peraih nilai ujian tertinggi di kota ini saat SMP, dia merupakan penerus dari salah satu perusahaan properti besar di Jakarta. Dia satu SMP denganku. Dia bisa masuk ke SMA 3 yang berisi anak2 pintar, atau SMA 1 yang kebanyakan orang-orang elit. Atau ke Jakarta tinggal dengan orang tuanya dan bersekolah di sekolah internasional. Karena kudengar dia menguasai 3 bahasa asing, Inggris, Jerman dan Belanda. Tapi, dia memilih untuk tinggal dengan neneknya dan bersekolah di SMA nomor tiga di kota ini.

"Memang sih dia merupakan salah satu tim basket inti. Tapi kan ga sepagi ini juga berlatihnya." pikirku dalam hati.

Ah, aku baru ingat, bulan depan ada ujian kenaikan kelas. Setelah itu ada festival. Biasanya selalu mengadakan perlombaan dan pertandingan basket juga sepak bola yang mengundang peserta dari SMA lain. Tahun lalu aku dengar tim inti sekolah kami kalah dengan tim inti SMA 1. Hal itu menjadi bahan ejekan anak-anak SMA 1 kepada SMA kami. Sering aku menemui kakak-kakak kelas yang saling mengejek di pengkolan pasar dengan anak-anak SMA 1. Mungkin demi sekolah ini rupanya dia berlatih keras. Aku dengar dari percakapan beberapa kakak kelas di kantin, Adrian digadang menjadi salah satu kandidat calon Ketua OSIS menggantikan Kak Rasya.

Adrian itu cool sekali. Seperti tokoh-tokoh di komik-komik jepang kesukaanku. Jarang bicara dengan orang kalau tidak perlu. Gadis-gadis selalu berebut mencari perhatiannya, tapi tanggapannya selalu dingin. Berbeda dengan Satria yang ramah. Tapi mungkin karena keramahan Satria itulah, Satria menjadi lebih bayak digilai perempuan. Tapi Adrian, sejak SMP, dia selalu menjadi pusat perhatian orang-orang. Prestasinya yang luar biasa dalam berbagai kejuaraan olimpiade ataupun perlombaan sains sejenisnya pun ditelurkannya. Membanggakan sekali. Aku pernah sekali satu kelas dengannya ketika kelas 2 SMP, tapi aku tak pernah berbicara dengannya. Aku selalu berfikir bahwa kita ini beda level.

Aku melewati tribun penonton di pinggir lapangan. Entah kenapa design sekolah ini menempatkan kelas 1 di dalam sebuah lorong dan harus melewati lapangan basket. Aku sering mengutuk pembuat design sekolahku ini. Menyusahkan sekali. Padahal kalau dipikir-pikir, enak juga bisa ngeceng anak basket yang terkenal keren. Tapi aku bukan tipe pengeceng seperti itu, dan aku cukup sadar diri dengan penampilanku yang jauh dari kata imut, manis atau cantik.

Sesampainya di kelas, aku menjadi bingung sendiri. Waktu masih menunjukkan pukul 6.25 dan aku bingung harus ngapain. PR sudah ku kerjakan semua. Ulangan terakhir sebelum ujian kenaikan kelas juga sudah ku pelajari. Akhirnya ku putuskan untuk duduk saja di dalam kelas. Aku melihat Adrian yang sedang berlatih keras mendribel dan menembakkan bola. Kuamati tekniknya lama sekali. Aku terbiasa mengamati Satria bermain basket sejak kecil. Tapi aku tak pernah pandai memainkannya, hanya bisa. Kuperhatikan tekniknya agak berbeda dengan Satria. Tapi aku tak tau banyak tentang itu. Kupikir, mungkin itu hanya perasaanku saja.

Tak berselang lama, anak-anak mulai berdatangan. Beberapa laki-laki bergabung dengan Adrian di lapangan basket. Adrian memilih untuk istirahat dan berjalan menuju ke pinggir lapangan. Pandagannya tertuju ke arahku, yang mana kelasku mempunyai jendela yang terbuka sangat lebar. Aku sadar pandangannya aneh terhadapku, cepat-cepat aku buang muka. Jujur, aku takut jika berhadapan tatapan Adrian yang menakutkan. Gosip yang kudengar, katanya Adrian sering menghardik cewek-cewek yang tidak selevel dengannya.

Aku melihat Satria membawa bungkusan plastik. Eh, tumben dia bawa yang begituan ke sekolah. Rupanya dia melihatku, dan berteriak, "Hei Emi, sini" sambil mengangkat bungkusan itu.

"Hah???" kataku sambil beranjak dari meja dan berjalan ke lapangan pinggir lapangan basket yang jaraknya hanya 7 meter-an dari depan kelasku.

"Tadi pagi ketemu ibu di pengkolan lagi nunggu angkot. Mau kasih bekal katanya. Aku bilang biar aku aja yg kasih, ibu pulang aja gitu"

"Apa ni?"

"Kayaknya bekal makan siang, ga tau. Bukalah. Ban sepeda bocor kata Ibu?"

"he-eh" kataku singkat sambil mengangguk dan membuka kotak bekal yang sebenarnya milik adikku waktu kecil dulu. Kulihat isinya nasi goreng dengan irisan telur dadar dan potongan timun. Aku tersenyum dan menutupnya.

"Haaa....nasi goreng....aku mau lah bawa bekal juga besok" kata Satria mengintip bekalku.

"Berani gitu? Diejek nanti lho..." canda ku, "Makasih ya Satria". Satria hanya mengacungkan ibu jarinya sebagai tanda oke.

Aku lantas keluar dari lapangan basket. Melewati Adrian yang tiba-tiba menoleh ke arahku dengan tatapannya yang dingin seperti biasanya. Aku sadar tentang kejadian tadi. Aku lantas mendekap bekalku dan menganggukkan kepala sebagai tanda maaf. Aku tak berani mengangkat muka dan berjalan keluar dari pintu kecil pembatas lapangan dan jalan. Tak sengaja aku menabrak seseorang. Naoki. Mukaku langsung panas seketika. Dia tampak begitu ganteng dimataku hari ini.

" Ma-maaf...." kataku sambil langsung jalan ke kelas.

Tak terdengar kata apapun dari Naoki. Aku masuk ke kelas, dan mengintip melalui pinggir jendela. Aku melihat dia menyemangati teman-temannya. Ah...melihatnya dari kejauhan saja sudah membuat hatiku merasa senang. Tanpa sadar, aku telah memperhatikannya hingga bel berbunyi.

Continue Reading

You'll Also Like

12.9M 1M 74
Dijodohkan dengan Most Wanted yang notabenenya ketua geng motor disekolah? - Jadilah pembaca yang bijak. Hargai karya penulis dengan Follow semua sos...
525K 87.2K 30
✒ 노민 [ Completed ] Mereka nyata bukan hanya karangan fiksi, mereka diciptakan atau tercipta dengan sendirinya, hidup diluar nalar dan keluar dari huk...