Semua Karena Cinta(Completed)

By dnhpo_

171K 15K 866

Semua bisa terjadi karena cinta yang di miliki. Dua orang gadis yang sedari kecil bersahabat, berpisah ketika... More

1
2
3
4
5
6
7(Revisi)
8
9(Revisi)
10(Revisi)
11(Revisi)
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
28
29
30
31
32
33
34
35
36

27

3.1K 352 12
By dnhpo_

Author Pov

Jeje berlari cepat saat melihat orang yang ingin dia temui. Dia benar-benar ingin mengetahui kebenarannya dan dia juga tidak ingin hanya menerka-nerka. Mungkin saat ini adalah waktu yang tepat untuk menanyakan apa yang sudah dia simpan selama ini.

"NADSE!" Panggilannya membuat gadis cantik di depannya itu menoleh. Kini keduanya sedang berada di area parkir yang sudah tampak sepi karena ini sudah terlalu sore.

Gadis yang di panggil Nadse itu berhenti memperhatikan Jeje yang berlari ke arahnya. Raut wajahnya sudah sangat tampak panik namun dia berusaha setenang mungkin agar Jeje tidak curiga.

"Lo kan, yang nyadap semua hp temen gue?" Detik itu juga rasanya Nadse ingin menghilang dari hadapan Jeje. Dia sudah menduga jika gadis di hadapannya akan tahu dan mungkin sudah lama tahu.

"Apaan deh, gue nggak tau apa-apa soal sadap menyadap, tiba-tiba lo nanya kayak gini ke gue. Kalo lo masih ngejarin gue dengan alasan yang sama, lo jangan ha-"

"PD bener dah, siapa juga yang mau ngejarin elo. Udah deh, lo ngaku aja kalo lo yang nyadap hp temen-temen gue, maksud lo apa nyadap-nyadap hp temen gue? Hah?" Nadse menghela nafasnya kasar. Percuma saja mengelak dari gadis keras kepala di hadapannya ini. Jeje terlalu pintar untuk dunia IT.

"Kalo lo udah tau, lo nggak usah nanya. Gue sibuk, gue pergi dul-"

"GUE TANYA! NGAPAIN LO NYADAP HP TEMEN-TEMEN GUE! ADA MASALAH APA LO SAMA KITA? HAH?"

Terkejut. Itu yang Nadse rasakan. Ini pertama kalinya Nadse melihat Jeje marah sampai berteriak keras kepadanya. Padahal saat SMA, dia adalah orang pertama yang mengajarinya tentang dunia IT.

"Je, gu-gue nggak maksud."

"Nggak maksud lo bilang? Gue ngajarin lo semua itu bukan untuk kejahatan, Nads. Gue nggak pernah sedikitpun ganggu kehidupan lo tapi lo? Lo dengan seenaknya nyadap-nyadap hp temen gue! Apa maksud lo? Hah?!"

"Gue di suruh bokap gue!"

Jeje terdiam mencerna ucapan Nadse. Bahkan dia dan teman-temannya tidak mengenal Ayah Nadse. Matanya menelisik wajah Nadse. Dia mencoba mencari kebohongan di sana namun tidak dia temukan.

"Lo nggak percaya? Gue yakin lo udah tau tentang orang yang namanya Gerarld, iya kan? Dia bokap gue. Namanya Bram Gerarldy. Dia bokap angkat gue." Jeje mengerutkan keningnya. Dia tahu nama itu dan dia juga merasa tidak asing.

"Gue yakin, semua temen-temen lo udah tau semuanya dan mereka udah inget." Ucapan Nadse kali ini mencuri perhatian Jeje.

"Maksud lo? Temen-temen gue udah inget?" Tanya Jeje tidak mengerti.

"Lo nggak usah pura-pura bego bencong! Gue yakin lo juga udah inget." Jeje menggeleng cepat dan menatap Nadse aneh.

"Tau apa lo tentang gue sama temen-temen gue. Sok tau." Cibir Jeje.

"Gue tau banyak tentang lo sama temen-temen lo dari bokap gue. Dia maksa gue buat nyadap semua hp kalian demi nyelamatin kalian." Seketika Jeje menoleh ke arah Nadse yang menyandarkan tubuhnya di belakang mobilnya.

"Gue... awalnya nggak mau di suruh nyadap hp kalian karena gue yakin, lo lebih pinter dari gue dan lo bisa nemuin dimana gue. Dan gue yakin, yang kemarin-kemarin ngikutin gue itu lo yang udah sadar rumah itu adalah rumah gue." Nadse melirik Jeje yang masih menatapnya. Tangannya terangkat dan mendorong pelan pipi Jeje agar tidak menatapnya terlalu lama.

"Jangan kelamaan liat guenya, entar lo suka lagi sama gue." Ucap Nadse tersenyum tipis.

"Hidiih, ogah gue suka sama lo lagi. Jadi lo di suruh orang itu? Kenapa? Kenapa dia mau nyelamatin gue sama temen-temen gue padahal dia yang... dia yang bunuh nyokap gue." Nadse menggigit bibir bawahnya menahan sesak mendengar ucapan Jeje. Apa yang Jeje rasakan saat ini, bisa dia rasakan.

"Nggak lo aja, dia juga yang bunuh bokap gue waktu gue masih SD." Jeje menoleh cepat. Dia benar-benar terkejut mendengar ucapan Nadse.

"Bokap lo... di bunuh dia?" Nadse mengangguk dan menundukkan kepalanya. Ada setetes air bening yang menetes dari pelupuk matanya.

"Gue nggak tau kenapa orang itu dengan senang hati ngerawat gue sama Kevin. Padahal dia yang udah bunuh bokap gue." Terdengar isakan kecil dari Nadse yang menundukan kepala. Jeje yang mendengar itu langsung reflek membawa Nadse ke dalam pelukannya.

"Jangan nangis, percuma lo nangis. Bokap lo juga nggak bakal balik lagi. Gue boleh nanya?" Jeje mengangkat dagu Nadse dan kedua mata mereka saling bertemu.

"Kemana lo kemarin? Hm? Kakak bego lo itu hampir nyakitin nyokap Naomi." Nadse terkekeh dalam tangisannya. Dia benar-benar geli melihat Jeje yang tiba-tiba berubah menjadi sangat manis.

"Kok malah ketawa sih, ngancurin suasana tau nggak." Ucap Jeje melepaskan pelukannya secara kasar. Nadse masih tertawa kecil melihat tingkah Jeje yang masih saja terlihat manis kepadanya.

"Lo nggak akan pernah bisa bohongin gue, Je. Lo masih suka kan, sama gue?" Tanya Nadse manikan satu alisnya.

"Nggak. Lo kepedean dah. Kemana lo kemarin? Hah? Kakak lo itu hampir nyakitin nyokap Naomi." Jeje masih saja mengelak. Padahal pipinya sudah merasa panas akibat tadi dia menatap wajah Nadse sangat dekat.

"Gue ada urusan. Lagian si Kevin begitu juga paling-paling abis ribut sama bokap gue dan di lampiasin ke Naomi sama Mama. Udah gue hajar tuh, anak. Sampe dia berani ngelukain Mama Vivi, gue yang bakal mukulin dia." Jeje mengerutkan keningnya heran. Apa Nadse Deket banget sama Tante Vivi? Batin Jeje bertanya.

"Gue sama Kevin dari kecil di jaga sama Mamanya Naomi itu. Mau gimanapun, dia wanita terbaik selama gue hidup. Dia yang ngerawat gue, dia yang jagain gue, dan dia bakal jadi tameng gue kalo bokap angkat gue itu mabok dan mau mukul gue. Dia baik, ya? Makanya gue mau jadi dokter kayak dia. Gue tau dunia kedokteran dari dia." Nadse melirik Jeje yang terdiam. Dia yakin Jeje akan mencari tahu siapa Mama angkatnya itu.

"Jangan pernah lo coba nyari tau tentang nyokap gue, kalo lo nggak mau berurusan sama gue. Dia udah terlalu banyak masalah dalam hidupnya dan lo jangan usik dia sedikitpun." Jeje tersenyum kecil mendengar ancaman Nadse. Gadis itu benar-benar terlihat sangat menyayangi Mama Naomi.

"Haaah... jadi lo nggak tau alasan kenapa bokap lo nyuruh lo nyadap hp temen-temen gue? Nyelamatin? Nyelamatin dari apa?" Nadse mendengus dan berdiri tegap.

"Gue udah bilang, dia cuma mau nyelamatin kalian tapi gue nggak tau mau nyelamatin kalian dari apaan. Udah ah, gue mau pulang." Nadse berjalan ke pintu mobilnya. Namun baru beberapa langkah, dia kembali berhenti saat mendengar namanya di panggil lagi.

"Nadse!" Panggil Jeje menatap punggung Nadse.

"Apaan lagi, sih?!" Dengan kesal Nadse menoleh menatap Jeje.

"Hati-hati."

Setelah berkata seperti itu, Jeje berjalan pergi menuju mobilnya sendiri yang terparkir sedikit jauh dari mobil Nadse. Rasanya detik itu juga Nadse ingin berteriak karena perhatian Jeje yang benar-benar lucu.

"Gemes." Gumam Nadse tersenyum tipis.

*****

Selesai mengetahui semuanya, Naomi semakin menyayangi Vivi. Setiap Vivi pulang larut malam, dia akan menjadi orang pertama yang duduk di ruang tamu untuk menunggu Mama angkatnya itu pulang.

Meski statusnya adalah Mama angkat, tapi Naomi tidak pernah dan tidak akan menganggap Vivi sebagai Mama angkat. Melainkan menjadi Mama kandungnya yang sudah merelakan waktu dan segalanya untuk menjaganya dari bayi.

Sesuai janji Vivi sebelumnya, hari ini mereka bersama-sama pergi menuju makam Mama kandung Naomi. Ada rasa senang dan sedih ketika dalam perjalanan. Tapi Naomi terus berusaha tersenyum di hadapan Mamanya yang sedang menyetir di sampingnya saat ini.

Mobil sedan yang mereka kendarai itu berhenti di sebuah pemakaman yang tidak asing untuk Naomi. Tapi dia terus diam hingga mereka sampai di sebuah makam yang membuat Naomi menatap tidak percaya pada Vivi.

"Ma, ini..." Naomi menatap Vivi dan makam di hadapannya itu secara bergantian.

Vivi tersenyum dan merangkul Naomi. "Iya, sayang. Ini makam Mama kamu. Makam yang selalu kamu taburi bunga ini adalah makam Mama kamu, Mi. Mama nggak mau jauhin kamu dari dia yang udah melahirkan kamu. Meski Mama yang ngerawat kamu, tetap dia Mama kandung kamu." Vivi tersenyum mengusap puncak kepala Naomi yang sudah meneteskan air mata.

"Ma, makasih." Bisik Naomi memeluk Vivi.

Dia tidak percaya jika makam yang rutin dia datangi sedari dia kecil, makam yang selalu dia taburi bunga, makam yang selalu dia bersihkan ini adalah makam Mama kandungnya. Dia benar-benar terkejut ketika tahu bahwa selama ini orang yang dia kirimkan doa adalah orang yang sudah melahirkannya ke dunia.

"Sekarang, kamu bersihin kayak biasanya, ya? Jangan lupa kirim doa." Bisik Vivi mengecup kening Naomi.

"Iya, Ma." Naomi mengusap air matanya dan mulai melakukan kebiasaannya saat pergi kemari.

Vivi tersenyum tipis melihat Naomi membersihkan makam sahabatnya itu. Mencabuti rumput liar, menyiraminya dengan air, menaburkan bunga dan memanjatkan doa. Dia senang jika akhirnya Naomi yang selama ini dia rawat bisa mengetahui siapa dirinya sekarang. Dan dia bersyukur jika Naomi menerima kenyataan yang pahit dalam hidupnya.

Dia ikut berjongkok di sisi lain makam tersebut. Tangannya mengusap nisan yang bertulisan nama sahabatnya yang sangat dia sayangi. Anita Rahardi.

"Dia udah besar, Nit. Dia mirip sekali sama kamu." Ucapnya dalam hati. Kepalanya menoleh pada Naomi yang baru saja selesai mengirimkan doa.

"Ma, Naomi mesti panggil... siapa?" Bisik Naomi seakan ada orang lain di sana.

Vivi tersenyum dan menatap lagi nisan sahabatnya itu. "Bunda." Ucapnya sembari tersenyum lebar. Itu adalah nama panggilan yang di harapkan Anita sebelum dia melahirkan Naomi. Wanita itu berharap anaknya kelak memanggil dirinya dengan sebutan Bunda.

"Bunda, Naomi udah tau. Bunda yang tenang di sana, ya? Naomi bakal jagain Mama di sini. Makasih udah melahirkan Naomi ke dunia ini dan mempertemukan Naomi dengan wanita baik seperti Mama Vivi. Naomi sayang Bunda." Meski berusaha menahan air matanya, namun Naomi tidak bisa. Pada akhirnya air mata itu kembali mengalir di pipi tirusnya.

Setelah menyelesaikan rutinitasnya, keduanya berdiri dan mulai meninggalkan makam tersebut. Selama mereka berjalan, Naomi tak hentinya memeluk lengan Vivi. Dia benar-benar merasa senang memiliki Mama seperti Vivi. Meski bukan Mama kandungnya, dia merasa Vivi seperti malaikat yang di utus Tuhan untuk menjaganya di dunia.

"Bunda, Naomi bakal jagain Mama Vivi. Bunda jangan khawatir." Gumam Noami dalam hati.

*****

Kinal sedari tadi mendengus kesal menatap Veranda yang tak hentinya bekerja. Sudah dua jam dia duduk di sofa yang ada di ruangan Veranda. Sofa itu sepertinya baru saja di ganti dengan warna hitam yang lebih nyaman dari sebelumnya.

"Gini amat punya pacar boss." Gumam Kinal menggigit kue yang dia ambil di kulkas.

"Kamu laper?" Sudah dua jam menunggu dengan keheningan, akhirnya Kinal bisa mendengar suara Veranda.

"Kenapa? Nggak usah sok perhatian, urusin aja tuh kerjaan kamu." Ucap Kinal menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa.

"Selesai!" Seru Veranda menoleh ke arah Kinal. Wajah gadis itu tampak cemberut mulut yang di penuhi kue.

Veranda tersenyum manis melihat tingkah Kinal yang sedang marah kepadanya. Di tutupnya laptopnya dan perlayan mendekati Kinal yang masih mengunyah.

"Nal, bagi dong. Masa di makan sendirian, sih? Aku kan juga mau." Ucap Veranda mencoba memancing Kinal agar mau berbicara kepadanya.

"Ya udah, makan sono. Tinggal ngambil aja kok repot." Ujar Kinal cuek.

"Tapi..." Veranda mendekatkan wajahnya ke dekat telinga Kinal dan tersenyum miring.

"Aku maunya dari mulut kamu, gimana?" Detik itu juga Kinal tersedak karena mendengar suara Veranda yang sangat lembut di telinganya dan merasakan hembusan nafas Veranda yang menerpa tengkuknya.

"Uhuk! Uhuk! Uhuk! Mhenom, mhenom!" Dengan cepat Veranda mengambilkan air untuk Kinal dan memberikannya pada Kinal yang langsung meminumnya.

"Pelan-pelan dong, Nay. Sampe keselek kan." Ucap Veranda menepuk-nepuk punggung Kinal pelan.

"Hah, hah, hah, kamu tuh! Orang lagi makan malah bisik-bisik. Geli tau." Ujar Kinal kesal.

Veranda tertawa kecil mendengar kekesalan Kinal. Dengan santainya dia melingkarkan tangannya pada lengan Kinal.

"Maaf, sayang. Kamu sih, gemesin." Ucap Veranda mengecup pipi Kinal dengan hidungnya.

"Ya tapi nggak bisik-bisik, Ve. Bisa mati tiba-tiba kalo tadi nggak minum." Ujar Kinal cemberut.

"Iya, sayang. Maaf, ya? Jalan-jalan yuk! Bosen di sini terus. Kerjaan aku juga udah selesai." Kinal menoleh pada Veranda dan mengangguk menyetujuinya.

"Yuk!"

*****

Kinal dan Veranda sibuk memilih pakaian. Kini mereka sudah berada di sebuah Mall di Jakarta. Kinal tak hentinya menanyakan pada Veranda apakah dia cocok atau tidak dengan pakaian yang dia pilih.

"Jelek, Nal."

"Nggak cocok, kamu kayak bencong."

"Itu kependekan, cari yang lain."

"Jangan yang itu, paha kamu keliatan."

"Jangan ah, warnanya terlalu terang. Kalo kamu pake jadi aneh."

Begitulah respon Veranda saat melihat pakaian yang Kinal pilih. Karena kesal sedari tadi tidak mendapat pakaian yang cocok, Kinal kembali pada Veranda dengan tidak membawa apa-apa.

"Kok nggak nyari baju lagi?" Tanya Veranda bingung.

"Entar, gue beli baju astronot biar nggak ketutup semua!" Seru Kinal dengan kesal.

Veranda tertawa kecil mendengar seruan Kinal. Wajah gadisnya itu sudah benar-benar kesal karena kelakuannya sedari tadi.

"Ya maaf, sayang. Lagian kamu beli bajunya nggak sesuai fashion. Aneh tau, yang warnanya terang bangetlah, warnanya kayak warna ibu-ibu. Ya udah, aku pilihin sini!" Tangan Veranda menarik Kinal ke tempat pakaian lain dan memilihkan pakaian untuk Kinal di sana.

"Yang ini bagus, tapi yang ini juga bagus. Yang mana, Nay?" Kini Veranda sudah berdiri di hadapan Kinal dengan membawa dua dress. Yang satu berwarna putih dan yang satu berwarna biru laut.

"Bagus semua." Kata Kinal cuek. Karena Kinal sudah yakin, jika dia memilih salah satunya, Veranda akan memilih dress lain.

"Bagus semua? Yang bener aja kamu. Tapi... menurut aku bagus yang di sana itu deh, Nay, yang warna kuning gading. Warnanya cerah gitu. Cocok buat anak muda." Kinal mengalihkan wajahnya ke arah lain. Sudah dia duga jika Veranda akan memilih baju lain.

"Gimana?" Tanya Veranda menatap Kinal.

"Terserah kamu. Yang mau beli kamu apa aku deh." Kinal berjalan meninggalkan Veranda yang kebingungan. Dia kembalikan dress di tangannya itu dan mengambil dua dress lainnya.

"Mba, ini dua, ya?" Ucap Veranda memberikan dress berwarna hijau tosca dan berwarna merah pada seorang perempuan yang bertugas di sana.

Kakinya melangkah mendekati Kinal yang sudah duduk di kursi dekat tempat sepatu. "Kamu mau beli sepatu?" Tanya Veranda menghampiri Kinal.

"Nggak." Kata Kinal dengan sangat cuek.

"Ya udah kalo nggak mau beli. Aku ke sana, ya? Mau ambil baju." Kinal hanya mengangguk dan memainkan ponselnya.

"Palingan juga bajunya beda dari yang tadi. Dasar cewek." Ujar Kinal malas.

Beberapa menit menunggu Veranda, akhirnya gadis itu kembali dengan satu kantong kresek berisi pakaian yang dia beli tadi. Tanpa mengucapkan apapun, Kinal berdiri dan berjalan melewati Veranda yang baru saja akan membuka mulutnya.

"Ish! Rsek banget kalo lagi ngambek. Kinal!"

Keduanya berjalan menyusuri toko-toko yang ada di Mall tersebut. Sesekali Veranda berkomentar namun tidak Kinal hiraukan. Dia sudah kesal dengan kelakuan Veranda yang sedari tadi membuat moodnya hancur.

"Nay, makan yuk! Laper nih." Tanpa mengucapkan apapun, Kinal menggenggam tangan Veranda dan membawanya ke sebuah restoran yang ada di dekat sana.

Veranda cemberut melihat Kinal yang sedari tadi diam. Sepertinya dia harus melakukan sesuatu agar gadisnya itu tidak marah lagi Kepadanya.

Selesai memesan makanan, Veranda menatap Kinal yang sibuk memainkan ponselnya. Entah sedang apa gadis itu sedari tadi. Helaan nafasnya keluar begitu saja dari mulutnya. Punggungnya dia sandarkan pada sandaran kursi.

"Mau sampe kapan kamu ngambek? Kamu nggak kangen aku? Besok aku keluar kota loh." Mungkin ini adalah salah satu cara paling ampuh agar Kinal mau menatapnya.

"Eh? Seriusan? Kok baru kasih tau aku?" Tanya Kinal langsung meletakan ponselnya di atas meja.

"Ya gimana, dari tadi mau ngomong, kamunya cemberut terus. Ngambek terus sama aku. Jadinya kan, aku takut mau bilang."

"Ya maaf, kamu juga sih ngeselin. Aku jadinya ngambek. Orang mau beli baju, malah kamu yang beli."

"Iya-iya aku juga minta maaf. Ya udah, habis ini kita makan terus langsung pulang, ya? Aku capek." Kinal mengangguk dan berpindah duduk di samping Veranda.

"Ngapain pindah?" Tanya Veranda heran.

"Biar cowok-cowok bau kencur yang di belakang kamu tau, aku pacar kamu. Matanya minta di colok pake garpu kayaknya, dari tadi liatin kamu kayak nggak pernah liat cewek cakep aja." Veranda terkekeh geli mendengar ucapan Kinal. Ternyata gadisnya itu sedang cemburu pada sekumpulan remaja yang duduk di belakangnya.

Selama mereka makan hanya ada suara Kinal yang berdecak karena menikmati makan malamnya. Dia merasa ini adalah makanan terenak yang pernah dia makan.

"Sumpah! Ini enak banget!" Ucapnya memakan dagingnya.

Veranda memutar bola matanya malas dan mengunyah makanannya. "Semua makanan yang kamu makan juga kamu bilang gitu, Nay. Palingan batu di tumis juga kamu bilang enak." Gumam Veranda yang akhirnya membuat Kinal menyengir.

*****

Pagi-pagi sekali Beby sudah bangun dan bersiap-siap pergi. Boby, Ayah Beby sampai di buat terheran-heran karena anak semata wayangnya itu sudah bangun di jam yang tak biasa.

"Beb, tumben udah bangun, sayang? Mau kemana?" Tanya Boby duduk di kursi pantry.

Beby yang sedang menyiapkan sarapan untuknya dan Ayahnya itu hanya menoleh sebentar dengan senyuman di wajahnya. "Mau ketemu bidadari surga, Dad." Jawab Beby membuat Dadynya tertawa kecil.

"Jadi, gimana lanjutan hubungan kamu sama Shania? Ada kemajuan?" Beby menggeleng dan duduk di samping Dadynya.

"Nothing." Ucap Beby menggeleng kecil.

"Why? Harusnya kamu udah ada kemajuan sama dia." Kata Boby menerima sepiring nasi goreng.

"Dad, Dady tau kan, dia itu nggak tau apa-apa tentang jodoh-jodohan itu. Ya mana bisa Beby bilang. Lagian dia straight." Boby milirik anaknya itu dan mulai mengunyah.

"Kamu yakin?"

"Hm! Dia pacaran sama cowok, namanya Rendy. Cowok yang Beby pukulin waktu itu."

"Terus? Mereka masih pacaran? Bukannya kamu bilang cowoknya itu kasar sama Shania? Terus cuma mau... you knowlah."

Beby mengangguk dan meminum susunya sebelum menjawab ucapan Dadynya. "Kalo orang cinta, semua buta, Dad." Kata Beby kembali mengunyah nasi gorengnya.

"Kamu nggak ada niatan jagain dia?" Tanya Dadynya sekali lagi.

"Ada. Dan itu udah Beby ucapin dari awal kita ketemu lagi. Udah ya, Dad? Beby pergi dulu, mau jemput Shania. Hari ini dia ada upacara dan harus sampe di sekolah sebelum jam 6." Setelah mengucapkan itu, dan mengecup pipi Dadynya, Beby bergegas pergi menuju garasi di samping rumahnya. Mengambil motornya dan segera mengendarainya.

"Haaah... harusnya Shania udah tau, Beb." Gumam Boby menatap kepergian anaknya dari kaca jendela ruang tamu.

*****

Beby menghentikan motornya tepat di depan pintu rumah Shania. Rumah besar dengan gaya Belanda itu tampak sepi. Namun tak lama Beby melihat seorang wanita paruh baya keluar dari pintu rumah itu.

"Pa-pagi Oma." Sapa Beby gugup. Wanita paruh baya itu tersenyum dan berjalan pelan menghampiri Beby.

"Beby, ya? Sebentar, ya? Shanianya baru selesai sarapan. Kamu nggak sarapan dulu?" Tanya sang Oma. Beby menggeleng kecil dan tersenyum.

"Terima kasih, Oma. Tadi udah sarapan di rumah." Ucap Beby sopan.

Tak lama terdengar suara langkah kaki dari dalam rumah. Terlihat Shania dengan pakaian seragam SMA-nya dan jaket hitam berjalan ke arah Beby dengan tersenyum sangat manis.

"Pagi!" Sapanya lembut. Beby sedikit tertegun melihat senyuman Shania pagi ini. Sangat manis dan selalu seperti itu.

"Pa-pagi, Nju." Ucapnya salah tingkah. Shania berusaha menahan tawanya agar tidak pecah karena melihat pipi Beby yang memerah.

"Oma, Shania sekolah dulu, ya? Tolong bilangin ke Gre, aku pinjem kamusnya. Hari ini ada pelajaran bahasa Inggris. Daaah Oma!" Setelah mengecup dan berpamitan pada Omanya, Shania menaiki motor Beby dan akhirnya keduanya pergi dari pekarangan rumah sang Oma.

Selama perjalanan, Shania terus memeluk pinggang Beby. Sesekali dia menjahili Beby dengan tangannya mengusap perut rata Beby. Terlihat Beby menggeliat kecil dan memindahkan tangannya yang berakhir dengan Beby menggenggam tangan jahilnya.

"Dasar." Bisik Shania tersenyum. Dagunya dia sandarkan di bahu Beby dan tangannya lebih erat memeluk pinggang Beby. Sesekali mereka mengobrol untuk melepas jenuh karena melihat jalanan yang mulai padat dengan kendaraan besar.

Sesampainya mereka di depan gerbang sekolah Shania, gadis jangkung itu turun dan memberikan helmnya pada Beby. "Ati-ati." Ucapnya sambil membereskan pakaiannya yang sedikit berantakan.

"Nggak di kasih sun gitu?" Tanya Beby dengan nada bercanda.

"Nanti aja, kalo kamu udah nembak aku. Daaah!" Beby terdiam mendengar ucapan Shania. Gadis itu sudah masuk melewati gerbang besar di depannya.

"Oh, No! Dady! Apa yang harus anakmu ini lakukan!" Serunya dalam hati dan segera melajukan motornya dengan hati gembira.

.
.
.
.
.
.
.

Semoga suka😉

See u and GBU 😇💙💙

Yv

Continue Reading

You'll Also Like

78.2K 7.9K 35
FIKSI
767K 57.1K 52
"Seharusnya aku mati di tangannya, bukan terjerat dengannya." Nasib seorang gadis yang jiwanya berpindah ke tubuh seorang tokoh figuran di novel, ter...
78.5K 10.6K 37
Jake, dia adalah seorang profesional player mendadak melemah ketika mengetahui jika dirinya adalah seorang omega. Demi membuatnya bangkit, Jake harus...
163K 18.4K 45
#taekook #boyslove #mpreg