Semua Karena Cinta(Completed)

De dnhpo_

170K 14.9K 866

Semua bisa terjadi karena cinta yang di miliki. Dua orang gadis yang sedari kecil bersahabat, berpisah ketika... Mais

1
2
3
4
5
6
7(Revisi)
8
9(Revisi)
10(Revisi)
11(Revisi)
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36

25

3.9K 346 12
De dnhpo_

Author Pov

Seorang gadis berambut panjang berwarna cokelat yang terurai berjalan menuruni tangga rumahnya. Sesekali dia bersenandung menyanyikan beberapa lagu yang terlintas di pikirannya. Rumah besar dengan gaya klasik itu tampak sepi walau di huni beberapa orang.

Dia berjalan menuju pintu luar. Namun langkahnya terhenti ketika seseorang membuatnya terkejut.

"Naomi, Papa pulang kok kamu malah nyelonong pergi." Gadis itu menoleh dan wajah yang tadinya sangat gembira mendadak berubah datar tanpa ekspresi.

"Ngapain anda kemari?" Tanya Naomi malas.

Pria dengan setelan jasnya itu tersenyum manis ke arah Naomi. Meski sudah berumur lebih dari setengah abad, pria itu masih tampak tampan dengan kumis tipis di bawah hidungnya. Di tambah tubuh tinggi dan wangian parfum yang membuatnya tampak lebih segar dari umurnya.

"Belum berubah? Saya ini Papa kamu, Mi. Jadi sekali-kali bersikaplah baik. Toh, biaya kuliah kamu juga dari Papa." Ucap Pria itu duduk di sofa cokelat yang sebelumnya dia tempati.

"Kalau anda Papa saya, anda akan bertanggungjawab atas kelahiran saya dulu." Pria itu hanya melirik sekilas ke arah Naomi yang menatapnya semakin tajam.

Seolah tidak mendengar ucapan Naomi, pria itu mengeluarkan sebuah amplop cokelat dan secarik kartu nama. Dia menatap Naomi sebentar dan kemudian menghela nafas.

"Kamu tau Jessica Veranda? Pasti tau dong." Naomi mengerutkan keningnya heran ketika pria yang mengaku Papanya itu menyebut nama seorang CEO muda terkenal itu.

"Papa kesini cuma mau kamu bawa ini ke dia. Kasih ini ke dia langsung. Dan ini nama kantornya, Papa yakin kamu udah tau tapi biar kamu nggak nyasar bawa aja kartu nama dia. Nggak perlu bilang kalo ini dari Papa atau kamu sebut nama Papa. Kasih aja dan kalau dia tanya..." Pria itu diam sebentar. Matanya bergerak ke kiri dan ke kanan seolah mencari kata-kata yang pas.

"Jawab aja ini dari orang terpentingnya." Lanjutnya dan menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Mata tajamnya itu menatap Naomi yang masih diam.

"Ambil." Katanya saat melihat Naomi yang ragu ingin mengambil amplop itu.

Tak lama setelah pria itu mengatakan itu, tangan putih Naomi menggapai amplop cokelat itu di atas meja. Sejenak dia menatap kartu nama berwarna biru yang tadi tergeletak di atas amplop. Dan setelahnya, tanpa mengatakan apapun, Naomi meninggalkan pria itu yang masih memandanginya.

"Seandainya kamu tau, Papa menyesal sudah membuat Mama kamu seperti sekarang." Gumam pria itu menundukan kepalanya.

*****

Naomi keluar dari mobilnya dan berjalan menuju pintu kaca. Di sana ada seorang pria dengan setelan security-nya menghampirinya dengan sopan.

"Mohon maaf, Mba. Mbanya mau bertemu siapa?" Tanya pria itu tersenyum.

"Ini, Pak, saya temannya Bu Veranda. Bu Verandanya ada?" Tanya Naomi membalas senyuman pria tersebut.

"Oh, Bu Verandanya ada. Silahkan masuk." Naomi mengangguk kecil dan berjalan menghampiri dua perempuan di meja resepsionis.

"Permisi, Mba. Saya temannya Bu Veranda, apa saya bisa bertemu Bu Veranda?" Tanya Naomi dengan ramah.

"Maaf, sebelumnya apakah sudah membuat janji dengan Bu Veranda?" Tanya perempuan berbaju merah maroon di hadapan Naomi itu.

"Ah, iya, saya belum membuat janji sih, tapi saya harus memberikan ini secepatnya, dia tahu saya kok."

Setelah di beri izin dan beritahu harus melewati jalan mana, Naomi segera berjalan menuju ruangan Veranda. Dia yang awalnya di tawarkan untuk di antar hanya menolak pelan. Dia tidak mau siapapun melihat reaksi Veranda terhadapnya.

"Kalo nggak ngomel, ya curiga." Gumam Naomi tersenyum membayangkan ekspresi Veranda nanti. Jika melihatnya ada di kantor kebanggan gadis yang kini menjadi kekasih Kinal.

Naomi berhenti di pintu kaca berwarna gelap di depannya. Dengan pelan dia mengetuk pintu itu dan menunggu Veranda mempersilahkannya masuk.

"Masuk!" Teriakan itu membuat Naomi kembali mengutas senyum manisnya. Dia penasaran, seperti apa ekspresi gadis itu.

"Hai, Bu Veranda!" Sapa Naomi dengan ekspresi tengilnya. Veranda yang mendengar namanya di panggil segera mengangkat kepalanya.

Matanya menatap tajam pada Naomi yang kini sudah berdiri di hadapannya. Gadis berwajah oriental itu tersenyum miring ke arahnya.

"Lama tak jumpa, ya? Eemm... bentar, bentar. Dulu terakhir ketemu, kita jambak-jambakan di parkiran Mall, ya? Bersyukur sih, kepala gue nggak botak." Ucap Naomi duduk di hadapan Veranda sebelum si empunya kursi mempersilahkan.

"Mau apa lo kesini?" Tanya Veranda kembali berkutat dengan pekerjaannya.

"Gue kesini cuma mau kasih titipan ini aja." Kata Naomi memberikan amplop yang tadi dia bawa. Seketika wajah gadis itu berubah datar. Tidak seperti sebelumnya.

Tangan Veranda meraih apa yang Naomi berikan. Dia menatap Naomi yang kini terlihat menatap datar pada amplop yang Veranda pegang.

"Dari?" Tanya Veranda menaikan satu alisnya. Tentu saja dia bingung. Naomi bukanlah orang yang sangat dekat dengannya. Dan dia mengenal Naomi juga dari Kinal.

"Katanya sih, dari orang terpenting lo. Udah deh, gue pergi aja. Gue takut lo tiba-tiba berubah jadi naga dan nyemburin api. Bye!" Naomi keluar begitu saja meninggalkan Veranda yang melotot ke arahnya. Veranda tak habis fikir mengapa dulu Kinal bisa menyukai gadis itu.

Veranda menghela nafasnya panjang. Keningnya berkerut memikirkan dari siapa amplop yang dia pegang sekarang. Dan apa hubungan si pemberi dengan Naomi hingga gadis berwajah oriental itu yang memberikannya.

"Apa ya, isinya?" Gumam Veranda mulai membuka ikatan benang pada sisi amplop.

Tangannya merogoh ke dalam amplop tersebut dengan hati-hati. Dia takut jika Naomi sedang menjahilinya. Kepalanya menunduk, mencoba memastikan apa yang dia pegang itu sama dengan dugaannya. Ekspresinya terlihat sangat jelas jika ia bingung.

"Rambut?" Lirih Veranda memandang tangannya yang kini sudah memegang gumpalan rambut yang sudah kaku.

Mendadak kepalanya terasa pening, air matanya menetes satu persatu di pipi gembulnya. Sekelebat bayangan tak jelas terlintas di pikirannya. Air mata itu kian deras ketika telinganya tiba-tiba mendengar suara tangis dan teriakan histeris dari dua orang gadis kecil. Semakin dia mencengkeram rambut itu, semakin air matanya mengalir deras.

"Jangan..." Lirihnya di sela-sela isakannya.

Dengan cepat dia berusaha mengendalikan dirinya. Di lepaskannya rambut itu dan tangannya segera meraih ponselnya. Dia segera menghubungi Kinal yang dia tahu sudah pulang dari kampus.

"Kinal, cepet." Bisiknya setelah menghubungi Kinal. Saat tadi dia menelepon Kinal, dia berusaha tidak terisak. Ia takut Kinal khawatir dan kepikiran.

Selama menunggu Kinal, dia terus menangis di kursi kerjanya. Ia tidak tahu apa yang baru saja terjadi. Entah mengapa rasa sesak dan kehilangan bercampur menjadi satu dalam hatinya. Ia merasa kalau rasa yang dia rasakan sekarang ini sudah pernah dia rasakan. Tapi dia lupa kapan hal ini pernah terjadi.

*****

"Lama nggak ketemu, ya?" Ucap Devan menatap wanita cantik yang duduk di sampingnya.

Kini keduanya duduk di taman rumah sakit setelah wanita cantik itu memeriksa keadaan Beby yang juga belum sadarkan diri. Keduanya tampak canggung saat ini. Dengan jarak duduk yang lumayan jauh, dan keheningan yang terbilang lumayan lama sebelumnya.

Wanita itu tersenyum tipis menanggapi ucapan Papa Kinal itu. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa dengan mantan kekasihnya ini.

"Terakhir kita ketemu dua tahun lalu, ya? Waktu aku ke kampus Kinal buat menghadap dosennya, dan kamu ke sana buat ketemu Naomi. Nggak nyangka, ya? Udah lama banget." Ujar Devan tersenyum manis.

"Gimana sama Kinal? Udah baikan?" Tanya wanita itu sekedar berbasa-basi. Karena dia bingung harus membahas apa.

"Eemm... jagoanku itu udah luluh, Vi. Dia udah akur sama aku. Ya, aku nyesel udah bikin jarak sama anak semata wayangku selama itu. Dan aku berusaha memperbaiki semuanya demi dia dan Jessie." Vivi mengangguk paham. Senyumnya mengembang dan kepalanya menoleh pada Devan.

"Kapan-kapan ajak aku ke makam Jessie dong, aku mau liat dia." Ucap Vivi yang di angguki Devan.

Keheningan kembali menyergap keduanya. Mereka sama-sama berfikir apa yang harus mereka bahas. Karena semenjak mereka putus, jarak mereka sangat jauh hingga mereka tak pernah bertemu.

"Maaf." Lirihan Vivi membuat  Devan menoleh dengan kening berkerut.

"Maaf? Kok maaf?" Tanya Devan bingung.

"Ya maaf, Dev. Dulu aku ninggalin kamu gitu aja tanpa kasih alasan yang jelas." Devan diam seribu kata. Dia tak tahu harus menanggapi ucapan Vivi seperti apa. Karena memang jika mengingat hal itu, rasanya dadanya sesak.

"Jangan gitu. Aku tau kamu punya alasan kenapa kamu ninggalin aku. Sekarang... mendingan kita urus buah hati kita masing-masing. Inget nggak, sih? Dulu waktu kita ke pasar malem, ada nenek-nenek peramal yang ngeramal kita? Masih inget?" Ujar Devan tampak antusias.

"Eemm... ingetlah, kenapa kamu? Mau jodohin anak kamu sama anak aku? Nggak deh, anak aku terlalu cakep hahaha." Gurau Vivi tertawa kecil yang berakhir dengan seutas senyum yang amat sangat manis.

Sejenak Devan terpaku. Sudah lama ia tak melihat Vivi tersenyum semanis sekarang. Ia rasa sudah sangat lama tidak melihat Vivi seperti itu dan membuatnya merasa senang bisa kembali melihat senyum terpatri di wajah mantan kekasihnya.

"Awalnya aku mau jodohin anak aku sama kamu, tapi kok aneh, ya? dulu waktu aku pergi ke pasar malem sama yang lain tanpa kamu dan bareng anak-anak, nenek itu malah bilang Kinal berjodoh sama Veranda." Vivi yang mendengar perkataan Devan langsung menoleh. Matanya sedikit melotot karena terkejut.

Devan yang merasa Vivi terkejut segera menatap wanita cantik di sampingnya itu dengan mengerut bingung. "Kenapa?" Tanya Devan bingung.

"Ve-veranda?" Devan mengangguk ragu mendengar beo-an dari bibir Vivi.

"Kenapa, sih?" Tanya Devan yang masih belum mengerti.

"Sebentar, yang kamu maksud Veranda itu... anak Kakak aku?" Devan kembali mengangguk dan kini pria itu sedikit heran dengan reaksi yang di berikan Vivi.

Mata wanita itu tampak memerah seakan menahan tangis, dadanya sedikit naik turun akibat menekan rasa sesak yang kini dia rasakan. Di tambah bibir bawahnya yang bergetar ketika menanyakan hal itu.

"Kamu... tau kan, Kakak kamu punya anak?" Tanya Devan menatap lekat Vivi yang kini tertunduk. Vivi mengangguk menjawab pertanyaan Devan.

Keheningan berlangsung beberapa detik hingga suara isakan dari bibir kecil Vivi terdengar oleh gendang telinga Devan. Wanita itu tampak mengepalkan kedua tangannya menahan sakit yang dia rasakan. Bahunya bergetar karena berusaha menahan air mata namun dia sudah tak mampu lagi.

Devan yang melihat itu mencoba perlahan menarik tubuh Vivi yang lebih berisi daripada saat dia sekolah dulu. Wanita itu menangis dalam dekapan Devan. Dia keluarkan semua air mata yang sepertinya sudah lama tidak dia keluarkan karena sebuah alasan yang sama. Rindu akan hadirnya seseorang yang amat sangat dia sayangi dan cintai.

"Tenang, Vi. Aku yakin Kakak kamu baik-baik aja di sana. Dia udah bahagia tinggal di sisi-Nya. Kamu harus ikhlasin dia." Ucap Devan menenangkan Vivi yang masih saja menangis. Bukannya berhenti, Vivi semakin menangis hingga Devan sedikit melirik ke sekitarnya. Takut jika ada orang yang melihat dan salah sangka.

"Vi, jangan makin nangis dong, kalo di liat orang kan, jadinya nggak enak. Entar orang salah sangka lagi kalo aku yang buat kamu nangis." Vivi sedikit menarik dirinya dari pelukan Devan. Bibirnya berucap maaf dengan nada yang sangat kecil namun masih bisa Devan dengar.

"Kamu kenapa, sih? Aku minta maaf kalo aku nyinggung. Tapi suer deh, aku nggak ada maksud buat nying-"

"Iya, aku tau, Devan. Aku nangis cuma karena kangen sama Kakakku." Ucap Vivi menyela ucapan Devan.

Devan menghela nafas pelan. Tangannya terangkat dan menghapus jejak air mata yang tercetak di pipi tirus wanita yang pernah menjadi tempat persinggahan hatinya dulu. Meski sudah menjadi mantan, Devan tidak pernah bisa memungkiri bahwa dirinya masih memiliki rasa sayang pada Vivi. Tapi mengingat ramalan itu, Devan sedikit bimbang dengan perasaannya sendiri.

"Jangan nangis lagi, ada aku. Kalo kamu kangen Kak Savia, kamu bisa ke makamnya, kan? Ya udah, kita balik yuk! Entar temen-temen aku mikir aneh-aneh." Vivi terkekeh pelan mendengar ketakutan Devan barusan.

Dia fikir, ternyata Devan masih tetap sama. Masih polos dan memiliki rasa takut pada sahabat-sahabatnya yang sering mencurigainya jika sedang berduaan dengan dirinya.

"Kenapa ketawa? Ada yang lucu? Ish!" Devan menarik tangannya dan melipat tangannya di depan dada. Bibirnya di majukan sedikit pertanda dia kesal. Sangat mirip dengan Kinal yang sedang merajuk.

"Dasar, inget umur! Udah tua juga, masih aja sok lucu. Entar Kinal ilfeel punya Papa kayak kamu hahaha." Gurauan Vivi tidak membuat Devan mengganti raut wajahnya. Pria itu masih cemberut dengan tangan di lipat depan dada. Wajahnya dia alihkan seakan benar-benar marah pada Vivi yang tadi mengejeknya.

"Nggak malu kamu sama otot? Otot gede begitu, muka di bikin kayak anak bayi. Kalo Kinal yang begitu masih pantes, Dev. Udah ah, ayo! Katanya ngajak balik ke kamar Beby."

Keduanya langsung berjalan. Dengan Devan yang masih belum mau berbicara. Hal itu membuat Vivi merasa lucu sendiri melihat tingkah duda beranak satu itu. Meski sudah menjadi duda, Vivi mengakui jika Devan masih sangat tampan bahkan lebih tampan dari saat dia SMA dulu.

Langkah keduanya berhenti saat melihat gadis cantik sedang duduk di kursi yang berjejer di deretan pintu kamar inap Beby. Vivi diam menatap gadis yang sedang duduk dengan membaca buku.

Entah mengapa, tiba-tiba jantungnya bergemuruh dan berdebar sangat cepat melihat gadis cantik itu sangat tenang membaca. Kedua kakinya perlahan menghampiri gadis tersebut. Setetes butiran bening kembali turun dari pelupuk matanya.

Vivi tidak tahu apa yang dia rasakan. Entah itu rasa bahagia atau rasa sedih. Yang pasti, hari ini dia serasa melihat malaikat yang dulu pernah dia cintai dengan sepenuh hatinya.

Merasa di perhatikan, gadis itu mengangkat wajahnya dan tersenyum kepada kedua orang dewasa itu. Devan membalas senyumnya dengan sangat manis. Matanya melirik pada Vivi yang masih diam di tempatnya.

"Mau sampai kapan kamu berdiri di situ?" Celetuk Devan yang membuyarkan lamunan Vivi.

Mereka kembali berjalan dan Vivi menghentikan langkahnya tepat di hadapan gadis cantik tadi. Gadis itu tersenyum kikuk melihat Vivi yang kini memperhatikannya tanpa berkedip.

"Udah makan?" Tanya Vivi tiba-tiba. Gadis itu tampak melirik Devan yang mengindikan bahunya.

"Eemm... udah kok, Tante." Jawabnya sembari memberikan senyuman terbaiknya.

"Ya udah, jangan kebanyakan baca buku terlalu lama, kasian mata kamu." Gadis itu mengangguk kecil. Setelah berkata seperti itu, Vivi berjalan masuk ke dalam ruangan Beby untuk memeriksa keadaan Beby lagi.

Devan yang masih diam menatap gadis itu sejenak dan kembali melangkah ke dekat gadis tersebut. Perlahan dia menunduk, menumpu dirinya pada kedua lututnya. Matanya menatap teduh pada gadis yang masih diam dengan otak yang kebingungan.

"Ve, jangan merasa sendiri, ya? Kalo kamu butuh sesuatu, kamu bisa bilang ke Om. Paham?" Veranda mengangguk kecil. Dia sangat bingung dengan tingkah Vivi juga Devan yang tiba-tiba sangat perhatiam kepadanya.

Setelah itu Devan berdiri, sebelum melangkah tangannya mengusap sayang kepala Veranda dan memasuki kamar inap Beby yang sudah ramai karena Beby yang sudah siuman. Suara Kinal yang berteriak gembira pun dapat Veranda dengar dari luar.

*****

Dua hari berlalu, Beby yang tidak mendapat luka serius sudah di perbolehkan pulang. Semua berkumpul di rumah Beby. Mereka saling menjaga secara bergantian. Meski sudah di perbolehkan pulang, tapi Beby masih berada dalam tahap penyembuhan.

Shania yang merasa bersalah membantu yang lain untuk merawat Beby. Sepanjang hari ini gadis itu sibuk mengurus keperluan Beby. Dari makan hingga baju Beby yang akan di pakai setelah mandi.

Seusai pulang sekolah, Shania akan pergi ke rumah Beby dengan masih memakai baju sekolah. Ia hanya tak ingin bolak-balik mengganti pakaian sementara di rumah besar itu Beby hanya tinggal bersama asisten rumah tangganya karena Boby sibuk bekerja.

Dan kini Shania baru saja membuatkan Beby bubur ayam yang dia fikir itu adalah bubur pertama yang dia buat. Dengan sedikit was-was, kakinya melangkah masuk ke dalam kamar Beby yang bernuansa biru. Terlihat si empunya kamar sedang duduk membaca komik bocah laki-laki yang beralis tebal asal Jepang itu.

Tanpa melihat siapa yang masuk ke kamarnya, Beby sudah bisa menebak jika orang itu adalah Shania. Dia bisa mencium aroma parfum Shania dari jarak kurang lebih 2 meter dari tempatnya duduk.

Dari ekor matanya, ia bisa melihat Shania berjalan pelan sambil membawa nampan berisi semangkuk bubur dan air putih. Gadis itu tampak gugup ketika Beby dengan sengaja mengangkat kepalanya cepat.

"Astaga!" Kaget Shania yang langsung menundukan kepala. Entah mengapa jantungnya seketika berdetak sangat cepat ketika mata tajam Beby menatap ke arahnya.

Beby yang melihat respon Shania yang terkejut hanya terkekeh pelan. Dia meletakan komiknya dan mengambil nampan dari tangan Shania.

"Kamu yang buat?" Tanya Beby saat melihat bubur ayam di pangkuannya. Dia mengangkat kepala menatap Shania yang masih menundukan kepala.

"I-iya." Jawab Shania terdengar sangat gugup.

"Duduk, nggak capek apa berdiri terus." Shania menurut. Tangannya menarik kursi belajar Beby dan duduk di samping gadis berlesung pipi itu yang sudah menyuapkan buburnya.

Shania sedikit was-was melihat Beby mengunyah buburnya dengan kening berkerut. Dia takut jika rasanya tidak enak.

"Gi-gimana e-enak?" Tanya Shania terbata-bata karena sangking takutnya.

"Eemm..." Beby tampak berfikir sebentar. Tidak ada senyuman di wajah manisnya. Hanya wajah yang di buat-buat seakan dia sedang berfikir keras.

"Nggak." Lanjut Beby selesai mengunyah habis buburnya.

Shania merengut menatap Beby yang masih menyuapkan bubur buatannya dengan wajah tanpa ekspresi. Dalam hati dia memaki Beby yang sangat menyebalkan ini.

"Nggak salah lagi, ya kali bubur buatan kamu nggak enak." Seketika wajah Shania berubah berseri mendengar penuturan Beby. Senyumnya mengembang dan sedikit malu-malu saat Beby meliriknya.

"Bikin deg-degan aja deh." Gumam Shania dalam hati.

Sesaat keduanya sama-sama diam. Beby yang sibuk menghabiskan makanannya dan Shania yang sibuk mengatur detak jantungnya yang tiba-tiba berdetak sangat kencang. Dia hanya takut kalau Beby bisa mendengar suara detakannya.

"Kamu udah makan?" Tanya Beby yang sudah mulai bosan.

Shania mengangkat kepalanya dan mengangguk kecil. Gadis itu tampak berusaha mengalihkan pandangannya dari mata Beby yang kini menatapnya. Sementara Beby merasa aneh dengan tingkah Shania.

"Kamu kenapa?" Tanyanya kebingungan. Karena sedaritadi Shania terus membuang wajahnya.

"Eh? E-enggak kok, Beb." Jawab Shania sedikit gugup.

Beby berusaha berfikir positif. Dia hanya tidak ingin mengambil kesimpulan yang sangat jauh dengan kenyataan yang nantinya dia dapatkan. Tangannya kembali menyendokan buburnya dan memakan hingga habis.

"Kamu butuh sesuatu?" Tanya Shania setelah Beby menghabiskan buburnya. Kini tangannya sudah memegang mangkuk bekas Beby makan.

"Iya, aku butuh sesuatu." Kata Beby membetulkan posisi duduknya. Ia mengangkat kepalanya menatap Shania yang berusaha sebisa mungkin menahan detak jantungnya yang berpacu sangat kencang.

"Apa?" Tanya Shania dengan suara pelan.

"Kamu."

"Hah?"

"Kamu."

"Maksudnya?"

"Iya, aku butuh KA-MU."

Shania semakin menunduk malu mendengar ucapan Beby barusan. Dengan menekan kata 'kamu' Shania merasa dadanya bergemuruh. Ingin rasanya berteriak gembira mendengar apa yang di butuhkan Beby.

"Aku butuh kamu buat bantuin aku ambil apa yang aku pengen." Lanjut Beby mengambil komiknya dan membacanya dengan sangat cuek.

Wajah yang tadinya memerah karena malu, berubah menjadi merah akibat amukan Shania. Gadis itu mendengus kesal dan berjalan meninggalkan Beby yang kini melirik punggungnya.

"Tapi yang aku pengen itu kamu." Mendadak kakinya berhenti sesaat setelah dia mendengar ucapan Beby. Dia merasakan ribuan kupu-kupu berterbangan di dalam perutnya. Seakan menari-nari karena kebahagiaannya.

"Cepet ke sini lagi, aku kangen." Ucap Beby memandangi punggung Shania yang masih diam di tempat.

"I-iya." Selesai menjawab ucapan Beby, Shania berlari menuju dapur dan segera kembali ke kamar Beby. Ia hanya tidak ingin Beby menunggunya lama.

*****

Jam 16.30 Kinal sudah sampai di depan kantor Veranda. Jam pulang orang kerja ini membuat Kinal sedikit kikuk karena sedaritadi tak hentinya karyawan-karyawan yang keluar dari sana menatapnya dengan berbagai tatapan. Ada yang kagum, ada yang sinis bahkan ada yang hanya sekedar menyapanya dengan senyum manis.

Kinal menghela nafas lega saat melihat CEO muda yang kini menjadi kekasihnya itu keluar dengan rok hitam pendek berbahan kain, kemeja berwarna krem dan blazer yang hanya di sampirkan di lengan kirinya. Tak lupa kacamata minus yang bertengger di hidung mancungnya menjadi nilai plus untuk gadis secantik Veranda.

Senyum Kinal mengembang saat melihat Veranda tersenyum ke arahnya. Tanganya ia rentangkan untuk memberi kode agar Veranda memeluknya.

Tapi dengan sangat malu Kinal menundukan kepalanya ketika Veranda melewatinya begitu saja. "Ngeselin." Gumam Kinal menghentakan kakinya.

Veranda yang mendengar itu hanya terkekeh pelan dan masuk ke dalam mobil Kinal. Selama perjalanan Veranda tidak berbicara begitupun Kinal yang masih kesal dengan tingkah Veranda tadi.

"Aku kayak gitu juga nggak enak di liat orang. Masih ada yang belum pulang di dalem, masa aku udah meluk-meluk kamu. Entar yang ada aku di bully lagi, fans kamu kan banyak." Ucap Veranda tanpa menoleh ke sampingnya.

Kinal yang tadinya diam mulai tersenyum mendengar ucapan Veranda. Dia merasa gemas melihat Veranda yang sok cuek dengan mengatakan hal itu.

"Emang iya, fans aku banyak? Nggak salah sih, aku keren gini ya, jelas banyaklah fansnya." Veranda menjulurkan lidahnya seolah dia ingin muntah. Sementara Kinal kembali terkekeh melihat respon Veranda.

"Tapi, sebanyak apapun fans aku, cuma kamu yang buat aku jatuh cinta." Kata Kinal mencolek dagu Veranda.

"Genit ih!" Seru Veranda menjauhkan wajahnya sambil tertawa.

"Aku genitnya cuma sama kamu kok, say." Kinal kembali menggoda Veranda. Dan kali ini nada bicaranya di buat seperti banci yang biasa dia temui.

"KINAL GELI!"

"HAHAHAHA!"

Veranda memukuli lengan Kinal beberapa kali. Sedangkan Kinal terus tertawa karena tahu jika Veranda merasa geli dengan cara bicaranya. Dan sekali lagi dia kembali menggoda Veranda dengan nada bicara yang sama.

"Ih, jangan gitu ah. Eyke sakit, cyin di pukul terus. Mending di cipok muach."

"Iiiiih! Kamu kena setan bencong darimana sih?! Jangan gitu lagi, Kinal! Aku geli!!!"

"HAHAHAHA gemes banget cih, jadi pengen bawa ke pelaminan."

"Dih, dia ngebet."

"Kan sama kamu, sayang."

"Kinal!"

"Iya?"

"Ish!"

"His!"

"Tau ah!

"Dasar cewek."

"Dasar cew- eh, kamu kan juga cewek Kinal! Resek banget!"

Sepanjang menuju rumah Veranda, Kinal tak hentinya menggoda Veranda yang terus berteriak dengan nada manja. Kinal benar-benar merindukan Verandanya yang seperti ini. Veranda yang ceria dan manja jika hanya bersamanya.

"Ve!"

"Ya?"

"Eemm... enggak deh, cuma mau bilang."

"Bilang apa?"

"Jangan pergi lagi."

Veranda menoleh menatap wajah Kinal yang fokus menyetir. Terlihat jelas di wajah itu jika dia sedang merasa bahagia. Senyum bahagia tercetak jelas di kedua ujung bibir Kinal.

"Emang aku pergi kemana? Aku kan, di sini." Ucap Veranda mencubit pipi Kinal.

"Iya, aku tau." Kinal semakin tersenyum lebar ketika sebuah ingatan yang indah terlintas di benaknya. Kakinya menginjak pedal rem saat lampu lalulintas menunjukan warna merahnya.

Tangan Kinal mengeluarkan kalung yang selama ini dia simpan di balik baju yang dia kenakan. Liontin pemberian Mamanya dan cincin plastik yang dulu dia temukan masih menggantung di sana. Di usapnya cincin itu dengan senyum hangat. Veranda mengerutkan keningnya bingung melihat ekspresi Kinal yang seperti itu.

"Dari siapa itu? Kok kayaknya seneng banget." Ucap Veranda sedikit memanyunkan bibirnya.

"Dari kakak bidadari." Veranda langsung menatap Kinal yang masih tersenyum. Dia terkejut mendengar itu. Karena dia merasa pernah ada yang memanggilnya seperti yang Kinal ucapkan barusan.

"Ka-kakak bidadari?" Kinal mengangguk kecil. Tangannya masih mengusap cincin yang masih dia pegang.

"Lupain aja, nggak penting juga di inget." Veranda semakin mendelik mendengar ucapan Kinal. Gadis itu seakan menebak apa yang sedang dia fikirkan. Memang sedaritadi dia terus mengingat siapa yang biasa memanggilnya seperti itu.

*****

Hari ini semua kembali seperti biasa. Keenamnya kembali pergi ke kampus dengan berisik. Sepanjang mereka berjalan di koridor, tak hentinya mereka bercanda.

Beby yang sudah pulih juga ikut-ikutan tertawa karena ulah Jeje yang mencoba menggombali Viny. Bukannya terpesona, Viny malah merasa geli karena ekspresi Jeje.

"Vin, lo itu sama kayak jaket, sama-sama ngangetin eeeaa hahaha!" Jeje tertawa geli mendengar ocehannya sendiri sementara Viny bergidik geli dan berjalan sedikit menjauhi Jeje.

"Je, coba dong lo gombalin Lidya." Kata Nabilah terkekeh melihat Lidya mendelik ke arahnya.

"Ogah gue, entar di sangkanya gue doyan om-om. Masih mending si Viny, imut, manis, lucu. Lah die? Coba lo bersuara, Lid." Lidya berpura-pura batuk dan kemudian dia mengeluarkan suara yang dia buat seperti laki-laki.

"Jeje, mau jalan sama Om?" Seketika mereka tertawa mendengar Lidya yang ternyata menanggapi kelakuan sahabat-sahabatnya.

"Anjir! Om, dedek masih kecil Om. Dedek butuh permen bukan sosis hahaha."

Lidya menoyor kepala Jeje dan kemudian mengunci leher Jeje dengan lengannya. Semua tertawa karena Jeje yang lebih pendek dari Lidya sedang di seret oleh Lidya. Bahkan kaki Jeje sedikit melayang karena Lidya mengangkat tubuhnya.

"Lid, lo kek ngangkat kursi plastik hahaha." Kata-kata Beby semakin membuat mereka tertawa.

Beberapa menit kemudian Lidya melepaskan Jeje dengan sisa-sisa tawanya. Dia menoleh ke arah sahabat-sahabatnya yang berjalan di belakangnya.

"Eh, kalian nggak mau jengukin Naomi? Kata Frieska dia lagi sakit." Ucap Lidya mensejajarkan langkahnya dengan yang lain.

"Naomi sakit? Gue kira tuh, bocah kagak bisa sakit. Gimana, Nal? Jengukin kagak?" Tanya Nabilah menatap Kinal yang baru saja membalas pesan Veranda.

"Eemm... boleh-boleh. Tapi pulang kampus Ve ngajak pergi. Gimana kalo gue bawa Ve? Ya... itung-itung biar dia percaya gitu." Nabilah dan yang lainnya mengangguk setuju.

"Eh, btw nih ye? Lo sama Kak Ve udah jadian?" Tanya Nabilah penasaran.

"Menurut lo?" Kinal tersenyum miring melirik Nabilah yang ada di sebelahnya.

"AAAAA!!! KINAL UDAH JADIAN!" Seketika Kinal dan yang lain menutup telinganya karena suara cempreng Nabilah yang begitu keras.

"Biasa aja napa, Bil!" Kesal Beby mendorong Nabilah yang kini cengengesan.

"Hehehe maap, keceplosan neh." Mereka menggeleng melihat tingkah Nabilah yang tidak pernah berubah.

*****

Sesuai janji tadi pagi, kini mereka sudah dalam perjalanan menuju rumah Naomi. Sebelumnya mereka juga sudah menjemput Veranda dan membeli buah-buahan atas permintaan Veranda juga.

Selama perjalanan Veranda dan Kinal yang satu mobil dengan Nabilah dan Jeje terus mendapat sorakan karena keduanya yang sudah di ketahui pacaran.

"Cieee pacaran, udah nggak jomblo lagi ya, Nal? Tapi tetep aja, pas bangun tidur masih sendiri hahaha." Kinal hanya tersenyum mendengar ocehan Jeje barusan. Dan tak lama Nabilah ikut-ikut mengangkat suara.

"Gapapa, Nal masih meluk bantal guling. Yang penting lo nggak melipir meluk yang lain eeeaaa hahaha." Veranda tertawa kecil mendengar ucapan-ucapan Jeje serta Nabilah.

"Kalo sampe di meluk-meluk yang lain, tinggal patahin aja tangannya." Seketika kedua sahabat Kinal terdiam. Keduanya merasa sangat sulit menelan ludah.

"HAHAHAHAA aku becanda!" Seru Veranda tertawa karena melihat kedua gadis itu diam tiba-tiba.

Tak berapa lama mereka sampai di rumah Naomi yang cukup besar. Rumah dengan lantai bertingkat dua dan berwarna cokelat itu tampak sepi dari luar. Kinal dan yang lain sedikit was-was jika di rumah itu tidak ada orang.

"Panggil gih!" Suruh Veranda saat Kinal, Nabilah dan Jeje masih diam menatap rumah di sampingnya.

"Suruh Lidya aja sono, Nal. Gue kok merinding gini liat ni rumah." Ucap Nabilah bergidik ngeri.

"Tuh, jenong dah turun." Ujar Kinal saat melihat Beby dari kaca spionnya keluar dan berjalan mendekati pagar besi berwarna cokelat tua itu.

Semua keluar dari dalam mobil, melihat Beby yang terus memanggil-manggil nama Naomi yang belum juga keluar. Tapi Beby yakin jika gadis berwajah oriental itu ada di dalam rumah.

Tak sampai setengah jam, seorang gadis dengan rambut di gerai dan masih mengenakan piyama biru dongker keluar. Wajahnya terlihat pucat dan terlihat lemas.

"Eh, kalian maaf, ya lama? Gue tadi tidur, masuk-masuk!" Ajak Naomi membuka pagar rumahnya dan mempersilahkan mereka masuk. Dia tersenyum tipis melihat Veranda yang juga tersenyum padanya.

"Duduk, kok malah bengong." Ujar Naomi saat semua sudah ada di dalam.

"Ehehehe kaget aja liat rumah lo, Mi. Keren banget interiornya." Kata Viny yang memang anak desain.

"Hehehe ini Mama gue yang desain sendiri. Dia juga yang nata barang-barang di sini. Makanya keliatannya rapi banget." Ucap Naomi tersenyum lemah.

"Eh iya, mau minum apa?" Tanya Naomi beridiri dari duduknya.

"Nggak usah, Mi! Lo lagi sakit kok malah bikin minum. Kita mah nggak usah di kasih minum, liat lo senyum aja udah nggak aus kok." Seketika Veranda langsung mencubit pinggang Kinal yang berani-beraninya menggoda Naomi di hadapannya.

"Sakit!" Bisik Kinal melepaskan tangan Veranda yang terlihat santai.

Naomi tersenyum kecil melihat tingkah mereka. Dia berdiri dan melangkah menuju dapur. Tapi Veranda menghentikannya untuk memberikan buah-buahan yang mereka bawa.

"Buat kamu, cepet sembuh ya?" Ucap Veranda tersenyum.

"Makasih, Kak Ve." Kata Naomi ikut tersenyum.

Kinal dan yang lainnya melirik ke segala arah. Memperhatikan semua isi yang ada dalam rumah Naomi. Sesekali mereka tertawa melihat foto ketika Naomi masih kecil. Sangat lucu menurut mereka. Hingga pada sebuah bufet, tampak satu pigura lumayan besar terpajang di dalamnya.

Kinal berdiri dari duduknya menatap foto tersebut. Matanya dia picingkan untuk lebih jelas melihat foto yang baru saja dia temukan. Pigura yang tidak terlalu besar itu memperlihatkan seorang perempuan dengan menggendong seorang bayi perempuan yang berumur sekitar seminggu

"Ini foto siapa, Mi?" Tanyanya menunjuk ke dalam bufet itu saat Naomi sudah kembali membawakan makanan ringan dan minuman.

"Oh itu, kata Mama itu foto Kakak aku." Jawab Naomi menatap Kinal heran.

"Kenapa, Nal?" Tanya Naomi bingung.

"E-enggak, lucu aja anaknya. Sekarang Kakak lo dimana? Dia cewek?" Tanya Kinal yang sudah duduk lagi di tempatnya.

"Kata Mama, dia udah nggak ada. Iya, dia cewek." Jawab Naomi mengangguk kecil.

Mereka terus mengobrol, menceritakan apa saja yang mereka lakukan di kampus hari ini. Tak hentinya Naomi tertawa ketika melihat Jeje dan Nabilah berebut mengambil kue yang sama.

Suara pintu yang di buka kasar membuat mereka menoleh. Betapa terkejutnya mereka melihat siapa yang datang. Seorang pemuda tampan dengan mengenakan jaket jeans dan topi berwarna hitam.

"Mana nyokap lo?!" Tanya pemuda itu dengan suara keras. Naomi menghela nafas dan berdiri dari tempatnya.

"Lo bisa nggak, nggak usah suara keras?! Gue lagi ada tamu dan nyokap gue belum pulang. Pergi sana!" Balas Naomi menatap tajam pada pemuda itu.

Pemuda berjaket jeans itu ternyata tidak sadar jika ada Kinal dan yang lain yang kini menatapnya heran. Bahkan Kinal menatap pria itu sangat tajam. Sedangkan Veranda terus berfikir mengapa pemuda itu bisa mengenal Naomi.

Pemuda itu melirik sebentar ke sampingnya dan kembali menatap Naomi dengan tatapan tajam. "Gue cuma butuh sama nyokap lo!" Teriak pemuda itu mendorong Naomi. Dia berjalan menuju ke atas tanpa merasa malu sedikitpun.

"Sedang apa kamu di rumah saya?" Suara lembut namun sarat akan penekanan membuat semua menoleh tak terkecuali pemuda itu.

"Ini yang gue cari." Kata pemuda itu berjalan mendekati wanita dewasa yang masih sangat cantik.

"Dimana lo sembunyiin adek gue?!" Tanya pemuda itu menatap tajam ke arah wanita itu.

"Maaf, Kevin. Tapi saya tidak pernah tahu dimana adik kamu. Silahkan keluar, karena di sini masih ada tamu. Cari saja adikmu itu ke tempat clubing, mungkin dia sedang sibuk di sana." Ucap wanita itu menatap tajam pada orang yang ternyata itu adalah Kevin. Mantan pacar Veranda.

"Gue nggak bakal keluar dari sini, sampe lo kasih tau dimana adik gue!" Bentakan itu seketika membuat Veranda berdiri bahkan berjalan mendekati wanita itu dan Kevin.

"Jaga ucapan kamu, Kevin!!! Dia lebih tua dari kamu, nggak pantes kamu teriak di depan dia kayak gitu. Keluar!" Semua terdiam mendengar suara keras Veranda yang menggema di semua sudut ruangan tersebut. Veranda hanya tak suka melihat ada yang berami membentak orang yang lebih tua darinya.

"Ve, lo nggak tau apa-apa. Mending lo minggir." Veranda menggeleng dan mendorong Kevin hingga pemuda itu sedikit terdorong.

"Pergi, Kevin! Mama Naomi udah nyuruh kamu buat nyari adik kamu di luar bukan di sini!" Seru Veranda kembali mendorong pemuda itu.

"Gue nggak bakal pergi sebelum wanita keparat ini kasih ta-" belum sempat Kevin melanjutkan ucapannya, sebuah pukulan mendarat di pipinya dengan sangat keras.

"JAGA UCAPAN LO!!! Lo berani bilang dia keparat, lo LEBIH KEPARAT, BAJINGAN!" Kinal kembali memukul wajah Kevin sekali lagi hingga pemuda itu tersungkur jatuh.

"Pergi lo!" Bentak Kinal keras.

"Emang adik dia namanya siapa, sih? Kok gue ngerasa dia nggak punya adek." Bisik Viny pada Naomi.

"Nadhifa." Jawab Naomi singkat.

"Hah? Nadhifa? Maksud lo Nadse?" Tanya Nabilah dengan suara keras.

"Emangnya Nadse namanya Nadhifa?" Tanya Beby bingung.

"Iya, nama asli dia Nadhifa. Nadse itu cuma nama panggilan gitu. Nggak nyangka gue dia adiknya si Kevin." Ucap Nabilah mengelengkan kepala.

Kevin perlahan berdiri dan menatap tajam pada Kinal yang masih berjarak satu meter darinya. Senyum miringnya tercetak dan ibu jarinya mengusap pinggir bibirnya sendiri yang berdarah.

"Segini doang? Bahkan gue bisa lebih hancur dari ini. Dan inget, Kinal. Lo bakal ngerasain pukulan gue nantinya. Tapi nggak untuk sekarang." Setelah mengucapkan itu, Kevin pergi meninggalkan kediaman Naomi.

Naomi menunduk, meneteskan air mata. Jantungnya berdebar kencang karena dia takut. Takut jika orang yang tak ia inginkan datang dan kembali memukuli Mamanya dengan membabi buta.

"Sayang, kok nangis?" Tanya Vivi berjalan mendekati Naomi dan memeluknya.

"Omi takut, Ma. Takut dia dateng lagi dan lakuin itu ke Mama." Ucap Naomi memeluk tubuh Mamanya.

"Enggak, sayang. Dia nggak bakal berani lagi. Percaya, ya? Udah ah, ada temen-temen kamu kok nangis. Nggak malu?" Naomi melepaskan pelukannya dan terkekeh pelan melihat semua yang ada di sana sedang memperhatikannya.

"Hehehe maaf, ya? Baper nih, gue." Ucapnya cengengesan.

"Gapapa, Mi. Eemm... Gimana kalo kita pulang? Udah ada Mamanya Naomi tuh." Bisik Viny tidak enak.

Vivi tersenyum dan kepalanya menoleh ke arah Kinal dan Veranda yang masih berdiri. Dia tersenyum menatap keduanya. Tapi lebih tepatnya menatap Veranda yang tampak murung.

"Duduk, Nal. Ajak Ve juga." Kata Vivi tersenyum.

"Duduk, Ve." Ajak Kinal menarik tangan Veranda yang hanya mengangguk kecil.

"Loh, Mi. Kok lo kenal Kevin, sih?" Tanya Beby heran.

"Oh itu... dia itu... Kakak gue."

"Kakak? Kata lo..."

"Iya, Beb. Dia Kakak gue, Kakak tiri."

Semua diam mendengar ucapan Naomi. Mereka tidak menyangka jika selama ini Kevin dan Nadse adalah saudara kandung sementara Naomi dan mereka herdua adalah saudari tiri.

"Gue baru liat si Kevin macem kesetanan. Dulu waktu pacaran sama Kak Ve, nggak begitu kelakuannye. Eh, berarti dulu kita salah paham ye, bilang mereka pacaran dan nyelingkuhin Kak Ve. Bener kan, Kak Ve?" Veranda mengangguk menjawab ucapan Nabilah.

"Aku juga kaget waktu tau Nadse adiknya Kevin." Kata Veranda.

"Mereka saudara yang aneh. Gue heran kenapa ada orang kayak gitu." Ucap Naomi menghela nafas.

Veranda mengangguk menimpali ucapan Naomi. Matanya jatuh pada foto Naomi dan Vivi yang terpajang di dinding. Ia tersenyum kecut melihat itu. Bahkan dia tidak tahu mengapa perasaannya berubah menjadi aneh seperti sekarang ini.

"Mama, aku kangen." Gumam Veranda dalam hati.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Helloooo! Akhirnya update ehehehe

Semoga suka😊

See u and GBU 😇💙💙

Yv

Continue lendo

Você também vai gostar

310K 23.7K 108
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
237K 35.5K 64
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
127K 9.1K 57
cerita fiksi jangan dibawa kedunia nyata yaaa,jangan lupa vote
616K 61.2K 48
Bekerja di tempat yang sama dengan keluarga biasanya sangat tidak nayaman Itulah yang terjadi pada haechan, dia menjadi idol bersama ayahnya Idol lif...