AFTER KOMA

By yudhanafiri

20.2K 1.3K 146

Usai kecelakaan itu, ada sesosok perempuan yang selalu membayanginya. Antara takut dan penasaran, dia berusah... More

News Blog
Amnesia
M i m p i
Back to School
Sleeping Beauty
Gelang
Janji
Flash Back
Odelia
Alumni
Wajah Dari Masa Lalu
Selebritis
Nightmare
Keeping Promise
Kehilangan
Memori Yang Hilang 1
Memori Yang Hilang 2
Keabadian
Keabadian 2
Keabadian 3
Jati Diri 1
Jati Diri 2
Keyakinan 1
Keyakinan 2
Jangan Menyerah
Rajah Bunga Kenanga
Sepertiga Malam Terakhir

Memori Suram

303 33 10
By yudhanafiri


Tidak ada yang meragukan bahwa apa yang akan dilakukan Yanti nanti sangat berbahaya. Hidupnya adalah taruhannya. Namun, kecemasan bahkan ketakutan yang mereka bayangkan akan mereka lihat di diri Yanti tidak nampak. Sebaliknya, keadaan Yanti justru terlihat lebih baik dari sebelumnya. Kecemasan yang selalu menghiasi wajahnya selama ini, kini tidak lagi terlihat.

“Saya nggak tahu, Kak,” Yanti berkata, menjawab pertanyaan Indah yang mewakili keheranan teman-temannya. “Mengetahui kejelasan masalahnya memang sudah membuat saya lebih tenang. Setidaknya saya sekarang tahu apa yang harus saya lakukan. Dan saya merasa saya memang harus melakukannya. Kak Irma dan nenek sudah menjadi korbannya, akan jadi orang pengecut kalau saya sampai menghindarinya.”

“Kakak merasa ada kesan ... dendam?”

“Mungkin,” Jawab Yanti. Sudut bibirnya menyunggingkan senyum getir. “Sulit saya membayangkan bagaimana perasaan Mama selama ini. Kehilangan ibu dan anaknya di malam yang sama tanpa dia tahu kenapa itu bisa terjadi. Mama pasti sangat menderita selama ini. Terus menyalahkan dirinya atas kematian ibu dan anaknya. Siapa pun anaknya tidak akan mungkin bisa menerima melihat mamanya mengalami penderitaan sedalam itu.”

“Kalau sesuatu terjadi sama kamu, itu akan menambah penderitaannya,” ucap Adam.

“Itu nggak akan terjadi.” Yanti menatap Adam. “Aku nggak akan membiarkan itu terjadi. Aku nggak akan membiarkan Odelia atau siapa pun menyakitiku. Aku nggak mau melihat Mama terus menderita, apalagi sampai menambah penderitaannya.”

“Ketika kita akan melakukan sesuatu yang berisiko, keyakinan dan keteguhan hati memang sangat diperlukan. Kakak sangat bersyukur kamu sudah memilikinya.”

“Terima kasih, Kak.” Yanti tersenyum.

Semua ikut tersenyum. Melihat Yanti begitu yakin memang memberi mereka ketenangan, mengurangi rasa cemas mereka. Tidak terkecuali dengan Adam. Tapi, sungguhkah keyakinan Yanti bisa membuatnya tenang? Adam berusaha untuk itu, namun tetap saja akal sehatnya tidak bisa melakukannya.
Yanti hanyalah gadis biasa, dia tidak melihat sedikit pun yang bisa memberinya keyakinan bahwa Yanti akan bisa menghadapi bahaya yang mungkin terjadi di luar rencana yang sudah mereka siapkan. Dan bahaya itu hampir pasti ada. Tidak seorang pun bahkan Pak Dion sekalipun berani menjamin tidak akan ada kesalahan dengan rencana mereka. Mengetahui gadis yang dicintainya akan menghadapi risiko sebesar itu sendirian, tidak mungkin Adam akan bisa tenang.

Ini hari pertama setelah kemarin mereka semua bertemu dengan Pak Dion. Usai sekolah, mereka berkumpul di rumah Adam, tentunya minus mama Yanti dan Miss Voura yang harus bekerja. Rencana yang sudah disiapkan Pak Dion memang belum akan mereka lakukan, Pak Dion masih mencari waktu yang tepat untuk melakukannya. Dan menantikan datangnya waktu itu, bagi Adam seperti menantikan waktu eksekusi untuk dirinya sendiri. Sangat membuatnya tidak nyaman.

Indah bukannya tidak mengerti dengan keadaan adiknya, dia mengerti bahkan bisa ikut merasakan apa yang dirasakan adiknya. Tapi, apa yang bisa dilakukannya? Sama seperti Adam, dia juga tidak punya pengetahuan dan pengalaman apa pun menghadapi masalah semacam ini.

*****

Penampilan Miss Voura kali ini berbeda dengan penampilan kesehariannya yang tidak lepas dari dandanan ala gipsi. Kini dia berpenampilan tidak beda dengan ibu rumah tangga biasa, ditambah wig rambut pendek dan sebuah kaca mata bening. Wajahnya begitu dingin, berjalan tanpa memedulikan keadaan sekitarnya yang bagi orang normal jelas bukan sesuatu yang normal.

Miss Voura sedang berada di rumah sakit jiwa, rumah sakit di mana dulu dia pernah dirawat. Apa yang dia ingat dari tempat ini hanyalah pengalaman buruk yang tidak pernah ingin dia ingat-ingat kembali. Hanya ada satu alasan yang membuatnya mau kembali mendatangi rumah sakit jiwa ini. Alasan itu sedang dia datangi.

Di sebuah ruangan yang tidak seberapa luas, seorang lelaki tua duduk sendirian menatap kosong pintu ruangan yang tertutup di hadapannya. Bibirnya menyunggingkan senyum sesaat sebelum pintu itu terbuka.

“Uang sungguh bisa melakukan apa pun. Saya tadi sedang menyikat WC waktu disuruh berhenti dan duduk di sini,” lelaki itu berkata pada seorang wanita yang baru saja membuka pintu ruangan.

Wanita itu tersenyum mendengarnya. “Assalamualaikum, Om,” dia mengucap salam.

“Waalaikumsalam.” Lelaki itu menyahut bersama senyumnya. “Pasti sangat sulit menjadi orang terkenal, ke mana-mana harus menyamar."

“Saya menganggap itu pujian dari Om.”

“Saya punya segudang pujian untukmu kalau kamu mau.”

“Saya percaya. Apa kabar, Om?”

“Alhamdulillah.”

Wanita itu adalah Miss Voura, dia meraih tangannya, lalu menciumnya. Lelaki tua inilah satu-satunya alasan yang membuatnya masih mau mendatangi rumah sakit jiwa ini.

“Sudah menjadi kutukan bagi orang tua, anak-anak baru akan berkunjung saat mereka sedang gundah.”

Miss Voura tersenyum geli, menarik kursi kosong di depannya, lalu duduk. “Om bisa ikut saya,” ucapnya santai saja.

“Hahaha....” lelaki itu tertawa. “Jawaban saya masih sama. Saya masih betah tinggal di sini. Ada apa?”

Miss Voura menarik napas sebelum berkata, “Saya menemukannya, Om.”

“Anak bejat itu?” Dahinya mengerut, memberi kesan jijik di wajahnya.

“Bukan, bukan dia. Odelia.”

“Oh.” Kali ini hanya itu tanggapan yang diberikannya. Matanya menatap sendu pada Miss Voura yang sudah duduk di depannya.  “Apa yang akan kamu lakukan?”

“Om tahu apa yang akan saya lakukan.”

“Menurutmu, kamu mampu menghadapinya?”

Miss Voura menggeleng. “Seperti yang Mbah Slamet pernah bilang; setiap bentuk kejahatan memiliki takdir kehancurannya sediri. Saya bukan orang yang ditakdirkan menghancurkannya.”

“Kalau begitu kamu tahu itu hanya bunuh diri.”

Miss Voura tersenyum getir. “Ada dua anak perempuan yang ikut terlibat. Satu di antaranya menarik hati saya. Kakaknya, saudara kembarnya sudah menjadi korban lebih dulu. Dia sama sekali tidak mengerti masalah ini, yang dia tahu dia harus menghadapinya agar apa yang mengganggunya selama ini berakhir. Menurut Om, apa itu juga berarti bunuh diri?”

Lelaki yang dipanggil Om oleh Miss Voura itu menarik napas. Tidak segera ada jawaban darinya, selama beberapa saat dia hanya diam.

“Berjuang dan bunuh diri memiliki arti yang sangat berbeda.”

“Kalau begitu apa yang akan saya dan anak itu lakukan adalah perjuangan, bukan bunuh diri.”

“Berjuang bisa menunggu keadaan dan waktu yang tepat.”

“Itu yang saya tidak punya. Kemarin, anak itu sudah mengambil keputusan.” Wajah Miss Voura dingin saat berkata, tatapannya menunduk menatap meja.

Tidak ada perubahan berarti di raut wajah lelaki itu, ini memang bukanlah sesuatu yang mengejutkan baginya. Sudah hampir 10 tahun dia mengenalnya, sedikit banyak dia sudah tahu bagaimana karakternya.

Malam itu, masih sangat segar dalam ingatannya, suara jeritan ketakutan yang melolong keras memecahkan keheningan. Suara teriakan atau jeritan sebenarnya bukanlah hal yang mengejutkan di rumah sakit jiwa ini, bahkan itu sudah menjadi kebiasaan. Terlalu banyak pasien di sini yang berteriak-teriak tanpa perlu alasan. Namun, jeritan malam itu bukanlah jeritan biasa. Itu suara jeritan yang mendalam, wujud dari teror yang mampu membekukan jiwa seseorang. Bukan berlebihan, siapa pun yang memiliki pemahaman tentang dunia lain sangat tahu bahwa jeritan itu memang bukan jeritan biasa.

Setiap malam jeritan itu selalu mengganggunya, membuat dirinya gelisah sendiri. Memori suram itu sudah berusia belasan tahun, andai bisa dia bersedia melakukan apa pun asalkan bisa melupakannya. Jeritan itu telah memaksanya kembali, membuat memori suram itu seakan baru saja terjadi kemarin. Jeritan itu mengingatkannya pada putri semata wayangnya, pada penderitaannya yang tidak sedikit pun dia mampu membantu meringankan penderitaannya. Ini adalah penyesalan terbesarnya, mengutuk dirinya sendiri sebagai ayah tak berguna. Rasa sakitnya semakin mendalam karena tahu sesungguhnya dia sendirilah penyebabnya. Kesombongan dan keserakahannya di masa lalu telah membawa maut untuk istri dan putri tercintanya.
Gadis itu bernama Sulastri, setelah belasan tahun, gadis ini telah memaksanya mengingatnya kembali. Haruskah dia marah? Dia ingin sekali melakukannya, mengutuknya sebagai anak kurang ajar. Tapi, dia tidak bisa. Gadis ini begitu lemah, rapuh, seakan sedikit embusan angin saja sudah cukup membuatnya hancur berantakan. Kerapuhan dan kelemahannya justru semakin mengingatkannya pada putri tercintanya. Gadis ini―Sulastri, selemah dan serapuh putrinya.

Pengalamannya yang luas dan dalam tentang dunia lain memberinya pengertian bahwa hidup gadis ini tidak akan bertahan. Dia sudah ditandai, cepat atau lambat, orang yang menandainya pasti akan mengambilnya. Adalah sebuah kejutan tersendiri melihatnya masih bertahan sampai sejauh ini. Apakah dia akan diam saja melihat gadis ini akhirnya jatuh dalam kesengsaraannya?

Bukanlah hal yang mudah untuk mengambil keputusan, sumpah darah itu sudah terucap, pelanggaran atas sumpah itu akan memberinya hukuman yang tak terbayangkan. Bukan kematian yang dia takutkan, sungguh dia sama sekali tidak takut mati, hukuman atas pelanggaran atas sumpah darahnya jauh lebih menakutkan daripada hanya sekedar kematian instan. Tidak ada yang memaksanya mengucapkan sumpah itu, ini adalah keputusannya sendiri, wujud penyesalan masa lalunya yang telah membawa bencana untuk istri dan putri tercintanya. Ini adalah hukuman yang dia ambil untuk menghukum dirinya sendiri.

Rumah sakit jiwa ini sudah seperti rumah baginya, dia sama sekali tidak menolak ketika Tramtib mengambilnya dari pinggir jalan, lalu mengirimnya ke rumah sakit jiwa ini belasan tahun yang lalu. Dia berharap akan bisa menghabiskan hidupnya di sini dengan tenang. Namun, siapa yang menyangka dia akan bertemu dengan gadis ini―Sulastri. Dia hanya bisa mengatakan ini sebagai takdir.

Pada akhirnya dia mengambil keputusan untuk membantunya, sayangnya dia tidak bisa menghapuskan tanda itu, bahkan tidak ada orang lain yang bisa. Hanya kekuatan Lastri sendirilah yang bisa melakukannya. Apa yang bisa dia lakukan hanya memberi waktu bagi Lastri untuk belajar mempertahankan dirinya sendiri meski itu berarti dia harus melanggar sumpahnya.

Melihat bagaimana Lastri sekarang, dia sama sekali tidak menyesal. Gadis ini lebih dari sekedar mampu mempertahankan hidupnya sendiri walaupun ‘tanda’ itu tidak pernah bisa dia hapus sepenuhnya.

Dia sesungguhnya tidak pernah menduga Lastri akan kembali ke kota ini lagi, kota ini terlalu banyak menyimpan kenangan buruk untuknya, bahkan sudah menjadi trauma tersendiri di hatinya. Mimpi buruk itu, meski tidak bisa lagi mengancam jiwanya, tetap menjadi teror yang paling menakutkannya. Mungkin Lastri memang memiliki takdir tersendiri dengan kota ini. Setakut dan semenyakitkan apa pun, Lastri akhirnya tetap kembali. Bukan karena Odelia, tapi sosok lain. Demi mengejar orang ini, Lastri kembali ke kota ini. Mengubah dirinya; dari Lastri―si gadis biasa, menjadi Miss Voura―cenayang dan peramal terkenal di negeri ini. Tujuannya hanya satu; menarik orang itu keluar.

“Semoga Allah melindungi kalian.”

“Amin.”

“Masih ada lagi?” Lelaki itu kembali berkata, menangkap kesan di wajah Miss Voura.

“Masalah ini juga terkait dengan teman lama saya. Satu dari dua anak perempuan ini adalah anaknya. Katanya, jiwa si anak saat ini sedang disandera Odelia. Hanya saja ....” Miss Voura tidak menuntaskan kalimatnya.

“Kamu tidak percaya padanya,” si lelaki menduga. “Apa kata hati kamu?”

“Sebagian dari ceritanya mungkin benar. Tapi, selebihnya ... saya merasa masih ada yang belum dia ceritakan, atau sengaja dia sembunyikan. Dan itu ....” Kembali Miss Voura tidak menuntaskan kalimatnya. Tubuhnya merinding tanpa disadarinya.

“Seburuk apa?” tanya si lelaki. Wajahnya berubah tegang, menatap Miss Voura yang tercenung di depannya.

“Mungkin saya salah. Saya sangat berharap saya salah. Tidak mungkin ada manusia sekejam itu. Anak itu anak kandungnya sendiri, tidak mungkin dia akan ....” Miss Voura tidak hanya merinding kali ini, dia menangis ketakutan karena membayangkan ceritanya sendiri. Dari sela kedua kaca mata beningnya, air matanya mengalir.

Lelaki itu menghela napas keras. “Seberapa jauh kamu mengenalnya?”

Miss Voura menggeleng. “Sebenarnya saya hampir tidak mengenalnya,” jawabnya. “Kami berdua berteman dengan Odelia. Di sekolah, dia dikenal sebagai anak penyendiri, tidak suka bergaul. Tapi, dibandingkan saya, Odelia ternyata lebih percaya padanya. Dia bahkan mau memberikan pengapesannya kepadanya.”

“Odelia memberikannya?”

“Sebuah gelang. Saya sudah melihatnya sendiri.”

Tidak ada lagi yang berkata-kata. Miss Voura melepas kaca matanya, menghapus air mata dari kedua matanya. Sementara lelaki itu terdiam menatap meja di depannya.

“Mereka sebangsa hewan buas, Lastri.” Lelaki itu mengangkat kepalanya menatap Miss Voura. “Mereka akan mengenali sebangsanya, memberikan kepercayaan juga hanya kepada sebangsanya. Teman kamu itu, ada baiknya kamu mencari tahu lebih jauh tentangnya.”

“Saya sedang melakukannya, Om. Saya sudah menyuruh orang menyelidiki masa lalunya. Hanya saja, saya mengkhawatirkan waktunya tidak akan cukup.”

“Serahkan itu pada Yang Maha Kuasa. Yang penting kamu sudah berusaha melakukannya. Maaf, saya tidak bisa membantu lebih.” Lelaki itu menunduk penuh sesal.

“Saya ke sini bukan untuk meminta pertolongan semacam itu dari Om. Andai Om menawarkannya sekalipun, saya akan menolaknya. Cukuplah Om melanggarnya sekali untuk saya. Saya tidak akan memintanya lagi. Setelah Mbah Slamet tiada, kini hanya tinggal Om yang mengerti saya. Menceritakan masalah ini ke Om, membuat saya merasa lebih baik.”

“Saya akan berdoa untuk kalian. Semoga Allah benar-benar melindungi kalian.” Lelaki itu menangis, butiran air matanya jatuh membasahi kedua pipinya yang keriput.

“Terima kasih, Om. Itu bantuan lebih dari cukup yang saya harapkan dari Om.”

Continue Reading

You'll Also Like

[end] Silent Reading By

Mystery / Thriller

170K 22.5K 188
[boyslove] [Terjemahan] Masa kecil, pola asuh, latar belakang keluarga, hubungan sosial, trauma .... Kami tak henti-hentinya mencari dan menyelidiki...
354K 22.1K 14
Ini tentang Na jaemin dengan cara anehnya, dalam mencitai Huang Renjun. Warning!!! mengandung kekerasan, adegan penyiksaan, dan sejenisnya:) BXB YAOI...
156K 4.3K 47
[Wajib Follow Sebelum Membaca] The Billionaire Prison [Love is Difficult] Sungai Thames, London. 📌 "Bersihkan semua, jangan sampai ada yang tertingg...
don't hurt Lia (end) By el

Mystery / Thriller

1.2M 95.6K 73
"lo itu cuma milik gue Lia, cuma gue, gak ada yang boleh ambil lo dari gue" tekan Farel "sakit kak" lirih Lia dengan mata berkaca kaca "bilang kalo...