#PacarAnakBand

By mockingjaybirdx

352K 38.1K 5.1K

Rintik Senja April (April) Suka Jeffri, namanya, dan ujan-ujanan di motor. Kinara Bintang Rahayu (Kinar) Satu... More

Fe dan Bram #1
Alisha dan Dodi #1
April dan Jeff #1
Kinar dan Satria #1
Vidia dan Wira #1
Acknowledgement
HP April Ilang?!
Lisha Nonton Dodi Manggung
Fe Jadi Supporter
Foto Masa Kecil Satria
Kejutan Ulangtahun Wira
Author's Note: Ngobrol Bareng Janu
April Kecelakaan
Fe Kebingungan
Dodi Cemburu
Satria Menyerah
Dilema Vidia
Kencan Fe dan Bram
Hari Jadi Kinar dan Satria
Weekend Bersama April dan Jeff
Alisha dan Dodi Kondangan
Vidia dan Wira: Akhir
Bonus Chapter: Unseen Transcript #1
Bonus Chapter: Bram & Bram
Bonus Chapter - Dodi dan Alisha: An Origin Story
Bonus Chapter: Headache
Types of Kisses: Tender
Types of Kisses: Warm
Types of Kisses: Passionate
Types of Kisses: First-Time
Types of Kisses: Last Kiss

Bonus Chapter: Selamat Ulang Tahun, Wira

7.4K 958 229
By mockingjaybirdx

"Wira"

"Mm..."

"Wira bangun dulu, Nak"

"Hmm"

"Wira, ayo bangun"

"Mhm.."

"Wira, sebentar aja ayo. Bangun dulu."

Gue membuka mata dengan berat hati hanya untuk mendapati nyokap yang sudah duduk di sisi kasur gue. Jam berapa sih sekarang? Perasaan alarm gue belum juga bunyi, kenapa udah dibangunin aja. Dan lagi, kayaknya di luar masih gelap, nyokap tau nggak sih hari ini kelas gue cuma siang doang?

"Ada apa, Ma?" gue bertanya seraya menguap dan meregangkan tubuh yang masih belum bangun sepenuhnya.

"Ada temen-temen kamu di depan tuh, samperin dulu gih"

Mendengarnya, otomatis dahi gue pun terkerut. Hah? Temen-temen? Ngapain pada ke sini tengah malem buta? Dibolehin masuk pula sama nyokap?

"Hey, lupa deh kamu pasti" Mama tersenyum lembut melihat gue yang tampak kebingungan. "Duh, anak Mama ini, ganteng-ganteng tapi ulang tahun sendiri lupa"

Ulang—what?

Setengah bergegas, gue pun beringsut untuk meraih ponsel dan melihat tanggal yang tertera di layarnya. 01:00 AM. 28 April.

Lah, iya juga. Gue ulangtahun ya hari ini?

"Oh... iya. Hehehehehehehe" gue pun tersenyum lebar ke arah Mama, sebuah tindakan yang beliau balas dengan mengacak-acak rambut gue ringan. "Makasih ya, Ma"

"Lho, Mama 'kan belum ngucapin?"

"Lah tadi apa dong?"

Mama tertawa. "Iya, iya. Selamat ulang tahun ya anak Mama yang paling ganteng. Semoga kuliahnya lancar, apa yang kamu pengenin tercapai, dan semua cita-cita kamu terwujud"

Gue lagi-lagi kembali tersenyum lebar sebelum memeluk Mama dengan erat. "Makasih, Mama"

Mama terkekeh pelan. "Kue dari Mama sama Papa nyusul ya, nungguin Kakakmu sampe sini dulu. Besok pagi paling dia sampai"

Kembali, Mama membuat gue mengerutkan dahi dengan bingung. "Eh bentar, bentar. Kak Kian balik, Ma?"

Kak Kian ini Kakak gue by the way, dia sekarang tinggal di Jogja dan udah kerja jadi arsitek. Kak Kian terbilang cukup sering bolak-balik Jogja-Jakarta, apalagi kalau lagi ada acara-acara tertentu kayak ultah Mama, ultah Papa atau ya ultah gue ini, misalkan. Cuman tetep aja gue kaget dikit, Kakak gue ternyata niat juga balik ke Jakarta cuma demi ngerayain ultah gue.

Hahaha. Jadi tersanjung.

"Iya, katanya sih sekalian cuti long weekend. Senin libur 'kan? Sebenarnya seharusnya Mama nggak bilang-bilang kamu sih, soalnya Kakakmu itu mau bikin surprise. Tapi yaudalah nggak apa. Nanti pas dia dateng kamu pura-pura kaget aja ya" Mama tertawa dan gue pun mengikutinya.

"Yee si Mama"

"Udah, udah. Tuh, temen kamu kasian nunggu di depan kelamaan. Samperin dulu gih" ujar Mama seraya bangkit dari kasur gue dan melangkah menuju pintu.

"Siapa sih, Ma, yang dateng?" gue bertanya sebelum melangkah mengikutinya ke luar kamar.

"Temen-temen band kamu itu... siapa namanya tuh?"

"Enam Hari?" gue mengangkat alis.

"Iya, siapa aja tuh namanya? Duh, Mama lupa. Mama cuma inget yang tinggi kurus kacamataan itu—Jeff ya?"

"Iya, Jeff. Ada Bram, Satria, sama Dodi juga, Ma"

"Nah itu dia," ujar Mama kemudian berhenti tempat di ambang dapur. "Tapi kayaknya Mama juga liat cewek deh di situ tapi Mama nggak familiar sama mukanya. Temen kamu, Wir?"

Seketika gue pun memandang Mama dengan bingung. Cewek? Siapa?

Apa jangan-jangan...

Ah, bukan pasti bukan. Kalau itu Vidia, Mama pasti kenal.

"Kurang tau sih, Ma. Coba aku ke depan dulu deh"

"Yaudah sana. Bilangin suruh di dalem aja, kasian malem-malem di luar dingin. Mama mau bikinin minum dulu buat mereka, ya"

Gue pun mengangguk seraya melangkah menuju pintu depan. Ini anak-anak ada-ada aja dah, iseng banget tengah malem ke sini cuma buat surprise doang. Padahal ntar juga ketemu di studio abis ngampus.

"Lo tuh pada ngapain dah mal—"

"HAPPY BIRTHDAY WIRAAAAAAAAA"

"WUWUWUWUWUWUW"

"MAKIN TUA LUUU"

Gue nggak sempat melanjutkan kata-kata gue karena tepat saat gue membuka pintu, gue langsung disambut oleh siraman tepung dan air dingin yang bercampur membasahi kepala gue.

"Woy anjir apaan nih!"

Begundal-begundal di depan gue malah tertawa puas melihat penampilan gue yang udah sebelas- dua belas sama adonan bakwan (tinggal tambahin wortel sama jagung) ini. Dari sudut mata gue, gue menangkap Fe berdiri di antara mereka sambil mengacungkan ponselnya merekam semua kejadian ini.

Oalah, jadi cewek yang dimaksud Mama itu Fe. Kirain siapa.

"Woy, ngepelnya PR nih ntar!" gue ngedumel, meski tak ayal setelahnya kut tertawa juga bersama mereka.

"Ntar Bram yang ngepelin, dia yang punya ide soalnya" ujar Jeff.

"Eh kampret, elu yang bilang tambahin tepung. Gue cuma pengen nyiram doang, biar dia bangun"

"Ya intinya elu 'kan setan yang punya ide siram-siraman"

"Deuh berantem lagi ini anak dua," Fe berdecak seraya menggelengkan kepalanya melihat kelakuan dua orang itu. "Tuh kasih dulu kuenya sekalian tiup lilin." lanjutnya sembari menggestur ke arah Dodi yang bertugas membawa kue malam ini.

"Korek mana korek?" Satria bersuara yang langsung disambut sodoran korek dari saku Bram. Satria pun menyalakan lilin-lilin yang telah tertancap di atas kue dengan sigap.

"Kaget nggak bang kita supresin?" Dodi bertanya dengan senyum jenaka di wajahnya seraya menyodorkan kue cokelat dengan lilin yang menyala temaram di atasnya ke hadapan gue.

"Kalo nggak lo guyurin tepung kayaknya sih nggak, Dod" jawab gue singkat.

Dodi hanya menampilkan senyum lebar nan polos yang menjadi andalannya.

"Dah dah, tiup lilin dulu. Jangan lupa make a wish, Wir. Semoga Enam Hari makin sukses, kuliah lo lancar, cepet balikan—aw aw anjir sakit Fe kaki gue jangan diinjek dong" Bram meringis sementara Fe hanya mendelik menatapnya.

Gue hanya tersenyum kecil menanggapinya dan memejamkan mata gue untuk berdoa. Semoga Enam Hari sukses. Semoga kuliah gue lancar, nggak perlu ngaret—kalo ngaret ya jangan banyak-banyak lah. Semoga Vidia...

Gue membuka mata dan meniup lilin-lilin kecil itu dalam sekali hembusan nafas. Anak-anak pun bertepuk tangan dan bersorak. Satria menyerahkan pisau plastik kepada gue dan mempersilakan gue untuk memotong kuenya. Bram dan Jeff saling menyahut perihal 'first cake' sementara Dodi mulai menggerayangi potongan cokelat yang tersebar di atas kue, mencuri start.

Kalau ini adalah tahun lalu, mungkin Bram dan Jeff nggak perlu brantem soal first cake dan gue nggak perlu bingung menyerahkan potongan ini ke siapa. Kalau ini tahun lalu, gue juga mungkin nggak akan terguyur tepung dan air karena seseorang pasti udah mencegah tindakan berantakan ini sebelum idenya sempat terlontar. Dan kalau ini tahun lalu, mungkin Fe bukan jadi satu-satunya cewek yang berdiri di antara mereka berempat.

Tanpa sadar, sebuah senyum sendu pun terkembang di wajah gue. Vid, kamu masih inget hari ini nggak ya? Kalau inget, apa kamu masih bakal sudi ngucapin selamat ulangtahun buat aku?

"Wir, bengong aja" Fe menyapa gue sembari mencuili sepotong kue yang kini sudah nggak ada bentuknya, karena segera setelah gue memotong kue sebagai simbolik seremoni ini, tangan-tangan gratak Bram, Jeff, dan Dodi langsung menyerbunya tanpa ampun.

"Tiati kesambet, jam segini jam-jam rawan 'kan" sahut Bram.

"Ngantuk gue jir, lo bangunin gue tengah malem" gue pun menjawab sambil mengucek-ngucek mata gue yang sebenarnya sudah nggak ngantuk lagi sejak diguyur air dingin oleh Bram.

"Kali-kali cuy, kapan lagi kita niat tengah malem nyamperin lo ke sini coba. Ye nggak, Pak Ketu?" Jeff menoleh ke arah Satria yang langsung disambut oleh anggukan mantap oleh beliau.

"Yoi. Kalo di studio 'kan nggak bisa kita nyiram lo kayak barusan" kelakarnya.

"Ye kampret. Emang niat lo pada nyusahin gue aja" tawa gue sambil menggeleng pelan.

Nggak lama, Mbak Dar pun datang ke teras dengan senampan berisi teh hangat dan piring berisi lapis legit. Ia meringis saat melihat bekas-bekas tepung yang bercampur dengan air memenuhi lantai teras.

"Monggo diminum dulu, Mas, Mbak"

"Makasih ya, Mbak Dar. Ini tolong nanti dipel ya, kerjaan mereka nih" gue tersenyum bersalah pada Mbak Dar yang hanya bisa pasrah menerima perintah tersebut.

"Iya, Den. Saya ke dalem dulu ambil ember sama kain pel-nya"

"Mbak, kalo butuh bantuan suruh ini anak dua aja ya. Mereka yang bikin berantakan" Satria menimpali dengan senyum seraya menunjuk ke arah Bram dan Jeff yang sedang asyik dengan rokoknya.

"Ndak apa, Mas. Ini mah cuma berantakan sedikit aja" Mbak Dar tersenyum sopan sebelum pamit undur diri untuk mengambil peralatan yang ia sebutkan sebelumnya.

"Kaco lu nambah-nambahin kerjaan orang" Satria berujar sebelum menambil sepotong lapis legit dan menggigitnya.

"Iya, iya ntar gue bantuin mbaknya dah elah" Bram menyahut sebelum mengehmbuskan asap rokoknya ke udara malam yang dingin.

Kami semua pun otomatis tertawa dan menyoraki kerelawanannya.

"Merasa bersalah dia, Wir" Fe berujar pada gue dengan senyum meledek.

"Nggak lah, gue cuma mau bertanggung jawab atas perilaku gue. Kan gue laki-laki yang bertanggung jawab," ujarnya kemudian merangkul Fe mendekat dan tersenyum lebar ke arahnya. "Ya nggak, Fe?"

Sebagai balasan, Fe hanya menoleh ke arahnya dengan sebelah alis terangkat. "Apaan si anjir."

"HAHAHAHAHAHA SUKURIIIIN"

"Bagus Fe, demen nih gue yang gini-gini"

Hening malam pun pecah akibat suara tawa dan obrolan yang terus mengalir di teras rumah ini. Di tengah-tengah pembicaraan, gue menyempatkan diri untuk ke dalam sebentar demi membersihkan diri dari sisa-sisa tepung yang menempel di rambut dan kaus tidur gue. Mama yang lagi menonton TV di ruang tengah hanya bisa menggelengkan kepala sambil senyum-senyum melihat anaknya yang cemong-cemong putih kayak orang abis kalah main UNO ini.

Setelah membersihkan seluruh sisa-sisa perilaku Jeff dan Bram tadi dan berganti baju dengan kaus dan celana pendek bersih, gue melangkah ke arah kasur untuk meraih ponsel. Jam di layarnya menunjukkan hampir pukul 3 pagi, sementara tab notifikasinya mulai diisi oleh ucapan-ucapan selamat ulang tahun dari teman-teman gue yang lain.

Happy birthday Wira! Wish you all the best ya.

HBD bro sukses terus

Hepi bersdey wircuy, traktir2 sabi lah besok~

Met ultah wir gbu!

Hbd wira

Gue membaca satu per satu pesan yang masuk dan membalas secukupnya. Hingga gue selesai membalas total 5 pesan yang sudah masuk ke ponsel gue jam segini, sebagian hati gue berharap gue melewatkan satu ucapan dari seseorang yang namanya sudah lama nggak muncul di tab notifikasi ponsel gue.

Nyaris aja jemari gue mengetikkan sebuah nama familiar di kolom search, namun otak gue keburu berteriak menghentikan tindakan bodoh itu untuk terjadi. Lo mau ngapain nge-line dia, Wir? Ngingetin kalo hari ini lo ultah? Nanyain kenapa dia nggak ngucapin? 'Vid, kamu masih inget ulang tahun aku 'kan?'?

Ngapain, Wir?

Menggeleng pelan, gue pun melemparkan ponsel itu ke atas kasur dan melangkah balik ke teras dengan hati yang sedikit lebih hampa. Udahlah, Wir. Udah nyaris enam bulan, harusnya lo bahkan udah bisa nyari cewek baru—dan begitu juga dia.

Atau mungkin itu yang lagi dia lakukan sekarang makanya dia nggak inget lagi ulang tahun gue, ya?

Well, shit. Memory is one hell of a bastard ain't it?

"Ngapain lo lama bener, berendem?" kembalinya gue ke teras langsung disambut oleh pertanyaan dari Jeff yang tengah menghisap entah batang ke berapa rokoknya malam ini.

"Mandi anjir, gara-gara tepung lo nih" sahut gue sembari duduk di salah satu bangku kayu yang tersedia di sana.

"Nggak dingin apa, Bang?" Dodi bertanya disela-sela kunyahan lapis legitnya.

"Dod, ada teknologi yang bernama water heater ya tolong" Fe yang tengah menyandarkan kepalanya di pundak Bram menyahut, kemudian menguap lebar.

"Hoam kuda nil" Bram yang duduk di sebelahnya menutup mulut ceweknya itu dengan satu tangan. Selanjutnya Fe hanya tersenyum lebar dan membenamkan wajahnya di tengkuk pacarnya itu.

"Ngantuk gue" gumamnya pelan, namun cukup keras untuk tertangkap telinga gue.

Melihat keduanya, gue hanya bisa meringis dalam hati. Sejujurnya, gue seringkali iri melihat hubungan mereka berdua. Bram memang butuh waktu dan perjuangan yang nggak main-main untuk mendapatkan Fe. Di antara kami berlima (kecuali Dodi mungkin, gue nggak begitu tau cerita lengkap Dodi bisa mendapatkan ceweknya yang anak Psiko itu, kecuali fakta bahwa mereka udah temenan dari kecil), Bram bisa dibilang satu-satunya yang menjalani proses PDKT terlama sebelum akhirnya bisa 'jadian' dengan Fe. Tiga semester, seingat gue mereka saling tarik-ulur—sampai segala harus baku hantam dengan anak fakultas sebelah pula—hingga akhirnya keduanya sepakat bahwa apa yang mereka rasakan bisa dibawa ke tahap yang lebih lanjut.

Tiga semester. Satu setengah tahun. Nggak heran Bram sayang banget sama Fe.

Bahkan Jeff dan April pun harus melalui masa-masa menyakitkan saat mereka putus-nyambung.

Gue pun membandingkan apa yang mereka lalui dengan apa yang gue dan Vidia lalui. Hubungan gue dan Vidia bisa terbilang selalu mulus, bahkan sejak awal gue mendekatinya. Dua minggu gue mendekati Vidia secara intens via chat, seminggu setelahnya gue memberanikan diri mengajaknya jalan dan pulang bareng, minggu selanjutnya gue sudah menyatakan perasaan gue padanya.

Apa kita udah salah sejak itu? Terlalu cepat? Terlalu buru-buru?

Tapi, apa itu semua penting? Apa yang gue rasain ke Vidia nyata kok, dan mau kita jadian cepet atau nunggu satu setengah tahun dulu kayak Bram, gue yakin perasaan itu nggak bakal berubah.

Gue daritadi bertanya-tanya sendiri, padahal gue pun udah tau jawabannya. Apapun pertanyaan yang muncul di benak gue terkait berakhirnya hubungan gue dengan Vidia, jawabannya sebenarnya hanya satu. Dan sialnya satu jawaban itu adalah hal yang nggak bisa sembarang gue pertanyakan.

Kalau begini, rasanya gue jadi mau percaya Marx aja, bahwa agama adalah konstruksi sosial yang diciptakan orang sebagai opium untuk membantu mereka meredakan sakitnya tertekan oleh diskriminasi kelas.

Man is the world of man—state, society. This state and this society produce religion, which is inverted consciousness of the world, because they are an inverted world.

Actually, whatever. Konstruksi sosial atau bukan, itu tetap jadi alasan yang memisahkan gue dengan Vidia. Dan hanya itu yang pasti saat ini, 'kan?

***

28 April – 23:30

[LINE]

Vidia Chrisianti

Wira, gue belum terlambat kan?

Selamat ulangtahun, Wira. I sincerely wish you nothing but all the best things this year and another years to come. God bless you, always.

Continue Reading

You'll Also Like

95.1K 10.3K 49
Kehilangan seseorang akan selalu menjadi luka terdalam.
2.6K 389 41
Ini kisah tentang mereka yang hidup di antara. antara suka dan luka, antara benci dan cinta, serta antara hidup dan mati. Tentang Jihan yang berusah...
389K 25.2K 31
"Ugh ini dimana?" Dirinya langsung saja terduduk dan meneliti sekitar. "Ini bukan lumah Oliv" "Ini kamal bukan milik Oliv bukan lumah Oliv sama mama...
1.2M 192K 42
This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. Please do not copy or use this stor...