William membantu Margo membersihkan wajah dan menopang tubuhnya lembut. Laki-laki itu sama sekali tidak jijik saat Margo bilang kepalanya baru saja masuk ke dalam kloset. Ah, bukan hanya itu, William bahkan langsung membantu Margo berdiri tanpa pikir panjang.
Kaki Margo sakit, sepertinya akan membengkak nantinya. Dia tidak bisa berjalan dengan baik, dan Margo tahu dia sudah tak bisa menemani Daniel di pesta ini lagi. Riasannya hancur, bahkan bawah matanya menghitam karena maskara yang luntur.
"Apa kau sudah baikkan?" William bertanya seraya memandangi Margo dari samping. Sedaritadi, tak banyak yang bisa dia lakukan. Namun, ketiga ular itu sudah pergi jauh karena William usir. Well, dia benar-benar mengambil tanggung jawab perusahaan dan memutus hubungan dengan tiga orang tadi.
Sesungguhnya, William tak menyesal. Karena dia tidak melakukan hal itu tanpa alasan. Margo adalah alasan, kenapa hatinya perlahan-lahan bisa luluh lagi. Mengambil tugas perusahaan hanyalah bagian kecil yang bisa William relakan untuk wanita itu.
"Terima ... kasih. Tapi, apa kau bisa mengantarku pulang?" Margo menatap wajah William, agak malu. Dia memblokir kontak William sehingga laki-laki itu tak bisa menghubunginnya. Tapi, William masih saja bertindak baik dan membantu Margo.
"Tentu." William menarik senyumannya. Untuk kali pertama, laki-laki itu tersenyum tulus. Dengan gerakan lambat, dia melepaskan jasnya. Memakaikan baju tebal hitam itu pada tubuh Margo.
"Apa kau bisa berjalan?" William bertanya seraya melirik kaki Margo. Tanpa sadar, dia menggeram. Emosi karena menurutnya orang-orang tadi sangat keterlaluan. Tapi dia berusaha keras untuk tidak menunjukkannya pada Margo. "Atau mau kugendong?"
"Ah ... tidak usah. Aku baik-baik saja." Margo berusaha berjalan sendiri, tapi dia nyaris terjatuh kalau saja William tak menahan tubuhnya.
"Kau ceroboh." William berdecak kecil, "Kau harus memperhatikan bayimu, jangan mengambil keputusan sendiri."
Margo melongo. Rasanya William bahkan lebih perhatian dengan bayinya sejak awal, jauh melebihi Daniel. Dan yang aneh, laki-laki itu selalu datang di saat-saat tepat. Seolah William adalah Ibu Peri-nya Margo.
"A-aku ada pertanyaan. Bagaimana kau bisa datang kemari? Karena kudengar tadi, kau malas ke sini." Margo tak bisa mengalihkan matanya dari netra abu itu. Terasa dingin, tapi hangat secara bersamaan.
William, apa laki-laki itu selalu sebaik ini? Dan kenapa, perlahan-lahan Margo mulai merasa nyaman dengan kehadirannya?
Tidak risih seperti waktu itu?
"Akan kuberitahu nanti. Kita ke kafeku saja." William merangkul tubuh Margo tiba-tiba, membuat wanita itu terkejut. Karena sesungguhnya William memeluknya sangat erat.
Margo tidak membantah. Dia mengikuti langkah kaki William yang berusaha menyamakan irama dengan Margo. Mereka berdua berjalan terseok-seok ke luar toilet dan menjadi pusat perhatian karena wajah Margo yang berantakan.
Margo menunduk, malu. Namun masalah yang lebih buruk adalah, dia membawa harga diri William di sini. Bukankah kata ular-ular tadi, William adalah Aendrov's Prince? Lalu bagaimana bisa, seorang pangeran berkuda putih seperti William menopang tubuh wanita seperti Margo?
Bukankah ... hal itu agak tidak pantas?
"Kenapa menunduk? Apa kau malu?" tanya William, agak berbisik di telinga Margo. Masalahnya suara musik lumayan kencang.
"Aku ... tidak enak denganmu. Kau tidak datang bersama wanita yang cantik, tapi malah bersamaku yang acak-acakkan ini," balas Margo, masih menunduk.
William menghentikan langkahnya, membuat Margo terdiam. Laki-laki itu tiba-tiba mengangkat dagu Margo, membuat mata mereka beradu pandang lagi, "Kenapa? Aku bangga berjalan bersamamu. Meskipun ... hatimu bukan untukku."
Deg.
Margo terkejut.
Apa ini? Apa William akan menyatakan perasaannya lagi?
Apa dia ... akan membuat Margo merasa tak enak lagi padanya?
William menarik senyumnya lagi, sambil menunduk. Aneh, kenapa dia tak bisa mempertahankan aura dingin dan wajah datarnya saat di dekat Margo?
"Aku tidak memaksamu. Aku hanya ... ingin kau tahu." William mengangguk, kemudian hendak merangkul Margo lagi. Ya, dia baru saja mau membantu Margo kembali berjalan.
Tapi tiba-tiba matanya membeliak, langkahnya terhenti. Dan dia segera memeluk Margo erat, dengan jantung yang berdebar keras.
Margo membelalak, bingung karena William tiba-tiba memeluknya. Dia terkejut, sungguh.
"Eh? Bisakah kau melepaskan pelukan ini?" Margo berusaha melepaskan diri karena semakin merasa tak nyaman menjadi tontonan.
Namun William menggelengkan kepala, "Bisakah ... tetap seperti ini? Dua menit saja. Hanya untuk dua menit ...."
Margo mengerjap-ngerjap. Lalu mengangguk. Dia tidak tahu di mana Daniel, tapi yang pasti Margo harap Daniel dan teman-temannya tidak melihat hal ini. Karena percuma saja Margo memberontak, tenaga William jauh lebih kuat. Dia tidak bisa melepaskan diri.
Sedangkan William? Dia menggeram di dalam pelukannya. Merasa begitu marah, sekaligus sakit hati.
Kenapa Margo harus jatuh cinta pada laki-laki bajingan seperti Daniel?
Dan kenapa, Daniel adalah sahabat William?
Hal itu adalah dua masalah yang William sesali.
Tentu saja dia tidak bisa serta merta memeluk Margo tanpa alasan. Karena sesungguhnya, William tidak mau membuat Margo merasa tak nyaman. Dia ingin wanita itu senang bersama dengannya.
Tapi, William harus melakukannya. Agar Margo tak melihat hal yang bisa membuatnya sedih lagi.
Ya, Margo bisa bersedih jika dia melihat hal yang William dapati tadi. Karena di depan mereka saat ini ... ada Daniel dan Amy yang baru saja berciuman di tengah pesta.
***
"William datang menolongnya?" Amy menatap ketiga orang suruhannya marah. Dia tadi sempat melihat interaksi Rose dan Daniel dari kejauhan. Ah, dia sebenarnya datang lebih awal. Tapi dia meminta Darwin untuk bersembunyi dulu.
Dan tahu apa? BOOM. Amy menemukan pesuruh yang luar biasa. Dia meminta Rose untuk menyiksa Margo dengan bayaran yang tinggi, dan Rose setuju. Bahkan, Rose membawa pasukannya.
Well, Daniel punya banyak wanita yang membencinya setengah mati, dan hal itu membuat Amy diuntungkan
Karena segala dosa yang Daniel lakukan ... akan ia pastikan, beralih kepada Margo. Tunggu saja.
"I-iya ... dia membuat perusahaan keluarga kami bangkrut. Kami harus bagaimana?!" Rose dan kedua temannya menangis histeris. Mereka menyesal karena telah bermain-main dengan orang yang salah.
William bukanlah orang yang baik hati. Laki-laki itu kejam, dingin, juga tidak berperasaan. Namun entah bagaimana Margo berhasil menarik hatinya. Hal itu sungguh membuat ketiganya iri setengah mati.
"Bagaimana? Itu masalah kalian! Aku sudah membayar mahal untuk aksi tadi, tapi aku tidak pernah bilang akan menanggung risikonya." Amy menatap ketiga jalang itu sinis, lalu berjalan menjauh.
Dia malas berurusan lama-lama dengan sampah tak berguna seperti mereka.
"ARGH!" Amy berteriak frustrasi di belakang hotel. Dia kesal karena rencananya gagal. Seharusnya dia berhasil membuat Margo menderita dan memutuskan untuk pergi dari sisi Daniel.
Tapi William, bajingan dingin itu menghancurkan segalaya. Si psikopat itu ... berani-beraninnya!
Amy menarik napas. Berat. Deruannya bahkan terdengar marah. Dia mendongak, menatap langit dengan pandangan marah.
Matanya berkilat, dengan tatapan yang tak terbaca dia mulai bergumam sendirian di tengah keheningan, "Tunggu saja, Margolie Charllote. Aku akan membuatmu menyesal karena tidak meninggalkan Daniel di saat kau bisa. Aku akan ... menghancurkanmu."
***
Double UP!
Semoga suka part ini ^^