IMPOSSIBLE [Completed]

By FauziahZizi5

45.1K 1.9K 397

"Tuhan itu nggak adil, kenapa Tuhan jadiin hidup gue sehancur ini." -Aerylin Fradella Agatha- "Gue suka sama... More

Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
CAST
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
Pemilihan Cover
31
32 (Terbongkarnya Rahasia)
33- Oh jadi Alwan itu ( Semua terbongkar mulai dari sini)
Hai
34 - IMPOSSIBLE (End)
Baca Dulu, Penting

19

1K 51 14
By FauziahZizi5

Happy reading😘

~Aku telah mencarimu selama ini, hingga pada akhirnya akupun merasa pencarian ini hanya percuma bahkan tidak berujung temu~ Aerylin Fradella Agatha.

Di sepanjang perjalanan Alwan terus saja memikirkan apa respon uni saat tahu kalau ia sudah menggadaikan arlojinya dengan semudah itu. Apalagi sekarang boneka pemberiannya sudah dibakar oleh bang Varo yang entah sengaja atau tidak tahu bahwa Alwan selama ini sangat menjaga bonekanya dengan sangat baik.

Mungkin bang Varo perhatian pada adiknya tapi ia juga harus tahu kondisi, bukan asal bakar saja. Aery melihat kegelisahan Alwan di kaca spion motor, gadis itu ingin bertanya namun malas menanyakannya langsung kepada Alwan.

Alwan menghentikan motornya saat sampai di depan gerbang rumah Aery.

"Makasih," ucap Aery lalu masuk ke dalam gerbang.

Alwan membalas ucapan Aery dengan seulas senyuman, iapun pergi setelah itu. Kira-kira 30 menit, Alwan sampai di rumahnya yang terdengar bising karena Ama dan Apa serta bang Varo main monopoli. Ya, setiap malam jika mereka tidak sibuk maka permainan dengan menggabungkan beberapa negara menjadi pilihan, bahkan karena terlalu asik bermain mereka sampai tidak peduli pada televisi dan laptop yang sedang menyala.

Mungkin permainan ini terdengar ke kanak-kanakan tetapi percayalah ini lebih mengasikkan daripada bermain game online. Selain itu kedekatan antar sesama anggota keluarga lebih harmonis dan tidak membosankan.

Alwan masuk ke dalam rumah dengan perasaan kacau, ia masih bisa move on dari arloji yang bisa disebut sebagai arloji kesayangan namun tidak dengan boneka sizukanya. Ia memperhatikan riuh tawa keluarganya saat mendapatkan parkir bebas lalu memilih untuk pergi ke Afrika atau mengambil uang pajak yang telah menumpuk.

Alwan hanya menggeleng melihat kelakuan keluarganya yang bagaikan masa kecilnya kurang bahagia alias tidak pernah atau jarang memainkan permainan yang kuno itu, menurutnya.
Ia pergi ke kamar dengan langkah santai dan malas.

Beruntung kasurnya sangat empuk sehingga saat ia menghempaskan badan sembarangan tubuhnya tidak merasakan sakit sedikitpun. Alwan berbaring untuk sesaat saja lalu bangkit lagi untuk membersihkan badannya yang berkeringat.

Selesai mandi, Alwan terburu-buru duduk di meja belajar karena ada banyak tugas yang harus ia selesaikan malam ini juga atau besok buk Tiwi akan menghukumnya karena tidak mengerjakan pr. Alwan menyalakan lampu belajar, membuka buku pr Fisika, buku paket, serta kalkulator.

Ia memegang sebuah pensil, dan penghapus persegi berwarna putih terletak di samping buku. Untuk beberapa saat Alwan mempelajari contoh soal yang ada di buku paket, ia memijat keningnya saat melihat soal-soal yang tidak ia mengerti sama sekali. Tentu Alwan akan mengalami kesulitan untuk memahami soal karena waktu itu ia izin saat jam pelajaran buk Tiwi di mulai, bukan karena tidak ingin belajar tetapi karena ada urusan OSIS yang harus di selesaikan.

Alwan mendecah kesal, ia merebahkan kepalanya di atas buku sedangkan tangan kanannya memainkan pensil di bawah penerangan lampu belajar. Seketika ia ingat bahwa bang Varo pasti bisa mengerjakan soal-soal ini karena memang bidangnya, bahkan dalam waktu 5 menit saja ia pasti dapat menyelesaikannya dengan mudah.

Awalnya Alwan merasa lega, tetapi ia tidak ingin meminta bantuan pada bang Varo, gengsi.

"Woi, temenin gue beli martabak mesir dong diluar," ucap bang Varo mengagetkan adiknya.

"Yah, manusia purba datang lagi pasti gue bakalan di cincang atau gak di rebus trus di makan deh," celetuk Alwan dalam hatinya.

Mendapati kehadiran sang kakak membuat Alwan menggaruk kepala karena soal Fisika ini saja sudah membuatnya pusing dan sekarang di tambah dengan kahadiran bang Varo si biang onar.

Alwan hanya diam saja, tidak menggubris omongan kakaknya sama sekali lebih tepatnya sok-sok cuek. Ia berpura-pura mengerti akan soal-soal yang tengah dihadapi kini padahal sebenarnya Alwan tidak mengerti bahkan untuk 1 soal saja.

"Udahlah gak usah sok pintar, lagian yang lo tulis itu rumus buat massa jenis sedangkan soalnya aja tentang debit," membaca soal yang sedang Alwan kerjakan.

Alwan merasa malu karena sandiwaranya justru mempermalukan dirinya sendiri dihadapan bang Varo, pasti harga dirinya jatuh dihadapan pria itu.

"Gue gak mau, pergi aja sendiri gak usah ngajak gue segala," menutup bukunya.

"Ya udah, ntar gue bilang ke Ama kalau lo udah nyuri uang di dompet Ama sebanyak 500.000 ribu dan uangnya lo habisin buat traktir temen-temen lo makan di cafe."

Alwan kaget, bagaimana bang Varo bisa tahu soal itu perasaan waktu nyuri uang Ama tidak ada satupun yang ada di rumah. Ya waktu itu Alwan terpaksa nyuri, bukan nyuri tapi ngambil diam-diam uang Ama karena harus bayarin teman-teman makan di cafe, sok royal gitu.

"Gue juga bakalan bilang ke Ama kalau uang bulanan lo selalu habis buat beli kamera baru," tersenyum menantang ke arah kakaknya.

Bang Varo tidak terima ia membalas ucapan Alwan barusan, "Gue tau, lo pernah bawa mobil Apa tanpa ijin terus nyenggol pohon sampai mobilnya gores dan lo bilang itu karna cakaran kucing liar."

"Gue tahu kalau lo selalu ngerusakin uang semester buat beli novel terjemahan yang harganya bisa buat jajan gue 3 hari," sambung Alwan.

"Lo juga ngerusakin uang jajan buat modif motor butut lo itu," ucapnya sambil mencibir Alwan.

"Masih mendingan gue, daripada lo sengaja gadaiin motor buat minjem uang sama temen karna kehabisan uang jajan," balas Alwan.

"Temenin gue, maka pr lo selesai. Gimana?" tawar bang Varo yang menyudahi pertengkaran.

Alwan berpikir sejenak seperti sedang memikirkan sesuatu yang rumit dan sulit, lalu mengangguk sambil mengangkat kedua alisnya. Bang Varo merangkul adiknya itu, mereka bersama-sama turun dari lantai 2 ke lantai 1 rumah menggunakan anak tangga.

Alwan melihat sosok sang Ama yang tengah duduk bersama Apa di sofa sambil menonton acara televisi malam ini. Ia sengaja berdiri dihadapan Ama, lalu menampung tangan sebagai bahasa isyarat untuk meminta uang.

Ama tahu maksud dari anaknya itu, ia merogoh dompet berwarna kuning kecokelatan yang terletak di atas meja bundar.

"Ini cukup?" memberikan uang kertas dengan nominal seratus ribu.

Alwan tersenyum manis, lalu mengangguk pertanda uang itu cukup untuknya. Bang Varo tidak tinggal diam, ia mendekati Ama lalu menampung tangan juga.

Ama memberikan uang kertas dengan nominal yang sama dengan Alwan.

"Makasih Ama," ucapnya.

"Sama-sama tapi ingat uang bulanan kamu Ama potong ya."

"Masa' dipotong sih Ma? Ini mah gak adil, kalau uang jajan Varo dipotong Alwan juga harus dipotong."

Tidak ingin mendengar alasan bang Varo, Ama dengan cepat merebut kembali uang yang telah ia berikan pada bang Varo.

"Yah, kok diambil sih Ma?"

"Habis kamu bawel banget, terima atau nggak sama sekali," celetuk Ama.

"Cocok jadi ibu tiri,"lirih bang Varo pelan.

Setelah mendapatkan uang dari Ama, mereka berjalan santai menuju garasi tempat dimana motor kesayangan Alwan dan Varo berada. Dalam setiap langkahnya bang Varo marah-marah tidak karuan, sesekali ia menjitak kepala adiknya untuk melampiaskan rasa kesalnya.

Alwan tidak membalas sama sekali karena ia juga tahu perasaan kakaknya saat ini.

"Pakai motor lo aja ya, sekalian lo aja yang jadi drivernya. Gue lagi males bawa motor," ucap bang Varo.

"Etdah, lo nyusahin banget sih bang. Gak, gue gak mau," balas Alwan yang hendak pergi dari sana.

Bang Varo menahan lengan Alwan, lalu berucap, "Please."

Alwan membuang nafas, ia melepaskan cengkraman kakaknya itu dengan paksa lalu berjalan menuju motor kesayangannya yang terparkir di sudut bagasi.

Bang Varo mengambil helm yang berada di atas motornya sendiri lalu memakai helm itu di kepala. Sedangkan Alwan tidak memakai helm karena helmnya sedang di pinjam oleh Rian, teman sekelasnya.

Dengan gerakan tangan yang pasti, bang Varo memakaikan helmnya ke kepala Alwan.

"Kepala gue sakit, jadi lo aja yang makai helm ini," alasan bang Varo padahal kepalanya tidak sakit sama sekali, hanya alasan saja.

Mereka membelah jalan raya, hembusan angin di malam hari begitu menusuk kulit hingga ke tulang. Di sepanjang perjalanan terdapat banyak lampu-lampu kota yang berkelap-kelip, cahayanya begitu indah di malam yang berbulan purnama jauh di atas langit sana.

Angin membelai rambut lurus kakak-beradik itu, menyapa wajah mereka dengan dingin yang merayap di sela pori-pori kulit wajah mereka. Seperti di malam sebelumnya, di pinggir jalan kota banyak anak-anak seumuran mereka sedang berkumpul bersama atau sekedar bernyanyi dengan iringan petikkan suara gitar.

Di persimpangan jalan, saat lampu merah menyala tak sengaja bang Varo melihat teman-temannya yang juga menanti lampu hijau menyala.

"Lo pergi aja dulu, ntar gue bakalan nyusul. Jangan lupa beli martabak mesirnya di tempat langganan kita, gue mau pergi bentar sama mereka," kata bang Varo, lalu meninggalkan Alwan sendirian.

Bang Varo naik ke salah satu motor temannya yang memakai jaket kompak berwarna biru tua. Saat lampu merah berganti dengan lampu hijau, bang Varo melambaikan tangan ke arah adiknya yang berada tepat di belakangnya. Mereka berpisah di simpang jalan yang lain.

Tak lama, akhirnya Alwan sampai di sebuah ruko tempat dimana martabak mesir pesanan kakaknya dijual. Sudah lama ia tidak ke sini lagi, sehingga banyak perubahan yang terjadi di tempat ini begitu juga dengan penjualnya yang biasa di panggil bang Tagor. Kini ia tampak lebih kurus, pipi tirus, kumisnya tumbuh sangat lebat layaknya hutan.

"Bang, 4 bungkus ya," teriaknya pada bang Tagor.

Sembari menunggu, Alwan duduk di salah satu kursi yang telah disediakan untuk pembeli. Agar tidak bosan menunggu, ia memainkan game online di hpnya yang jarang dimainkannya akhir-akhir ini karena sibuk dengan urusan sekolah.

"3 bungkus bang," ucap pembeli yang lain.

Bang Tagor tampak ceketan, tangannya lihai dalam membalik-balikan adonan yang berada di tempat penggorengan yang luas dan panjang.

"Yang 4 bungkus," teriaknya.

Alwan menghentikan permainannya lalu mengambil pesanan yang sedari tadi ditunggu. Ia merogoh saku celananya dan membayar dengan uang seratus ribu tanpa adanya kembalian alias pas.

"Yang 3 bungkus," teriak bang Tagor lagi.

Pelanggan yang memesan 3 bungkus tadi berjalan ke arah Alwan, ia membayar dan kaget melihat sosok Alwan yang hendak pergi dari sana.

"Lo?" ucap Alwan dengan sedikit tawa.

Pelanggan itu hanya membuang muka, ia pergi tanpa basa-basi sedikitpun.

"Eh tunggu dulu," menghentikan langkah pelanggan itu.

"Ada apa?" menatap Alwan.

"Non Aery, ayo pulang," teriak pak Buyuang dari arah sana.

Aery pergi meninggalkan Alwan, saat itu juga tepat di depan mata mereka seorang wanita yang hendak menyeberang jalan ditabrak oleh sepeda motor dengan kelajuan tinggi. Darah segar bercucuran keluar dari kepala sang wanita, membasahi aspal jalan sehingga berwarna merah pekat dan berbau amis.

Aery dan Alwan benar-benar terkejut, mata mereka membulat besar disertai peluh dingin. Mereka berlari menuju wanita itu yang sudah tergeletak di jalan, baru beberapa saat setelah kejadian telah banyak warga maupun pengendara yang mengerubungi.

Alwan dan Aery menyusup masuk ke dalam kerumunan warga, kini mereka berada tepat di depan wanita itu yang wajahnya tidak jelas untuk dilihat karena telah tertutupi oleh darah kental.

"Antonio, Antonio," lirih sang wanita.

Dari kejauhan terdengar suara ambulan yang semakin lama semakin mendekat, tak lama sebuah ambulan terparkir di depan sana. Ada dua orang yang keluar dari ambulan dengan memegangi sebuah tandu, mereka berlari kecil menuju ke arah sang korban.

"Antonio," nama yang sama diucapkannya kembali.

Para petugas ambulan dengan cepat membawa wanita itu ke rumah sakit agar mendapatkan penanganan medis secepatnya. Sedangkan si pelaku masih di tanya-tanyai oleh petugas kepolisian terkait kejadian ini.

"Antonio?" tanya Aery dalam hati. Seketika siluet sahabat kecilnya dulu kembali terngiang-ngiang di kepalanya.

"Non, ayo pulang," memegang bahu Aery.

Aery hanya mengangguk dan beranjak pergi dari sana yang diikuti oleh pak Buyuang di belakangnya.

"Awan, lo ngapain di sana?" teriak bang Varo yang berdiri di depan kedai martabak mesir.

Alwan berlari menuju kakaknya dan mereka kembali menuju rumah.

-------------♦•♦

Hola!, zizi come back nih. Ada yang kangen? Atau malah kangen sama Alwan? Aery?.

Jangan lupa Vote dan Komennya agar aku semangat menulis kelanjutan cerita.

Alhamdulillah udah masuk bulan Ramadhan, semangat buat yang menjalankan ibadah puasa.

Luv U All

Thank You😘

Continue Reading

You'll Also Like

45.3K 3.9K 25
Jomblo? Satu kata sarat hinaan ya guys. Kenapa nggak pacaran? Nggak laku? Nggak ada yang mau? Dihhh tsadest!!! Bukan nggak laku, cuma lagi nyari yang...
2.8K 368 33
Spiritual-fiksiremaja "Maaf, aku nggak bisa kayak Sayidah Fatimah yang bisa tahan dengan cinta diam-diamnya kepada Ali bin Abi Thalib. Aku juga tidak...
5.4K 391 22
[Follow dulu sebelum baca ya kakak-kakak😍😍] HIATUS Andini Amanda Viana, gadis berusia 16 tahun yang dikagumi banyak kaum Adam. Tidak hanya kaum Ada...
23.9K 1K 12
Semua tatapan aneh dari orang-orang tidak Ia hiraukan. Dalam balutan seragam TNI AU Ia berjalan di tepi pantai bersama wanita di sampingnya. ________...