But ... i can't unlove you.
- Ar-
***
Sinar matahari berusaha menembus masuk melalui gorden yang berwarna abu gelap. Tak terlalu terik, tapi cukup untuk membuat Margo tersadar dari tidurnya. Wanita bernetra hazel itu menatap langit-langit putih bersih yang tampak asing dengan alis yang bekerut.
Di mana ia?
Itu pertanyaan yang pertama kali menelusup masuk ke dalam benak Margo ketika ia membuka mata. Dengan kebingungan, ia bangun lalu celangak-celinguk, berusaha mengingat kembali apa yang terjadi kemarin sampai dia bisa berakhir di atas ranjang asing ini.
Butuh waktu agak lama bagi Margo untuk mengingat kejadian kemarin. Di mana Daniel mengecewakannya, dan William datang lalu mengubah semua keadaan. Iya, Margo juga tahu kalau dirinya kemarin tidak pulang karena berniat menemani William sampai sadar. Ya, awalnya demikian, tapi ... siapa sangka keadaan berkata lain? Karena nyatanya justru Margo yang tertidur di samping laki-laki itu.
Ya, di samping. Dia seharusnya tertidur di bibir ranjang karena kemarin William masih tertidur di atas sini.
Tapi tunggu dulu ... jika demikian, harusnya Margo bangun dengan tubuh sakit-sakitan karena terlelap dengan posisi tak nyaman, bukan? Tapi kenapa ... dia justru tertidur di atas ranjang?
Apa William ... yang memindahkannya?
"Morning." Seorang laki-laki dengan kemeja navy blue yang tampak membungkus tubuhnya sempurna dan rambut yang tertata rapi tengah berdiri di ambang pintu seraya membawa nampan berisikan susu dan ... entah apa itu, Margo tak bisa melihatnya karena posisi William lumayan jauh dari tempatnya duduk. "Nyenyak?"
"Hah? Apanya?" Margo melongo karena pertanyaan William yang tak jelas. "Oh ... maksudmu, tidurku nyenyak?"
William mengangguk, berjalan santai mendekati Margo dan meletakkan nampan tadi di meja samping ranjang, "Ya."
"Tidurku nyenyak." Margo menjawab sambil melirik ke arah nampan yang William bawa. "Tapi ... bisakah kau menjauhkan susu itu dariku? Baunya menyengat."
"Menyengat?" William mendekatkan susu itu ke hidungnya lalu mengernyit, "Aku tidak mencium apapun."
"Jauhkan saja!" Nada suara Margo meninggi saat susu itu malah mendekat ke arahnya, bukan menjauh. Wanita bernetra hazel itu menutup hidungnya dengan ekspresi wajah jijik. "Rasanya aku ingin muntah."
"Maaf. Aku akan segera kembali." William menggaruk tengkuknya bingung karena sejujurnya dia baru kali ini berurusan dengan wanita. Wanita hamil pula?!
Laki-laki itu keluar dan menemui Albert, meminta teh hijau setelah ia mencari di google seputar kehamilan. Ya, dia bukan laki-laki yang berpengalaman dan bermulut manis seperti Daniel. William bahkan jauh dari itu. Dia kaku, dia tidak bisa bercanda, dia terlalu serius. Tapi, setidaknya dia mau berusaha memahami Margo. Dia mau mencoba mendekati wanita itu. Dan jika memang ada kesempatan yang Tuhan berikan, maka William tak akan segan untuk merebut Margo dari tangan Daniel.
Karena sejujurnya, bajingan semacam Daniel tidak pantas mendapatkan wanita berhati baik seperti Margo.
William naik ke lantai atas setelah mendapatkan sarapan pagi Margo dari Albert. Laki-laki itu berjalan lambat, takut membuat teh Margo tumpah selama perjalanan. Meski sebenarnya dia tak perlu repot-repot karena dia punya pelayan, tapi William lebih suka mengantarkan makanan Margo sendiri.
Ia sampai di lantai dua dan ketika William hendak masuk ke dalam kamar, ia menemukan Margo tengah menatap ponselnya dengan ekspresi tak terbaca.
"Ini sarapanmu." William berusaha bersikap biasa saja. Dia tak ingin Margo tahu kalau dirinya yang mematikan telepon dari Daniel semalam. "Makan."
"Apa kau mematikan ponselku semalam?" Margo menatap William dengan tatapan tak terbaca. Tapi dari raut wajahnya, William tahu Margo kesal. "Iya kan?"
William menarik napas, "Makan. Bayimu butuh sarapan."
"Jawab aku," ucap Margo yang langsung memotong pembicaraan William. Dia tidak terpengaruh, padahal William telah mengalihkan topik.
William membuang napasnya lagi, berat. "Aku mematikannya," ucapnya mengaku pada Margo.
Margo menatap William dengan tatapan tak percaya, bingung, sekaligus kesal. "Kenapa? Kau tidak punya hak untuk mematikan ponselku bukan?" tanya Margo.
"Aku tidak punya. Tapi, aku tidak mau menggangu tidurmu. Oleh karena itu aku--"
"Tapi Daniel mencariku!" Margo menatap ponselnya, tangannya bergerak lincah, menunjukan layar sentuh itu ke arah William.
Daniel Wallance (53) missed call.
"Dia mencariku dan karenamu ... aku tak tahu." Margo menatap marah pada netra abu itu.
"Tapi kau sedang beristirahat kemarin."
"Bukan berarti kau bisa seenaknya bukan?!" Margo meninggikan nadanya lagi, semakin kesal karena William membalas perkataannya terus-menerus. Wanita berambut hazel itu berdiri dari tempatnya dan menatap William. "Aku mau pulang. Terima kasih karena sudah menemaniku kemarin."
Margo menggamit tasnya yang terletak di meja lalu hendak berjalan keluar. Ya, dia nyaris menyentuh ambang pintu kalau saja ucapan William tidak menghentikan langkahnya.
"Untuk apa, memperjuangkan dia yang bahkan tidak menganggapmu ada?"
Deg.
Langkah kaki Margo terhenti seketika. Dan di dalam dirinya, ada sesuatu yang baru saja terasa perih seolah tercubit.
Dia tersindir karena kata-kata William. Untuk kesekian kalinya, laki-laki itu berhasil membuat Margo speechless.
Jantung Margo berpacu lebih cepat, ketika mendengar suara langkah kaki itu mendekat. Ya, dia tahu orang itu adalah William. Teman Daniel yang karakternya terasa berbeda dengan Daniel sendiri. Margo marah padanya. Tidak. Sebenarnya bukan marah, hanya kesal. Karena sejujurnya Margo sendiri terkejut Daniel mencari kehadirannya.
Seperti yang William katakan tadi, selama ini Margo juga berpikir demikian. Dia merasa kalau ... selama ini Daniel sungguh tak menganggapnya ada. Bukankah nasibnya seperti pajangan? Dia selalu dilewati dan dilihat setiap harinya, tapi sang pemilik bahkan tak sadar kalau ada dia di sana ....
Menyedihkan? Sangat.
"Aku bertanya ... kenapa kau masih bertahan dengan orang yang bahkan tidak pernah menghargai segala perhatianmu?" tanya William, yang lagi-lagi berhasil membuat Margo merasa sesak. Kenapa setiap ucapan laki-laki ini terasa seperti duri yang tertancap pada ulu hatinya? Apa karena William terlalu mengerti dirinya dan setiap hal yang ia katakan adalah ... kebenaran?
"Aku mencintainya." Margo berbalik badan setelah menetralkan ekspresi wajahnya lalu menatap mata William dengan berani. "Itu jawabannya."
"Cinta?" William bergumam, kemudian ikut menatap netra hazel itu sehingga mereka berdua saling beradu pandang. "Jadi maksudmu ... kau rela menderita dan tersakiti terus-menerus, hanya karena cinta?"
"Hanya karena?" protes Margo tak senang. "Cinta lebih dari kata hanya, karena tanpa cinta manusia bukan lagi manusia, bukan?"
William terdiam. Dia butuh waktu agak lama untuk memahami ucapan Margo karena selama ini bisa dibilang dia hidup jauh, dari kata 'cinta'.
Margo menarik napas lega ketika William tidak memberikannya perlawanan lagi. Sesungguhnya, dia sendiri bingung mau menjawab perkataan William.
Apa memang benar, dia pantas merasa sedih terus-menerus hanya karena dia mencintai Daniel?
Apa memang benar, dia harus menanggung semua penderitaan ini, karena rasa cintanya?
Pertanyaan itu membuat Margo tertohok.
Sebenarnya, bukan cinta yang salah, tapi dirinya sendiri. Dia terus bertahan pada orang yang sama, bahkan ketika dia memiliki banyak kesempatan untuk pergi.
Namun satu hal yang mengganjal di batin Margo adalah ... sanggupkah dia pergi, dan meninggalkan laki-laki itu sendirian, di saat Daniel punya seluruh hatinya?
"Aku pergi." Margo melirik jam tangannya lalu memutuskan untuk pulang ke apartment. Baru jam delapan, seharusnya Daniel masih berada di rumah. Dia masih punya kesempatan untuk menjelaskan semuanya, kan?
"Tunggu," ucap William seraya menahan tangan Margo ketika wanita itu hendak keluar.
"Apa lagi?" Margo mengernyit. Benar-benar heran dengan sikap William.
Laki-laki berambut cokelat itu menghela napasnya perlahan, seolah hendak mengucapkan sesuatu. Kemudian dengan rasa kegugupan yang luar biasa, William menatap mata Margo lekat.
"Jika dengan mencintai aku bisa mendapatkan perhatianmu, maka ... bisakah kau melupakan Daniel dan mulai belajar mencintai aku?"
***
Agresif coy!
Tim William mana nih tim william? wkwkwkkwkwkw
Instagramku : blcklipzz( double Z )
mari berkontakan ria! kalau mau kasih kritik saran DM aja~