Ketika beberapa meter dari pertigaan terlihat kios rokok berwarna biru yang penuh dengan coretan pilox. Motor yang kami kendarai mulai berjalan pelan di sepanjang jalan warung silah.
Di depan kios tersebut sudah ada gadis cantik yang sedang duduk-duduk santai di sana. Dan gua sangat mengenal gadis tersebut.
Wajah gadis itu masih terlihat sama seperti dulu.
Bahkan seingat gua senyumnya pun masih manis di pandang.
Yang berbeda hanya potongan rambutnya menjadi agak pendek. Sedangkan di hadapannya ada seorang lelaki yang baru kali ini gua lihat wajahnya.
Kami langsung memasukan motor ke sebelah kios. Memarkirkan dengan rapih di samping motor ninja berwarna hijau yang gua duga milik lelaki asing itu. Penjaga kios bernama Beni dan sang gadis yang sedang nongkrong agak terkejut ketika melihat kami berhenti di sini.
Gua langsung turun dari motor.
Lalu melempar senyum akrab ke arah mereka.
"Mlekuuum!" Gua memberi salam dengan gaya yang khas.
Gadis itu berdiri masih sambil memasang tampang terkejut melihat lelaki yang sudah di kenalnya sejak lama. Sedangkan Beni langsung membanting rokoknya sambil menunjuk wajah gua.
"Oraang gilaaaa!" Seru Beni heboh.
Semakin lebar senyum gua terkembang.
"Ngilang kemana aja lu baru terbit sekarang?!"
Anak itu menghampiri gua dan memeluk tubuh gua dengan erat.
"Sibuk jadi photo model,"
"Photo model contoh gizi buruk ye," balas anak itu.
"Hahaha..."
Beni menatap gua dengan mata berbinar.
"Anjriit! Tambah ganteng aje muke lu!" Seru Beni.
"Ya iyalah..gua kan tiap hari perawatan di salon, beda sama elu yang mandi di empang mulu.." balas gua meledeknya.
"Bangsat lu! Masih kaga berubah aja bacot lu dari dulu.."
"Ha..ha..ha..ha.."
Sang gadis masih terpaku menatap wajah gua. Seolah dirinya tidak percaya dengan apa yang dia lihat di depannya.
Gua balas menatapnya lalu melambaikan tangan di depan wajahnya.
"Mlekuum!" Lalu kembali mengucapkan salam.
"Ya ampun, Romi....." ucapnya pelan dengan tampang syok.
"Orang ngasih salam itu di jawab salam, bukannya malah minta ampun..."
"Hehehehe...maaf," dia tertawa-tawa kecil. "Waalaikumsalam.." lanjutnya masih sambil tertawa.
"Wess..udah bisa ngejawab salam sekarang. Udah masuk islam, neng?" Balas gua bercanda.
"Eit deh! Serba salah gue kalo ngomong sama elo!" Protes anak itu dengan sikap kesal yang di buat-buat.
"Ha..ha..ha..ha.."
Gua lantas duduk di kursi kayu yang agak berjauhan dari hadis dan lelaki yang tidak gua kenal. Ruby memilih duduk di depan kios rokok Beni sembari merokok.
Gadis itu segerah menghampiri gua dengan tampang masih syok.
Dia menyalami tangan gua dengan genggaman eratnya.
Lantas dia duduk di sebelah gua.
Sedikit meninju pelan bahu gua, sambil melempar senyum manisnya.
"Kemana aja lo gak pernah nongol? Sombong ya gak pernah main ke rumah gue lagi! Di pertigaan juga udah gak pernah nongkrong lagi! Gue ke rumah, lo nya gak ada mulu. Katanya lo udah lama cabut dari rumah dan gak pernah balik-balik lagi..sekarang gimana kabar lo? Di mana lo tinggal? Lo kuliah apa kerja?" Pertanyaan beruntun di lontarkan oleh gadis bernama Fransiska.
"Baru juga pantat gua nempel di bangku udah di interogasi aja. Tawarin minuman kek, tawarin makanan kek, gak pengertian banget apa sama abang lo ini yang lagi capek,"
Gadis itu tertawa-tawa.
"Iye-iye sorry. Namanya juga udah lama gak ketemu.."
"Kite juga udah lama gak ketemu, tapi elu kaga ada nanya-nanyain tentang gua dah," Celetuk Ruby yang merasa tidak di perhatikan.
aFransiska langsung terdiam ketika melihat Ruby.
Wajahnya tampak mengingat-ingat anak itu.
"Hm...Kalo gak salah nama lo Jabrik kan? Temen basisnya Romi dulu?"
"Siape tuh Jabrik?? Wah kebangetan lu! Masa lupa sama nama gua! Buset dah! Nama gua Ruby! Rubianto anak Cipedak!" Balas Ruby dengan tampang super kesal.
Kontan gua langsung tertawa terbahak mendengarnya.
Sedangkan wajah Fransiska jadi tidak enak hati.
Mungkin dia jadi merasa bersalah.
"Oh iya...sorry lupa...elo itu yang adik kelasnya, Romi kan? Tuh, gue sebenarnya masih inget. Tapi namanya aja yang kadang suka lupa.." balas Fransiska beralasan.
"Bah, alesan lu.."
"Wajarlah kalo dia lupa, lu kan kaga terkenal pisan, Rub.." lanjut gua lalu ngakak.
Ruby hanya bisa mendongkol saja.
Fransiska kembali menatap wajah gua.
"Mau minum apa?" Lalu anak itu bertanya dengan nada halus.
"Aer keran!"
"Ha..ha..ha..ha.." Gadis itu kembali tertawa-tawa geli. "Gila lo dari dulu gak sembuh-sembuh ya? Beneran aer keran lagi loh yang gue kasih.."
Gadis itu lantas menengok ke arah Beni. "Ben, sediain aer keran buat, Romi!" Pinta Fransiska ke Beni.
"Ah..itu sih gampang. Gak mau sekalian aer kobokan? Di dalem banyak tuh," balas Beni sambil tertawa.
"Lu kata gua kambing di sediain aer kobokan!" Protes gua.
"Lah, kan elo yang minta, Romi...hihihihihi..." balas Fransiska tertawa.
"Lagian pake di tanya lagi sih, udah tahu biasanya kalo nongkrong di pertigaan gua sukanya apa? Bilangin ke Beni gih, suruh ambilin gua air putih," pinta gua ke Fransiska. Padahal Beni sendiri masih berdiri di hadapan gua.
"Ben, ambilin Romi air putih," Fransiska menyambung ucapan gua ke Beni.
Beni mendengus kasar, "Lagu lu kaya tuan mude aje, Tok! Udah tau gua berdiri di sini, sok-sokan pake perantara segala, mana mesennye aer putih doang lagi...lagu lu sengak!"
"Ha..ha..ha..ha..ha.."
Gua dan Fransiska tertawa.
"Beneran nih aer putih doang?" Tanya Beni memastikan.
"Iye aer putih.."
"Yaudah gua sediain.."
Beni segerah bergegas ke dalam kiosnya.
"Ben, tapi taroin kupi..." ujar gua lagi.
Beni menoleh lalu mendengus dengan kasar.
"Ya namanya jadi kupi, goblok!" Bentak Beni sewot.
Gua sama Fransiska semakin ngakak aja.
"Pake gula apa kaga?" Tanya Beni.
"Pake garem sama ingus, Ben," canda gua lagi.
"Serius ini tai! Gua kaga bikin kupi nih!" Emosi jiwa...
"Hahahaha..ya pake lah, Ben...pake di tanya lu, ah..."
"Set dah, gua bikin kupi yang ujung-ujungnya bakal di utangin aje ribet banget dah kayanya.." gerutu anak itu.
Gua dan Fransiska kembali tertawa ngakak.
"Lagian tau aja lu kalo gua mau ngutang. Duit gua tinggal sisa goceng nih, buat beli bensin.."
"Tuh kan..dari dulu gua emang udah curiga. Selama elu kaga nongkrong di sini omset warung gua naek drastis, tapi pas elu nongkrong kok apes mulu. Jangan-jangan elu emang sengaja mau bikin gua bangkrut ye??"
"Yaelah Ben..segitu amat lu sama gue. Udah lu jangan ngoceh mulu kaya beo, buruan gih bikinin gua kupi. Puyeng nih pala udah tiga hari kaga ngupi.."
Beni pun masuk ke dalam warungnya sambil ngedumel-dumel.
Kini hanya Fransiska dan gua yang saling bertatapan.
"Anak-anak pada kemana, Frans? Gak ada yang ngumpul nih?" Tanya gua sambil melihat cowok yang tidak gua kenal itu.
Sesaat Fransiska menatap cowok itu sambil melemparkan senyumnya. Lalu kembali menatap wajah gua dengan sinar mata penuh kerinduan itu. "Anak-anak pada gawe. Udah pada jarang nongkrong di sini, palingan malem minggu baru pada rame,"
"Oh..gitu. Hm..David kemana? Tumben gak ngintilin lu? Malah gue liat elu sama cowok lain tuh," tanya gua sembari melirik cowok yang bersama Fransiska itu.
"Ke laut!" jawab Fransiska ketus.
Gua hanya mengangguk-ngangguk dengan wajah penasaran. Gua menduga kalau Fransiska sedang ada masalah sama David.
Gua kembali menatap cowok yang bersama Fransiska.
"Itu kawan lu?" Tanya gua sambil menunjuk lelaki yang duduk di depan kami.
Yang gua tunjuk agak tersentak dan tidak merasa nyaman.
Fransiska hanya tersenyum sembari mengangguk.
Lalu gua mulai berbisik dengan suara yang pelan. "Masih gantengan gue ye?"
Fransiska tertawa sembari menutupi mulutnya.
Lalu mulai membalas dengan berbisik di telinga gua.
"Iya masih gantengan elu kok. Hi..hi..hi..hi.."
"Gitu dong..itu baru teman," ujar gua seraya mencolek dagunya.
"Apaan sih lu! Colak-colek sembarangan!" Protesnya galak sembari menepuk bahu gua dengan keras.
"Yailah..galak amat. Baru juga colek sekali,"
"Ya gak bolehlah colek-colek cewek sembarangan!"
"Hehehe..iya-iya..sorry.."
Melihat sikap cowok yang bersama Frans agak terganggu, gua jadi sedikit ingin mengerjainya.
"Nama elu siapa, bung?" Gua mulai menegur anak itu.
Anak itu sedikit terkejut dengan tampang agak grogi.
"Sa..saya Teddy bang.." jawabnya gugup.
Gua mengangguk-ngangguk. "Anak mana lu?"
"Pancoran bang.."
"Wiih..jauh juga,"
"Iya bang lumayan jauh,"
"Tiap hari kesini?"
Sesaat dia terdiam sambil memikirkan jawaban yang tepat. Lalu menjawab dengan sedikit agak ragu.
"Lumayan hampir setiap hari sih. Di ajak Siska,"
"Oh..gitu. Temennya Frans? Atau pacarnya?" Tanya gua tajam.
Dengan reflex Fransiska menepuk pundak gua, "Dia temen gue, gila lo ah nanyanya!"
"Lah, gua kan cuma nanya, kenapa jadi elu yang panik?" Balas gua.
"Abisnya elu nanya yang bukan-bukan aja sih!"
"Saya cuma temen kuliahnya aja.." akhirnya Teddy mengklarifikasi.
"Oh, temennya...lagi pedekate ye?"
Anak itu menggaruk-garuk kepala dengan wajah malu bercampur bingung.
"Nggak bang..cuma temen kok. Gak ada maksud lain," jawabnya dengan wajah terlihat malu-malu.
"Hebat banget lu tanpa maksud apa-apa tapi tiap hari dateng ke sini sama, Frans.." sindir gua.
Anak itu langsung bungkam dengan wajah memerah.
"Udah ah, Rom! Kaya wartawan aja lo pake wawancarain Teddy. Kasian kan anaknya kebingungan tuh!"
"Iye-iye..gua pan cuma pengen kenalan doang,"
Akhirnya kami berdua berbicara panjang lebar mengenai kejadian yang telah kami alami selama tidak bertemu. Fransiska masih asik seperti dulu, anaknya masih ramai. Tentunya si Teddy jadi obat nyamuk yang bengong ngeliatin kami ngobrol.
"Eh, si David gimana kabarnya?" Tanya gua yang memang penasaran sama hubungan mereka.
"Basi!" Balas Fransiska yang merasa kesal.
"Tadi kelaut, sekarang basi. Gua jadi bingung si David ini binatang laut yang udah basi atau gimana??"
"Dia itu laki-laki pengecut! Udahlah males gue ngomongin orang pengecut kaya dia!" Ujarnya berapi-api.
"Yaelah santai kali. Emang dia kenapa sampe elu bilang pengecut kaya gitu?"
"Udah deh..males bahasnya. Yang jelas kita itu udah putus!" Wajah Fransiska tampak kesal dan penuh dengan emosi.
Gua terkejut mendengarnya. Padahal mereka berdua dulu saling sayang dan terlihat harmonis. Tapi sekarang malah seperti ini.
"Lah, bisa begitu. Terus sekarang kemana itu bocah?"
"Mana gue tahu! Anaknya aja ngilang begitu aja..." Warna emosi di wajah Fransiska semakin terlihat jelas.
"Jadi elu di tinggalin sama dia?"
Fransiska mengangguk-ngangguk dengan tampang kesal.
"Wah..kurang ajar juga ya si David.." komentar gua.
"Emang kurang ajar tuh cowok! Status gue aja di ambangin sampai sekarang!"
"Tokay kali ngambang..." celetuk gua.
"Anjiiir!!" Fransiska langsung meninju bahu gua dengan keras. "Lo serius dikit dong kalo gue lagi curhat! Dari dulu gak pernah berubah!"
"Ha..ha..ha..ha.."
"Apa lu mau kalau gua lenyapkan si David? Biar dendam lu itu bisa terbalaskan," Tanya gua ke Fransiska sambil pasang wajah serius.
Gadis itu terdiam dengan tampang pucat.
"Jangan! Jangan! Gak perlu sampai kaya gitu ih, Romi...." Jawabnya panik.
"Oh..ternyata masih memendam perasaan cinta yang mendalam. Makanya dia takut. Padahal gue kan cuma bercanda...ha..ha..ha..ha.."
"Resek lu!!" Fransiska kembali meninju lengan gua.
"Hahahahahaha.."
Gua kembali menyalahkan rokok agar suasana hati menjadi santai.
"Elo pernah ketemu Ika lagi gak, Rom?" Tanya Fransiska tiba-tiba.
Untuk sesaat gua agak termenung mendengar nama Ika di sebut.
Telah banyak suka dan banyak cerita yang pernah gua alami dengan gadis lucu itu. Tapi semuanya sudah berlalu begitu saja, dia lebih memilih cowok baik-baik di banding dengan cowok brandalan. Yeah, tapi itu adalah pilihannya, gua gak bisa memaksanya untuk tetap bersama dengan gua.
"Nggak. Kenapa emangnya?" Gua berusaha bersikap biasa saja.
"Gak apa-apa sih. Kalo gue beberapa kali masih sering nongkrong sama Ika. Dan dia masih selalu nanyain elo, loh.." Fransiska berusaha meneliti wajah gua yang masih berusaha bersikap datar.
"Oh ya? Dia udah punya cowok kan sekarang?"
"Udah punya kok. Satu kuliahan juga. Ganteng lagi anaknya,"
Gua manggut-manggut.
"Tapi masih gantengan gue kan?" Tanya gua sambil tersenyum lebar.
"Gantengan cowoknya lah! Mimpi aja lo di sore hari begini!"
"Kampreet! Lu gak bisa bohong sedikit apa biar nyenengin hati gua!"
"Ha..ha..ha..ha..ha.."
"Ika khawatir waktu tau elo cabut dari rumah, dia hampir setiap hari selalu ke rumah lo tau.."
Ika khawatir?
Bukan kah ketika gua dirawat di rumah sakit selama dua minggu dengan keadaan kritis dan tubuh yang lumpuh dia sama sekali tidak pernah datang menjenguk. Kenapa dia bisa khawatir ketika gua memutuskan untuk angkat kaki dari rumah?
"Ah, biarin aja..."
"Kok biarin sih? Lo emang gak mau ketemu sama dia apa?"
"Gak mau!"
"Serius? Jahat banget sih lo!" Wajah Fransiska sampai terkejut.
"Ha..ha..ha..ha.."
"Emang lo udah gak sayang lagi sama dia?"
"Hm..masih sayang gak ya?" Ujar gua berlagak mikir.
"Serius Romi...jangan kebanyakan bercanda,"
"Kalau di tanya masih sayang atau nggak. Gua juga bingung jawabnya. Tapi yang jelas dia sudah punya cowok, dia sudah punya kehidupannya sendiri, ngapain kaya begini harus di ungkit-ungkit lagi. Lagian apa yang harus gua omongin kalo seandainya nanti ketemu sama Ika? Paling mulut gua cuma bisa bilang a,i,u,e,o doang,"
Fransiska manggut-manggut dengan wajah seolah mengerti. "Iya juga sih..tapi paling nggak kalian bisa jadi temen gitu,"
"Jadi temen emang udah dari dulu kali. Gak usah ngomongin masalah gue deh, elu aja belum bisa Move on dari David kan? Buktinya belom punya pacar! Ha..ha..ha.."
"Ih! Resek lu!" Gadis itu meninju bahu gua. "Gue bukannya belum move on tapi gue masih pilih-pilih kandidat yang cocok. Gue gak mau terulang lagi ketemu cowok brengsek kaya temen lo itu!"
"Dari pada pilih-pilih yang laen, mending pilih yang pasti-pasti aja. Kaya gue gitu. Di jamin setia, di jamin bisa bahagiain lo, Frans..." canda gua mempromosikan diri.
"Eh, kok gitu? Emang lo mau sama gue?" Tanya Fransiska terkejut.
Sepertinya dia menanggapi ucapan ini dengan serius.
"Ya gak mau lah...entar pas gua buka ada tanda tangannya David lagi! Ha..ha..ha..ha.."
"Sembarangan lo kalo ngomong! Gue pacaran itu gak pernah ngapa-ngapain tahu! Gue juga ogah sama lo dekil, kucel, pasti pas gua buka ada bekas stempelnya Ika juga tuh!"
"Ha..ha..ha..ha..ha..!"
Kami tertawa lepas pada sore hari ini.
"Tumben dateng kesini, ada apa?" Tanya Fransiska lagi.
"Mau nongkrong aja..."
"Eh, tapi beneran tuh yang gue bilang. Ika nanyain lo terus. Kebetulan bulan depan kita mau ada reuni SMA kecil-kecilan di Detos dan Ika bakal dateng juga. Lo mau ikut gak?"
"Ogah ah. Sekolahan lu yang pada mau reuni, gua ngapain dateng? Kenal juga kaga sama temen-temen lu. Entar gua cuma jadi kambing congek aje lagi di sana,"
"Yee..elo ngobrol lah. Kan ada Ika! Jadi elo berdua bisa deket kaya dulu lagi deh..mau ya Rom? Nanti gue kabarin Ika deh, supaya dia gak bawa cowoknya," rayu Fransiska yang sepertinya sangat getol mempertemukan gua dengan Ika.
"Nggak ah..."
"Kok gitu sih. Yaudah sini minta nomer lo. Nanti kalo suatu saat kita lagi kumpul-kumpul elo bisa gua hubungi..."
"Yaudah nih catet aja.."
Gua memberikan ponsel ke Fransiska.
Anak itu segerah mencatat nomer gua, lalu memasukan nomernya ke ponsel gua. Pertemuan dengan Fransiska di sore hari ini bagaikan mengenang cerita masa lalu. Dulu gua pernah suka dengan gadis itu, walaupun dia lebih memilih bersama dengan sahabat gua, tapi ada sebuah hubungan erat yang pernah terjalin di antara kami berdua.
*******
Tidak lama kemudian Beni datang membawa dua gelas kopi hitam.
Tentunya untuk gua dan Ruby yang sudah sejak tadi menunggu.
"Ah..lama amat lu bikin kopi doang! Bikinnya di jatinegara kali lu yak?!" Protes gua kesal.
"Bawel lu! Aer galon gua abis, makanya tadi gua beli dulu!"
"Warung apaan nih aer galon bisa abis! Yang profesional dong lu kalo dagang! Gimana mau sukses kalo hal kecil aja elu lengah!"
"Gak usah pake gegayaan pake nasehatin gua lu! Gua kaga bakalan sukses selama pelanggannya suka ngutang kaya elu!" Balas Beni sewot betul.
"Ngungkit mulu lu Ben. Kaga ikhlas lu ngutangin gua?"
"Emang kaga ikhlas gua!"
"Ha..ha..ha..ha.."
Beni lantas duduk di depan kami.
Bujangan tua itu membakar rokok kretek kesukaannya. Asap putih mengebul-ngebul dari mulutnya. Terlihat tarikan demi tarikan dia hisap dengan penghayatan yang dalam. Kalau gua liat-liat si Beni ini mirip seorang seniman kere yang suka merenung. Mungkin kalau yang Beni renungkan adalah masalah omset dagangannya kali.
Beni menatap gua dengan pandangan serius.
"Rom, elu udah denger belom ada berita baru nih," beritahu Beni dengan sikap serius.
"Berita apaan? Pasti ada janda baru di kampung kite kan??" Tanya gua berlagak antusias.
"Ah! Otak lu slangkangan aje!"
"Abis apaan Ben? Pan omongan lu dari jaman dulu janda mulu.."
"Setan lu! Gua serius ini, nyet!"
"Hahahahaha...Yaudah berita baru apaan?"
"Udah beberapa bulan ini anak-anak perkumpulan L.A sering nongkrong di sini sama anak-anak Wardam,"
Gua langsung terdiam menyimak cerita Beni dengan perasaan terkejut. Sedangkan Ruby yang mendengar juga ikut menoleh ke arah Beni sambil pasang tampang serius.
"Banyak orang yang nanyain lu, Rom.."
"Nanyain gue?" Tanya gua seolah tidak percaya.
"Iya. Gerak-gerik mereka kaya lagi nyari informasi tentang lu,"
Gua dan Ruby saling berpandangan dengan wajah tegang.
"Lu emang cari perkara apaan sama perkumpulan L.A?" Tanya Beni penuh rasa kecurigaan.
"Gua gak bikin masalah apa-apa sama mereka, Ben," jawab gua berusaha menyembunyikan masalah yang sebenarnya.
Beni menatap gua masih dengan rasa kecurigaan yang besar.
"Beno, itu orang yang udah sering keluar masuk penjaran. Lu tahu sendirikan kalo dulu cuma dia yang berani ngeributin abang lu. Saran gua jangan sampe lu berurusam sama orang-orang kaya dia, bisa celaka urusannye," beritahu Beni cukup serius.
Memang Beni tidak menuduh gua secara langsung, tapi gua rasa dia tahu kalau gua sedang ada masalah dengan perkumpulan L.A. Makanya dia menyampaikan dengan cara menasehati.
Untuk sesaat suasana menjadi hening.
Gua tenggelam dengan pikiran resah.
Gua mempunyai firasat kalau persoalan ini akan membawa kami kemasalahan yang cukup serius di kemudian hari.
"Kalian ini masih aja ya kaya gitu..." tiba-tiba Fransiska memecahkan keheningan diantara kami. "Masih aja suka berantem. Emangnya gak jera apa sama kejadian yang dulu-dulu?"
Kami tidak menjawab hanya terdiam.
"Apa peristiwa Erik dan Fuji masih belum cukup?"
Pikiran gua langsung melayang kebeberapa tahun yang lalu ketika kami masih sama-sama bergelantungan di pintu-pintu angkot. Menerikan nama sekolah dengan bangga dan tertawa di sebuah halte basis yang lusuh dengan banyak coretan piloxnya.