Peristiwa pertarungan dengan Lukas sudah lewat dua minggu lebih. Semenjak hari itu sudah tidak ada satupun dari mereka yang mengganggu atau bertingkah konyol terhadap kami. Namun bukannya ketenangan yang gua dapat, tapi perubahan besar malah terjadi pada hidup gua!
Gua berdiri di koridor lantai empat, menunggu gadis manis berambut panjang keluar dari kelasnya. Hilir mudik mahasiswa-mahasiswi lewat di depan gua dengan tatapan segan dan tak berminat untuk menegur. Setelah menunggu lumayan lama akhirnya Sherly muncul di tengah kerumunan mahasiswa dan mahasiswi yang keluar dari kelas.
"Hai!" Sapa gua sedikit ada rasa gugup.
Anak itu menoleh ke arah gua. Wajahnya agak terlihat heran ketika mendapati gua berdiri menunggunya di koridor lantai empat ini.
"Sampai kapan lo mau ngintilin gue terus?" Tanya anak itu dengan ketus.
"Siapa juga yang ngintilin elu, cuma kebetulan aja gua lewat sini,"
Sherly segerah berjalan di sepanjang koridor ini.
Gua mengikuti di sampingnya, mencoba mengiringi irama langkah kakinya yang berjalan cepat.
"Kebetulan kok setiap hari," sindirnya tanpa melihat wajah gua.
"Ah, masa setiap hari sih?" Gua berlagak bingung, "Perasaan baru kemaren, kemaren lusa, sama lusanya dan lusanya lagi deh. He..he..he.."
"Itu namanya setiap hari, geblek!"
"Ha..ha..ha..ha.." Gua tertawa sambil menggaruk-garukan kepala dengan wajah bodoh.
"Malah ketawa, bukannya mikir lo!"
"Kantin yuk?" Ajak gua dengan wajah penuh harap.
Sherly menghentikan langkah kakinya, lalu menatap gua dengan pandangan curiga.
"Kenapa lu liatin gua kaya gitu?" Tanya gua heran.
"Kenapa? Yang kenapa itu elo!"
"Gua baek-baek aja..masih sehat kok,"
"Idiih..siapa juga yang nanyain kondisi elo!" Gadis itu kembali melanjutkan langkahnya.
"He..he..he..he.."
Kami berhenti di depan lift, ketika pintu terbuka kami langsung masuk. Lift membawa kami ke lantai dasar. Lalu kami mulai keluar dan berjalan ke arah perkarangan fakultas teknik. Ketika sampai di perkarangan Teknik, Sherly malah menujuh ke arah gedung Ekonomi.
"Loh, mau kemana? Kantin kan sebelah kanan," tanya gua jadi bingung.
"Helow, Romi..." ujarnya sambil melambaikan tangan di depan wajah gua. "Hari ini kan ada Rohis..ngapain juga kita ke Kantin! Gimana sih lo! Biasanya kalau waktunya Rohis elo udah meluncur paling depan biar cepet ketemu Aeyza,"
Oh iya! Ada rohis hari ini!
"Iya gua juga tau.." padahal aslinya gua sendiri lupa.
Wajah Sherly semakin memandang gua dengan curiga.
"Semenjak hari terakhir ribut sama Lukas, sikap lo kok jadi aneh sih?" Tanya gadis itu dengan rasa keingin tahuan yang lumayan besar.
"Aneh gimana?" Gua agak gugup juga di tanya seperti itu.
"Ya aneh lah..elo jadi sok care sama gue, elo jadi nelfonin gua terus setiap hari, elo jadi sering banget ngintilin gue kemana-mana. Sebenernya ada maksud apa sih lo sama gue?"
Gua langsung malu di tegur seperti itu.
Bukan cuma Sherly yang merasa aneh terhadap sikap gua, tapi gua juga merasa kalau sikap gua ini memang aneh. Gua jadi sering mikirin Sherly, gua jadi pengen selalu deket aja sama gadis itu. Gak tahu kenapa, tapi terkadang gua juga benci harus seperti ini. Karena hari-hari gua terus di penuhin oleh bayangan wajah seorang gadis yang mempunyai status sebagai sahabat dekat gua saat ini.
"Idiih..siapa yang sok care sama elu? Perasaan lu aja kali..." balas gua ketus.
Sherly menatap gua dengan wajah menyelidiki.
"Udah hampir dua minggu ini gue perhatiin lo jarang dateng ke rohis lagi. Kenapa sih?"
"Hm..sibuk!" Jawab gua singkat.
"Sibuk ngapain? Palingan main ke rumah judi sama Erte dan Komenk kan?" Tebak Sherly.
Gua hanya menggaruk-garuk kepala dengan tampang tolol.
"Nggak lah..emang gua gila judi apa!" Protes gua kesal karena selalu di tuduh main judi. Padahalkan yang gua geluti selama ini adalah pelatihan mental.
"Terus lo kenapa sekarang udah gak pernah deketin Aeyza lagi? Udah nyerah lo?" Tanya Sherly penasaran.
Ternyata anak itu memperhatikan juga, kalau akhir-akhir ini gua sudah mulai berhenti deketin Aeyza. Semua itu gua lakukan bukan karena menyerah, tapi entah kenapa perasaan gua ke Aeyza sudah tidak menggebu-gebu seperti semula.
"Lagi males aja gue.."
Sesaat Sherly memandang gua dengan wajah penuh keheranan. "Males? Lo punya rasa males juga buat ngejar cewek yang lo sukai? Baru tahu gue.." ujarnya agak sinis.
"Yailah..gua kan juga manusia biasa,"
"Sikap lo yang suka moody begini bikin gue sering bingung.."
"Bingung kenapa sih, Sher?"
"Elo itu masuk rohis karena Aeyza, tiap hari kerjaannya deketin dia terus. Ketika sekarang Aeyza sudah mulai nanyain lo terus, kayanya lo udah ogah-ogahan ngejar dia.."
"Aeyza nanyain gue?" Agak heran gua dengarnya.
"Iya dia nanyain terus, gara-gara lo jarang ke rohis,"
"Tumben-tumbenan amat pake nanya-nanyain gua segala. Orang biasanya gua sms aja jarang banget di bales," jawab gua acuh tak acuh.
"Lo masih niat gak sih buat dapetin dia?"
"Masih kali.."
Tanpa terasa kami sudah berada di depan ruangan Rohis. Para anggotanya sudah penuh mengisi ruangan. Gua duduk di baris belakang sebelah kanan, sedangkan Sherly di baris depan sebelah kiri.
Acara di mulai dengan doa, lalu di lanjut dengan ceramah oleh Yusuf. Setelah itu anggota Rohis mulai mendiskusikan sebuah acara lomba Adzan, Baca Quran, & Marawis yang akan diselenggarakan di daerah rumah Sherly.
Karena sudah hampir dua minggu ini gua jarang ikut Rohis, jadi gua ketinggalan berita mengenai acara tersebut. Ternyata salah satu pelaksana lomba selain dari anak-anak Rohis kampus kami, juga di bantu oleh suatu yayasan yang di kelola oleh Abinya Aeyza. Jadi acara ini lumayan besar dan memakai uang yang jumlahnya bukan main-main.
Yusuf masih berceloteh mengenai acara lomba tersebut, gua yang mendengarkannya jadi terkantuk-kantuk di meja paling belakang. Tidak ada lagi rasa tertarik, tidak ada lagi rasa ingin show up di dalam organisasi ini. Semua perasaan gua sudah hilang, seiring perubahan hati yang telah di ambil pergi oleh seseorang.
"Anggota Rohis kita yang akan mengikuti lomba sudah di daftarkan. Sekarang tinggal memilih sukarelawan untuk hiburan yang membawakan musik-musik religi.."
Semua terdiam dengan sikap pura-pura tidak mendengarkan. Gua tahu mereka semua malas tampil, malas untuk di repotkan dalam acara tersebut.
"Jadi siapa yang mau jadi sukarelawan untuk menyanyi di hari H? Tenang saja ini di luar lomba, jadi tidak perlu merasa tertekan,"
Yusuf melihat respon anak-anak rohis yang terkesan sepi langsung berdecak kesal.
"Yasudah kalau tidak ada yang mau mengajukan diri, biar saya sendiri yang memilihnya," lanjutnya agak gregetan karena tidak ada tanggapan dari anggotanya.
Untuk sesaat keadaan menjadi hening. Terlihat jelas wajah-wajah tegang mereka ketika Yusuf menyapu pandangannya.
Sampai pada akhirnya pandangan mata Yusuf berhenti di wajah gua. Sebuah senyum penuh arti langsung terkembang di bibirnya. "Sebaiknya kali ini kita beri kesempatan untuk saudara Romi yang akan membawakan musik bernuansa religi," usul Yusuf menunjuk gua.
Gua langsung kelabakan.
Kondisi ruangan yang semula sepi menjadi ramai karena mereka bebas dari korban pilihan Yusuf.
"Apa-apaan lu asal tunjuk gua aja!" Tegur gua dengan keras ke arah Yusuf.
Hingga Yusuf sendiri kaget melihat respon gua yang baru pertama kali ini melawan dirinya secara frontal.
"Bukannya elu biasa ngeband, Rom!" Tiba-tiba seorang anak yang berada di depan angkat bicara. "Jadi gak masalahkan??"
"Justru itu masalahnya!" Balas gua ketus.
"Kenapa harus masalah! Udah terima aja lah! Kita semua setujuh kok buat dukung lo di acara itu," ujar seorang lagi dengan heboh.
Gua agak terkejut melihat respon anak-anak yang memaksa gua untuk mengikuti acara tersebut. Gua tahu mereka mendesak agar tidak di tunjuk oleh Yusuf mengisi pertunjukan musik religi.
"Udahlah terima aja, Rom..ini demi organisasi kita juga!" Ujar Ikop sepertinya semangat sekali memojokan gua.
"Enak aja lu nyuruh gue. Kenapa gak elu aja sono yang ikut!"
"Gua gak bisa maen gitar, Rom..mending lo aja deh!"
"Gue sendiri gak ngerti apapun tentang musik-musik religi. Lebih baik kasih kepada yang lebih profesional aja deh!"
"Sudahlah..saya yakin kamu bisa. Pasti gampang buat kamu yang sering sekali bermain band..." kata seseorang lagi di bagian paling depan.
"Pala lu gampang! Gua aja kaga tau lagu-lagu religi kaya gimana!" Gua masih memberikan perlawanan balik kepada mereka yang menyerang.
"Kamu tenang saja, acaranya kan masih ada waktu satu minggu lagi. Jadi kamu bisa riset mencari lagu religi dan latihan dulu..." Yusuf kembali lagi angkat bicara. "Lihat teman-teman yang lainnya ikut mendukung kamu..masa kamu mau mengecewakan mereka,"
"Betul! Ini juga buat oraganisasi kita biar eksis, Rom!" Seru seluruh ruangan dengan seruan-seruan memaksa.
Gua terdiam memandang satu ruangan Rohis yang terus memaksa dengan mengatasnamakan mendukung. Gua tidak dapat berbuat apa-apa lagi dengan tekanan yang begitu besar dari mereka.
"Tapi gua sama sekali tidak tahu tentang lagu-lagu religi.." ujar gua pelan dan lemas karena di serang orang yang sangat banyak.
"Aku bisa bantu kok..." tiba-tiba Aeyza angkat suara.
Gua terpana menatap gadis manis itu yang langsung berdiri menghadap gua di barisan belakang.
Bahkan satu ruangan langsung hening menatap Aeyza dan gua secara bergantian. Tidak terkecuali Yusuf yang langsung pasang tampang suram.
"Aku punya kok koleksi-koleksi lagu religi di rumah. Kalau mau nanti malam kamu bisa datang ke rumah aku buat meminjamnya.." lanjut Aeyza menawarkan.
"Beneran??" Tanya gua merasa tidak yakin.
Aeyza mengangguk sambil tersenyum.
"Hm..sebaiknya begini saja," kata Yusuf tiba-tiba. Wajahnya tampak mempertimbangkan.
Gua menatap anak itu sambil menunggu kata-kata selanjutnya.
"Karena Romi masih pemula untuk lagu-lagu religi, biar saya saja yang memilihkan lagu. Lirik serta kunci gitar akan saya buatkan juga dalam bentuk print. Serta kaset dari lagu yang saya pilih akan saya pinjamkan ke Romi.." Lagi-lagi Yusuf memutuskan dengan seenak jidatnya saja.
Madirabit ini bocah! Bisa banget akalnye...
Gua tahu banget dia tidak ingin gua dekat-dekat dengan Aeyza, makanya dia langsung menawarkan diri untuk membantu.
"Gimana kamu setujuh kan, Rom?" Tanya Yusuf berharap.
Gua menatapnya dengan wajah penuh kemuakan.
"Terserah elu aja!" jawab gua ketus.
Entah karena dendam atau karena menganggap gua sebagai saingannya, Yusuf memutuskan dengan seenak udelnya saja tanpa mempedulikan gua setujuh atau tidak. Gua hanya bisa pasrah tanpa dapat berbicara lagi.
*******
Selesai kegiatan Rohis selesai kami bertiga menunggu Sherly di depan pintu masuk ruangan rohis. Jenuh, kesal, dan bosan kami rasakan, karena di sini kami tidak bisa merokok dengan bebas.
"Bah! Lama kali betina itu!" Protes Doni yang sudah tampak jenuh. "Kau panggilah, Dit, supaya cepat kita pergi dari tempat ini!"
"Sabarlah nyet! Namanya juga cewek pasti ngegosip dulu tuh!" Kata Adit ikut kesal.
Walaupun agak jenuh gua masih sabar menanti gadis bernama Sherly itu. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin gua bicarakan ke Sherly selama dua minggu ini. Tapi memang waktu saja yang belum tepat untuk membiarkan kami dalam kondisi berdua.
"Romi..." tiba-tiba Aeyza menyapa.
Gua menoleh ke gadis itu dengan sikap tegang.
Kami berdua saling berhadapan satu sama lain.
"Hai, Aey.." sapa gua balik.
"Kamu yakin bisa bawaain musik religi?" Tanya gadis itu yang tampak khawatir.
"Gak tau deh...mungkin bisa kali," jawab gua asal dan agak gugup.
Bisa darimana? Wong musik religi aja gua kaga pernah denger...
Terus maininnya gimana?? Lagunya apa??
Nanti bukannya lagu-lagu religi yang gua bawain. Malah lagu-lagu Punk dan Hardcore lagi...bisa moshing sambil mabok tuh penontonnya!
Aeyza masih terus memperhatikan gua dengan pandangan tidak yakin. Lalu dia mulai angkat bicara lagi.
"Kenapa Aey? Kok liatin aku kaya gitu banget?" Tanya gua agak heran.
"Hm..Sebenarnya dari kemarin ada yang mau aku tanyain ke kamu," beritahunya dengan nada agak ragu.
Gua terdiam sesaat dengan rasa penasaran.
Tumben amat Aeyza mau ada yang di tanyain sama gua, biasanya juga gua yang nanya-nanya terus ke dia, udah gitu jawabannya pasti selalu hambar dan berujung penolakan.
"Tanya apa?"
"Kamu kenapa sekarang sudah gak jarang ikut Rohis?"
Di tanya begitu gua jadi bingung dan merasa tidak enak.
"Sibuk Aey..."
"Sibuk apa? Kuliah? Kerja?"
Gua jadi gugup. "Kerja.." jawab gua ngibul.
"Oh..jadi udah kerja.."
Yeah, mungkin main judi bisa gua anggap sebagai salah satu pekerjaan. Karena selain membuang uang, judi juga dapat menghasilkan uang.
"Kerja di mana?" Tanyanya begitu ingin tahu.
Aduh di mana ya? Kenapa gua tadi gak bilang sibuk nyari tokek buat di jual aja! Kan harganya lumayan mahal juga tuh!
"Di...hm..., di Lucky Strike!" jawab gua asal.
"Lucky strike? Kok aku baru denger ya ada perusahaan yang namanya kaya gitu.." Aeyza tampak bingung dengan namanya.
Ya jelas baru dengerlah..orang itu bukan nama perusahaan kok, tapi nama tempat rumah judi amatiran yang sering gua kunjungi.
"Memang kantornya di mana?"
"Deket sini, di daerah lenteng agung.."
Gadis itu mengangguk-ngangguk seolah tahu. "Memangnya kerjaan kamu bergerak dalam bidang apa? Kok kayanya sampai menyita waktu seperti ini?"
Mampus dah tuh!
Bidang apaan nih?
Kocok mengocok kartu, melempar dadu, atau memutar rollet?
"Di bidang..eng..investasi saham kecil-kecilan," jawab gua asal. Padahal investasi saham aja gua gak ngerti. "Jadi aku coba-coba berani Invest di sana," keringat dingin mulai bercucuran karena pertanyaan Aeyza mendetail sekali.
"Model-model seperti di bursa efek gitu ya?"
"I-iya.."
Setidaknya gua tidak terlalu berbohong kepada Aeyza, karena gua menginvestasikan sebagian besar uang gua dalam perjudian. Investasi saham dan Perjudian kan tidak jauh berbeda, sama-sama bertaruh dalam suatu meja. Meja kantor dan meja judi, he..he..he..he.., Bedanya hanya legal dan ilegal.
"Hati-hati loh, Rom, kalau berinvestasi seperti itu..bisa-bisa saham yang kamu investasikan anjlok karena sulit di prediksi..kamu harus punya insting dan perhitungan yang tepat. Tentunya di imbangi dengan ilmu pengetahuan yang mumpuni. Memangnya kamu sudah paham betul tentang perhitungan saham?"
"A-aku juga baru-baru belajar sih.."
Setidaknya Invest saham yang selama ini gua pelajari berkiblat ke satu kartu As dan satu kartu Jack hingga menjadi Black Jack! Yang memiliki poin 21!
Dan ini bukan tentang ilmu pengetahuan, tetapi tentang sesuatu hal yang tidak semua manusia miliki, adalah daya tahan untuk berkonsentrasi, ketekunan dan tekad untuk tetap pada sistem menghitung kartu. Karena si penjudi harus meyakinkan diri untuk mempelajari strategi sederhana atau pun strategi seorang penjudi profesional.
Bermain judi sebenarnya dapat melatih mental dan insting menjadi kuat, bahkan yang paling berguna adalah melatih kekuatan jantung! Karena sang penjudi selalu di buat berdebar-debar di kala memirit kartu atau ketika menunggu kartu lawan terbuka.
"Dan selalu hati-hati di dunia saham seperti itu, karena selalu dekat dengan yang namanya riba..sebaiknya kamu kaji dulu deh.." lanjutnya memberi nasehat secara bijak.
Ini gak usah di kaji lagi antara halal atau riba! Tapi udah jelas haram!! Entah kenapa saat itu lagu judinya bang Rhoma Irama seperti di putar di kepala ini.
"Iya Aey..aku selalu hati-hati kok.."
Ketika obrolan kami sudah semakin jauh, Yusuf datang merecoki pembicaraan kami. Maklum anak itu tidak dapat melepasakan pengawasannya sedikitpun dari Aeyza. Apalagi kalau tahu sedang ngobrol sama gua. Moncong anjing pelacaknya langsung bekerja dan mendeteksi keberadaan kami.
"Aeyza..pulang bareng yuk?" Ajak lelaki itu dengan wajah penuh senyum.
Aeyza membalas senyumnya dengan ramah.
"Maaf, Kak, nanti Aeyza pulang bareng Sarah saja. Tidak enak selalu merepotkan Kak Yusuf..."
"Tidak merepotkan kok. Kalau begitu Sarah biar sekalian pulang bareng kita," kata Yusuf mulai melancarkan strategi mautnya.
"Tidak usah, Kak. Nanti merepotkan. Lagian Aey masih agak lama kok pulangnya, soalnya masih mau bicara sama, Romi. Kak, Yusuf duluan saja.." jawab wanita itu masih dengan nada yang halus dan wajah penuh senyum.
Gua dan Yusuf agak terkejut juga mendengar jawaban Aeyza seperti itu. Karena biasanya Aeyza selalu ogah-ogahan ngobrol sama gua, malahan waktu ketika gua dekati anak itu sering terlihat terganggu. Tapi entah kenapa kini berbeda. Dan bisa di pastikan tampang Yusuf langsung berubah apek.
"Ya sudah kalau begitu saya tunggu sampai Aeyza selesai ngobrolnya," ujar Yusuf dengan sikap yang cuek.
Dengan tidak tahu malu anak itu benar-benar menunggu di dekat kami dan bermaksud menguping pembicaraan kami.
Gua sampai menggeleng-gelengkan kepala dengan sikap anak itu.
"Nanti lama loh, Kak. Mendingan kakak pulang duluan saja.."
"Oh, gak apa-apa kok. Lagian akhir-akhir ini kampus lagi gak aman. Aku khawatir aja sama keselamatan kamu. Makanya aku udah ngomong ke Abi kamu, buat jagain kamu untuk sementara ini. Abi kamu juga setujuh kok kalau aku sering antar jemput kamu ke kampus,"
Aeyza agak terkejut mendengarnya.
Mendadak gua mau muntah. Berlagak superhero nih bocah. Kencing aje belom lurus udah mau sok jadi bodyguard. Emangnya kalo ada apa-apa sama Aeyza dia yakin bisa jagain??
"Kok kak Yusuf sampai ngomong begitu ke Abi?" Ada warna protes yang terlihat dari wajah gadis itu.
"Maaf sebelumnya karena saya sudah lancang. Tapi semuanya murni tidak ada maksud lain, semua itu saya lakukan karena saya cemas sama keselamatan Aeyza..." Yusuf mulai bermanis-manis kata.
Eneg! Eneg! Eneg!
Rasanya gua mau muntah di bagian atas bawah, lalu di sembur ke muka Yusuf!
"Terima kasih sudah mencemaskan kesalamatan Aeyza...tapi Aey bisa jaga diri kok. Jadi lebih baik kak Yusuf lebih fokus memikirkan kuliah yang sudah mendekati semester akhir ini..."
Kalau Yusuf cerdas pastinya dia dapat memikirkan kata-kata Aeyza barusan. Tapi tampaknya kecerdasaannya habis di makan egonya.
"Kamu sudah dengerkan kalau kampus kita beberapa minggu yang lalu di serang pelajar gak jelas, dan anak-anak teknik banyak yang jadi korban, denger-denger biang keladinya anak dari kampus ini juga.." Yusuf melirik gua dengan tatapan mata sinis.
Wah! Cari perkara ini bocah alim...
Belom pernah ngerasain golok melambai-lambai di mukanya kali..
"Iya, Aeyza juga sudah denger kok. Tapi gak perlu sampai segitunya juga kali, sampai bilang-bilang ke Abi segala,"
"Maaf Aey..bukan maksud mau lancang. Tapi Kak Yusuf cuma gak mau kamu salah bergaul saja..takutnya kamu gak tahu dengan siapa kamu berteman.." anak itu masih melirik gua dengan sinis.
Loh! Loh! Kok pembahasannya jadi melenceng ke pergaulan sih??
"Maksudnya??" Tanya Aeyza tidak mengerti.
"Ya kamu tahu sendirilah jaman sekarang. Banyak orang yang berpura-pura baik, untuk merauk keuntungan pribadi,"
Frontal banget! Gua jadi tersinggung!
Ah, daripada gua emosi, terus ngacak-ngacak tokay, mending gua cabut dah!
"Maaf Kak! Aeyza juga bisa memilih mana yang baik dan tidak untuk diri Aeyza sendiri. Jadi Kakak tidak perlu mencemaskan hal itu!" jawab anak itu tegas.
"Iya tapi kak Yusuf cuma takut....."
"Sorry!" Gua mulai angkat bicara memotong pembicaraan mereka.
Keduanya menoleh ke arah gua.
"Saya mau cabut duluan ya. Soalnya semenjak dateng ente tiba-tiba perut ane mules! Mohon obrolan kalian di lanjut saja tanpa melibatkan saya..."
Aeyza langsung terdiam sambil menatap wajah gua dengan penuh protes. Sedangkan Yusuf langsung memasang wajah masam yang tersinggung akan sindiran gua.
Gua, Doni, dan Adit langsung menghampiri Sherly yang masih asik ngobrol.
"Lama kali cakap kau itu, Sher!" Protes Doni yang kesal menunggu Sherly. "Ayolah.. sudah menjerit-jerit perutku ini.."
"Eh, sorry, kelamaan ya?" Kata Sherly merasa tidak sadar.
"Kaga lama kok! Cuma udah sampe jenggotan aje gua nungguin lo!" Balas Adit ketus.
Sherly jadi merasa tidak enak, lalu gadis itu menoleh ke arah kawannya. "Sarah, gue cabut dulu deh.." Sherly berpamitan.
"Iya Sher, aku juga mau pulang,"
Akhirnya kami berempat bergegas dan berjalan menujuh base camp di parkiran.
"Bergaya banget tuh bacot si Yusuf! Kenapa kaga elu gibeng aje, Rom??" Gerutu Adit kesal. "Et dah! Dari dulu gua emang penasaran banget mau ribut satu lawan satu sama anak alim itu! Gregetan banget gua liat tingkahnya!"
"Biarin aja, Dit. Selama dia gak nyolek fisik kita, dia bebas berkoar-koar seenak bacotnya," jawab gua.
Untuk sesaat Adit menatap gua dengan pandangan heran.
"Tumben banget lu, tadi kaga semangat ngobrol sama Aeyza? Ada apaan sih?" Tanya Adit penasaran.
"Lagi gak mood," jawab gua singkat.
Lalu mengalihkan pandangan ke Sherly, "Sher, makan di mana kita sore ini?"
Sesaat Sherly terdiam sambil sambil berfikir.
"Kayanya hari ini gue lewat deh," jawab anak itu dengan wajah tidak enak hati.
"Loh, kenapa?" Gua agak terkejut juga mendengarnya.
"Mas Arlan ngajakin gue dinner nanti malam," jawabnya sambil tersenyum lebar dan wajah sedikit malu-malu.
Gua langsung bungkam dengan perasaan kesal. Gua baru ingat kalau Sherly sekarang sudah memiliki seorang kekasih yang bernama Arlan.
"Wah..Keknya kalian sudah mulai serius ya?" Doni berkomentar.
"Iya dong! Kalo gak serius, ya gak jadian lah!"
"Kaga enak Sher, dinner cuma berduaan," celetuk gua. "Mending ajak kita aja, rame, seru, pastinya bisa ketawa-ketawa. Lu tahu sendirikan kalau berdua pasti yang ketiganya setan! Emang mau lu lagi pacaran ada setan??" gua mencoba mempengaruhi Sherly.
"Kalo ngajak kalian bukannya dinner namanya! Tapi nongkrong sambil ngejudi!"
Doni dan Adit tertawa. Gua tidak.
"Yaudah ngajak gua aja kalo gitu..Doni sama Adit mah tendang aja!"
"Ih..ngapain lo mau ikut kencan gue? Mau jadi setan?"
"Buset dah..gua di kata setan..."
Adit dan Doni langsung tertawa ngakak.
"Udah ya gua cabut dulu.." pamit Sherly kepada kami semua. "Lo pada pulangnya jangan kemaleman. Inget besok pada masuk pagi,"
Setelah itu Sherly pun pergi berlalu, meninggalkan para jomblo yang kesepian ini merana dalam kegelapan hidup.
"Ada yang aneh?" Ujar Adit tiba-tiba dengan wajah yang serius sambil meneliti keadaan sekitar.
Kami berdua menatap wajah anak itu penuh dengan tanya.
"Maksud lo yang aneh apaan?" Tanya gua.
"Elu yang aneh, anjing!"
Gua dan Doni kaget.
"Gue?"
"Iye elu! Beberapa hari ini sikap lu sama Sherly jadi beda. Elu kaya lagi ngejar-ngejar dia banget. Jangan-jangan elu suka ya sama dia?" Tembak Adit tanpa basa-basi.
Kontan gua langsung panik.
"Gak mungkinlah...dia kan CS gue..sama kaya elu berdua!"
"Tapi firasat gua menangkap ada sesuatu yang berbeda dari sikap lu. Masa gua yang salah sih?" Ujar Adit yang juga agak ragu.
"Firasat amatiran aja pake elu percaya! Gara-gara ngikutin Firasat gila lu itu kita sering banget kalah judi!"
Wajah Adit agak terkejut dan jadi merasa bersalah.
"Ah! Gak sering juga kali! Kadang-kadang tepat juga kok!" Kata anak itu mengelak.
"Betul cakap Romi itu, bung! Kita ini keseringan bangkrut karena sering mengikuti firasat tai ayam kau itu!" Doni ikut menambahi.
Adit jadi semakin terpojok.
"Udah ah, gak penting bahas begituan! Yuk cabut aja kita!" Ajak Adit berusaha mengalihkan pembicaraan.
Sebenarnya gua juga bingung sama perasan gua sendiri. Kenapa semuanya bisa berubah secepat ini. Ketika melihat Sherly dada gua jadi sering berdebar-debar. Rasanya ada sesuatu yang kurang pas jika dalam sehari saja gua tidak melihat wajahnya...