Gua berjalan ke parkiran fakultas teknik sambil membawa segudang amarah yang membara. Benteng kesabaran di dalam diri gua sudah runtuh ketika mendengar nasib Adit dan Paul yang tergeletak mengenaskan di rumah sakit.
Ketika memasuki perkarangan halaman Fakultas Teknik, beberapa anak-anak yang pernah tergabung dalam kelompok boikoter memperhatikan gua dengan tampang cemas. Bahkan beberapa dari mereka memperingatkan agar tidak pergi keparkiran, karena di sana ada Hendra dan kelompoknya. Gua tidak menghiraukan itu peringatan mereka. Tujuan gua memang untuk bertemu dengan Hendra dan memberinya pelajaran.
Ketika jarak pandang gua sudah bisa melihat ke arah parkiran fakultas teknik, di sana terlihat jelas sudah ada Hendra, Deni, dan Awe beserta lima anak senior yang sedang berkumpul sambil bercanda-canda. Kepala gua menjadi semakin mendidih di buatnya. Di samping itu gua juga lega, karena jumlah empat puluh orang yang di bilang Erte tidak ada.
Gua berjalan lebih cepat ke arah mereka. Kopel atau sabuk berkepala besi gua lepaskan dari pinggang dengan kasar. Lalu gua lilitkan di tangan kanan dengan menggenggam kepala besinya. Lalu gua sembunyikan tangan yang memegang kopel ke balik pinggang.
Sesampainya di sana mereka kaget melihat kedatangan gua.
"Si Anjing akhirnya dateng!" Seru Awe.
"Minta di beri nih bocah!" Tambah Deni.
Beberapa anak langsung bangkit sembari memberi pandangan memburunya. Gua berdiri tepat di depan Hendra sambil memasang tampang garang.
Wajah Hendra langsung di pasang mengejek.
"Punya nyali juga lu dateng ke sini.." kata Hendra. "Mau lu gua hajar kaya Adit dan Paul?"
"Udah sikat aje Dra.."
"Hajar!"
Kata beberapa anak sehingga suasananya jadi semakin ramai.
"Gak usah banyak bacot lu!" Balas gua marah.
Wajah Hendra tampak mengelam.
"Mana Lukas? Kalo berani ribut satu lawan satu, jangan kroyokan kaya banci!"
Sesaat wajah Hendra marah bercampur malu, namun beberapa saat kemudian anak itu mulai tertawa ngakak. "Kalo buat lawan bocah tengik kaya elu, gak perlu Lukas turun tangan. Cukup gua dan anak-anak aja.."
"ANJING!" Maki gua.
Gua segerah melayangkan tangan yang menggenggam kopel ke wajah Hendra.
BUAAAGHH!!
Anak itu langsung ambruk dengan hidung berlumuran darah.
"Mampuuus!!"
Melihat reaksi gua yang nekad ini para senior yang lain terkejut. Sedangkan Awe langsung bergerak guna menyerang gua. Secepat mungkin gua melayangkan tendangan ke dada Awe, hingga lelaki bertubuh tinggi itu langsung tersungkur kebelakang.
Gua memanjangkan tali kopel di tangan, lalu memutar-mutarnya dan menghantamkan kembali ke tubuh, wajah, tangan, Awe dan Hendra secara bergantian.
"Bakal gua kirim lu semua ke rumah sakit!!" Bentak gua.
Melihat ini beberapa anak menjadi kaget bercampur ngeri.
"Rom! Santai, Rom!!!"
Deni maju guna menghentikan gua. Namun ketika gua sabetkan kopel ke arah dadanya anak itu langsung mundur beberapa langkah kebelakang.
"Maju lu semua kalo mau mampus!" Kata gua sembari menarik rambut Hendra yang sudah berdarah-darah.
Mereka semua terdiam dengan tubuh terpaku sambil menatap gua tanpa dapat berbuat apa-apa. Awe terlihat merangkak, berusaha keluar dari arena pertarungan. Tanpa ingin melepaskan anak itu, gua langsung menginjak kepalanya hingga membentur aspal.
Duaaagh!!
Dalam seketika Awe langsung tergeletak tidak bergerak lagi. Gua kembali memendekan tali kopel dan menggenggam kepala besinya. Rambut Hendra masih gua tarik dengan menggunakan tangan kiri. Hidungnya dan keningnya berdarah-darah, hingga bau amisnya tercium menyengat di hidung.
"Kenapa lu diem aja, jagoan!" Bentak gua ke Hendra yang sudah terlihat lemas.
Anak itu hanya merintih saja, dengan tatapan mata yang nanar melihat ke atas.
"Kemana gaya lu yang tadi??"
"Ma..maaf..Rom..." ucapnya terbata-bata.
"TAIII!!!"
BUAGH! BUAGH! BUAGH! BUAGH!
Arrrrgghhhhh!!!
Empat kali hantaman gua lepaskan ke pipi, hidung, bibir, dan batok kepala anak itu. Hendra hanya merintih-rintih sejadinya dengan tubuh ambruk ke bawah. Lantas gua kembali menarik rambut anak itu hingga tubuhnya kembali terangkat.
"Ayo bangun! Gua masih belom puas kalo elu belom mampus!!"
"Romi! Lu bakal gua laporin polisi kalo masih nyerang Hendra!" Seru Deni yang agak ngeri melihat tindakan gua.
"Silahkan lapor! Biar kita masuk penjara sama-sama!"
Deni langsung bungkam.
Sedangkan dua orang senior lainnya langsung lari kocar-kacir dari sini. Sekarang tinggal sisa enam orang, dengan dua orang lainnya sudah terkapar.
Gua semakin menarik rambut Hendra kebelakang. Lalu dengan sekuat tenaga gua hantamkan Kopel ke bibir dan mata anak itu.
BUAGH! BUAGH!
Akkkhhhhhhh!!
Hendra langsung jatuh tertelungkup dengan tubuh mengejang.
"Ayo maju lu semua, anjing!" Bentak gua sembari memutar-mutar kopel ke arah empat orang senior yang tidak dapat berbuat apa-apa.
Mereka mundur serentak, lalu mulai berlarian. Seluruh penghuni fakultas teknik hanya dapat menonton kami dari kejauhan dengan panik. Bahkan satpam penjaga hanya menonton melalui posnya di samping gerbang.
"Mau kemana lu, Den!" Seru gua sambil memburu Deni.
Anak itu berlari kencang tanpa menoleh.
"Ampun Room! Ampuuun!" Teriaknya sambil terus berlari.
"Minta ampun sama Adit dan Paul yang elu bantai, Babiiii!!!" Balas gua.
Berkali-kali gua menyabetkan kopel sambil mengejar Deni. Namun anak itu berlari sangat kencang hingga sabetan gua selalu memukul udara kosong. Gua terus mengejar Deni sampai perkarangan Himpunan Fakultas Teknik.
Ketika gua ingin menginjakan kaki di anak tangga yang membawa ke himpunan, tiba-tiba ada parang karatan melintas di depan dada gua.
Whuuussss....
Gua menahan langkah kaki agar tidak terkena sabetan parang karatan itu. Gua menoleh ke atas sudah ada Lukas dengan tampang beringasnya menatap gua.
"Berani nongol juga lu banci anjing!" Kata gua sembari menyeringai.
"Anjing lu berani ngacak-ngacak tempat gua!" Balas Lukas.
"Gua bakal acak-acak juga kepala lu, monyet!"
Gua langsung menyabetkan kopel ke atas, ke arah pingganggnya. Lukas mundur dua langkah kebelakang, lalu menggebukan parangnya ke arah batok kepala gua.
Otomatis gua juga mundur guna menghindari serangan tersebut.
Braaaakkk!
Parang Lukas menghantam anak tangga.
Gua tidak melewatkan kesempatan ini, dengan segerah gua sabetkan kopel ke arah wajahnya.
Whuusssss
Kopel kembali menerjang udara kosong ketika Lukas menghindarinya. Sempat terjadi aksi saling gebuk dan serang yang cukup sengit di antara kami berdua.
Hingga beberapa saat kemudian muncul puluhan orang dari belakang Lukas dengan menggenggam senjatanya masing-masing. Ada yang pakai kayu, bambu, batu, kopel. Wajah gua mulai memucat, dan jantung gua mulai berdetak lebih kencang. Gua menyadari kalau posisi gua tidak di untungkan. Kalau gua nekad pasti bakal bernasib sama dengan Adit dan Paul.
"Banci lu berani maen kroyokan!" Maki gua.
Lukas tertawa. "Ini pertarungan jalanan! Bukan ajang bela diri resmi! Jangan cengeng lu jadi laki-laki!"
Mendengar itu gua jadi merasa di remehkan dan semakin menyerang mereka dengan membabi buta.
Tiba-tiba lima orang senior mencoba maju sambil menggebuk-gebukan bambu. Namun kibasan kopel gua lebih terarah menyambar wajah mereka. Hingga mereka kembali menjaga jarak majunya.
Tiba-tiba dari arah samping mereka serempak menyerang.
BRAAAAKKKK
BUAGGHHHHH
"Ahkkkkk!" Pekik gua kesakitan.
Bahu gua kena hantaman bambu, sedangkan punggung gua kena hantaman kayu. Tubuh gua oleng ke depan. Kaki gua berusaha menjaga keseimbangan tubuh.
"TERUS MAJUUU!!" Seru Lukas memberi perintah.
Otomatis dengan gerakan serentak mereka maju menekan gua.
Perlahan tapi pasti gua terdesak mundur, lalu beberapa saat kemudian gua membalikan badan dan mulai berlari kencang.
"Jangan lari lu!"
"Mati lu di sini!"
Sorakan demi sorakan yang langsung meruntuhkan nyali mulai terdengar dari belakang. Gua tetap berlari kencang ke arah jalan raya di depan kampus.
"Haaayooo mau kemana lu!" Kembali teriakan penuh ancaman terdengar dari belakang.
"Mau ke enyak lu yang perek, anjing!" Balas gua sambil menoleh mengejek.
"Eh..babii lu ye!"
"Iye sama kaya keluarga lu yang babi!"
Aksi saling caci maki terlontar dari mulut kami.
Pemuda yang baru berumur sembilan belas tahun di kejar-kejar oleh puluhan orang yang marah. Pemuda itu kembali mengalami kejadian yang sama seperti dulu, ketika masih hidup dalam lingkungan basis. Ada rasa takut, ngeri, dan rindu yang bercampur aduk di dalam dadanya. Nostalgia yang penuh dengan kerumitan yang kini dia rasakan.
Sesampainya di gerbang kampus, mobil honda jazz milik Sherly berhenti mendadak di jalan raya depan gerbang. Decitan bannya terdengar keras bagai suara mobil balap. Pintu belakang mobil itu terbuka lebar. Terlihat Sherly dengan wajah panik duduk di pintu belakang.
"Masuuuk Rooomm!"
"Cepetan masuuuukk!!!" Seru Sherly panik.
Gua langsung melompat masuk ke dalam mobil. Erte yang mengendarainya langsung menggeber mobilnya! Pintu langsung tertutup karena hentakan mobil yang kencang.
"Gilaa.." maki Sherly. "Lo bikin perkara apa sama mereka sampai di kejar-kejar begitu?" Tanyanya masih panik.
"Gua abis ngebagi Hendra dan Awe..."
Semua terdiam dengan wajah pucat.
"Pas gua lagi ngejar Deni, tiba-tiba Lukas dateng, gua sempet ribut sama dia, kemudian anak buahnya pada muncul ngeroyok gua.."
Sesaat suasana di dalam mobil mulai hening.
"Kayanya kita gak bakalan bisa menang deh, Rom..." kata Komenk dengan wajah putus asa yang duduk di sebelah Sherly. "Jumlah mereka terlalu banyak..apa kita mental aja dulu untuk sementara,"
"Aku setujuh dengan cakap kau itu, Menk! Kita tidak mungkin menang melawan mereka yang jumlahnya berkali-kali lipat lebih banyak.."
"Sekarang pilihannya cuma dua. Kita mental atau menyerah." Tambah Erte masih sambil konsentrasi menyetir.
Gua diam dengan gejolak-gejolak dendam yang semakin membara. Gua tidak menyalahkan kekhawatiran mereka. Karena mereka sebelumnya tidak pernah merasakan kejadian-kejadian seperti ini. Dan lagi benar yang mereka bilang kalau jumlah kami tidak ada artinya di bandingkan dengan mereka. Kalau nekat terus melawan kami akan seperti debu yang di sapu angin...
"Bahu lo berdarah.." kata Sherly histeris.
Gadis itu langsung menyuruh Doni mengambil kotak P3k yang ada di depan.
"Buka baju lo!" Perintah Sherly tegas.
"Gak usah..ini gak parah kok.."
"Buka baju lo!" Semakin tegas suara anak itu terdengar. "Kalau di biarin bisa infeksi!"
Dengan ragu gua menuruti perkataan Sherly. Ketika baju gua terlepas, Sherly agak terpana melihat tattoo gua yang melintang di dada sampai ke punggung. Gua baru ingat, ini pertama kalinya Sherly melihat tattoo gua.
Tapi anak itu tidak berkomentar. Melainkan terus memberikan alcohol dan betadin ke luka gua.
"Sekarang jam berapa, Sher?" Tanya gua pelan.
Sherly melihat jam tangannya sesaat.
"Setengah enam kurang.." jawabnya singkat yang kembali sibuk mengobati luka di bahu gua.
Pandangan gua menerawang jauh, dengan beribu pikiran bercampur aduk.
"Jam setengah enam. Mungkin para bajingan itu sudah datang..." kata gua pelan berbicara pada diri sendiri.
"Siapa yang datang, Rom?" Tanya Sherly yang mendengar ucapan gua.
Dengan sangat terpaksa gua harus melakukan cara terakhir ini. Walaupun gua gak suka dan sangat menghindarinya.
"Di pertigaan lenteng belok kiri, Te!" Pinta gua.
"Eh, mau kemana? Ke rumah sakit Fatmawati kan lurus, ke arah jalan pasar minggu,"
"Udah ikutin gua aja!" Kata gua memaksa.
Dan Erte pun menuruti permintaan gua.
Mobil terus meluncur di jalan Asem, Setu Babakan, Warung Silah, Radio, hingga melewati pertigaan timbul...
Dan menuju CIPEDAK......
Tempat yang menjadi rumah untuk gua dan para bajingan basis!