Sejak hari terakhir di kerjain sama Ola. Gua sudah tidak pernah bertemu dengan gadis itu lagi selama berhari-hari. Padahal gua sudah menyusun rencana yang cukup jenius buat balas dendam, tapi sayangnya Ola tidak pernah pulang ke kostan, hingga akhirnya kekesalan yang gua pendam hilang begitu saja.
Malam ini gua lagi genjrang-genjreng main gitar di balai bambu depan kostan. Mulut gua terus berkomat-kamit bernyanyi lagu-lagu musik beraliran Punk dan Reggae dari band-band lokal maupun luar negri. Selama ini cuma dua aliran musik itu yang pas menemani gaya hidup gua yang pada dasarnya adalah pemberontak. Setengah jam kemudian mobil sedan berwarna silver milik Ola melintas di depan balai bambu dan langsung masuk ke halaman kostan. Gua menghentikan permainan gitar. Perasaan kesal yang hilang mulai timbul kembali kala melihat gadis cantik berwajah oriental itu turun dari mobilnya.
Suasana remang-remang di balai bambu ini menyembunyikan diri gua dalam kegelapan, dan gua memang lagi malas untuk ngobrol atau sekedar berbasa-basi dengan gadis itu. Suasana hati gua lagi gak mendukung banget, hari ini gua habis kalah judi, sebanyak tiga ratus ribu di rumah judi di daerah Jakarta Barat. Sekilas terlintas pikiran buruk di kepala buat ngempesin ban mobil gadis itu empat-empatnya! Tapi sebagai lelaki jantan gua masih punya hati nurani dan gak mungkin tega melakukan hal tersebut.
Ola langsung masuk ke kostan tanpa menoleh ke arah balai bambu. Gua agak lega juga karena gak harus berurusan dengan cewek cerewet itu. Lantas gua kembali melanjutkan nyanyian sumbang yang sempat terhenti.
Tidak lama kemudian Ola keluar lagi. Matanya mencari-cari sesuatu, permainan gitar langsung gua hentikan. Dalam hati gua berharap cewek cerewet itu tidak menemukan keberadaan gua di balai bambu ini. Tapi sialnya Ola mendapati gua yang sedang nongkrong di sini.
Gadis itu langsung melemparkan senyum sambil menghampiri gua.
Waduuh! Mau ngapain lagi tuh si cerewet pake kesini segala?
Gua langsung pura-pura cuek.
"Hei, di cariin di kamar ternyata nongkrong di sini," nada suaranya terdengar ramah. Seolah kejadian di kampus UI tidak pernah terjadi.
Gua tetap diam sambil memandang Ola penuh dengan rasa curiga bercampur kesal.
"Kok gak ngerespon?" Tanyanya lagi dengan nada suara semakin ramah.
Gua masih terdiam. Dari nada suaranya yang ramah menandakan akan ada sesuatu muslihat busuk yang sedang dia rencanakan di kepalanya. Gua harus waspada!
"Are you angry with me? I'm so sorry...kemarin gue memang keterlaluan.."
Gua hanya mendengus kesal.
"Why are you quiet? What’s going on?"
Mulai lagi deh, bahasa bule depoknya keluar..paling males gua kalo dia udah ngomong was-wes-wos kaya gitu.
"Padahal gue bawain makanan buat lo, loh.." Ola menjulurkan plastik hitam ke arah gua.
Gua mulai melongok menatap plastik hitam yang sejak tadi dia bawa.
"Apaan tuh?" tanya gua rada tertarik.
Ola tersenyum tipis sambil memandang gua.
"Tapi kayanya kalo lo lagi marah gak mau makan deh. Yaudah dari pada mubazir gue kasih temen lo aja, si Buluk," gadis itu langsung menarik plastik hitam dan beranjak pergi dari hadapan gua.
Dengan cepat gua bangkit dan merebut plastik hitam itu.
"Siapa yang marah? Lagian Buluk gak doyan sama yang beginian, bisa sakit perut dia. Perutnya kan rada-rada sombong,"
"Hi..hi..hi..," Ola tertawa kecil sambil menutupi mulutnya dengan tangan. "Dasar! Giliran ada makanan berubah pikiran lo," Ola langsung duduk di samping gue sambil mengamati wajah gua yang sedang membuka makanan.
Oh, ternyata pecel ayam! Kebetulan gua lagi bangkrut gegara kalah judi. Akhirnya gua lahap pecel ayam itu dengan rakus.
Keadaan sempat hening sesaat, yang terdengar hanya suara kunyahan mulut gua.
"Romi, gue minta maaf ya..." ujarnya tiba-tiba dengan wajah tampak menyesal.
Sesaat gua terbengong sambil menatap wajahnya. Gua sama sekali tidak menyangka kalau gadis itu bisa berkata maaf secara serius.
"Santai..." Gua mengangguk dan mulai mencaplok pecel ayam dengan lahap.
"Gimana enak kan?"
"Yoi..sering-sering aja begini ya.."
"Keseringan begini gue bisa bangkrut!"
"Ha..ha..ha..ha.."
"Rom, ngobrol sebentar yuk?"
"Gak bisa orangnya lagi makan!" jawab gua dengan jutek.
"Iiih..Segitunya amat lo sama gue!" gadis itu menggerutu.
"Ha..ha..ha.." gua tertawa. "Yaudah ngobrol aja," kata gua masih dingin.
Emang elu pikir sebungkus pecel ayam bisa menghilangkan kekesalan gue? Sory gua bukan cowok nasi bungkus yang semudah itu bisa di taklukan!
"Lo masih marah ya sama gue? Sorry banget deh gue jadi merasa gak enak banget," ekspresi gadis itu menunjukan rona menyesal.
Gua menatap Ola sesaat.
"Gak apa-apa kok, asal jangan keseringan aja,"
"Tapi gue jadi bener-bener merasa bersalah aja. Soalnya gue cerita ke temen-temen kampus, tentang lo dan mereka yang mengusulkan buat ngerjain lo. Tadinya gue gak mau, tapi karena dipaksa ya mau di gimanain lagi. Namanya juga nyenengin temen,"
Heeekk..sialan nih cewek-cewek UI. Ada dendam apa mereka, sampe punya rencana buat ngerjain gua? Buset..parasnya doang yang cantik tapi hatinya bengis.
"Jadi kalo temen-temen lo nyuruh bunuh gua, lo bakal lakuin itu?"
Kini Ola tertawa. "Ya enggak lah, bunuh orang kan dosa dan perbuatan kriminal. Entar gue bisa masuk penjara lagi."
"Iya, apalagi kalo bunuh orang sekeren gua, hukumannya bisa tambah berat tuh,"
"Yeeee...pede banget lo,"
Lalu kami berdua tertawa.
Selama beberapa saat kami terdiam.
Gua masih sibuk menghabiskan pecel ayam. Sedangkan Ola terlihat sibuk dengan ponselnya. Entah apalagi yang harus kami bicarakan. Seakan kami sudah kehabisan kata-kata dan gua benci akan kekakuan ini.
"Ngomong-ngomong, lu udah semester berapa sih?" tanya gua yang mulai dapat memecahkan keheningan ini.
"Gue sekarang baru semester tiga. Ngambil S1 Farmasi,"
"Oh, berarti umur lu masih di atas gua ya.."
"Thats right! Jadi lo jangan songong-songong sama gue ya anak kecil..lo harus hormat sama kakak lo ini..," ujarnya sambil mengacak-ngacak rambut panjang gua.
Dan gua merasa geli dan malu di perlakukan seperti ini. Keluarga gua aja gak pernah giniin gua. Eh, dia ngacak-ngacak rambut, seperti menganggap gua kaya anak kecil.
"Emang umur lo berapa sih? Belagu amat mentang-mentang sedikit lebih tua dari gua," Tanya gua kesal.
"Udah dua puluh tahun. Kalo elo paling baru delapan belas tahun, makanya lo harus hormat sama kakak lo yang cantik ini,"
Gua menundukan wajah dengan kesal bercampur malu. Tebakan dia benar kalau umur gua masih delapan belas tahun. Tapi tahun ini juga sudah sembilan belas.
"Lo asli mana emangnya?" tanya gua lagi mencoba merubah topik pembicaraan masalah umur sialan ini.
"Keluarga gue dari Medan. Cuma gue udah dari lahir di Jakarta,"
"Oh...."
"Kok cuma 'Oh'? Gak ada komentar lain yang lebih berbobot apa?" Gaya tengilnya mulai keluar lagi.
Entah kenapa di depannya gua jadi merasa seperti anak kecil.
"Masa orang Medan matanya sipit-sipit kaya lo? Temen gua yang namanya Doni orang Medan matanya malah beler.." lanjut gua agak mengejeknya.
Karena wajahnya Ola memang Tionghoa sekali. Dari kulit putihnya hingga mata yang sipit sangat mencerminkan kalau Ola adalah orang keturunan. Dan ketika itu gua memang belum tahu kalau di medan banyak orang keturunan tionghoanya.
"Sialan lo, ngatain gue sipit! Gue emang keturunan Tionghoa kali. Bokap orang Manado dan nyokap keturunan Tionghoa Medan,"
"Oh...."
"Tuh, 'Oh' lagi..capek deh ngomong sama anak kecil,"
"HA..HA..HA..HA..."
Kami berdua tertawa.
Beberapa menit kemudian kami kembali lagi terdiam. Kami hanya memandangi langit gelap tanpa bintang. Angin semeriwing menembus ke dalam baju hingga dinginnya menusuk kulit.
"Hm..lo gak mau nanya-nanya gua apa?" Tanya gua ngarep.
Ola menatap wajah gua dengan sedikit terkejut. Lalu dia mulai tertawa ngakak.
"Kasian amat..ngarep di tanya ya? He..he..he.."
"Abisnya dari tadi diem aja sih.." protes gua.
"Yaudah...Kalo lo sendiri asli mana?"
"Gua asli Kalimantan. Tapi sama kaya lo, dari lahir di sini. Di Jakarta. Mangkanye logat betawinye kentel bener..he..he..he.." kata gua mulai berlogat anak Jakarta.
"Lah, kok anak Jakarta bisa nyasar ngekost di sini? Rumah lo di Jakarta kan?"
Gua terdiam sejenak lalu tersenyum lebar.
"Terserah gue dong..mau ngekost kek, mau ngontrak kek, kok jadi elu yang repot sih? Emak gua aja gak repot.." Canda gua dan hal itu sukses bikin Ola kesal.
"Ih! Nyolooot!! Tadi minta di tanya, sekarang malah minta di gampar ya!" Katanya sambil mencubiti bahu gua.
"Ha..ha..ha..ha.." tawa gua meledak, "Nah, lo sendiri kenapa bisa nyasar kesini? Kan rumah lu juga di Jakarta," Ini dia pertanyaan yang bikin gua penasaran. Kata-kata hinaan Lukman tentang Ola masih terus terngiang-ngiang.
"Rumah gue kan jauh di daerah kelapa gading, jakarta utara. Sedangkan kampus gue di Depok. Kalo kelas pagi, pasti gue harus dateng nyubuh biar bisa tepat waktu. Kaya lo gak tahu aja kondisi jalanan di Jakarta. Lagian gue ke kost kalau cuma ada kelas pagi aja sih. Biasanya gua juga sering pulang kok,"
"Oh gitu..masuk akal juga sih.." gua mengangguk-ngangguk paham.
Dan pertanyaan gua terjawab sudah. Bahwasanya Ola ini memang cewek baik-baik. Mulutnya Lukman aja yang bau busuk.
"Pertanyaan gue belum di jawab tuh," sindir Ola sembari melirik gua.
"Pertanyaan yang mana tuh?"
"Elo kenapa ngekost?"
Gua kembali terdiam. Berusaha mencari alasan yang tepat untuk Ola.
"Iseng..."
"Iseng?" Ujar Ola dengan wajah tak paham.
"Iye Iseng! Jadi gua lagi bereksperimen, mau coba iseng-iseng ngekost!"
"Ih! Dasar orang aneh! Lo masih waras kan?"
Gua lalu tertawa ngakak.
"Eh, ada satu hal lagi yang mau gue tanyain. Kok lo bisa tahu nama gue dan jadwal kuliah gue sih?" Tanya gua sangat pemasaran.
"Oh..kalo itu sih gue kan buka buku lo, yang di taruh sembarangan di samping lemari. Kebetulan di sana ada jadwal kuliah lo, jadi gue tahu deh, lo kuliah di mana dan ngambil jurusan apa, semuanya kan tertera di sana. Lagian buku tulis lo itu bukannya buku pas lo sekolah dulu ya? Kok masih di pake? Gak beli baru apa?"
"He..he..he..he..," gua tertawa malu-malu. "Iya. Soalnya masih banyak halaman kosongnya. Sayangkan kalo gak di pake,"
"Ketahuan, berarti di sekolah jarang banget nyatet!"
Gua hanya cengar-cengir bodoh saja.
"Terus di sana banyak coret-coretan nama 'Getok' dan Romi Jahat. Maksudnya apa tuh?" Tanyanya lagi.
Maklum kalau jaman sekolah kan, di buku tulis bagian belakang sering di tulisi-tulisi gambar atau nama-nama sekolahan, hal itu gua lakukan untuk mengisi waktu luang karena pelajarannya cukup membosankan.
"Kalo Getox itu nama panggung. Kalo Romi Jahat nama di jalanan,"
"Ih..berlagak anak band segala lo pake nama panggung! Nama udah bener-bener pake di ganti yang aneh-aneh. Emang kenapa di panggil Romi Jahat maksudnya apa tuh?"
"Ya gak tau..orang yang ngasih nama juga orang-orang yang gak jelas kok! Hehehehe.."
"Aneh..di panggil dengan julukan gak jelas mau aja.." kata Ola sambil geleng-geleng kepala.
Gua cuma cengar-cengir bodoh aja.
"Romi Jahat....hm...." ujarnya sembari berfikir.
"Kenapa nyebut-nyebut nama gua? Pasti mau menghina ya?"
"Ih! Curigaan banget lo sama gue...Gua cuma lagi mikir, gimana kalau gue panggil lo Mija aja!"
"Hah? Apaan tuh?" Gua langsung cengok.
"Iya kan Romi Jahat..disingkatnya Mi..Ja! Kalau Romi Jahat kan terlalu kriminal tuh, kalo Mija agak gimana gitu.."
"Gak mau ah! Entar malah dikira Jaja Miharja lagi! Panggil aja Romi...," jelas gua protes dong.
"Eh! Gak apa-apa lagi...keren tahu...Mijaaa..."
"Gak Mau!"
"Ha..ha..ha..ha.."
"Mija & Viola...hm..bagus juga tuh..." Wajah anak itu tampak riang sekali. "Lo harusnya berterima kasih karena gue mau susah-susah mikirin nama lo!"
"Idiih..minta juga kaga gua! Salah elu sendiri yang pake mikirin. Udah panggil gua yang sewajarnya aja!"
"Gak bisa! Pokoknya mulai sekarang gue manggil lo Mija! Ha..ha..ha..ha.."
Ternyata Viola ini asik juga di ajak ngobrol. Anaknya lucu dan riang, sungguh berbeda dengan kesan yang pertama kali gua temui. Omongan anak-anak kostan tentang Ola beberapa hari yang lalu sepertinya harus di koreksi. Mereka hanya belum mengenal gadis ini lebih dekat saja. Dan yang gua catat, mulai dari hari ini awal persahabatan Romi dan Viola di mulai...