TAMAT - Magnolia Secrets

Autorstwa fuyutsukihikari

396K 32.3K 2.4K

(The Land of Wind Series #2) VERSI EBOOK SUDAH TERSEDIA DI GOOGLE PLAY/BOOK. LINK E-BOOK ADA DI PROFILE SAYA... Więcej

Prolog
Pengenalan Tokoh
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Keluarga besar Kerajaan Angin
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Pengumuman

Bab 9

9.3K 1.1K 59
Autorstwa fuyutsukihikari

Author playlist : OST Bu bu jing xin

Source pics : Pinterest

Maaf untuk typo(s) yang nyempil di sana-sini.

***

Enjoy!

***

Siang ini Raja Xi mengumpulkan para pejabat tinggi, pejabat militer, para pangeran dan Putri Liqin di balairung istana. Laporan mengenai pergerakan Kelompok Bajak Laut Hitam di wilayah perairannya membuatnya meradang. Bagaimana tidak? Kelompok itu berani membajak kapal yang bermuatan upeti dari Kerajaan Air untuk Kerajaan Lang.

"Aku menginginkan kepala ketua kelompok mereka," kata Raja Xi kembali bicara setelah terdiam lama. Sang raja mencengkram tangan kursi takhtanya erat karena marah, "tapi kalian bahkan tidak bisa membawa kepala anggota terendah kelompok itu sekali pun padaku," desisnya penuh penekanan.

Kemarahan raja membuat suasana balairung semakin menegangkan. Para abdi yang berkumpul di sana bernapas sepelan mungkin, seolah takut suara napas mereka bisa memancing kemarahan raja yang sudah diujung tanduk.

"Apa yang kalian lakukan selama ini?" tanyanya lagi. Ucapannya hanya disambut oleh udara di sekelilingnya karena para abdinya memilih untuk bungkam, terlalu takut untuk bicara. "Mereka berani mengganggu wilayah perairanku tapi aku tidak pernah mendengar mereka berani memasuki wilayan perairan Kaisar Long Wei."

Ia menjeda, pandangannya menyapu seluruh abdinya yang berdiri dengan kepala semakin menunduk dalam. "Kenapa bisa seperti itu?!?" bentaknya keras. Raja Xi melempar sebuah dokumen yang tengah digenggam oleh tangan kirinya dan kembali bertanya dengan nada keras yang sama, "Kenapa mereka bisa takut pada Long Wei tapi tidak padaku?!?"

Hening.

"Apa yang anjing-anjing Long Wei bisa lakukan tapi tidak bisa kalian lakukan?!" makinya dengan napas memburu. Raja Xi sama sekali tidak bisa menerima karena kelompok bajak laut itu tidak memiliki keberanian untuk memasuki wilayah perairan milik Long Wei dan sebaliknya, kelompok itu seringkali berulah di wilayah perairan miliknya dan perairan milik sekutunya.

"Aku tidak mau tahu," desisnya dengan nada bicara yang lebih terkendali. Raja Xi membuang punggungnya pada punggung kursi takhtanya yang empuk. Sekali lagi ia menyapukan pandangannya kebagian depan ruangan balairung. "Aku ingin kelompok bajak laut sialan itu lenyap dari muka bumi."

Raja Xi kembali menjeda. "Lakukan sesuatu untuk itu atau aku tidak akan segan melenyapkan kalian semua," sambungnya mutlak.

Sementara itu di Istana Kekaisaran Api, berbeda dengan Zian yang terus berjalan mondar-mandir di ruang tunggu paviliun milik Chao Xing, ibu suri terlihat duduk dengan tenangnya. Wanita nomor satu di wilayah Kekaisaran Api itu sesekali melirik ke arah putranya sambil tersenyum penuh arti.

Seorang dayang tua yang berdiri di belakang ibu suri terlihat sama gelisahnya, sementara Niu yang berdiri di sisi kanan pintu masuk kamar peraduan milik Chao Xing hanya diam menunggu tanpa kata. Hatinya mendadak gelisah saat melihat kaisar dan ibu suri datang ke paviliun milik tuannya dengan membawa serta seorang tabib istana.

"Bagaimana keadaannya? Apa dia sakit parah? Katakan sesuatu! Kenapa kau diam saja?!" Zian memberondong sang tabib istana dengan pertanyaan.

Sang tabib yang baru saja keluar dari dalam kamar Chao Xing itu tidak langsung menjawab. Dengan sikap penuh hormat dia memberikan salam pada kaisar yang sangat dihormatinya. "Lapor, Yang Mulia, Selir Chao baik-baik saja," katanya tapi Zian tidak percaya. Pria nomor satu di wilayah Kekaisaran Api itu menaikkan satu alisnya, menatap tabib yang masih memberi hormat dengan kepala menunduk dalam.

Zian mengangkat tangan kanannya, menunjuk ke dalam kamar Chao Xing yang masih terbuka pintunya. "Lalu kenapa sikap Selir Chao tidak seperti biasanya?" tanyanya, menuntut. Zian menyipitkan mata, "Apa kau memeriksanya dengan teliti, Tabib Chang?"

Tabib Chang mengangguk samar dan menjawab hormat, "Selamat, Yang Mulia, Selir Chao tengah mengandung."

Zian memiringkan kepala ke satu sisi. Ekspresinya terlihat bingung. "Apa katamu?" Ia balik bertanya dengan nada datar.

"Selir Chao tengah mengandung," lapor sang tabib untuk kedua kalinya.

Keheningan meraja. Ibu suri, Niu, para dayang dan kasim tidak berani berkata-kata. Mereka menunggu reaksi kaisar yang sepertinya masih belum bisa mencerna laporan tabib istana.

Zian menoleh pada ibunya dan berkata, "Chao Xing mengandung." Ia mengerjapkan kedua matanya dan kembali berkata dengan nada tidak percaya, "Aku akan menjadi seorang ayah?"

Ibu suri pun tersenyum dan mengangguk. "Selamat, Yang Mulia, Anda akan menjadi seorang ayah!" ucapnya lembut. Ibu suri tertawa renyah saat kaisar menghambur padanya dan memeluknya erat.

"Aku akan menjadi ayah," beo Zian. Kegembiraan terlihat jelas pada ekspresinya saat ini. "Ibunda akan menjadi nenek. Chao Xing akan menjadi ibu," sambungnya dalam satu tarikan napas. "Kekaisaran ini akan mendapatkan seorang pangeran kecil atau putri kecil."

"Ya, Yang Mulia, kita akan menyambutnya dengan suka cita," kata ibu suri tanpa bisa menahan air mata bahagianya.

Zian mengangguk cepat, "Jadi karena itu sifatnya menjadi aneh belakangan ini?" gumamnya mulai mengerti.

"Selamat atas kehamilan Selir Chao, Yang Mulia!" seru ibu suri yang langsung diikuti oleh Niu, para dayang dan kasim yang berada di tempat itu.

Siang itu, sebagai ungkapan rasa syukurnya asat kehamilan Chao Xing, Zian pun memerintahkan para abdinya untuk membagikan kain, uang dan beras pada rakyat Kekaisaran Api

***

"Hei, sampai kapan kau akan memasang ekspresi seperti itu?"

Mei Xia tidak menjawab. Wanita muda itu memilih untuk melanjutkan pekerjaannya; mencuci sayuran yang baru selesai dipanen oleh Ju Fang dan Renshu. Mei Xia menarik napas dalam, sesekali ia melap keringat di ujung hidungnya dengan lengan bajunya.

Ying berdecak. Ia bahkan memutar kedua bola matanya karena Mei Xia mengabaikannya. "Kau sudah tahu, kan alasan Kak Renshu meminta maaf pada mereka agar kau tidak menarik perhatian lebih jauh."

Mei Xia masih tidak menjawab. Kekesalannya masih mengganjal di dadanya. Sebenarnya bukan hanya karena Renshu meminta maaf pada ketiga wanita muda itu ia menjadi marah, alas an lain Mei Xia marah karena ketiga wanita itu berani menggoda Renshu di depan kedua matanya.

Saat itu ingin sekali Mei Xia menjambak rambut ketiganya untuk membuat mereka kapok.

"Asal kau tahu ekspresimu saat ini membuat wajahmu semakin jelek—"

Ying tersentak saat Mei Xia membanting sayuran di tangannya ke dalam baskom dengan keras hingga air memancar ke atas. "Kau mengagetkanku!" katanya dengan nada satu oktaf lebih rendah. Setelah tinggal beberapa lama, Ying akhirnya bisa mengenal sifat Mei Xia. Wanita itu memiliki sifat yang hampir sama seperti Chao Xing saat marah, karena itu Ying selalu tahu kapan waktunya untuk mundur.

Ia berjongkok di samping Mei Xia. "Maksudku kau cantik," ia berdeham, "tapi terlihat jelek saat marah," ralatnya sambil membersihkan sayuran. "Kak Renshu tidak akan melirikmu jika ekspresimu seperti ini," sambungnya cepat. Ucapannya kali ini kembali berhasil menarik perhatian Mei Xia.

"Dengar!" Ying mengatakannya dengan ekspresi serius. "Kak Renshu tidak menyukai wanita yang suka merajuk."

Mei Xia tidak menjawab. Namun ia memasang kedua telinganya dengan baik. Hal sekecil apa pun mengenai Renshu selalu menarik perhatiannya.

"Dia suka wanita mandiri—"

"Sekarang aku juga belajar hidup mandiri," potong Mei Xia cepat, "aku juga tidak suka merajuk, aku juga tidak manja," ia terdiam sejenak sebelum mengangkat kedua bahunya ringan, "walau terkadang aku masih sangat menyebalkan."

"Itu dia," pekik Ying semangat. Ia menunjuk Mei Xia, "Sikap menyebalkanmu itu. Kau harus bisa berubah," katanya dalam satu tarikan napas. "Kau harus bersikap lebih lembut," sambungnya dengan gaya berlebihan. Ying menengok ke belakang lalu menunjuk dengan dagunya pada Ju Fang yang berjalan dari arah kebun menuju teras belakang rumah.

Hening.

"Kau harus bersikap seramah Bibi Ju dan selembut ibunda," terangnya. Tatapannya kembali teralih pada Mei Xia yang balas menatapnya dengan satu alis diangkat tinggi. Ying mengubah posisinya. Ia mencondongkan tubuhnya dan berbisik, "Kau harus bisa membuat Kak Renshu jatuh cinta padamu."

Mei Xia tidak menjawab.

"Aku tidak mau menikah denganmu," sambung Ying dengan nada dan ekspresi serius yang sama. "Kau cantik," katanya cepat saat melihat kilatan emosi pada kedua mata Mei Xia, "tapi kau bukan tipeku. Apa kau mengerti?"

"Aku juga tidak mau menikah denganmu," balas Mei Xia ketus. "Kau juga bukan tipeku," sambungnya dengan dengkusan keras. "Bagaimanapun caranya aku pasti bisa memutuskan pertunangan kita." Mei Xia mengibaskan tangannya yang basah di depan wajahnya. "Menikah denganmu tidak ada dalam rencana hidupku."

"Aku setuju," sahut Ying sambil menjentikkan jarinya di udara. "Kau harus pegang janjimu," ujarnya sungguh-sungguh. "Ibunda akan sedih jika aku memutuskan pertunangan kita tanpa alasan yang jelas, tapi beliau pasti akan mengerti jika alasan putusnya pertunangan kita karena kau dan Kak Renshu saling mencintai."

Mei Xia mengangguk setuju.

Ying menepuk bahu Mei Xia pelan sambil berdiri. "Tenang saja, aku akan membantu usahamu," janjinya. "Sekarang pasang senyum terbaikmu," katanya. "Kau membuat bulu kudukku berdiri dengan wajah masammu," sambungnya sebelum berdiri.

Ia menepuk-nepuk bagian belakang pakaiannya dan kembali bicara, "Ingat kau harus memegang janjimu." Mei Xia mengangguk semangat. "Seorang wanita sejati selalu memegang teguh prinsip dan janjinya," sambungnya serius, sebelum berbalik pergi dengan gayanya yang santai.

***

Qiang mempercepat laju kuda cokelat tunggangannya saat melewati sebuah jalan sempit yang diapit hutan lebat di kanan-kirinya. Sekilas ia menatap langit di kejauhan yang sudah dihiasi oleh semburat jingga. Qiang harus segera keluar dari jalanan ini sebelum hari semakin gelap.

Suasana sepi membuatnya selalu waspada. Beberapa titik di wilayah pinggiran Kota Lang memang terkenal rawan. Banyak perampok dan pencuri bersembunyi dibalik rimbunnya hutan. Sebelumnya seorang pelayan wanita menyampaikan pesan jika Nyonya Fang yang sedang berkunjung ke kediaman kerabatnya meminta Qiang untuk mengawalnya pulang ke rumah.

Qiang tidak banyak berpikir. Ia juga tidak bertanya saat pelayan wanita itu mengatakan padanya untuk pergi seorang diri. Qiang sudah sampai di pertengahan jalan saat serangan itu datang dari arah samping kiri dan kanannya.

Dengan cepat ia meloncat dari atas kudanya saat sebuah anak panah meluncur dengan sangat cepat ke arahnya. Serangan masih belum selesai. Enam orang pria berpakaian hitam keluar dari tempat persembunyiaannya dengan pedang teracung tinggi.

Qiang menarik pedangnya yang tersarung. Ia baru saja akan melayangkan satu serangan pada salah satu penyerangnya saat anak panah kedua kembali datang. Qiang melompat dan menghindar, anak panah menancap pada tanah tepat beberapa centimeter di sisi kanannya.

Sebuah teriakan mengoyak keheningan. Salah satu penyerangnya mulai bergerak, sementara kelima sisanya berjalan mengelilingi Qiang. Penyerangnya menganyunkan dan menebaskan pedangnya ke arah Qiang secara membabi-buta.

Tebasan pedang itu hanya mampu menebas tanah yang diinjak oleh Qiang. Dengan mudah ia bisa menghindari serangan itu. Qiang bisa saja melumpuhkan penyerang pertamanya dengan mudah andai serangan dari arah belakang tidak datang secara tiba-tiba. Beruntung ia bisa menghindar tepat waktu hingga tebasan pedang itu hanya menggores lengan kanan atasnya saja.

Qiang memasang kuda-kuda. Kedua mata tajamnya menatap siaga. Sebuah anak panah kembali menerjang cepat. Dengan lihai ia menangkis, anak panah pun tersapu jatuh di atas tanah yang lembap. Anak panah lainnya datang, dengan gesit Qiang menangkap seorang penyerangnya dan menjadikan tameng hingga anak panah itu menancap tepat di dada salah satu penyerangnya.

Raungan kemarahan musuhnya menggema. Tanpa ekspresi Qiang melepas genggamannya pada pakaian penyerangnya yang telah mati. Ia mendengkus pelan saat kelima penyerangnya menyerang secara bersamaan.

Dengan keahlian bela diri dan ilmu pedangnya Qiang yakin bisa menghabisi kelima penyerangnya yang tersisa, tapi ia juga memperhitungkan musuh lain yang bersembunyi di dalam hutan. Qiang memperhitungkannya dengan teliti. Ia pun memperhitungkan sisa tenaga yang dimilikinya.

Serangan kembali diterimanya dan ditangkisnya dengan gesit. Qiang meloncat sambil menebaskan pedangnya dan berhasil menebas leher salah satu penyerangnya hingga putus. Sang pangeran ketiga sama sekali tidak berkedip saat darah penyerangnya mengotori wajah dan bagian depan bajunya.

"Yulan?!" teriak seseorang dari kejauhan. Qiang bisa mendengar suara derap kuda mendekat. Ia terlalu fokus untuk melumpuhkan penyerangnya hingga tidak menyadari ada sepuluh penunggang kuda mendekat ke arahnya.

Serangan anak panah kembali datang.

Satu.

Dua.

Tiga.

Empat.

Lima.

Namun kali ini serangan itu bukan terarah pada Qiang, tapi pada lima orang penyerangnya yang tersisa. Tiga orang penyerangnya mati seketika sementara dua orang sisanya berhasil menghindar. Pria kelima begitu terkejut karena Qiang mendapatkan bala bantuan. Dengan sisa keberaniannya ia kembali menebaskan pedangnya pada Qiang tapi gagal.

Qiang mundur beberapa langkah untuk menghindar dari tebasan pedang musuhnya kemudian dia melangkah ke samping kanan untuk menghindari tebasan pedang pria keenam. Dengan ayunan balik dia berhasil menebas dada pria kelima.

Satu musuhnya kembali tumbang.

Qiang masih siaga walau napasnya sudah memburu. Ia bermanuver untuk menghindari serangan anak panah yang terarah padanya. Kesempatan itu pun digunakan oleh musuhnya yang tersisa untuk melarikan diri, tapi sebelum langkah yang ketiga pria itu pun tersungkur di atas tanah dengan anak panah yang menancap tepat pada punggung hingga menembus dada kirinya.

"Yulan apa kau baik-baik saja?"

Qiang tidak menjawab pertanyaan Jenderal Fang. Ia melirik ke arah Xi lalu merebut busur serta anak panah darinya. Qiang terdiam sejenak, memusatkan pikiran.

Jenderal Fang dan Xi sedikit terkejut saat Qiang melepaskan anak panahnya ke arah hutan dan keduanya lebih terkejut lagi saat mendengar jerit kesakitan dari dalam hutan.

Qiang pun berlari ke dalam hutan untuk memastikan sesuatu. Ia menghela napas saat melihat musuhnya tergeletak di atas tanah, mati.

"Kau berhasil mengenainya?" Xi mengatakannya dengan nada tidak percaya, tapi Qiang tidak mengatakan apa pun. "Bagaimana bisa?" tanya Xi lagi dari belakang Qiang. "Anak panahmu tepat mengenai dadanya."

Xi terus bicara walau Qiang mengabaikannya. Menurut Qiang apa yang dilakukannya bukan sesuatu yang besar karena kemampuan memanah adik keenamnya jauh di atasnya. Andai saja yang melepas anak panah itu Yong, Qiang yakin musuhnya itu akan mati dengan anak panah yang menembus tengkorak kepalanya.

"Yulan, apa kau baik-baik saja?"

Qiang memberi hormat pada Jenderal Fang yang berdiri menunggunya dengan ekspresi cemas. "Hamba baik-baik saja, Jenderal."

"Jenderal Fang, Yulan... anak panah Yulan menancap di dada, di dada musuh yang bersembunyi," kata Xi penuh kekaguman. "Musuhnya mati di sana oleh panah Yulan," sambungnya sembari menunjuk ke arah hutan.

Jenderal Fang hanya mengangguk pelan lalu menepuk bahu Qiang. "Aku benar-benar cemas saat pulang dan mendapat laporan dari Chunhua jika kau pergi untuk menjemput istriku."

Ia menjeda.

"Aku yakin ada sesuatu yang tidak beres," sambungnya serius. "Apa kau memiliki musuh?"

Qiang menggelengkan kepala samar. Dia menyipitkan mata, menatap keenam mayat yang tergeletak di atas tanah lembap. Orang-orang itu tidak seperti prajurit dari Kerajaan Air atau terlihat se[erti prajurit milik bangsawan Liang hingga Qiang yakin jika ada seseorang yang mengutus mereka untuk membunuhnya.

"Mulai sekarang jangan pergi kemana pun jika bukan aku secara pribadi yang memerintahmu. Mengerti?"

Qiang mengangguk paham.

"Apa kau terluka?"

Qiang tidak langsung menjawab. Ia menoleh pada lengan atasnya yang terkena sabetan pedang tadi. "Luka kecil, Jenderal."

"Tetap saja sebuah luka," sahut Jenderal Fang. "Xi, bereskan mayat-mayat itu, Yulan kita pulang!" putusnya kemudian.

***

Pagi datang dengan cepat mengganti malam. Seperti hari-hari sebelumnya, Lei bangun sebelum matahari mengintip di ufuk timur. Ia merenggangkan tubuh dan berjalan pelan menuruni satu per satu anak tangga batu menuju bibir gua.

Bibir gua itu menyambung ke sebuah pantai rahasia. Ada sebuah dermaga besar tempat kapal-kapal milik Ketua Bo Fang merapat di sana. Ratusan anak buahnya terlihat sibuk bekerja. Sebagian diantara mereka memasukkan persenjataan ke atas kapal sementara sisanya memasukkan bahan makanan untuk mereka bertahan selama berada di atas kapal.

Lei terlalu larut dalam lamunannya hingga tidak menyadari jika Yun Ru mengikutinya sejak tadi. Pria itu menatap punggung Lei tanpa ekspresi sementara tangannya menggenggam sebuah kalung giok yang bertuliskan nama 'Lei' di atasnya.

Sejak menemukan Lei, Yun Ru terus menyimpan dan membawa kalung itu bersamanya. Dia tahu kalung itu bukan kalung biasa. Dari tulisan dan ukirannya Yun Ru bisa menebak jika Lei berasal dari golongan kaum bangsawan. Namun dia menyimpan rahasia itu bersamanya. Tidak akan ada yang tahu selain dirinya. Tidak akan ada.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Pertanyaan Yun Ru membuat Lei menoleh ke belakang.

"Mencari udara segar?"

Lei tidak menjawab.

Yun Ru menggelengkan kepala. Ia menghela napas keras lalu berdiri tepat di samping kiri Lei. "Kau harus memiliki kemampuan bela diri dan ilmu pedang sebelum bisa bergabung dengan mereka," katanya tanpa melirik ke arah Lei.

Keheningan pun mengambil alih untuk beberapa saat hingga pertanyaan Lei merobek keheningan yang menggantung di antara mereka, "Kak, apa kau yakin kita tidak memiliki saudara perempuan?"

"Tidak," jawab Yun Ru begitu singkat dan tegas. "Kenapa kau selalu menanyakan hal itu?"

Lei tidak langsung menjawab. "Mau mengajariku?" tanyanya kemudian, mengubah pokok pembicaraan. "Bela diri dan ilmu pedang," sambungnya. Dengan gesit dia mengeluarkan pedang yang tersarung di pinggang Yun Ru. "Apa aku salah memilih?"

Yun Ru medengkus lalu terbahak keras. Dengan percaya diri ia menjawab, "Kau memilih orang yang tepat untuk dijadikan guru," katanya.

***

Berita mengenai kehamilan Chao Xing disambut gegap gempita oleh sebagian besar keluarga istana dan pejabat sementara sisanya memilih untuk menyembunyikan ketidaksukaan mereka dibalik senyum palsu.

Sedangkan Yao Wei dan Er Wei, keduanya saling menatap tanpa ekspresi saat berita itu mereka terima.

"Anak kecil itu hamil?" cicit Er Wei masih tanpa ekspresi. Keduanya tengah bersantai di taman teratai saat seorang kasim memberi tahu kabar gembira itu siang ini. Er Wei mengaduh kesakitan saat Yao Wei menampar bagian belakang kepalanya keras. "Kenapa?"

"Chao Xing kakak iparmu," kata Yao Wei mengingatkan. Ia menggelengkan kepala pelan saat adiknya medengkus. "Dan dia seorang selir. Jadi jaga bicaramu!" tegasnya.

Namun Er Wei tetaplah Er Wei. Dia hanya mengendikkan bahu ringan lalu melambaikan tangan mengusir kasim itu untuk pergi. "Jadi karena alasan itu kaisar membagikan beras, dan pakaian untuk rakyat," gumamnya sembari menganggukkan kepala samar.

Ia terdiam sesaat dan menoleh ke arah Yao Wei, "Apa kita harus memberinya ucapan selamat?"

"Tentu saja," sahut Yao Wei. Ia berdiri, mengibaskan ekor jubahnya pelan. "Ayo kita pergi,"

"Ke mana?"

Yao Wei memutar kedua bola matanya, jengah. Sekali lagi ia menampar bagian belakang kepala adiknya, kali ini lebih keras. "Memberi selamat pada Selir Chao. Apa lagi?"

Jujur saja, Er Wei sangat malas untuk datang ke kediaman Chao Xing, saat ini. Bukannya dia tidak gembira atas berita kehamilan selir, tapi dia takut. Terlebih saat mendengar kabar jika sejak hamil sang selir sering meminta sesuatu yang membuat sulit orang-orang di sekitarnya.

Kedatangan keduanya diumumkan oleh seorang prajurit penjaga. Siang ini kediaman Chao Xing terlihat sepi seperti biasanya. Er Wei tidak bisa menutupi keheranannya saat melihatnya. "Apa tidak ada pejabat atau keluarga istana lain yang memberinya selamat?" bisiknya pada Yao Wei.

Yao Wei mengangkat bahunya dan menjawab, "Entahlah."

"Niu?!" panggil Er Wei saat melihat wanita itu berjalan menuju kamar Chao Xing.

Niu menghentikan langkahnya dan memberi salam hormat.

"Kenapa sepi sekali?" tanya Yao Wei. Ia menoleh ke belakang sebelum mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Kediaman Chao Xing terlihat sama seperti biasanya, tidak ada satu pun hadiah di sana. "Apa tidak ada pejabat atau keluarga istana lain yang memberi selamat?"

"Ibu suri datang pagi tadi," terangnya singkat.

"Yang lain?"

Niu menggelengkan kepala.

"Sudahlah," sambar Er Wei. "Kenapa kita harus memikirkan mereka?" katanya, berusaha mencairkan suasana. "Mana Selir Chao?"

"Selir ada di dalam kamarnya," jawab Niu. "Tabib masih belum mengizinkannya untuk turun dari ranjang."

Yao Wei mengangguk paham. Matanya kini terarah pada pintu kamar selir yang tertutup rapat. "Apa kami boleh menemuinya?"

"Tentu," jawab Niu. "Selir pasti akan sangat senang dengan kedatangan Anda berdua, Pangeran," sambungnya sembari mempersilahkan kedua pangeran untuk masuk ke dalam kamar selir.

***

"Siapa yang datang?"

Niu meletakkan baki yang dibawanya di atas meja. Ia memberi salam pada Chao Xing dan menjawab penuh hormat, "Pangeran Yao Wei dan Pangeran Er Wei datang berkunjung, Selir Chao."

Chao Xing tersenyum, namun masih tidak bergerak dari tempatnya berbaring saat ini. Sebuah panel bambu menjadi penyekat antara ranjang tempatnya berbaring dengan ruangan tempat Yao Wei dan Er Wei duduk saat ini.

"Kami datang untuk mengucapkan selamat," kata Yao Wei.

"Terima kasih," sahut Chao Xing penuh haru. "Aku tidak mengira kalian akan mengunjungiku dan memberiku selamat."

"Kenapa kau bicara seperti itu?" ujar Er Wei terdengar ketus. "Sejak kapan kau memikirkan perilaku anggota keluarga dan pejabat Kekaisaran Api?" sambungnya masih dengan nada yang sama. "Jadi, apa kau baik-baik saja?"

Chao Xing tidak menjawab.

"Maksudku, ada bayi dalam perutmu apa itu tidak membuatmu kesakitan?" Er Wei kembali bertanya dengan ekspresi lebih serius. Pertanyaannya terdengar begitu konyol hingga Yao Wei harus menahan diri untuk tidak tertawa keras.

"Aku baik-baik saja, walau terkadang calon bayiku ini meminta sesuatu yang menyusahkan orang-orang di sekitarku." Chao Xing mendesah keras setelahnya. Ia membelai perutnya yang masih terlihat rata. "Bahkan saat ini bayiku menginginkan bunga magnolia," ujarnya terdengar sedih.

Yao Wei dan Er Wei saling berpandangan.

"Aku akan membawakannya untukmu," kata Yao Wei penuh semangat. "Katakan saja apa yang kau inginkan?"

"Benarkah?"

"Ya," jawab Yao Wei masih terdengar begitu semangat. "Hanya bunga magnolia saja," gumamnya sambil menpuk pahanya pelan. "Apa kau tidak menginginkan hal lain?"

Chao Xing menggelengkan kepala. "Tidak. Aku hanya ingin bunga magnolia yang tumbuh di perkarangan rumah Pejabat Zhou."

Yao Wei menganggukkan kepala paham. "Baiklah aku akan membawa— apa?" pekiknya saat tersadar. Ia mengedipkan mata lalu menoleh pada Er Wei yang berbisik, "Kau sudah berjanji membawakannya untuk selir."

"Ta-tapi..." Yao Wei tidak bisa melanjutkan ucapannya. Lidahnya mendadak kelu. Ia menelan dengan susah payah. Yao Wei mencondongkan tubuhnya dan bertanya, "Apa harus magnolia dari perkarangan rumah Pejabat Zhou?"

"Ya," jawab Chao Xing singkat."

Yao Wei menelan kering. Sudah menjadi rahasia umum jika putri ketiga Pejabat Zhou tergila-gila padanya dan hingga detik ini Yao terus berusaha menghindari untuk bertemu dengannya. "Bagaimana jika magnolia dari kebun istana?" tawarnya penuh harap.

"Aku tidak mau."

Oh, bolehkah Yao Wei berharap bumi menelannya saat ini juga? Dari semua bunga magnolia yang tumbuh di wilayah Kekaisaran Api, kenapa Chao Xing harus memilih bunga magnolia yang tumbuh di kediaman Pejabat Zhou?

"Aku mendengar kabar jika Pejabat Zhou memiliki kebun magnolia paling menawan di wilayah ini, karena itu aku menginginkan bunganya," terang Chao Xing penuh harap. Ia menjeda. "Ini bukan keinginanku, tapi keinginan calon keponakan kalian."

Dengan gerakan cepat Yao Wei pun berdiri. Semangatnya kembali berkobar, "Baiklah aku akan membawakannya untukmu," serunya. Aku akan membawakannya walau harus berhadapan dengan putri ketiga bangsawan Zhou yang genit dan menjengkelkan, batinnya sambil berbalik pergi meninggalkan Er Wei yang menahan tawa di belakangnya.

***

TBC



Czytaj Dalej

To Też Polubisz

54.1K 8.9K 34
[Fantasy & (Minor)Romance] Ruby tidak pernah tahu bahwa kolong tempat tidurnya mempunyai ruangan rahasia. Keinginan konyolnya waktu belia, rupanya di...
1.2M 166K 26
[Fantasy & (Minor)Romance] Seluruh umat manusia tahu kenyataan bahwa volume air di bumi semakin naik dan menenggelamkan satu persatu pulau di dataran...
863K 72.7K 34
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 𝟏) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ♥︎ ___...
1.6M 130K 101
Thalia Navgra seorang dokter spesialis kandungan dari abad 21. Wanita pintar, tangguh, pandai dalam memasak dan bela diri. Thalia mengalami kecelakaa...