MIMPI [Sudah Terbit]

By beliawritingmarathon

1.3M 113K 11.3K

[Sudah Terbit] ... Kehidupan Icha sekilas mungkin seperti gadis SMA biasa. Bagaimana jika hidup Icha sebenarn... More

1. Kalung Keramat
2. Not Red Riding Hood
3. Permintaan Pertama
4. Mimpi Icha
PERKENALAN
5. Serigala Licik
6. Dreamcatcher
7. Pangeran Tampan
8. Kakak Kelas
9. Bad Mood
#Profil Icha
10. Liontin
#Profil Ardo
11. Tentang Sebuah Kisah
12. Misi Pencurian
13. Permintaan Ketiga
14. Siapa Ardo?
15. Tantangan
16. Gosip
17. Hidden
18. Kencan?
19. Merida Abad 21
20. One Step
Side Story #1
21. Lost Dream
22. Sweet and Bitter
23. Pintu Rahasia
24. Like A Nightmare
25. Mimpi Itu Tidak Nyata
26. Permintaan Keempat
27. Rumit
28. Pengakuan
29. Kebohongan Yang Lain
30. Sahabat Lama
31. Penyesalan Sang Serigala
32. Forgive Me
33. Perjuangan
34. Permintaan Kelima
UCAPAN TERIMA KASIH
GIVEAWAY MIMPI
PEMENANG TESTIMONI MIMPI!!!
INFO PO NOVEL MIMPI

35. Once Upon Time (END)

40.4K 2.7K 383
By beliawritingmarathon


Tidak semua kisah akan berakhir bahagia selama-lamanya. Di saat cerita itu berakhir, bukan berarti kisahnya akan berhenti begitu saja. Bisa jadi kisah-kisah yang lain baru saja dimulai.

Kisah Cinderella, mungkin kehidupannya bersama sang Pangeran tak selamanya bahagia. Ia akan mengalami masa-masa sulit disaat mendampingi Pangeran. Atau bisa jadi ibu dan kedua kakak tirinya kembali mengusik kehidupan Cinderella lagi? Who knows?

Red Riding Hood. Mungkin ia tidak jadi dimakan sang serigala. Bisa juga ia menjadikan sang serigala itu hewan peliharaan atau justru malah membunuhnya? Yang jelas sang serigala tidak berubah menjadi seorang Pangeran tampan.

Merida. Memang benar sang Ratu sudah tidak mengekangnya dengan berbagai peraturan rumit sebagai seorang Putri, tapi tetap saja dialah yang kelak akan menggantikan ibunya memimpin kerajaan. Mau tidak mau, ia tetap akan belajar bersikap menjadi seorang yang akan memimpin rakyatnya.

Begitupun dengan kisah Ishana Areta Ariawan. Kisahnya memang tidak seindah cerita-cerita dongeng, tetapi kisahnya akan lebih berharga dibanding hanya cerita lainnya. Karena, pada akhirnya, ia bisa meraih impiannya kembali.

Siang ini, di dalam kelas yang sepi karena penghuninya sudah menyerbu kantin. Icha duduk termenung menatap tetesan air hujan yang mengalir di balik kaca jendela kelasnya. Beberapa hari ini cuaca sangat tidak menentu. Terkadang mendung tapi tidak hujan. Terkadang paginya panas, tetapi siang hujan deras. Musim saja bisa galau, bagaimana dengan Icha?

But every time you hurt me, the less that I cry

And every time you leave me, the quicker these tears dry

Lagu Too Good at Goodbyes milik Sam Smith menjadi favorit Icha akhir-akhir ini. Bahkan ia sampai memutarnya berkali-kali tanpa merasa bosan. Dan entah kenapa, lagu itu paling cocok didengarkan saat hujan, suasana sepi, dan hati Icha mendadak terasa kosong.

Karena terlalu suka, Icha bahkan meminta Nadi untuk memainkan lagu itu dengan biola kesayangan Nadi dua hari yang lalu. Sekarang Nadi sedang sibuk dengan kegiatan barunya, belajar bermain biola. Icha suka dengan semangat baru Nadi. Seolah Icha melihat semangatnya sendiri dengan kegiatan barunya. Yaitu menulis.

Tangan Icha meraba liontin berbentuk bunga sakura yang saat ini ia pakai. Sekarang, liontin itu tidak hanya menyimpan kenangan nama satu orang saja, melainkan dua nama sekaligus. Seseorang yang menjadi sahabatnya dan seseorang yang masih menguasai hatinya.

Sudah 2 bulan tanpa terasa sejak Icha meminta Ardo pergi. Dan ternyata Ardo benar-benar pergi dari hidupnya. Icha hanya sesekali melihat punggung dan tawa Ardo dari kejauhan. Berpura-pura tidak melihat saat berpapasan dengannya dan berpura-pura bahwa hati Icha baik-baik saja tanpa Ardo.

"Tuh, kan, ngelamun lagi. Lo nggak laper? Ke kantin, yuk!" Meta bergelayut manja dilengan Icha seperti anak koala.

Icha menggeleng pelan. "Nggak, ah. Males. Lagian di kantin kalau hujan-hujan gini ramai banget. Paling kita nggak kebagian kursi."

"Ah, ya, lo bener juga. Tapi gue laper, Cha." Wajah Meta terlihat melas penuh penderitaan.

Icha tersenyum jahil karena sebenarnya dari tadi ia sudah menyiapkan jajanan yang dibawakan oleh Mama Ratih untuk Meta. Icha mengeluarkan sekotak makanan dari dalam lacinya. "Nih, tadi Mama bawain gue risoles, bakpao, lumpia, sama onde-onde. Bawanya banyakan biar bisa makan sama lo, Met."

"Ih, nyokap lo baik banget, sih, Cha. Tahu aja kalau hujan-hujan gini bawaannya laper mulu."

Meta langsung melahap satu risoles tanpa ragu.

"Enak banget ya, Met? Padahal tadi gue udah masukin kecoa cincang, lho, di risolesnya." Mendengar kata-kata Icha, Meta langsung tersedak makanan. Meta terbatuk-batuk hingga wajahnya memerah. Icha menahan tawanya dan segera memberikan air minum pada Meta.

"Sialan lo, Cha! Lo mau gue mati keselek? Jahat banget lo sumpah." Meta masih saja terbatuk-batuk sedangkan Icha sudah tertawa terhabak-bahak.

"Gitu juga lo percaya sama gue." Icha memukul punggung Meta dengan keras.

"Gila! Nih, anak pakai tenaga cap badak." Meta meringis kesakitan dan Icha kembali tertawa keras melihat Meta menderita.

"Btw, Cha. Gue denger dari Umar, Kak Ardo sekarang banyak fansnya, lho. Adik-adik kelas 10, tuh, yang sering keganjenan. Mungkin gara-gara Kak Ardo udah mulai eksis kali ya?"

Icha hanya tersenyum tipis mendengar kata-kata Meta. Rasanya ada pahit-pahitnya gitu.

--**--

"Icha!"

Icha segera menoleh saat namanya dipanggil. Erlang berjalan dengan satu tangan menenteng buku paket Fisika. Tidak heran jika Erlang semakin terlihat rajin belajar karena UNBK akan segera dilaksanakan kurang dari 2 minggu lagi.

"Gimana naskah lo? Udah selesai urusan sama editornya?" tanya Erlang begitu cowok itu sudah di depan Icha.

"Dikit lagi, Kak. Masih ada beberapa bagian yang mesti ditambal. Karya gue masih banyak bopengnya. Maklumlah, ini cerita pertama gue yang bakal terbit. Gue deg-degan sumpah." Ada rasa bangga yang tersemat dihati Icha saat mimpi keduanya berhasil ia raih. Tinggal sedikit lagi akan ia dapatkan. Dan Icha telah membuktikan ke Oma Ambar jika dirinya bisa meraih kesuksesan dengan menulis.

"Syukurlah. Ini juga berkat si kunyuk itu. Kalau dia nggak punya salinan naskah lo, mungkin lo nggak bisa lanjutin impian lo. Gue nggak nyangka dia berguna juga."

Icha mendadak diam. Tidak hanya Meta yang selalu menyinggung soal Ardo, tetapi Erlang juga. Erlang yang menyadari sikap Icha segera mengalihkan topik pembicaraan.

"Gue tunggu novel lo terbit, Cha. Nanti gue minta tanda tangan dan kata-kata mutiara di buku lo. Oke?"

"Siap, Kak. Makasih ya." Saat Icha akan berbalik tanpa sengaja dirinya menabrak seseorang dengan keras.

Jeduk!

"Aduh jidat gue!" teriak Icha toa. "Itu badan jangan berdiri di situ kenapa? Gue mau lewat. Perasaan jalan di sebelah sini masih lebar, deh." Icha sudah ngomel sambil menggosok-gosok dahinya yang berdenyut.

"Itu jidat jangan ditaruh di situ biar nggak nabrak orang," sahut suara cowok yang baru saja Icha tabrak.

Mendadak tubuh Icha menjadi kaku. Jantungnya berdebar dengan kencang. Demi mimi peri yang sok cantik, Icha tidak berani mendongak. Suara itu ... sangat dikenalnya. Itu suara cowok yang pernah menirukan suara kucing disaat Icha pertama kali bertemu dengannya. Suara itu adalah suara yang pernah membentakknya. Suara itu juga yang telah mematahkan hati Icha karena mengatakan kata 'pergi'.

Tiba-tiba saja sesuatu yang dingin menempel di dahi Icha tanpa sadar. Tangannya ditarik untuk menerima teh kotak dingin yang diberikan orang itu.

"Buat kompres jidat lo, kali aja benjol. Bisa lo minum juga biar fokus," kata cowok itu sambil berlalu pergi.

Selama beberapa detik, Icha tidak berani menoleh. Tetapi ketika kesadaran dirinya sudah penuh, Icha langsung membalikkan tubuhnya dan melihat Ardo tersenyum manis seperti dulu padanya.

Wajah Icha langsung memerah hingga ke telinga. Dan cewek itu segera berlari sekencang yang ia bisa untuk kembali ke kelas.

--**--

Icha langsung nyungsep ke mejanya ketika sampai di kelas. Meta melongo heran dengan sikap sahabatnya itu.

"Cha? Lo kesurupan?" tanya Meta dengan polosnya.

"Nggak lah! Ngawur lo," semprot Icha galak.

"Lha terus kenapa lo lari-lari dengan wajah memerah kayak gitu? Nah, sekarang ganti senyam-senyum kayak orang gila. Lo beneran kesambet, deh." Meta masih saja bersikeras jika Icha sedang kesambet.

"Ih, Meta! Gue nggak kesambet atau kesurupan. Tadi ... gue abis ketemu Prince," ucap Icha malu-malu.

"Hah? Mulai ngelantur kan, nih anak? Pangeran, tuh, adanya di cerita dongeng-dongeng lo itu, Cha. Back to the real world, Icha. Lo nggak lagi berimajinasi."

"Seriously, honey! Gue ketemu Pangeran gue yang dulu. Gue malu banget tadi."

Meta mengangkat satu alisnya sambil meringis heran dengan tingkah alay Icha. Meta tahu siapa yang dimaksud Prince oleh Icha.

Terserahlah jika kalian menganggap Icha lebay dan sebagainya. Tetapi sejak dulu ia memang menganggap Ardo sebagai Pangeran meski ia sering mengolok-oloknya sebagai serigala bersuara kucing, atau iblis bermuka manis, atau apapun itu.

Meta menatap Icha dengan serius. Mungkin sahabatnya ini baru sadar jika dirinya memang sudah jatuh cinta dengan cowok yang pernah menghancurkan impiannya itu.

"Cha, dengerin gue. Lo cuma punya kesempatan sampai Kak Ardo lulus. Gue denger Kak Ardo bakal pindah ke Bandung dan dia akan kuliah di sana. Di Bandung terkenal ceweknya yang cantik-cantik, lho. Kalau Kak Ardo udah kenal cewek-cewek sana, lo mah, goodbye!"

Icha langsung cemberut begitu mendengar kata-kata Meta. "Terus gue harus gimana?"

"Bilang ke Kak Ardo sana, gih. Kalau lo suka sama dia. Beres. Tinggal lo diterima atau ditolak. Gitu doang."

"Ngomong aja gampang lo. Lakuinnya yang susah."

Meta mendekat dan berbisik ke Icha pelan. "Ngomong sekarang atau lo akan kehilangan Kak Ardo selamanya. Hem?"

Sejak detik itu juga, Icha langsung memikirkan cara untuk bertemu dengan Ardo dan mengatakan tentang perasaannya.

--**--

Sudah seminggu Icha memikirkan cara untuk menemui Ardo. Tetapi nyalinya mendadak ciut ketika ia melihat Ardo dari kejauhan. Bagaimana pun juga, Icha pernah meminta Ardo pergi waktu itu. Malu dong kalau Icha tiba-tiba saja bilang suka pada Ardo.

Icha tidak tahu tempat yang aman untuk menyimpan wajahnya. Ia akan malu setengah hidup. Bahkan bisa saja lalat tertawa ngakak saat mendengar Icha menyatakan perasaannya pada Ardo.

Icha keluar dari ruang guru dengan wajah ceria. Ia baru saja mendapatkan pujian dari guru Bahasa Indonesianya karena ia berhasil terpilih sebagai lima finalis yang karyanya akan diterbitkan. Bu Intan sangat bangga mempunyai murid seperti Icha.

Langkah-langkah riang Icha mendadak berhenti ketika ia melihat Ardo berjalan tidak jauh dari posisinya sekarang. Kejar, nggak, kejar, nggak. Kegalauan Icha segera lenyap ketika ia memutuskan untuk mengejar Ardo. Semuanya harus diselesaikan sekarang juga. Minggu depan kelas 12 sudah ujian. Itu artinya kesempatan Icha semakin menipis.

Icha berlari dengan cepat, hingga saat dirinya melewati belokan tiba-tiba saja sosok Ardo menghilang begitu saja. Icha terpaksa berhenti, ia menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri.

"Ke mana perginya tuh cowok, sih? Kok, hilang?"

"Lo nyariin gue?" Ardo tiba-tiba muncul di belakang Icha, membuat cewek itu berjingkat kaget.

"Eh, setan!" umpat Icha refleks. "Lo beneran ya, bakat banget ngilang, terus muncul tiba-tiba."

"Ngapain lo nyariin gue?" tanya Ardo. Posisi Ardo begitu dekat dengan Icha hingga aroma citrus dari tubuh Ardo menguar dan membuat Icha gugup setengah mati.

"Gu ... gue mau ngo ... mong sesuatu sama lo," jawab Icha gugup.

"Ikut gue! Jangan di sini kalau ngomong." Ardo menarik tangan Icha untuk mengikutinya. Icha hanya bisa pasrah ditarik-tarik Ardo. Bahkan cewek itu malah senyum-senyum sendiri saat melihat tangannya yang dipegang oleh tangan Ardo.

Tanpa sadar saat ini mereka berdua sudah ada di bawah pohon jambu air di belakang perpustakaan. Ardo melepas tangan Icha pelan. Cowok itu duduk di bangku tempat biasa ia nongkrong.

"Masih inget tempat ini, kan, Cha? Tempat pertama kali kita ketemu dan gue yang mengajukan permintaan aneh-aneh ke lo waktu itu. Udah lumayan lama ya ternyata. Udah hampir setahun." Ardo bermonolog sendiri karena sejak tadi Icha hanya diam dan sedang berusaha menyusun kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya pada Ardo.

"Do, ada yang mau gue omongin ke lo."

"Itu lo udah ngomong sama gue, Cha."

"Bukan yang ini. Gue ..." Icha menghela napas panjang hingga terdengar jelas oleh Ardo. Cowok itu menatap Icha dengan tatapan yang sulit diartikan. Bibirnya membentuk senyuman yang begitu manis. Sayang, Icha tidak berani menatap Ardo langsung.

"Gue ... lo tahu nggak kalau gue, tuh, sayang sama lo?"

Senyuman Ardo langsung hilang digantikan dengan keterkejutan di wajahnya. Ia tidak pernah menyangka jika Icha akan mengungkapkan perasaannya lebih dulu. Padahal tadi Ardo membawa Icha ke sini karena ingin menyatakan perasaannya juga pada Icha. Tetapi ternyata, Icha lebih berani dari yang ia duga.

Ardo mendekati Icha dengan perlahan. Icha gugup setengah mati saat melihat ujung sepatu Ardo semakin dekat dengannya. Dan ketika ujung sepatu Ardo hampir bersentuhan dengan milik Icha, jantung Icha seolah melompat dan berdangdutan ria.

"Gue juga sayang kok sama lo, Cha. Hem ... apa ya? Lebih dari sayang pokoknya," ucap Ardo lembut.

Icha langsung mendongak dan matanya langsung bertemu dengan mata Ardo. Otomatis Icha langsung mundur jauh demi keselamatan jiwa dan raganya.

"Jadi ... jadi sekarang, kita apa?"

"Apa gimana maksudnya?" tanya Ardo bingung. Apalagi dengan sikap aneh Icha barusan.

"Ya, kita sekarang apa?"

"Oh, itu ... kita pacaran. Tapi, lo sanggup nggak LDR? Soalnya setelah lulus gue mau kuliah di Bandung. Paling main ke Jakarta kalau pas libur. Lo nggak keberatan, kan? Kalau lo keberatan kita nggak jadi pacaran."

"Nggak, kok. Gue sanggup," jawab Icha cepat tanpa Ardo duga. Icha masih tetap cewek yang pertama kali Ardo kenal. Selalu memberi jawaban tanpa pikir panjang. Tapi saat ini perasaan Ardo sangat bahagia.Terlalu bahagia malahan.

Ardo membentangkan tangannya lebar-lebar. Icha bingung mau melakukan apa dengan kode seperti itu.

"Ngapain tangan lo kayak gitu?" Galaknya Icha kumat lagi.

"Mau gue peluk nggak?" suara Ardo sengaja dibuat-buat untuk menggoda Icha.

"Nggak, ah. Gue balik ke kelas aja." Icha berjalan pergi. Ardo segera mengekor di belakangnya masih sambil merentangkan tangan di belakang Icha.

"Cha, Icha! Beneran nggak mau? Gratis lho, Cha. Nggak bayar. Bisa sepuasnya."

"Ih, apaan, sih." Icha mempercepat langkahnya dengan menahan malu. Ardo tertawa terbahak-bahak gemas melihat tingkah Icha.

Cowok itu mensejajarkan langkahnya, kemudian meraih tangan Icha ke dalam genggamannya. Senyuman Ardo terlihat semakin manis dengan lesung pipitnya itu. Kalau setiap hari melihat senyum Ardo seperti ini, apakah Icha sanggup? Sepertinya ia akan sanggup selamanya.

Ini bukan akhir kisah Ardo dan Icha, karena kisah baru keduanya baru saja dimulai.


---


Selesai, selesai dan selesai. Yey!!! Alhamdulillah akhirnya cerita ini tamat. Eh, nggak tamat kok. Cuma cukup sampai di sini kebersamaan kita. Say, goodbye to Icha and Ardo. :D

Love u guys... my lovely readers. :*


Love,


AprilCahaya

Continue Reading

You'll Also Like

5.4K 583 27
Ada banyak alasan kecil mengapa hal-hal besar terjadi. Tidak semua dapat dijelaskan. Hidup mengajari Kyla untuk tidak mengharapkan apa pun dari siap...
6M 305K 95
"Nggak boleh ya, suka kamu dan dia?" By Arumi E. #3 in Teen Fiction (21/2/17) #3 in Teen Fiction (02/3/17) #3 in Teen Fiction (06/5/17) #3 in Teen Fi...
Hope By yussi

Teen Fiction

3M 137K 19
[Sudah Terbit] One day, I hope you can love me. Copyright © 2016 By YustikaM 16/08/2016
222K 33.5K 36
[Book 1] "Kursinya kosong nggak?" Emma mendongak dan melihat seorang anak laki-laki bertubuh tinggi sudah berdiri di sampingnya. Emma pun merubah pos...