MIMPI [Sudah Terbit]

By beliawritingmarathon

1.3M 113K 11.3K

[Sudah Terbit] ... Kehidupan Icha sekilas mungkin seperti gadis SMA biasa. Bagaimana jika hidup Icha sebenarn... More

1. Kalung Keramat
2. Not Red Riding Hood
3. Permintaan Pertama
4. Mimpi Icha
PERKENALAN
5. Serigala Licik
6. Dreamcatcher
7. Pangeran Tampan
8. Kakak Kelas
9. Bad Mood
#Profil Icha
10. Liontin
#Profil Ardo
11. Tentang Sebuah Kisah
12. Misi Pencurian
13. Permintaan Ketiga
14. Siapa Ardo?
15. Tantangan
16. Gosip
17. Hidden
18. Kencan?
19. Merida Abad 21
20. One Step
Side Story #1
21. Lost Dream
22. Sweet and Bitter
23. Pintu Rahasia
25. Mimpi Itu Tidak Nyata
26. Permintaan Keempat
27. Rumit
28. Pengakuan
29. Kebohongan Yang Lain
30. Sahabat Lama
31. Penyesalan Sang Serigala
32. Forgive Me
33. Perjuangan
34. Permintaan Kelima
35. Once Upon Time (END)
UCAPAN TERIMA KASIH
GIVEAWAY MIMPI
PEMENANG TESTIMONI MIMPI!!!
INFO PO NOVEL MIMPI

24. Like A Nightmare

24.6K 2.3K 153
By beliawritingmarathon

Nadi berlari menghampiri Icha yang sedang duduk di tepi lapangan. Gadis itu langsung merebut air minum Icha, dan meminumnya hingga tersisa setengah botol.

Nadi meringis melihat tatapan galak dari Icha. "Sorry, Cha. Gue haus. Oh, ya. Gue kepilih jadi tim inti, lo gimana? Masuk tim inti juga, kan?" tanya Nadi dengan nada penuh semangat.

Icha tersenyum hambar. Kepalanya menggeleng pelan. "Nggak, Nad. Gue masuk tim cadangan."

"Hah? Serius lo? Jangan bercanda, deh. Waktu itu kan, Pak Sam bilang kalau kita berdua punya peluang paling besar masuk tim inti? Gimana jadinya gue nanti main nggak sama lo?"

Lagi-lagi Icha tersenyum. "Nggak apa-apa lah, Nad. Mungkin tahun depan gue bisa masuk tim inti. Gue akan lebih giat berlatih. Lagian, nanti kalau lo lelah saat pertandingan, gue bisa gantiin lo sementara, kan?"

Nadi menatap Icha dengan perasaan tidak enak. Bagaimanapun juga ia dan Icha selalu bersama. Sebagai seorang sahabat, Nadi tahu perasaan kecewa Icha saat ini. Meski Icha pintar untuk menyembunyikan perasaan itu.

"Semangat, Cha. Gue selalu ada buat lo, kok. Kita berjuang sama-sama ya," kata Nadi dengan senyuman hangat.

--**--

Icha menghapus air matanya yang tidak mau berhenti sejak ia mulai menceritakan kisahnya masa lalunya pada Meta. "Maaf, Met. Ini pertama kalinya lo lihat gue cengeng banget, kan?"

Meta menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, Cha. Sekali lagi lo minta maaf, gue pulang, nih."

"Ih, jangan. Gue belum selesai cerita." Icha menghela napas panjang. Dan ia mulai bercerita lagi.

--**--

Icha mendengar beberapa anak-anak basket mulai menggosipkan dirinya. Icha dibilang iri dengan Nadi. Icha dikabarkan akan menggagalkan Nadi menjadi tim inti sebelum pertandingan basket antar sekolah, dan akan menggeser posisi Nadi saat ini.

Tidak hanya sekali. Berkali-kali Icha mendengar omongan tidak enak itu dari orang-orang yang bisa dibilang dekat dengan Icha maupun Nadi. Ternyata mereka tidak sebaik yang Icha anggap. Di depan Icha mereka bersikap manis, tetapi di belakang Icha mereka seperti duri yang siap menancapkan dirinya ke tubuh Icha.

Icha dengan sengaja langsung berjalan di depan mereka tanpa mengatakan permisi atau apapun itu. Sekarang Icha tahu siapa yang benar-benar baik dan busuk. Sebagian kecil, teman itu memang benar-benar baik dan setia. Tetapi sebagian besar, teman itu busuk dan sering menggosip di belakang kita.

Itulah yang dirasakan Icha.

Gadis itu masih duduk di tepi lapangan. Menatap sahabatnya—Nadi—yang sedang berlatih sangat keras. Pertandingan akan dilaksanakan lusa di SMA Garuda. Tim basket SMA Tunas Bangsa akan berangkat menggunakan bus. Mereka harus kumpul jam 7 tepat, tidak boleh ada yang terlambat.

Icha menoleh ke semua sudut lapangan, dan ada satu cowok yang tidak begitu ia kenal selalu duduk di bangku penonton. Mungkin cowok itu adalah pacar salah satu anak-anak basket. Icha tidak tahu.

--**--

Icha sudah siap di atas motornya. Saat ia sudah menghidupkan mesin motor, tiba-tiba saja ponsel Icha yang berada di dalam tas berbunyi. Telepon dari Nadi.

"Iya, ada apaan, Nad?" tanya Icha begitu sambungan telepon terhubung.

"Cha, lo bisa nggak jemput gue?"

"Hemm, bukannya lo biasanya diantar sama bokap lo. Atau katanya lo mau diantar kakak lo? Bukannya gimana, sih, Nad. Masalahnya ini udah jam 7 kurang seperempat. Rumah lo kan jauh. Butuh waktu setengah jam buat sampai sana. Belum perjalanan ke sekolah." Icha menimbang-nimbang. Ia bingung harus gimana. Sementara jarak sekolah dan rumah Icha memang tergolong dekat. 15 menit dengan sepeda motor kecepatan 40km/jam.

"Yah, gimana dong, Cha. Masa gue nggak bisa berangkat? Ini Papa lagi keluar kota. Kakak gue nggak bisa dihubungi sejak tadi malam. Please! Lo bisa kan jemput gue?"

"Iya, iya. Gue jemput. Tunggu di sana. Oke?"

"Thanks, Cha. Lo emang sahabat terbaik gue." Terdengar suara riang dari Nadi.

Icha segera menjalankan motornya menuju rumah Nadi. Tetapi entah karena apa, perasaan Icha saat ini benar-benar tidak enak. Bukannya ia tidak setia sebagai seorang sahabat, tapi di dalam hatinya, tidak seharusnya ia menjemput Nadi pagi ini.

--**--

"Pantes aja, Cha, waktu main basket lo selalu keren kayak anak-anak basket. Ternyata lo juga pernah masuk tim basket sekolah? Hem, beberapa kali gue lihat Pak Sam tuh kayak mengistimewakan lo gitu."

"Perasaan lo aja kali, Met."

"Sumpah, Cha. Gue serius." Meta terdiam sejenak. Cewek itu mengamati wajah Icha yang terlihat sangat mengerikan. "Kenapa kalau perasaan lo nggak enak, lo tetap aja jemput Nadi?"

Icha menghela napas panjang. "Yah, lo tahu lah, Met. Gue orangnya nggak tegaan. Gimana gue bisa ninggalin Nadi gitu aja? Sedangkan anak-anak basket seolah lebih condong ke Nadi dan mengabaikan gue. Nggak mungkin gue berbuat jahat sama Nadi. Nggak jemput dia, dan dia gagal ikut pertandingan basket penting itu. Dan, yah ... meski waktunya mepet banget, gue nekat jemput dia."

"Lagian, itu kakaknya Nadi nggak keren banget, deh. Tega bener adiknya nggak dianterin." Meta bergumam sewot sendirian. Icha tersenyum tipis.

"Gue nggak tahu."

"Terus, terus? Lanjutin, Cha."

--**--

Icha mengendarai motornya hingga kecepatan 60km/jam. Tetapi Nadi yang berada di jok belakang terus merecoki Icha. Membuatnya sedikit gugup dan kurang konsentrasi.

"Bisa cepet dikit nggak, Cha? Udah jam 7 lebih, nih. Positif kita terlambat. Pak Sam pasti ngomel-ngomel nanti." Suara Nadi sedikit tidak jelas karena padatnya jalan raya.

"Gue udah kenceng banget ini, Nad. Gue nggak berani kenceng-kenceng," sahut Icha hampir setengah berteriak.

"Nggak apa-apa. Tambahin lagi. Lebih cepat lebih baik."

Jantung Icha sudah berdegup dengan kencang. Jika ketahuan Farez ia berkendara sekencang ini, pasti Icha sudah dijadikan pecel sama kakaknya itu.

20 meter lagi lampu lalu lintas sudah hampir berubah jadi merah. Icha terlalu kencang mengendarai motornya, dan ia panik. Icha gugup dan sampai lupa di mana letak remnya. Hingga Nadi berteriak memperingatkan Icha.

"Cha, lampunya merah, Cha." Nadi juga panik sambil memukul-mukul bahu Icha. Tetapi Icha sudah tidak sanggup berbicara lagi ketika sebuah truk melintas di depan motor Icha.

Bruakkk!!!

Kecelakaan tidak dapat dihindari lagi.

Yang Icha ingat saat itu hanya darah, suara bising kendaraan, napasnya yang terasa sesak, dan ia tidak tahu Nadi ada di mana. Kemudian semuanya berubah gelap.

--**--

Meta membekap mulutnya sendiri. Ia tidak tahu harus berkomentar seperti apa pada Icha yang sekarang malah menangis tersedu-sedu. Meta beringsut ke depan dan memeluk Icha. Meta tahu bagaimana perasaan Icha saat ini. Tidak mudah bagi seseorang menceritakan kisah kelamnya pada orang lain.

"Cha, gue tahu gimana perasaan lo meski gue nggak mengalami hal itu. Gue cukup kagum sama lo yang kuat banget ngejalanin itu sampai sekarang. Seperti lo nggak pernah punya masalah kayak gini, Cha. Beneran."

Icha mengangkat wajahnya. "Gue sendiri aja nggak nyangka bisa sekuat ini, Met."

"Terus keadaan lo sama Nadi waktu itu gimana?"

Icha terdiam cukup lama hingga ia kembali menatap Meta dan mengatakan sesuatu yang lebih menyakitkan lagi.

"Lengan kiri gue pernah patah. Kepala gue berdarah, nggak tahu kebentur apaan. Badan gue rasanya remuk semua. Kalau gue bisa, gue mau ganti tubuh yang baru. Tapi keadaan Nadi? Gue nggak tahu. Keluarganya nggak ngijinin gue ketemu sama Nadi.

Gue disalahin atas kejadian itu. Pihak keluarga Nadi menuntut gue. Tapi nggak tahu apa yang dilakuin sama Oma, mereka akhirnya mencabut tuntutannya. Sejak saat itu gue nggak pernah bertemu sama Nadi lagi."

Icha menghela napas frustrasi. Air matanya kembali menetes, dan Icha kembali menangis sesenggukan. Rasanya duri-duri tajam itu kembali menusuk hati Icha. "Apa semua ini salah gue, Met? Apa gue yang buat kecelakaan itu terjadi? Kenapa semua orang salahin gue? Gue juga nggak mau Nadi celaka? Mereka pikir yang celaka dan terluka cuma Nadi? Kenapa mereka nggak lihat keadaan gue saat itu?"

Tanpa Meta sadari, ia mulai menangis. Meta tidak tahu jika Icha pernah mengalami luka yang begitu dalam di masa lalu.

"Jadi lo nggak tahu keadaan Nadi gimana?" tanya Meta. Icha menjawabnya dengan gelengan kepala.

"Dan, gue nggak pernah bertemu dengan Nadi lagi sampai sekarang. Nggak pernah tahu kabar dia. Apa dia baik-baik aja? Gue nggak tahu semuanya, Met." Icha memeluk kedua lututnya. "Pada akhirnya gue keluar dari tim basket dan tidak pernah lagi mengikuti kegiatan ekskul apapun di sekolah. Mimpi gue udah hancur, Met."

"Bagaimana dengan Oma Ambar?"

"Oma ... Oma terang-terangan suka banget aku keluar dari tim basket. Dan itu yang buat gue semakin sakit, Met. Di saat lo sedang terpuruk, tapi salah satu anggota keluarga lo malah bahagia melihatnya, gimana perasaan lo? Untung aja ada Papa, Mama, Bang Farez, dan Farel. Kalau nggak, gue nggak tahu akan jadi seperti apa, Met. Mungkin gue jadi stres parah."

Meta menepuk bahu Icha berkali-kali, mencoba menguatkan sahabatnya itu.

"Hemm, gue bantu cari informasi soal kakaknya Nadi yang katanya satu sekolah sama kita. Moga aja dia bisa jadi jalan buat lo ketemu sama Nadi lagi. Atau, bener kata anak-anak, Cha?"

"Apaan?"

"Kalau kakaknya Nadi itu emang mau balas dendam sama lo?"

Meta terlihat berpikir sedangkan Icha, pikirannya saat ini melayang jauh entah ke mana.

--**--

"Terserah lo nggak percaya sama gue, Do. Gue lihat Erlang jalan sama Meta. Pas gue tanya mau ke mana? Katanya mau jenguk Icha. Nah, lo kalah lagi kan sama si Erlang? Gue jamin, bentar lagi, Erlang bakal jadian sama Icha." Suara Roni terdengar santai tapi bisa membuat Ardo sedikit tertekan.

"Sialan lo, Ron. Jadi tujuan lo nelepon cuma mau komporin gue doang? Kurang kerjaan banget ya lo? Belajar sana, tobat kek sekali-kali jangan pacaran mulu."

Roni tertawa terbahak-bahak. "Omongannya para kaum jomblo gini, nih. Sok ngingetin belajar."

Dalam hati Ardo mengumpat pelan.

"Dengerin ya, Roni Fardan Wijaya. Gue itu nggak suka sama Icha. Nggak naksir sama Icha. Dan Icha bukan gebetan gue. Jadi gue saranin lo berhenti ganggu gue dengan ocehan nggak penting lo. Atau kalau lo masih nggak mau diem, gue jadiin tumbal di pohon belakang perpustakaan. Mau?"

"Halo, Do. Halo. Kok nggak kedengeran ya? Halo? Sorry, sinyalnya mendadak hilang." Roni membuat suara-suara aneh seperti saat sinyal hilang, kemudian mematikan sambungan teleponnya sepihak.

Ardo mengumpat kesal pada ponselnya. Bukan, lebih tepatnya pada makhluk yang baru saja meneleponnya. "Nih, kutu satu sengaja matiin telepon, kan? Pinter banger dia ngeles," gerutu Ardo sendirian.

"Icha siapa, Kak? Yang Kak Ardo bicarain sama orang di telepon tadi? Itu, Icha temennya Nadi bukan?"

Tiba-tiba saja suara Nadi sudah di belakang Ardo. Ardo berjingkat kaget hingga ponselnya jatuh mengenaskan di lantai.

"Ka ... kapan kamu ma ... masuk, Nad?" tanya Ardo dengan gagap.

"Udah dari tadi. Tapi Kak Ardo nggak denger pas Nadi panggil. Jadi Nadi langsung masuk, dan nggak sengaja denger pembicaraan Kak Ardo. Maaf. Tapi Nadi tanya sekali lagi, deh. Itu Icha yang dimaksud Icha temennya Nadi? Kalau iya, berarti selama ini Kak Ardo bohong dong sama Nadi. Katanya Kak Ardo belum ketemu sama Icha?"

Ardo bingung mendapatkan banyak rentetan kalimat panjang dari Nadi. Kenapa harus sekarang ia ketahuan? Tidak. Ia harus bisa mengelak.

"Eh, bukan, Nad. Itu bukan Icha temen kamu. Tapi temen sekelasku. Jadi temen-temenku sering ngeledekin aku dengan Icha yang itu. Iya, gitu." Berkali-kali Ardo menahan rasa paniknya di depan Nadi.

"Beneran?" tanya Nadi lagi. "Kak Ardo nggak bohong sama Nadi?"

Ardo mengangguk cepat. "Aku nggak bohong. Serius." Ardo terdiam dan tatapan adiknya itu membuatnya ingin kabur sekarang juga.

"Eh, Nad. Aku pergi dulu, ya. Ada janji sama temen. Biasa nongkrong. Bentar lagi Tante Mela pulang. Aku pergi dulu ya." Ardo mengusap lembut kepala Nadi sebelum pergi dan menutup pintu kamarnya.

Dan tanpa Ardo sadari ada sesuatu jatuh dari jaket yang baru saja ia ambil. Nadi yang melihatnya langsung memungut benda itu.

"Lho, ini kan ..." Nadi sedikit gemetar memegang benda itu. Cewek itu mengeluarkan kalung yang berada di balik sweater yang ia pakai, dan ternyata benar. Liontin yang dipakai Nadi dan liontin yang baru saja ia pungut itu sama persis. "Jadi Kak Ardo selama ini udah ketemu sama Icha?"

Nadi mengenggam erat liontin itu. Hingga matanya kini mulai berkaca-kaca.


--------------

Ciaat ciaaat.... hayo, siapa yang tebakannya bener? Siapa yang salah? 

Bentar, masih banyak yang harus aku ungkap satu persatu. Makin nggak sabar menanti ending cerita ini atau kalian malah galau gara-gara akan berpisah dengan Ardo, Icha, dkk?

Minggu ini nggak ada double update yah. Tapi part ini udah panjang banget dibanding sebelumnya. Dan, kabar gembira buar kalian semua. Mulai Rabu depan, setiap jadwal update, aku akan posting 2 bab sekaligus. Mendekati ending, siapkan hati kalian yah. 


See u,



Love,

AprilCahaya

Continue Reading

You'll Also Like

185K 12.1K 48
Banyak orang terheran-heran bagaimana gadis berwajah polos ini ternyata seorang badgirl yang langganan bk dan selalu pindah-pindah sekolah selama 2-3...
Sanjak Teduh By syi

Teen Fiction

1.5M 30.4K 32
[BEBERAPA PART DIPRIVATE, FOLLOW DULU BARU BISA BACA] "Memang benar ya, Sinar selalu menghangatkan hati Teduh meski dengan cara yang paling menyakitk...
43.5K 2.8K 34
Ada beribu pertanyaan yang ingin aku tanyakan padanya. Contohnya seperti Apakah cinta nya akan hilang untuk yang kedua kalinya? Apakah dia akan tetap...
10.8K 1K 24
TAHAP REVISI. Hanya kisah si dingin dan si ceria. Alvino laki-laki dingin bak kulkas tujuh pintu. Dan Alinka perempuan ceria yg berusaha meluluhka...