SINCERITY [COMPLETE]

lounarist द्वारा

99.7K 3.2K 48

Apa yang membuatnya lebih merasakan luka? Adakah orang lain yang mampu menyembuhkannya? Tidak ada, hanya oran... अधिक

For Your Information
Casting
SINCERITY - 1
SINCERITY - 2
SINCERITY - 3
SINCERITY - 4
SINCERITY - 5
SINCERITY - 6
SINCERITY - 8
SINCERITY - 9
SINCERITY - 10
SINCERITY - 11
SINCERITY - 12
SINCERITY - 13
SINCERITY - 14
SINCERITY - 15
SINCERITY - 16
SINCERITY - 17
SINCERITY - 18
SINCERITY - 19
SINCERITY - 20
SINCERITY - 21
SINCERITY - 22
SINCERITY - 23
SINCERITY - 24
SINCERITY - 25
SINCERITY - 26
SINCERITY - 27
SINCERITY - 28
SINCERITY - 29
SINCERITY - 30
SINCERITY - 31
SINCERITY - 32
SINCERITY - 33
SINCERITY - 34
SINCERITY - 35 [Ending]
Info

SINCERITY - 7

2.7K 111 0
lounarist द्वारा

Tangan Kinar mengusap sebuah bingkai foto yang bergambar dirinya dan seorang  cowok---tersenyum lebar, foto itu tidak terlalu cantik dan bagus. Tapi kenangan-kenangan yang diingatnya saat mengambil gambar tersebut membuat Kinar mau tidak mau kembali termenung. Dalam hal ini, dia memang bersalah. Tapi apakah dia yang harus menderita sepenuhnya? Hidup dalam belenggu masa lalu kelam memang membuat jiwanya seperti mati, ketakutan. Sama halnya dengan Kinar. Mati-matian gadis itu berusaha melupakannya, namun semakin dia mencoba untuk melupakan, semakin sakit pula hatinya.

Rizal berdiri diambang pintu kamar Kinar, ia terdiam dengan menatap punggung adiknya itu. Dirasakan sejenak penyesalan itu, namun dia harus mampu membuat rasa itu menghilang. Rizal menghela napasnya jengah, selalu saja seperti ini. Selalu saja dia melihat adiknya tengah duduk termenung menghadap jendela. Rizal tahu, kehidupan Kinar berubah drastis. Tapi satu hal yang ingin dia lakukan adalah, membuat adiknya kembali seperti dulu lagi. Seperti seorang Kinar yang selalu ceria, cerewet atau bahkan sedikit bar-bar. Dari pada dia melihat adiknya terpuruk sendirian didalam kamar.

Kaki Rizal melangkah mendekati adiknya, ingin mengatakan sesuatu. Siapa tahu sang adik akan sedikit terhibur.

Tangan Rizal terulur untuk mengelus kepala Kinar, membelainya seolah-olah menyalurkan semua kekuatan pada Kinar. Kinar yang memunggungi Rizal nampak terkejut dengan sentuhan hangat itu, dia tahu jika itu adalah kakaknya.

Sedetik kemudian, Rizal telah membalik kursi roda Kinar. Hingga kini mereka berhadapan, Rizal berlutut dihadapan Kinar. Tatapan matanya mengunci kedua mata Kinar, ia berusaha menyembunyikan luka itu, agar Rizal tidak akan tahu tentang apa yang dirasakannya.

"Belajar buat melupakan dia, Kin. Abang nggak mau kamu terpuruk kaya gini," ujar Rizal begitu lirih. Memang benar yang dia katakan, ia tidak mau melihat Kinar sepertu sekarang ini. Jujur, dia merindukan sosok Kinar yang selalu kesal jika dia menjailinya. Atau sosok Kinar yang manja ketika adiknya itu menginginkan sesuatu kepadanya. Tapi sekarang yang dia rasakan adalah hampa, jiwa Kinar seolah mati.

"Buat apa memikirkannya, kalau dia sendiri belum tentu memikirkan kamu." Lagi, suara Rizal membuat Kinar kian menunduk.

Helaan napas terdengar dari mulut Kinar, setelahnya dia mendongak untuk menatap kakaknya.

"Percuma, Kinar masih ingat kejadian itu bang." Jawaban Kinar membuat Rizal mengacak rambutnya frustasi. Ternyata Kinar belum sepenuhnya berubah, adiknya itu masih keras kepala seperti dulu. Samar, senyum Rizal tercetak dibibirnya. Namun tidak terlalu lama, senyuman itu luntur seketika mendengar Kinar kembali berbicara. "Sulit, karena dia belum membuat Kinar benci sama dia."

"Kamu mencintai atau terobsesi? Mencintai itu cukup ketika kamu merasakan sakit hati, lalu kamu akan menerima semua kenyataan pahit dengan ketulusan hati. Seperti caramu ini, kamu bukan mencintai. Lebih tepatnya terobsesi, dik." Rizal menjawab dengan frustasi.

Kinar memejamkan kedua matanya, sementara Rizal mengambil foto tersebut dari tangan Kinar.

"Abang bakal bantu kamu buat move on, karena nggak selamanya kamu mencintai dia." Ujar Rizal dengan tenang.

Membuka kedua matanya, Kinar menatap heran kearah Rizal.

"Apa Kinar bisa?" Tanyanya ragu.

"Tidak ada yang tidak bisa, kalau kamu mau belajar pasti semua akan mudah."

Kinar terdiam, mencerna kembali ucapan kakaknya. Memang benar, apa salahnya dia mencoba untuk move on? Lagi pula, belum tentu yang dia pikirkan dan dia sayangi selama ini tengah memikirkan ataupun mengingat kejadiannya bersama dengan Kinar.

"Belajar, ada abang dan bunda. Lagian teman-teman kamu bakalan dukung kamu, kalau kamu mau move on dari dia."

Kinar menatap kedua bola mata Rizal, antara ya dan tidak. Dia benar-benar bimbang. Dia takut tidak bisa melakukannya, dan akan membuat dirinya bertambah terpuruk. Tapi dia juga harus berubah, memulai untuk melupakan kenangan-kenangan itu seperti apa yang dikatakan Rizal.

Laki-laki berusia dua puluh enam tahun itu mengangguk pelan, mencoba meyakinkan sang adik bahwa dia bisa melakukannya. Tak lama kemudian, Kinar menghela napas dengan jengah lalu mengangguk pelan. Membuat Rizal menarik kedua sudut bibirnya keberlawanan arah. Tersenyum.

"Abang yakin, kamu bisa. Abang sama bunda bakalan bantu kamu, oke?" Rizal mengusap puncak kepala Kinar dengan sayang.

"Oh ya, ada yang nunggu kamu didepan. Ayo," Rizal beranjak dari jongkoknya dan mendorong kursi roda Kinar.

"Siapa bang?" Tanya Kinar tak sabaran.

"Kamu liat aja sendiri, ya, lagian dia ada di ruang tamu kok."

Rizal mendorong kursi roda Kinar meninggalkan kamar adiknya, dan membiarkan bingkai foto bergambar diri Kinar dan seorang cowok tergeletak begitu saja diatas ubin putih yang dingin itu.

***

Kinar mencoba untuk bersikap biasa saja, tapi sama sekali tidak memengaruhi pikirannya yang masih tertuju pada sosok Arga. Dia menyadari bahwa hal ini terlalu berlebihan, tapi dia memang tidak bisa menyangkal jika pikirannya masih tertuju pada Arga. Cowok yang membuatnya bagaimana merasakan cinta, yang membuat hari-hari Kinar bagai ribuan kembang yang bermekaran ditaman yang luas. Dan cowok yang mampu membuat diri Kinar berubah, akibat kesalahan dan kejadian yang menyakitinya. Arga telah meninggalkannya semenjak dimana raga Kinar dengan suka-rela diberikannya pada cowok itu. Menyesal? Munafik jika dia mengatakan tidak menyesal. Nyatanya, dia benar-benar terpuruk akan kesalahannya. Diam-diam dia merenung dan menyesali perbuatannya.

Bagi Kinar sebelumnya, itu adalah hal dimana dia merasakan kebahagiaan. Bersama dengan orang yang dia cintai, namun dia tidak pernah memikirkan konsekuensinya. Dia ketakutan setelahnya, dan apa yang dia takuti benar-benar terjadi.

Pelan, Rizal menepuk bahu Kinar pelan sehingga membuat gadis itu terperanjat. Ia terlalu melamun, sehingga tidak menyadari dimana dia sekarang? Ia mendongak untuk menatap kakaknya, ia terlihat seperti orang bodoh saat ini.

"Kok melamun? Nggak pengin nemuin dia?" Tanya Rizal, dengan menunjuk seorang cowok yang baru saja beranjak dari duduknya.

Pandangan Kinar mengedar, mengikuti arah telunjuk Rizal mengarah. Disana, berdiri cowok yang selalu melindunginya. Seperti halnya Rizal melindungi dirinya. Cowok yang setiap kali berada disampingnya ketika dia sedang bersedih.

"Hai," sapa cowok itu. Tangannya terangkat sebahu untuk melambai kearah Kinar, dengan senyum yang menawan.

Kinar masih diam, kesadarannya masih melebur diterpa udara. Dia masih menatap cowok itu dengan pandangan kosongnya. Hingga sebuah usapan lembut dikepalanya, membuatnya kembali sadar.

Tersenyum, lebih tepatnya memaksakan senyumannya. Kinar membalas sapaan cowok itu. Dia masih terlalu bingung, dia masih terlalu malas untuk sekedar kembali bersosialisasi dengan orang luar.

Melihat sang adik yang tidak mengatakan apapun, Rizal memilih untuk membungkukkan badan. Mensejajarkan wajahnya dengan wajah Kinar, lalu ia berbisik.

"Katanya mau belajar? Sampai kapan kamu bakal berhasil kalau diam aja kaya gini?" Pertanyaan Rizal membuat Kinar membeku, dia baru ingat jika dirinya mengatakan ingin melupakan semua yang terjadi padanya.

"Belajar, ya, ada dia. Pasti dia bisa bantu adik abang," suara Rizal kembali terdengar ditelinga Kinar.

Setelah membisikkan hal tersebut, Rizal menegakkan tubuhnya. Mendorong kursi roda yang diduduki Kinar mendekat kearah bunda---yang berdiri didepan sofa tamu.

"Kinar mau kan bang, kalau gue ajak keluar?" Tanya cowok itu, ia sudah terlihat begitu akrab dengan Rizal. Maka dari itu, setiap dia berbicara pada Rizal, cowok itu seperti berbicara kepada teman sebayanya---meskipun usia mereka terpaut sekitar empat tahun.

Rizal mengangguk dan kemudian menjawab, "Dia terlalu jenuh didalam kamar. Mungkin kalau lo ajak keluar sebentar itu nggak masalah buat dia."

Cowok itu tersenyum, lalu mengalihkan pandangan kearah Rere---bunda Rizal dan Kinar.

"Tante, Daniel mau minta izin buat ajak Kinar keluar, boleh?" Katanya.

Bunda tersenyum dan mengangguk untuk menjawab pertanyaan cowok yang bernama Daniel itu.

"Tapi jangan pulang terlalu sore, ya," kata Bunda memperingati.

Daniel lantas mengangguk, lalu melangkahkan kakinya mendekati Kinar.

"Sini, bang, biar gue aja yang dorong kursi roda Kinar." Rizal memberikan kepercayaan pada cowok itu, setelah menunggu Daniel membawa Kinar keluar rumah, Rizal segera menoleh kearah sang bunda.

"Bun, Rizal sebenernya berharap kalau Kinar lebih baik mencintai Daniel. Dari pada cowok itu," gumam Rizal.

Rere menoleh untuk menatap anak sulungnya, lalu menghela napasnya.

"Bunda nggak akan kecewa sama Arga, kalau anak itu tidak meninggalkan Kinar dengan keadaan yang seperti itu," jawab Rere.

Setelah itu, keheningan menyelimuti suasana. Memang benar, Rere tidak akan kecewa jika Arga tidak menghilang sampai sekarang. Cowok itu bahkan belum tahu keadaan Kinar yang terpuruk seperti ini.

Yang dia lakukan selama ini hanyalah mendo'akan Kinar agar putrinya itu mampu hidup seperti keadaan normal.

***
To be continued

Ini bukan flashback, ya. Jadi nggak perlu bingung..

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

47.8K 6.2K 40
END Mendapat masalah saat kita menyukai seseorang adalah jalan buntu. Sampai detik ini aku pun tak tahu apakah semua akan berjalan baik-baik saja--se...
242 81 26
Menceritakan seorang mahasiswa bernama Tan yang mengidolakan penulis terkenal. Sang penulis tak pernah memperkenalkan diri aslinya sehingga terkesan...
87.8K 14.6K 31
Menjadi berbeda bukan membuatmu unik, tapi malah dipandang aneh. Kemudian, berakhir dikucilkan dan sendirian dalam masyarakat. Berawal dari kesamaan...
Nggak Suka? Ya, Resign Aja! [END] PrettyW द्वारा

सामान्य साहित्य

135K 17.8K 56
END [TERINSPIRASI DARI KISAH NYATA] . . Gimana rasanya punya bos yang kalau kita bikin kesalahan dikit, langsung minta kita resign? Solar (28) awalny...