Knock Your Heart

By ndaquilla

3.2M 267K 17.9K

Sebagian BAB berada dalam Mode Private *** Yang satu tengah mencari calon suami, sementara lainnya masih berl... More

Prolog
1. Eve - Abra
2. The Game
3. And Then ... Show Time!
4. Good Night, Boy!
5. Seminggu Berlalu
6. Merana Ala Abra
7. Bagian Yang Tak Disangka
8. Kejutankah?
9. Fix! Delusi Akut!
10. Kesintingan Yang Sama
11. The Idiot Man
12. What?!
13. Lemah Iman
14. Evelyn Aluna Smith
15. Analogi Celana Dalam & Putri
16. Mantan & Calon Masa Depan
17. Bukan Biksu
18. Mendadak Pias
19. Gugup Part One
20. Gugup Part Two
21. Gugup Part Three
22. Menikahiku 'kan?
23. Restui Saya, Om!
24. Abra, Evelyn, Dan Dunia Yang Tak Sama
25. Abra Nikah, Mamen!
26. Hai, Istri!
27. Dua Idiot Yang Gemar Menggores Nadi
28. Dewinya Abra
29. Gangguan Fabian
30. Suami (Sah)
31. Dinding Yang Mencuri Dengar
32. Knock-knock Your Heart, Ab!
33. Telur Dadar
34. Abra Bilang "Jombelo"
35. Menyembunyikan Skandal Sang Puteri
37. Jadi gini ....
Knock Your Heart : Special Ilustration Moment
Pre Order Knock Your Heart

36. Kegalauan Abra Versi Terbaru

47.9K 7.3K 591
By ndaquilla

***

Dalam pernikahan, ketika terdapat masalah di dalamnya, waktu yang paling sulit untuk menghindari satu sama lain adalah pagi hari. Saat malam, alasan lelah dan mengantuk bisa menjadi alibi kuat, namun begitu matahari mulai membagi sinarnya, segala kepura-puraan hanya akan ketahuan.

Sama seperti yang tengah Abra rasakan sekarang ini. Ia sangat bersyukur tadi malam istrinya pulang larut malam karena perjalanan dinas meninjau salah satu cabang perusahaan di daerah Lembang. Pulang nyaris melewati tengah malam, Evelyn mengetuk pintu besi rukonya dengan ditemani beberapa karyawan dan juga supir yang mengantar.

Tetapi kini, Abra tak tahu harus bagaimana menghadapi istrinya. Mungkin ia berhasil menyurutkan api amarahnya, tetapi ternyata bara itu masih cukup untuk membuat dadanya panas. Dan Abra tidak yakin apakah ia mampu bersikap wajar atau tidak. Setelah semalaman suntuk terjaga dengan memikirkan beberapa kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi dengan pernikahannya yang baru seumur jagung ini.

Oh, Tuhan, kali ini Abra benar-benar tak tahu harus bagaimana mengambil sikap.

"Ab, udah siang. Bangun, gih."

Suara Evelyn masih terdengar merdu di telinganya, menyapa paginya layaknya nyanyian indah para bidadari. Lihatlah, betapa Abra benar-benar sudah termakan oleh pesona sang istri. Sampai-sampai ia masih mampu mengucap syukur atas pagi harinya, yang selalu ditandai dengan suara Evelyn di dalamnya.

Mungkin benar kata Wira, Abra sudah membuka pintu hatinya terlalu lebar. Dan memperbolehkan Evelyn masuk kemudian menetap. Abra bisa saja mengusir Evelyn dengan segera. Tapi hatinya tidak bisa setega itu. Ia malah mempersilakan wanita itu duduk. Kemudian berniat membuatkannya minuman agar Evelyn betah berlama-lama di sana.

"Abra!"

Tangannya masih sehalus yang Abra ingat. Menyentuh lengan untuk membangunkan Abra yang sebenarnya tak juga terlelap sejak gelap menyelimuti bumi.

"Abra, please wake up!"

Biasanya Abra akan menarik tangan Evelyn ke arahnya, lalu membuat wanita itu kembali ketempat tidur. Menggulingkannya, kemudian Abra akan pura-pura tertidur dalam dekapan wanita itu.

Ya, itu biasanya ...

Sebelum Abra tahu, kalau ternyata menjadi sebuah pelarian bisa semenyedihkan ini.

Demi Tuhan, Abra benci menjadi melankolis. Kalau boleh memilih, ia lebih menyukai antagonis, yang bertindak kejam pada orang-orang tanpa memedulikan kesakitan dan penderitaan. Namun lagi-lagi, Abra tak bisa demikian. Menjadi satu-satunya pelindung setelah orangtuanya bercerai, bahkan Abra muda, sudah mengerti pentingnya menjaga.

Berniat mengakhiri drama pagi yang ia lakoni sendiri, Abra menghela napas panjang. Ia mengalah pada keadaan. "Aku udah bangun," gumamnya dari balik selimut. "Aku mandi sekarang." Buru-buru ia menyingkap selimut, membuat tangan Evelyn menjauh dari tubuhnya.

Pada pagi-pagi biasanya, Abra hanya akan mengenakan selembar boxer tanpa atasan, alias bertelanjang dada. Tetapi pagi ini, saat Abra melompat dari ranjangnya, ia mengenakan piyama lengkap. Tak peduli betapa menjijikannya ia memakainya, satu hal yang pasti, tubuhnya begitu murahan jika sudah bersentuhan dengan kulit Evelyn. Karena Abra sedang tidak ingin bercinta dengan istrinya disaat seluruh otaknya masih dipenuhi Dylan semata.

Dan malam tadi merupakan awal dari pengecualian yang ingin Abra bangun dengan sungguh-sungguh. Mungkin, alasan Evelyn menikahinya memang tidak berdasarkan cinta. Namun, jangan salahkan Abra bila dia sudah terlanjur melabuhkan harapannya pada pernikahannya ini. Cita-cita Abra hanya satu, ia ingin menikah sekali seumur hidupnya. Lalu membiarkan kematian yang memisahkan perkawinannya.

Ia tidak ingin memiliki pernikahan seperti orangtuanya. Yang kandas hanya karena hadirnya orang ketiga. Tetapi rupanya, mimpinya itu terlalu muluk, Abra lupa dengan siapa ia menikah.

Menyadari gelagat tak biasanya dari suaminya, Evelyn mengangkat sebelah alis keatas. Ia cukup cerdas dengan menebak ada yang tidak beres dengan suaminya itu. "Kamu sakit?" ia mengikuti Abra yang berjalan cepat menuju kamar mandi. "Abra?" pria itu menoleh sekilas, namun hanya beberapa detik saja sebelum kembali memalingkan wajah.

"Handuknya di mana?"

Eve menghela napas, dipandangnya punggung besar itu cukup lama sekadar untuk mencoba membaca apa yang saat ini ada dipikiran suaminya. Tetapi rasanya sulit, karena Eve tidak memiliki kemampuan seistimewa itu. "Tunggu sebentar," ucapnya pada Abra, sebelum ia berjalan ke sisi lain kamar untuk mengambil handuk. Setelah menikah, Eve memang menyediakan sendiri kebutuhan suaminya. "Ini," bahkan saat Evelyn menyerahkan handuk, Abra tak juga menatapnya. Hal itu tentu saja membuat kecurigaan Eve menjadi-jadi. "Kenapa sih?" tuntut Eve masih mencoba mencari tahu. "Kamu lagi nggak enak badan?"

Lagi nggak enak hati, Andai Abra mampu mengatakannya dengan lugas. Tapi tak apalah, simpan dulu di dalam hati. Siapa tahu, nanti Tuhan berbaik hati dan mengadakan undian berhadiah di dalam sanubari.

"Ab?" Evelyn masih berusaha.

Dan kali ini usahanya berhasil. Abra berhenti, kemudian membalikan tubuh. Menatap istrinya yang cantik lamat-lamat. Tetapi decakan kagum setiap kali memandang Evelyn mati-matian ia sembunyikan. Entahlah, Evelyn sangat sempurna bila tubuhnya sudah dibalut pakaian-pakaian kerja. Namun akan sangat menakjubkan jika hanya berbalut selimut tanpa apapun yang melekat di tubuhnya.

Tuhan ... kapan sih istrinya terlihat jelek?

Menarik napasnya pelan, Abra tahu jika terlalu lama memandang istrinya, imannya akan kembali melemah. "Kamu udah siap?" tak perlu menunggu jawaban, paduan blazer berwarna navy dengan rok sebatas lutut cukup mengatakannya. "Aku bukain pintu dulu ya di bawah? Bentar." Kata Abra berusaha keras mengabaikan raut wajah istrinya yang penuh tanda tanya.

Demi Tuhan, Evelyn itu tetap saja terlihat menawan, sekalipun raut wajahnya tengah berkerut kebingungan. Rambut cokelat bergelombang yang kali ini di ikat tinggi, mempertontonkan lehernya yang jenjang. Kulit putihnya menggoda untuk dikecupi. Abra jelas-jelas ingat bagaimana rasa semua itu ketika bersinggungan dengan bibirnya. Hanya satu kata yang pasti, nikmat.

Lalu Abra perlu mengerahkan segenap tekad yang ia miliki untuk menjauh dari kegemarannya menyusuri kenikmatan yang selalu diberi oleh tubuh istrinya. Cepat-cepat ia keluar dari kamar, menuruni tangga hingga ke lantai dasar mungkin akan sedikit membantunya membuat pengalihan.

Tetapi Evelyn tidak berpikir demikian. Ia benci orang-orang yang memiliki masalah namun menunda menyelesaikannya. Dan gelagat Abra pagi ini, cukup memancingnya untuk berpikir seperti itu. Jadi, alih-alih mengenakan sepatu dan meraih tasnya, Evelyn justru menarik tangan Abra yang sudah hendak menuruni anak tangga. "Kamu kenapa sih?" sergahnya setelah berhasil membuat Abra berdiri dihadapannya.

Kening Abra segera berkerut. Ia memandang istrinya sekilas sebelum mengarahkan pandangan ke arah jam dinding. "Apanya gimana? Kamu udah hampir telat."

"Abra," desak Eve mencoba tenang. "Ada apa?" tatapnya tajam. Mungkin dirinya belum mengenal Abra sedalam itu. Namun, hanya orang gila yang tidak akan mengernyit kebingungan mendapati Abra berubah pendiam begini.

Abra melepaskan cekalan sang istri di lengannya. Sebagai gantinya, ia menyentuh pipi Eve dan mengelusnya dengan ibu jari. Tatapannya sendu saat membalas tatapan sang istri. "Nggak apa-apa," ia mencoba mengulas senyum. "Cuma ada sedikit masalah aja sama beberapa rekanan Bank. Biasalah, pergantian pimpinan, biasanya ganti kebijakan." Abra tak sepenuhnya berdusta. Memang dirinya juga memiliki sedikit masalah di pekerjaannya. "Aku lagi nggak bisa professional, makanya jadi begini, hehehe."

Evelyn merasa ragu, apalagi senyum di wajah Abra tak nampak binarnya sama sekali. Tetapi jika memang ini hanya masalah pekerjaan, Eve mencoba tidak ikut campur terlalu jauh. "Kamu yakin?"

Tatapan Abra melembut, ia akhirnya mengangguk. "Aku yakin cuma sama Tuhan, kalau yakin sama yang lain namanya musrik. Males dong aku masuk neraka abadi nanti." Ia mencoba berkelakar.

Dan terbukti berhasil. Lamat-lamat, Evelyn mengulum senyum. Lantas mengangguk dan menarik ujung piyama yang dikenakan sang suami. Hingga kemudian ia melangkah mendekat, lalu mendekap Abra cukup erat. "Tumbenan pakai baju lengkap gini?" ada sirat geli yang ia tahan begitu telah berada nyaman dalam dekapan pria itu.

Yang Evelyn tidak tahu, Abra mengumpatinya dalam hati. Benar-benar memaki Evelyn, atas tindakan spontan yang nyaris meruntuhkan keimanannya.

Ah, setan! Bini gue gini banget sih, ya, Allah ... iman gue nggak setebal papan penggilesan ya, Allah. Kan nggak lucu, kalau gue mesem-mesem setelah pasang muka setan dari tadi?

Ah, sial!

Abra tak pernah membayangkan bahwa Evelyn bisa mengambil sikap provokatif macam ini. Tapi, tidak bersikap begini pun, Abra kerap tergoda. Jangankan melihat Evelyn mengulum senyum padanya, menyaksikan Evelyn menekuri laptop saja pun, Abra sudah tergoda bukan main. Ya, benar, tubuh Abra selalu bertingkah murahan jika sudah berada di depan Evelyn.

Mencoba membersihkan tenggorokannya dengan deheman, Abra berusaha keras agar tangannya tidak bertingkah memalukan. Dalam artian, membalas pelukan Evelyn lebih erat dari seharusnya. Lalu setelah itu, bisa dipastikan Abra akan menjalankan tangannya disekeliling pinggang ramping tersebut, kemudian turun ke bawah untuk merasakan kekenyalan sepasang pantat yang tak bosan ia remas. Hingga akan berakhir dengan Evelyn kembali berada di bawah tubuhnya, lengkap dengan napas compang-camping mereka.

Dan sialannya, Abra sudah membayangkan hal itu terjadi!

Ugh! Tolonglah sadarkan Abra sekarang juga!

"Kamu mau dimasakin apa nanti untuk makan malam? Aku bakal pulang sore buat masak." Mungkin Evelyn tidak sabar dengan keabsenan Abra menjawab pertanyaannya. Jadi wanita itu kembali mempertanyakan hal lain.

Abra menarik napas panjang, lalu mengarahkan tangannya ke arah kepala sang istri. Ingin mengacak rambutnya, namun urung, melihat betapa istrinya sudah serapi ini. jadi sebagai gantinya, Abra hanya menepuk-nepuknya saja dengan pelan. "Nanti aku pikirin. Sekarang belum ada kepikiran mau makan apa." Tapi jika yang Abra temukan justru Evelyn yang telentang di atas meja dengan keadaan telanjang, mungkin Abra akan menyarankan agar menu itu saja yang harus dibuat sang istri untuk menyambutnya.

Segera melepaskan pelukan, Eve kembali memandang Abra dengan keheranan. Ia tahu ini bukan seperti Abra yang dua pekan ini menjadi suaminya. Pria di depannya ini berbeda. Abra tak akan melemparkan pernyataan tanpa guyonan apapun padanya, dan Eve semakin merasa bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi. Dan Abra sengaja tidak memberitahunya. "Kamu yakin ini cuma masalah kerjaan?" tanya Eve curiga. "Selama yang aku tahu, kamu itu tipikal orang yang nggak akan terlalu memusingkan pekerjaan semalaman suntuk lalu berlanjut hingga pagi harinya."

Tiba-tiba saja Abra merasa muak. Segera saja kekesalan terhadap Evelyn muncul kepermukaan. Sebelumnya, Abra tidak membenci seseorang yang menilainya hanya dari pandangan sekilas mata. Tetapi entah mengapa, ketika Evelyn menyampaikan apa yang ada di kepala wanita itu, Abra merasa tersinggung.

"Tahu apa sih kamu soal aku," gumam Abra pelan. Namun sarat akan emosi yang teredam. Lalu menjauhkan tubuh dari jangkauan tangan-tangan Evelyn, Abra sengaja memberi jarak. Kalau Evelyn mampu menerkanya dalam sekali pandang, berarti apa yang Abra lihat kali ini pun pantas untuk diungkapkan. "Pokoknya nanti aku kabari kalau aku kepengin makan sesuatu." Ternyata tak mudah untuk berpura-pura, karena detik di mana Abra melangkah tergesa menuruni tangga, yang sedang dibayangkan otaknya justru berteriak di depan sang istri. Menginginkan kejujuran wanita itu. Kemudian dengan setengah gila mempertanyakan apa arti dirinya di dalam pernikahan ini.

Murnikah hanya sebagai pelarian semata?

Atau seperti dirinya yang naïf ini, menginginkan pernikahan ini menjadi segalanya.

"Nanti aja gue teriak-teriak marahnya," Abra kembali bergumam. Namun kali ini di hadapan pintu besi yang menghalanginya dari pandangan dunia. "Nanti, pas gue dapet obat penumbuh hati yang patah dari Wak Doyok." Ia melanjutkan. "Tapi sebelum orderan gue dibuatkan sama Wak Doyok, ada baiknya gue temenan sama para mantan yang gagal move on. Biar gue mahir menghindari kenyataan."

Gurauannya kali ini pun terasa menyedihkan. Abra sendiri merasakan bahwa ia gagal menghibur diri sendiri.

Patah hati memang sebegitu mengerikan. Namun yang terburuk dari semua itu adalah, kita tak dapat menarik untaian harapan yang sudah terlanjur membumbung pada yang bersangkutan.

Dan bagi Abra yang baru saja memasuki gerbang pernikahan. Ternyata ikatan perkawinan bukanlah akhir dari perjalanan menempuh happily ever after. Melainkan gerbang lain, dari kemunculan masalah-masalah diluar nalar.

"Gue cuma pengin jatuh hati. Tapi kenapa jatuhnya sama perempuan yang udah nampung hati orang lain. Dan masalahnya sekarang adalah, gimana caranya gue nahan hati gue yang udah kebelet jatuh ini? Gue butuh lem, Tuhan."

***

Continue Reading

You'll Also Like

1.9M 160K 36
"Nikah sama anak Tante, hutang-hutang almarhum Ayahmu akan Tante dan suami anggap lunas." Kalimat itu terus terngiang di kepala Elin Nafisah. Selama...
4.6M 488K 48
Deva, cowok dengan segabrek reputasi buruk di kampus. Namanya mengudara seantreo Fakultas Ekonomi sampai Fakultas tetangga. Entah siapa yang mengawal...
180K 10.3K 29
"Daripada sama dia, aku lebih baik jadi janda seumur hidup!" Sepenggal kalimat penolakan mutlak yang Rena katakan. Tapi, bagaimana bisa satu bulan ke...
1.5M 67K 41
"Jalang sepertimu tidak pantas menjadi istriku, apalagi sampai melahirkan keturunanku!" Bella hanya menganggap angin lalu ucapan suaminya, ia sudah...